DIALEKTIKA
KEBIJAKAN PUBLIK :
“STUDI
KOMPARASI TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT DENGAN GOOD GOVERNANCE DALAM PERSPEKTIF
KEBIJAKAN PUBLIK”
Oleh: Iwan Ismi Febriyanto
Abstract
Public sector organizations are often described
unproductive, inefficient, always loss, low quality, poor innovation and
creativity, as well as many other critics. The emergence of strong criticism
directed at public sector organizations will then cause the movement to reform
public sector management. One of the public sector reform movement is the
emergence of the concept of New Public Management (NPM). The concept of new
public management was initially introduced by Christopher Hood in 1991. When
viewed from a historical perspective, modern management approaches in the
public sector at first appear in Europe in the 1980s and 1990s as a reaction to
the inadequacy of the traditional model of public administration. NPM emphasis
at that time was the implementation of decentralization, devolution, and the
modernization of public service delivery. As it grows, modern managerial
approach has many names,
for example: managerialsm, new pubic management,
market-based public management, post-bureaucratic paradigm, and entrepreneurial
government. The term is widely used and known then is new public management.
Before applying the concept of NPM, the government used a model of public
administration with emphasis on bureaucracy. New Public Management (NPM) is the
new public management theory assumes that private sector management practices
are better than public sector management practices. Based on the above, it can
be concluded that the New public management is a concept of public management /
new government, the private sector work practices apply to the public sector to
create efficiency and effectiveness of government performance that will create
a welfare society (social welfare). Apart from the theory of New Public
Management, we know the term Good Governance. Here, the author would like to
try to compare the two theories in relation to public policy.
Keywords: Public Management, New Public Management,
Good Governance
Abstraksi
Organisasi sektor publik sering
digambarkan tidak produktif, tidak efisien, selalu rugi, rendah kualitas,
miskin inovasi dan kreativitas, serta berbagai kritikan lainnya. Munculnya
kritik keras yang ditujukan kepada organisasi-organisasi sektor publik tersebut
kemudian menimbulkan gerakan untuk melakukan reformasi manajemen sektor publik.
Salah satu gerakan reformasi sektor publik adalah dengan munculnya konsep New
Public Management (NPM).
Konsep new public management pada awalnya dikenalkan oleh Christopher Hood tahun 1991. Apabila dilihat dari perspektif historis, pendekatan manajemen modern di sektor publik pada awalnya mucul di Eropa tahun 1980-an dan 1990-an sebagai reaksi terhadap tidak memadainya model administrasi publik tradisional. Penekanan NPM pada waktu itu adalah pelaksanaan desentralisasi, devolusi, dan modernisasi pemberian pelayanan publik. Seiring perkembangannya, pendekatan manajerial modern tersebut memiliki banyak sebutan, misalnya: managerialsm, new pubic management, market-based public management, post-bureaucratic paradigm, dan entrepreneurial government. Istilah yang kemudian banyak dipakai dan dikenal adalah new public management. Sebelum menerapkan konsep NPM, pemerintah menggunakan model administrasi publik yang lebih menekankan pada birokrasi. New Public Management (NPM) merupakan teori baru manajemen publik yang beranggapan bahwa praktik manajemen sektor swasta adalah lebih baik dibandingkan dengan praktik manajemen sektor publik. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa New public management adalah sebuah konsep manajemen publik/pemerintahan baru, yang menerapkan praktik kerja sektor privat ke sektor publik untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas kinerja pemerintah daerah sehingga akan tercipta welfare society (kesejahteraan masyarakat). Selain dari pada teori New Public Management, kita mengenal istilah Good Governance. Disini, penulis ingin mencoba untuk membandingkan kedua teori ini dalam kaitannya dengan kebijakan publik.
Konsep new public management pada awalnya dikenalkan oleh Christopher Hood tahun 1991. Apabila dilihat dari perspektif historis, pendekatan manajemen modern di sektor publik pada awalnya mucul di Eropa tahun 1980-an dan 1990-an sebagai reaksi terhadap tidak memadainya model administrasi publik tradisional. Penekanan NPM pada waktu itu adalah pelaksanaan desentralisasi, devolusi, dan modernisasi pemberian pelayanan publik. Seiring perkembangannya, pendekatan manajerial modern tersebut memiliki banyak sebutan, misalnya: managerialsm, new pubic management, market-based public management, post-bureaucratic paradigm, dan entrepreneurial government. Istilah yang kemudian banyak dipakai dan dikenal adalah new public management. Sebelum menerapkan konsep NPM, pemerintah menggunakan model administrasi publik yang lebih menekankan pada birokrasi. New Public Management (NPM) merupakan teori baru manajemen publik yang beranggapan bahwa praktik manajemen sektor swasta adalah lebih baik dibandingkan dengan praktik manajemen sektor publik. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa New public management adalah sebuah konsep manajemen publik/pemerintahan baru, yang menerapkan praktik kerja sektor privat ke sektor publik untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas kinerja pemerintah daerah sehingga akan tercipta welfare society (kesejahteraan masyarakat). Selain dari pada teori New Public Management, kita mengenal istilah Good Governance. Disini, penulis ingin mencoba untuk membandingkan kedua teori ini dalam kaitannya dengan kebijakan publik.
Kata Kunci : Public Management, New Public Management,
Good Governance
Pendahuluan
Manajemen publik merupakan
suatu spesialisasi baru, tetapi berakar dari pendekatan normative, Woodrow
Wilson sebagai penulis “The Study of Administration” ditahun 1887 dalam
Shafritz & Hyde (1997), merupakan vionernya. Di dalam aliran ini yang dibicarakan benar-benar manajemen
publik. Wilson mendesak agar ilmu administrasi publik segera
mengarahkan perhatiannya pada orientasi yang dianut dunia bisnis, perbaikan
kualitas personel pada tubuh pemerintah, aspek organisasi dan metode-metode
kepemerintahan. Fokus dari ajaran tersebut adalah melakukan perbaikan fungsi
ekskutif dalam tubuh pemerintahan karena waktu itu dinilai telah berada di luar
batas kewajaran sebagai akibat dari merebaknya gejala korupsi, kolusi, dan
nepotisme dengan mengadopsi prinsip manajemen bisnis.
Wilson meletakkan empat prinsip dasar bagi studi administrasi publik yang
mewarnai manajemen publik sampai sekarang yaitu :
(1)
pemerintah sebagai setting utama organisasi, (2) fungsi eksekutif sebagai fokus
utama, (3) pencarian prinsip-prinsip dan teknik manajemen yang lebih efektif
sebagai kunci pengembangan kompetensi administrasi, (4) metode perbandingan
sebagai suatu metode studi pengembangan bidang administrasi publik.
Warna manajemen publik dapat
dilihat pada masing-masing paradigma, misalnya dalam paradigma pertama yaitu
pemerintah diajak mengembangkan sistem rekrutmen, ujian pegawai, klasifikasi
jabatan, promos, disiplin dan pensiun secara lebih baik. Manajemen sumber daya
manusia dan barang/ jasa harus diupayakan akuntabel agar tujuan negara dapat
tercapai, paradigma kedua dikembangkan prinsip-prinsip manajemen yang diklaim
sebagai prinsip-prinsip universal yang dikenal sebagai POSDCORB (Planing, Organizing, Staffing, Directing,
Coordinating, Reporting, dan Budgeting), yang merupakan karya besar Luther Gullick dan Lundall Urwick di tahun 1937.
Prinsip-prinsip ini kemudian dikritik dalam karya “Administrative Behaviour”,
yang mengajak para ahli tidak hanya mendasarkan dirinya pada aspek normatif
sebagai diajarkan dalam rasional tetapi harus melihat kenyataan yang terjadi
dalam satu fungsi manajemen yang penting yaitu pembuatan keputusan (decision
making). Kritik ini telah memberikan ruang baik kemunduran pengembangan fungsi
manajemen publik waktu itu, karena para ahli politik akhirnya melihat
administrasi publik sekaligus manajemen publik sebagai kegiatan politik, atau
lebih merupakan bagian dari ilmu politik. Paradigma ketiga, karnanya
fungsi-fungsi manajenen tidak perlu di ajarkan secara normatif, atau tidak
perlu lagi melihat fungsi-fungsi manajemen tersebut sebagai sesuatu yang universal.
Paradigma keempat, setelah tidak menyetujui kritikan para ahli ilmu politik,
konsep manajemen terus dikembangkan seperti didirikannya School of Bussines dan
administrasi publik serta Journal Administrative Science Quarterly di Cornell
University Amerika Serikat.
Model NPM (New Public
Management), pada dasarnya merupakan model yang dikembangkan oleh para
teoritisi dalam upaya memperbaiki kinerja birokrasi (model tradisional) yang
dirasakan kurang mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan dalam memenuhi
harapan masyarakat akan pelayanan yang diinginkan dengan mengedepankan
pendekatan manajerial. NPM memfokuskan diri pada perbaikan birokrasi dari dalam
organisasi (inside the organization) dengan melakukan
perubahan-perubahan yang diperlukan (Hughes, 1994, 2). Dengan dokrin
sebagaimana diungkapkan Rhodes mengadopsi pendapat Hood (Hughes,1994,2) sebagai
berikut : pertama, memfokuskan pada kegiatan manajemen bukan pada aktivitas
kebijakan, penilaian kinerja dan efisiensi; kedua, pemecahan birokrasi publik
menjadi badan-badan kecil dan sederhana yang berkaitan langsung dengan
kepentingan dasar pengguna jasa (user – pay bases); ketiga,
menggunakan ‘quasi market’ dan melemparkan ke pasar (contracting out)
sebagai daya dorong terciptanya kompetisi; keempat, pemotongan biaya; kelima,
pola manajemen yang menekankan pada antara lain target keluaran, pembatasan
waktu kontrak, insentif keuangan dan kebebasan dalam mengelola.
Sedangkan David Osborne dan Ted
Gaebler (1992, 13-22) menawarkan suatu pendekatan manajerial dari sisi lain
dalam mengelola birokrasi pemerintahan dimana birokrasi menjadi bergaya
wirausaha (entreprenuer government). Dengan karakteristik : mendorong
kompetisi antar pemberi jasa, memberi wewenang kepada masyarakat, mengukur
kinerja perwakilannya dengan memusatkan pada hasil bukan pada masukan,
digerakan oleh misi bukan ketentuan dan peraturan, mendefinisikan klien
(masyarakat) kembali sebagai pelanggan dan menawarkan banyak pilihan, mencegah
masalah sebelum muncul, mencurahkan energi untuk menghasilkan uang bukan untuk
membelanjakan, desentralisasi wewenang dengan manajemen partisipasi, menyukai
mekanisme pasar daripada mekanisme birokrasi, dan tidak hanya memfokuskan pada
pengadaan perusahaan negara, tetapi juga pada mengkatalisir semua sektor
–pemerintah, swasta, dan lembaga suka rela- ke dalam tindakan untuk memecahkan
masalah masyarakatnya.
Pendekatan manajerial model NPM
yang dikembangkan pertama kali oleh Hood ini atau managerialism istilah
Pollitt atau market based public administration istilah Lan dan
Rosenbloom atau entrepreneurial government istilah Osbone dan
Gebler, walau memiliki istilah yang berbeda namun pada dasarnya sama-sama
berupaya mentransformasi birokrasi lama menjadi birokrasi baru. Dengan
melakukan hal-hal yang sebagaimana dikemukakan Owen E. Hughes (1994, 3) : Improving
public management, reducing budgets, privatisations of public enterprise seem
universal; no-one now is arguing for or increasing the scope of government or
bureaucracy.
Dan memiliki tujuan yang sama
pula, antara lain : pertama, lebih memperhatikan pada hasil tujuan dan
tanggung jawab personal manajer; kedua, lebih mengutamakan pembentukan
organisasi, personil, dan pekerja dan suasana yang lebih fleksibel; ketiga,
membuat tujuan organisasi dan personil yang jelas dan mudah diukur dengan
menentukan indikatornya; keempat, staf senior lebih memiliki komitmen politik (politically
commited) pada pemerintah, tidak partisan dan tidak netral benar; kelima,
fungsi pemerintah lebih kepada fasilitator dari pada pelaksana; terakhir, pada
fungsi pemerintah dikurangi dengan melakukan privatisasi (Hughes, 1994, 58
Pembahasan
Sejarah Teori
New Public Management
Organisasi
sektor publik sering digambarkan tidak produktif, tidak efisien, selalu rugi,
rendah kualitas, miskin inovasi dan kreativitas, serta berbagai kritikan
lainnya. Munculnya kritik keras yang ditujukan kepada organisasi-organisasi
sektor publik tersebut kemudian menimbulkan gerakan untuk melakukan reformasi
manajemen sektor publik. Salah satu gerakan reformasi sektor publik adalah
dengan munculnya konsep New Public Management (NPM).
Konsep new public management pada awalnya dikenalkan oleh Christopher Hood tahun 1991. Apabila dilihat dari perspektif historis, pendekatan manajemen modern di sektor publik pada awalnya mucul di Eropa tahun 1980-an dan 1990-an sebagai reaksi terhadap tidak memadainya model administrasi publik tradisional. Penekanan NPM pada waktu itu adalah pelaksanaan desentralisasi, devolusi, dan modernisasi pemberian pelayanan publik (Mwita dalam Mahmudi: 2010).
Konsep new public management pada awalnya dikenalkan oleh Christopher Hood tahun 1991. Apabila dilihat dari perspektif historis, pendekatan manajemen modern di sektor publik pada awalnya mucul di Eropa tahun 1980-an dan 1990-an sebagai reaksi terhadap tidak memadainya model administrasi publik tradisional. Penekanan NPM pada waktu itu adalah pelaksanaan desentralisasi, devolusi, dan modernisasi pemberian pelayanan publik (Mwita dalam Mahmudi: 2010).
Seiring perkembangannya,
pendekatan manajerial modern tersebut memiliki banyak sebutan, misalnya:
managerialsm, new pubic management, market-based public management,
post-bureaucratic paradigm, dan entrepreneurial government. Istilah yang
kemudian banyak dipakai dan dikenal adalah new public management. Sebelum
menerapkan konsep NPM, pemerintah menggunakan model administrasi publik yang
lebih menekankan pada birokrasi. New Public Management (NPM) merupakan teori
baru manajemen publik yang beranggapan bahwa praktik manajemen sektor swasta
adalah lebih baik dibandingkan dengan praktik manajemen sektor publik. Hughes,
dkk. dalam Mahmudi: 2010 mengatakan bahwa “Untuk memperbaiki kinerja sektor
publik perlu diadopsi beberapa praktik dan teknik manajemen yang diterapkan di
sektor swasta ke dalam organisasi sektor publik, seperti pengadopsian mekanisme
pasar, kompetisi tender, dan privatisasi perusahaan-perusahaan publik”.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa New public management adalah sebuah konsep manajemen
publik/pemerintahan baru, yang menerapkan praktik kerja sektor privat ke sektor
publik untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas kinerja pemerintah daerah
sehingga akan tercipta welfare society (kesejahteraan masyarakat).“NPM memiliki
doktrin sebagai berikut: berfokus pada manajemen, bukan kebijakan,
debirokratisasi, berfokus pada kinerja dan penilaian kinerja, akuntabilitas
berbasis hasil (results-based accountability), pemecahan birokrasi publik ke
dalam unit-unit kerja: penerapan mekanismae pasar melalui pengontrakan atau
outsourcing untuk membantu perkembangan persaingan di sektor publik,
pemangkasan biaya (cost cutting) dan efisiensi, kompensasi berbasis kinerja
(performance-based pay), dan kebebasan manajer untuk mengelola organisasi”
(Mahmudi: 2010).
Doktrin tersebut semakin menegaskan bahwa NPM sangat terkait dengan semakin pentingnya pelayanan kepada pelanggan/masyarakat (customer sevice), devolusi, reformasi regulasi, reformasi proses anggaran menuju pengangggaran kinerja (performance budgeting), dan accrual budgeting.
Doktrin tersebut semakin menegaskan bahwa NPM sangat terkait dengan semakin pentingnya pelayanan kepada pelanggan/masyarakat (customer sevice), devolusi, reformasi regulasi, reformasi proses anggaran menuju pengangggaran kinerja (performance budgeting), dan accrual budgeting.
Pada akhir tahun 1980an dan
awal tahun 1990an kita melihat munculnya suatu pendekatan manajemen baru di
sektor publik sebagai respon atas kekurangberhasilan model administrasi
tradisional. Pendekatan manajemen baru di sektor publik ini mempunyai berbagai
nama/sebutan, antara lain : Managerialism
(Pollit, 1990) ; New Public Management (Hood, 1991); Market-Based public
Administration (Lan and Rosenbloom, 1992) ; dan Enterpreneurial Government
(Osborne and Gaebler, 1992).
Menurut Owen E.Hughes (1994), ada 6 alasan munculnya
paradigma Public Management yaitu :
1. Administrasi publik tradisional telah
gagal mencapai tujuanynya secara efektif dan efisien sehingga perlu diubah
menuju ke orientasi yang lebih memusatkan perhatian pada pencapaian
hasil(kinerja) dan akuntabilitas;
2. Adanya dorongan yang kuat untuk
mengganti tipe birokrasi klasik yang kaku menuju ke kondisi organisasi public,
kepegawaian, dan pekerjaan yang lebih luwes;
3.
Perlunya menetapkan tujuan organisasi da pribadi secara jelas dan juga perlu
ditetapkan alat ukur keberhasilan kinerja lewat indicator kinerja;
4.
Perlunya para pegawai senior lebih punya komitmen politik pada pemerintah yang
sedang berkuasa daripada bersikap netral atau non partisan;
5.
Fungsi-fungsi yang dijalankan pemerintah hendaknya lebih disesuaikan dengan
tuntutan dan signal pasar; dan
6. adanya kecenderungan untuk mereduksi
peran dan fungsi pemerintah dengan melakukan kontrak kerja dengan pihak lain (contracting
out) dan privatisasi.
Keenam alasan tersebut di
atas, ditambahkan oleh Martin Minogue
(2000) dengan menyebut adanya 3 tekanan yang menyebabkan perlu adanya
perubahan paradigma menuju ke Public management yaitu:
1. Semakin membesarnya anggaran pemerintah
2. Rendahnya mutu kinerja pemerintah
3.
Adanya nilai ideologi yang bersifat konfiktif terhadap perubahan paradigma
pemerintahan
Adanya gelombang perubahan paradigma pemerintahan itu
sendiri merupakan tekanan perubahan tidak hanya karena ia merupakan perubahan
yang fundamental dalam nilai-nilai sector public tetapi juga karena ia
memberikan peluang bagi perumus kebijakan untuk menemukan solusi terhadap
tekanan yang positif (meningkatkan mutu kinerja pemerintah), atau tekanan yang
negative ( mereduksi ukuran dan peran pemerintah).
Sedangkan menurut Owen (1994) :
1. Adanya tekanan yang kuat atas peran sektor public
2. Terjadinya perubahan teori
ekonomi
3. Adanya pengaruh globalisasi terhadap sektor publik
Salah satu sumber teoritis penting dari New Public Management adalah humanisme organisasi. Selama
tiga puluh tahun terakhir, teori administrasi publik telah bergabung dengan di
disiplin ilmu lain dalam menunjukkan pendekatan hirarkis tradisional pada
organisasi sosial yang ketat dalam pandangan mereka tentang perilaku manusia,
dan mereka telah bergabung dalam kritik birokrasi serta mencari pendekatan alternatif
untuk manajemen dan organisasi. Secara kolektif, pendekatan ini telah
berusaha untuk organisasi mode publik kurang didominasi oleh isu-isu kekuasaan
dan kontrol serta lebih memperhatikan kebutuhan dan keprihatinan konstituen
internal dan eksternal.
Sama seperti penulis seperti Dimock, Dahl, dan Waldo
memberikan pandangan secara dengan pandangan yang berlaku pada teori
administrasi publik, penulis seperti Chris Argyris dan Robert Golembiewski
menyediakan perbedaan pandangan yang berlaku dari manajemen organisasi pada
bagian terakhir abad kedua puluh. Dalam buku terdahulu, Kepribadian dan
Organisasi, Argyris mengeksplorasi dampak dari praktek-praktek manajemen
tradisional pada perkembangan psikologis individu dalam organisasi yang
kompleks. Argyris mencatat bahwa studi tentang kepribadian manusia
menunjukkan bahwa orang tumbuh dari bayi sampai dewasa pindah dari pasif ke
aktivitas, dari ketergantungan menuju kemandirian, dari berbagai perilaku
terbatas ke rentang yang lebih besar, dari dangkal sampai kepentingan yang
lebih dalam, dari perspektif yang lebih pendek ke waktu yang lebih lama, dari
posisi bawahan ke posisi kesetaraan atau super-ordinasi, dan dari kurangnya
kesadaran pada kesadaran yang lebih besar (1957, 50). Sebaliknya, Argyris melihat
sebagai praktek manajemen standar waktu itu (dan orang dapat berargumentasi
bahwa mereka tidak berubah banyak bahkan sampai hari ini) tampaknya menghambat
perkembangan karyawan daripada meningkatkan. Sebagai contoh, dalam kebanyakan
organisasi, orang memiliki kendali yang relatif sedikit di atas pekerjaan
mereka. Dalam banyak kasus, mereka diharapkan harus tunduk, tergantung, dan
terbatas pada apa yang bisa mereka lakukan. Pengaturan tersebut pada akhirnya
menjadi bumerang, Argyris berpendapat, karena membatasi kontribusi karyawan
untuk berbuat dalam organisasi. Dalam rangka mempromosikan dan meningkatkan
pertumbuhan individu serta kinerja organisasi, Argyris mencari pendekatan untuk
manajemen di mana manajer akan mengembangkan dan menggunakan "keterampilan
dalam kesadaran diri, dalam mendiagnosis efektif, dalam membantu individu
tumbuh dan menjadi lebih kreatif, [dan] di mengatasi bergantung orientasi.....
karyawan "(Argyris 1962, 213). Pekerjaan Argyris yang matang, ia
semakin berfokus pada cara-cara mana organisasi bisa bergerak, dalam arah ini
melalui program perubahan terencana yang dikenal sebagai "pengembangan
organisasi."
Kami harus mencatat bahwa ide-ide Argyris yang berseberangan
langsung dengan model rasional yang berlaku pada administrasi, diartikulasikan
paling jelas, seperti yang kita lihat, Herbert Simon. Memang, pada tahun 1973,
Argyris menggunakan Review Administrasi Publik untuk menjelajahi beberapa
keterbatasan dari model rasional (Argyris 1973). Argyris mulai dengan menunjukkan
bahwa model rasional Simon sangat mirip dengan teori administrasi tradisional,
di mana manajemen mendefinisikan tujuan organisasi dan tugas-tugas yang akan
dilakukan, serta pelatihan, bermanfaat, dan menghukum semua karyawan dalam
kerangka
struktur piramidal formal di mana otoritas mengalir dari atas ke bawah. Simon menambahkan untuk model ini adalah fokus pada perilaku rasional, yaitu, perilaku yang dapat didefinisikan dalam hal sarana dan tujuan. (Sekali lagi, dalam pandangan ini "rasional" tidak peduli dengan konsep-konsep filosofis yang luas seperti kebebasan atau keadilan, tetapi lebih pada bagaimana orang efisien dapat menyelesaikan pekerjaan organisasi.) Mengingat penekanan ini, model rasional berfokus pada "yang konsisten, terprogram, terorganisir, kegiatan berpikir manusia, "memberi" keutamaan untuk perilaku yang berhubungan dengan tujuan, "dan menganggap" tujuan tanpa bertanya bagaimana ia telah mengembangkan "(Argyris 1973, 261).
struktur piramidal formal di mana otoritas mengalir dari atas ke bawah. Simon menambahkan untuk model ini adalah fokus pada perilaku rasional, yaitu, perilaku yang dapat didefinisikan dalam hal sarana dan tujuan. (Sekali lagi, dalam pandangan ini "rasional" tidak peduli dengan konsep-konsep filosofis yang luas seperti kebebasan atau keadilan, tetapi lebih pada bagaimana orang efisien dapat menyelesaikan pekerjaan organisasi.) Mengingat penekanan ini, model rasional berfokus pada "yang konsisten, terprogram, terorganisir, kegiatan berpikir manusia, "memberi" keutamaan untuk perilaku yang berhubungan dengan tujuan, "dan menganggap" tujuan tanpa bertanya bagaimana ia telah mengembangkan "(Argyris 1973, 261).
Pandangan seperti gagal untuk mengakui berbagai pengalaman
manusia, kenyataan bahwa orang-orang bertindak secara spontan, bahwa mereka
mengalami kekacauan dan ketidakpastian dalam hidup mereka, dan bahwa mereka
bertindak atas perasaan dan emosi yang jauh dari rasional. Selain itu,
karena pertumbuhan manusia bukanlah proses sepenuhnya rasional, organisasi
yang dibangun pada model ini tidak akan mendukung pertumbuhan, pengembangan,
dan "aktualisasi diri" individu. Sebaliknya model rasional akan
memberikan preferensi kepada perubahan-perubahan yang akan meningkatkan
rasionalitas (efisiensi) dari organisasi. Perubahan-perubahan mungkin akan
sangat konservatif, memperkuat status quo dengan berfokus "lebih pada
apa yang daripada yang dari apa yang mungkin" (Argyris 1973, 261).
Berbeda dengan pandangan ini, Argyris mendesak perhatian yang lebih besar untuk
"keaslian individu, moralitas, (dan) aktualisasi diri manusia,"
atribut yang terkait dengan "sisi manusia pada perusahaan" (253).
Di bidang administrasi publik, pengembangan organisasi (OD)
perspektif telah dieksplorasi lebih menyeluruh oleh Robert Golembiewski. Dalam
karya awal, Pria, Manajemen, dan Moralitas (1967), Golembiewski mengembangkan kritik
terhadap teori tradisional organisasi, dengan penekanan mereka di otoritas
atas-bawah, kontrol hirarkis, dan standar prosedur operasional, dengan alasan
bahwa pendekatan seperti mencerminkan ketidakpekaan terhadap sikap moral dari
individu, khususnya pertanyaan tentang kebebasan individu. Sebaliknya,
Golembiewski mencari cara untuk "memperbesar area kebijaksanaan terbuka
kepada kita dalam mengatur dan meningkatkan kebebasan individu" (1967,
305). Setelah perspektif OD, Golembiewski mendesak manajer untuk menciptakan
iklim pemecahan masalah terbuka melalui organisasi sehingga anggota dapat
menghadapi masalah, bukan bertengkar tentang atau melarikan diri dari mereka.
Dia mendorong mereka untuk membangun kepercayaan antara individu-individu dan
kelompok di seluruh organisasi, untuk melengkapi atau bahkan menggantikan peran
otoritas atau status dengan otoritas pengetahuan dan kompetensi. Dia
menyarankan bahwa pengambilan keputusan dan pemecahan masalah tanggung jawab
berada sedekat mungkin dengan sumber informasi dan untuk membuat kompetisi, di
mana ia ada, memberikan kontribusi untuk tujuan pertemuan bekerja sebagai lawan
kompetisi menang-kalah. Dia mengatakan ide itu untuk memaksimalkan
kolaborasi antara individu dan unit-unit yang bekerja adalah saling tergantung
dan untuk mengembangkan sistem penghargaan yang mengakui baik pencapaian misi
organisasi dan pertumbuhan serta pengembangan anggota organisasi. Manajer
harus bekerja, katanya, untuk meningkatkan kontrol diri dan pengarahan diri
sendiri untuk orang-orang dalam organisasi, untuk menciptakan kondisi di mana
konflik muncul dan dikelola secara tepat dan positif, dan untuk meningkatkan
kesadaran proses kelompok dan konsekuensinya untuk kinerja (Denhardt 1999,
405).
Menariknya, Golembiewski, seperti Argyris, lebih humanistik
pandangan organisasi dengan model pilihan rasional, dalam hal ini melalui
kritik dari model pilihan publik. Golembiewski pertama berpendapat bahwa asumsi
rasionalitas klasik adalah membangun metodologi yang sama sekali tidak
mencerminkan realitas (suatu titik yang bahkan teori pilihan publik mengakui).
Orang-orang tidak selalu bertindak rasional atau bahkan perilaku
rasional perkiraan. Untuk dasar teori pilihan pada asumsi bahwa yang mereka
lakukan, berarti bahwa seseorang terbatas pada proposisi-proposisi logis tentang
bagaimana orang akan berperilaku jika mereka tidak bertindak secara rasional.
Pandangan demikian, Golembiewski berpendapat, mengabaikan pertimbangan politik
atau emosional penting, yang harus diperhitungkan dalam mengembangkan teori
yang menyeluruh tentang perilaku manusia. Jika tidak, orang bisa menyimpulkan,
dengan Norton panjang, bahwa teori pilihan publik "berdebat dengan logika
elegan dan sempurna tentang unicorn" (dikutip dalam Golembiewski 1977,
1492).
Kontribusi penting lainnya untuk membangun organisasi yang
lebih humanistik dalam sektor publik dibuat oleh sekelompok sarjana secara
kolektif dikenal sebagai New Public Management, pada dasarnya mitra
administrasi publik untuk akhir tahun enam puluhan / awal tujuh gerakan radikal
dalam masyarakat umumnya dan di lain disiplin ilmu sosial . Sementara
Administrasi Publik Baru, pernah ada gerakan yang sangat koheren, dengan
kontributor yang sering berbeda secara substansial satu dengan sama lain,
beberapa ide yang berhubungan dengan New Public Management adalah penting untuk
diingat. Tentu sehubungan dengan masalah humanisme organisasi, beberapa sarjana
selama periode yang menekankan kebutuhan untuk mengeksplorasi alternatif untuk
model top-down tradisional, hirarki organisasi birokrasi. Mendakwa model lama
untuk objektifikasi dan depersonalisasi anggota organisasi dan menyerukan untuk
model yang dibangun di sekitar keterbukaan, kepercayaan, dan komunikasi yang
jujur, para sarjana ini membahas alternatif dengan nama seperti
"organisasi dialektis" dan "model consociated."
Denhardt menaruhnya dalam bukunya Dalam Bayangan Organisasi:
"Penciptaan pengaturan di mana kreativitas dan dialog dapat terjadi, di
mana kebersamaan dan menghormati kontribusi baik untuk pertumbuhan individu dan
pengembangan serta memungkinkan kelompok-kelompok dan organisasi untuk
menangani lebih efektif dan bertanggung jawab dengan kompleksitas lingkungan,
merupakan upaya yang dimulai dengan tindakan individu "(1981, xii).
Kami harus mencatat bahwa teori New Public Management
berkontribusi pada sudut pandang lain setuju pada pembahasan utama administrasi
publik. Secara khusus, ada argumen untuk administrator memainkan peran yang
lebih aktif dalam pengembangan kebijakan publik daripada yang sebelumnya telah
terjadi, sebagian karena kompleksitas masalah-masalah kontemporer diperlukan
keahlian administrator terlatih secara profesional dan spesialis yang terkait
teknis, dan dalam sebagian hanya karena "seseorang harus menghadapi
tantangan." Ada pengakuan yang lebih eksplisit dan diskusi tentang peran
nilai-nilai dalam administrasi publik. Misalnya, George Frederickson,
Administrasi Publik Baru, berpendapat atas nama keadilan sosial sebagai konsep
pedoman dalam keputusan administratif dan politik dibuat, "Ini adalah kewajiban
pelayan publik untuk dapat mengembangkan dan mempertahankan kriteria dan ukuran
ekuitas dan untuk memahami dampak dari pelayanan publik pada martabat dan
kesejahteraan warga negara "(1980, 46). Pada dasarnya, memberikan
solusi yang adil untuk masalah publik tidak hanya melibatkan dan menawarkan
layanan yang sama untuk semua tetapi tingkat pelayanan yang lebih besar kepada
mereka yang membutuhkan yang lebih besar. Frederickson berpendapat bahwa administrasi
publik tidak netral dan tentu saja tidak harus dinilai dengan kriteria
efisiensi saja. Sebaliknya, konsep-konsep seperti kesetaraan, keadilan,
dan responsif juga harus dicapai.
Konsepsi Teori
New Public Management
Pada dasarnya public management, yaitu instansi
pemerintah. Overman dalam Keban (2004 : 85), mengemukakan bahwa manajemen
publik bukanlah “scientific management”,meskipun sangat dipengaruhi oleh
“scientific management”. Manajemen publik bukanlah “policy analysis’,
bukanlah juga administrasi publik, merefleksikan tekanan-tekanan antara
orientasi “rational-instrumental” pada satu pihak, dan orientasi politik
kebijakan dipihak lain. Public management adalah suatu studi
interdisipliner dari aspek-aspek umum organisasi, dan merupakan gabungan antara
fungsi manajemen seperti planning, organizing, dan controlling satu
sisi, dengan SDM, keuangan, fisik, informasi dan politik disisi lain.
Berdasarkaan pendapat Overman tersebut, OTT, Hyde dan Shafritz (1991:xi),
mengemukakan bahw manajemen publik dan kebijakan publik merupakan dua bidang
administrasi publik yang tumpang tindih. Tapi untuk membedakan keduanya secara
jelas maka dapat dikemukakan bahwa kebijakan publik merefleksikan sistem otak
dan syaraf, sementara manajemen publik mempresentasikan sistem jantung dan
sirkulasi dalam tubuh manusia. Dengan kata manajemen publik merupakan proses
menggerakkan SDM dan non SDM sesuai perintah kebijakan publik.
J. Steven Ott,
Albert C. Hyde dan Jay M. Shafritz (1991), berpendapat bahwa dalam tahun
1990an, manajemen publik mengalami masa transisi dengan beberapa isu terpenting
yang akan sangat menantang, yaitu: (1) privatisasi sebagai suatu alternatif
bagi pemerintah untuk memberikan pelayanan publik, (2) rasionalitas dan
akuntabilitas, (3) perencanaan dan kontrol, (4) keuangan dan penganggaran, dan
(5) produktivitas sumber daya manusia. Isu-isu ini telah menantang sekolah atau perguruan tinggi yang
mengajarkan manajemen publik atau administrasi publik untuk menghasilkan calon
manajer publik profesional yang kualitas tinggi, dan penataan sistem manajemen
yang lebih baik.
Sedangkan Owen
E.Hughes(1994), menyajikan dalam Public Management And Administration ,
bahwa pada awal tahun 1990an kita telah menyaksikan adanya suatu transformasi
dalam tubuh sektor publik di negara-negara maju, yaitu suatu perubahan bentuk
administrasi publik dari yang kaku, hierarkhis, dan birokratis menuju ke bentuk
manajemen publik yang lebih fleksibel, dan berbasis pasar. Ini bukanlah sekedar
perubahan kecil tentang gaya manajemen tetapi perubahan mendasar tentang peran
pemerintah dalam masyarakat dan hubungan antara pemerintah dengan warganya.
Administrasi publik tradisional telah dikritik baik secara teoritik maupun
praktis sehingga memunculkan paradigma baru yang kemudian dikenal dengan
istilah Public Management And New
Public Management.
Doktrin
utama Public Management adalah :
1. Fokus utamanya pada aktivitas manajemen, penilaian kinerja dan efisiensi,
bukan pada kebijakan;
2. Memecah birokrasi publik ke dalam agensi-agensi (unit-unit) dibawah yang
terkait langsung dengan pemakai pelayanan;
3. Pemanfaatan ‘pasar-semu’ dan ‘kontrak kerja’ untuk menggalakkan persaingan;
4.
Pengurangan
anggaran pemerintah;
5. Penggunaan gaya manajemen yang lebih menekankan pada sasaran akhir, kontrak
jangka pendek, insentif anggaran, dan kebebasan melaksanakan manajemen.
Berdasarkan hal-hal di atas maka Public Management dapat
diartikan sebagai bagian yang sangat penting dari administrasi publik (yang
merupakan bidang kajian yang lebih luas), karena administrasi publik tidak membatasi
dirinya hanya pada pelaksanaan manajemen pemerintahan saja tetapi juga mencakup
aspek politik, sosial, kultural, dan hukum yang
berpengaruh pada lembaga-lembaga publik. Dan Public Management berkaitan
dengan fungsi dan proses manajemen yang berlaku baik pada sektor publik
(pemerintahan) maupun sektor diluar pemerintahan yang tidak bertujuan mencari
untung (nonprofit sector). Organisasi publik melaksanakan kebijakan
publik. Public Management memanfaatkan fungsi-fungsi : perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan sebagai sarana untuk mencapai
tujuan publik, maka berarti ia memfokuskan diri pada the managerial tools,
techniques, knowledges and skills yang dipakai untuk mengubah kebijakan
menjadi pelaksanaan program.
Paradigma New Public
Management
Menurut Asmawi Rewansyah (2010),
berawal dari kenyataan bahwa birokrasi pemerintahan yang terlalu besar, boros,
inefisien dan merosotnya kinerja pelayanan publik, Ronald Reagan (Presiden
Amerika Serikat) mengeluarkan pernyataan bahwa “government is not solution
to our problem, government is the problem”. Kata administrasi dirasakan
kurang agresif, maka digunakan kata manajemen (bisnis/privat) guna
mentransformasi prinsip-prinsip bisnis atau wirausaha kedalam sektor publik.
Kemudian paradigma ini lebih dikenal dengan New Public Management
(NPM) yang melihat bahwa paradigma Old Public Administration
(OPA) kurang efektif dalam memecahkan masalah dan dalam memberi
pelayanan publik, termasuk membangun warga masyarakat. Konsep dan strategi
pemangkasan birokrasi (banishing bureaucracy), sebagai opersionalisasi
dari Reinventing Government.
Osborne & Plastrik (1997) mengemukakan makna mewirausahakan/ reinventing, sebagai transformasi fundamental terhadap sistem dan organisasi sektor publik untuk menciptakan peningkatan secara menakjubkan dalam hal efektivitas, efisiensi, adaptabilitas dan kapasitasnya untuk berinovasi. Tranformasi tersebut intinya bagaimana membangun sektor publik yang bersifat “self renewing system” dengan pendekatan prinsip-prinsip bisnis (wirausaha).
Banishing bureaucracy berisi 5 strategi untuk melaksanakan prinsip Reinventing Government yang bernama “The Five C’S” yaitu :
Osborne & Plastrik (1997) mengemukakan makna mewirausahakan/ reinventing, sebagai transformasi fundamental terhadap sistem dan organisasi sektor publik untuk menciptakan peningkatan secara menakjubkan dalam hal efektivitas, efisiensi, adaptabilitas dan kapasitasnya untuk berinovasi. Tranformasi tersebut intinya bagaimana membangun sektor publik yang bersifat “self renewing system” dengan pendekatan prinsip-prinsip bisnis (wirausaha).
Banishing bureaucracy berisi 5 strategi untuk melaksanakan prinsip Reinventing Government yang bernama “The Five C’S” yaitu :
- Core Strategy (Strategi inti). Menata kembali secara jelas mengenai tujuan, peran, dan arah organisasi.
- Consequence Strategy(Strategi Konsekuensi). Strategi yang mendorong “persaingan sehat” guna meningkatkan motivasi dan kinerja pegawai, melalui penerapan Reward and Punishment dengan memperhitungkan resiko ekonomi dan pemberian penghargaan.
- Customer strategy (Strategi pelanggan). Memusatkan perhatian untuk bertanggung jawab terhadap pelanggan. Organisasi harus menang dalam persaingan dan memberikan kepastian mutu bagi pelanggan.
- Control strategy (Strategi kendali). Merubah lokasi dan bentuk kendali dalam organisasi. Kendali dialihkan kepada lapisan organisasi paling bawah yaitu pelaksana atau masyarakat. Kendali organisasi dibentuk berdasarkan visi dan misi yang telah ditentukan. Dengan demikian terjadi proses pemberdayaan organisasi, pegawai, dan masyarakat.
- Cultural strategy(Strategi Budaya). Merubah budaya kerja organisasi yang terdiri dari unsur-unsur kebiasaan, emosi dan psikologi, sehingga pandangan masyarakat terhadap budaya organisasi publik ini berubah (tidak lagi memandang rendah).
Paradigma NPM dipandang sebagai pendekatan dalam
administrasi publik dengan menerapkan pengetahun dan pengalaman yang diperoleh
dari dunia bisnis dan disiplin lain untuk memperbaiki efektivitas, efisiensi,
dan kinerja pelayanan publik pada birokrasi modern.
Ketika muncul pertama kali, NPM hanya meliputi lima doktrin, yaitu : (1) penerapan deregulasi pada line management; (2) konversi unit pelayanan publik menjadi organisasi yang berdiri sendiri; (3) penerapan akuntabilitas berdasarkan kinerja terutama melalui kontrak antara regulator dengan operator; (4) penerapan mekanisme kompetensi seperti melakukan kontrak (contracting out), dan (5) memperhatikan mekanisme pasar (market oriented).
Pelajaran penting yang dapat diambil dari NPM ini adalah bahwa pembangunan birokrasi harus memperhatikan mekanisme pasar, mendorong kompetisi dan kontrak untuk mencapai hasil, harus lebih responsif terhadap kebutuhan pelanggan, harus lebih bersifat mengarahkan (steering) dari pada menjalankan sendiri (rowing), harus melakukan deregulasi, memberdayakan para pelaksana agar lebih kreatif, dan memekankan budaya organisasi yang lebih fleksibel, inovatif, berjiwa wirausaha dan pencapaian hasil ketimbang budaya taat asas, orientasi pada proses dan input (Rosenbloom & Kravchuck, 2005).
Ketika muncul pertama kali, NPM hanya meliputi lima doktrin, yaitu : (1) penerapan deregulasi pada line management; (2) konversi unit pelayanan publik menjadi organisasi yang berdiri sendiri; (3) penerapan akuntabilitas berdasarkan kinerja terutama melalui kontrak antara regulator dengan operator; (4) penerapan mekanisme kompetensi seperti melakukan kontrak (contracting out), dan (5) memperhatikan mekanisme pasar (market oriented).
Pelajaran penting yang dapat diambil dari NPM ini adalah bahwa pembangunan birokrasi harus memperhatikan mekanisme pasar, mendorong kompetisi dan kontrak untuk mencapai hasil, harus lebih responsif terhadap kebutuhan pelanggan, harus lebih bersifat mengarahkan (steering) dari pada menjalankan sendiri (rowing), harus melakukan deregulasi, memberdayakan para pelaksana agar lebih kreatif, dan memekankan budaya organisasi yang lebih fleksibel, inovatif, berjiwa wirausaha dan pencapaian hasil ketimbang budaya taat asas, orientasi pada proses dan input (Rosenbloom & Kravchuck, 2005).
New Public Management (NPM) adalah konsep “payung”, yang
menaungi serangkaian makna seperti desain organisasi dan manajemen, penerapan
kelembagaan ekonomi atas manajemen publik, serta pola-pola pilihan kebijakan.
Telah muncul sejumlah debat seputar makna asli dari NPM ini. Namun, di antara
sejumlah perdebatan itu muncul beberapa kesamaan yang dapat disebut sebagai
prinsip atau paradigm dari NPM, yang meliputi:
- Penekanan pada manajemen keahlian manajemen professional dalam mengendalikan organisasi;
- Standar-standar yang tegas dan terukur atas performa organisasi, termasuk klarifikasi tujuan, target, dan indikator-indikator keberhasilannya;
- Peralihan dari pemanfaatan kendali input menjadi output, dalam prosedur-prosedur birokrasi, yang kesemuanya diukur lewat indikator-indikator performa kuantitatif;
- Peralihan dari system manajemen tersentral menjadi desentralistik dari unit-unit sektor publik;
- Pengenalan pada kompetisi yang lebih besar dalam sektor publik, seperti penghematan dana dan pencapaian standar tinggi lewat kontrak dan sejenisnya;
- Penekanan pada praktek-praktek manajemen bergaya perusahaan swasta seperti kontrak kerja singkat, pembangunan rencana korporasi, dan pernyataan misi; dan
- Penekanan pada pemangkasan, efisiensi, dan melakukan lebih banyak dengan sumber daya yang sedikit.1
Penekanan pertama, yaitu keahlian manajemen professional,
mensugestikan top-manager (presiden, menteri, dirjen) harus mengendalikan
organisasi-organisasi publik secara aktif dengan cara yang lebih bebas dan
fleksibel. Top-top manager ini tidak lagi berlindung atas nama jabatan, tetapi
lebih melihat organisasi yang dipimpinnya sebagai harus bergerak secara leluasa
bergantung pada perkembangan sektor publik itu sendiri. Sebab itu, para top
manager harus punya skill manajerial professional dan diberi keleluasaan dalan
memanage organisasinya sendiri, termasuk merekrut dan member kompensasi pada
para bawahannya.
Lalu, penekanan pada aspek orientasi output menghendaki para
staf bekerja sesuai target yang ditetapkan. Ini berbalik dengan OPM yang
berorientasi pada proses yang bercorak rule-governed. Alokasi sumber daya dan
reward atas karyawan diukur lewat performa kerja mereka. Juga, terjadi evaluasi
atas program serta kebijakan dalam NPM ini.
Sebelum berlakunya NPM, output kebijakan memang telah
menjadi titik perhatian dari pemerintah. Namun, perhatian atas output ini
tidaklah sebesar perhatian atas unsure input dan proses. Ini akibat sulitnya
pengukuran keberhasilan suatu output yang juga ditandai lemahnya control
demokratis atas output ini. NPM justru menitikberatkan aspek output dan sebab
itu menghendaki pernyataan yang jernih akan tujuan, target, dan indikator-indikator
keberhasilan.
Orientasi New Public Management
Secara khusus, NPM hendak mengukur
apa yang sudah dilakukan oleh sektor publik pemerintah. Pengukuran salah
satunya dilakukan atas kepuasan warganegara atas layanan yang diberikan
pemerintah. Juga pelayanan yang melibatkan partisipasi publik meski dalam skala
pasif saja.
Asumsi format demokrasi konvensional adalah input diyakini
mampu mengontrol output sektor publik. Juga, input diyakini mampu menghasilkan
program-program yang memang dibutuhkan masyarakat. Cara pandang NPM tampak
relatif baru, tetapi sesungguhnya telah berlaku sekurang-kurang selama beberapa
dekade. Pola-pola korporatisme negara, khususnya pluralisme korporatis di
negara-negara Skandinavia (Swedia, Finlandia, Norwegia) juga memberi kesempatan
bagi partisipasi politik di sisi output kebijakan (sektor publik) dan mampu
melengkapi jenis partisipasi politik konvensional semacam voting dan pelibatan
diri dalam partai politik.
Hasil yang diharapkan dari skema baru hubungan demokrasi dan
birokrasi adalah, kontrol terhadap pejabat publik lebih terkonsentrasi di
tingkat pelaksana. Bukan lagi di tingkat pemilihan calon pejabat tatkala
pemilu. Namun, ini tentu tanpa mengabaikan penjagaan kualitas penyelenggaraan
pemilu, termasuk caleg/capres.
NPM ini telah mengalami berbagai perubahan orientasi
menurut Ferlie, Ashbuerner, Filzgerald dan Pettgrew dalam Keban (2004 : 25),
yaitu:
1.
Orientasi The Drive yaitu mengutamakan nilai efisiensi dalam
pengukuran kinerja.
2. Orientasi Downsizing and Decentralization
yaitu mengutamakan penyederhanaan struktur, memperkaya fungsi dan
mendelegasikan otoritas kepada unit-unit yang lebih kecil agar dapat berfungsi
secara cepat dan tepat.
3. Orientasi in
Search of Excellence yaitu mengutamakan kinerja optimal dengan memanfaatkan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
4. Orientasi Public
Service yaitu menekankan pada kualitas, misi dan nilai-nilai yang hendak
dicapai organisasi publik, memberikan perhatian yang lebih besar kepada
aspirasi, kebutuhan dan partisipasi “user” dan warga masyarakat,
termasuk wakil-wakil mereka menekankan “social learning” dalam pemberian
pelayanan publik dan penekanan pada evaluasi kinerja secara berkesinambungan,
partisipasi masyarakat dan akuntabilitas.
Karakteristik
Public Management
M.Minougue (2000) paling tidak menyebut adanya 5 karakteristik utama Public
Management, yaitu:
1. A
separation of strategic policy from operational management. Public management lebih banyak terkait dengan tugas-tugas
operasional pemerintahaan dari pada peran perumusan kebijakan.
2. A concern with
results rather than process and procedure. Public management lebih berkonsentrasi pada upaya mencapai tujuan daripada
upaya berkutat dengan proses dan prosedur. 3. An orientation the needs of customer
rather than those of bureaucratic organizations. Public management lebih
banyak berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pelanggan dari pada kebutuhan
birikrasi.
4. A withdrawal from
direct service provision in favour of a steering or enabling role. Public
management menghindarkan diri dari berperan memberikan pelayanan langsung
kepada masyarakat sesuai dengan peran nutamanya memberikan arahan saja atau
pemberdayaan kepada masyarakat.
5. A trans formed
bureaucratic culture/ A change to entrepreneurial management culture. Public
management mengubah diri dari budaya birokrasi.
Menurut C.Hood (1991) terdapat 7
karakteristik New Public Management, yaitu:
1. Hands-on
professional management. Pelaksanaan tugas manajemen pemerintahaan
diserahkan kepada manajer professional.
2. Explicit standards
and measures of performance. Adanya standar dan ukuran
kinerja yang jelas.
3. Greater emphasis
on out put controls. Lebih ditekankan pada
control hasil/keluaran.
4. A shift to desegregations of units in
the public sector. Pembagian tugas ke dalam unit-unit yang dibawah.
5. A shift to greater competition in the
public sector. Ditumbuhkannya persaingan ditubuh sektor publik.
6. A stress on private sectore styles of
management practice. Lebih menekankan diterapkannya gaya manajemen sektor
privat.
7. A stress on greater discipline and
parsimony in resource use. Lebih menekankan pada kedisiplinan yang tinggi
dan tidak boros dalam menggunakan berbagai sumber. Sektor publik seyogjanya
bekerja lebih keras dengan sumber-sumber yang terbatas (to do more with less).
Arah Public Management
Dalam rangka meningkatkan kinerja sektor publik. Public management diarahkan kegiatannya pada:
1. Melakukan restrukturisasi sektor publik lewat
proses privatisasi.
2.
Melakukan restrukturisasi dan merampingkan struktur dinas sipil di
pusat.
3.
Memperkenalkan nilai-nilai persaingan khususnya lewat pasar internal dan
mengkontrakkan pelayanan public kepada pihak swasta dan intervensi oleh
pemerintah.
4.
Meningkatkan efisiensi lewat pemeriksaan dan pengukuran kinerja.
Tujuan Public Management
Tujuan dari Public Management adalah:
1. Menurut Rainey (1990): ‘public management aims to
achieve skills and improve skills and improve accountability’ Manajemen publik
itu ditujukan untuk meningkatkan tercapainya tujuan sektor publik (lebih
efektif dan efisien), pegawainya lebih berkeahlian dan lebih mampu
mempertanggungjawabkan kinerjanya.
2. Menurut Graham & Hays (1991): “public managemen are
concerned with efficiency,accountability,goal achlevement and dozen of other
managerial and technical question”, Manajemen publik itu bertujuan untuk menjadikan sector
public lebih efisien, akuntabel, dan tujuannya tercapai serta lebih mampu
menangani berbagai masalah manajerial dan teknis.
Tahap
Perkembangan Public Management
Paling tidak ada empat tahap perkembangan manajemen publik disebuah negara
maju (Inggris) yang meliputi:
1.
The Minimal State
Negara
mini, atau peran pemerintah paling minimal, merupakan perkembangan tahap awal
dari manajemen publik. Menurut Owen (1965) pelayanan sectok publik di Ingggis
mayoritas diletakkan pada sektor karitas (charitable sector) atau
penyediaan pelayanan oleh sektor swasta. Minimal state bukan berarti tidak ada
peran negara sama sekali. Dulu memang penyediaan dan pelayanan atas barang dan
jasa publik itu adalah merupakan prinsip dasar dalam administrasi publik.
2. Unequal Partnership
between Government and The Charitable and Private Sectors.
Dimulai
pada abad ke 20 yang ditandai dengan perubahan ideologi dari konservatisme
tradisional dari abad ke 19 menuju reformisme social di abad ke 20 yang berisi
tiga unsur:
a. Bahwa
masalah sosial dan ekonomi tidak lagi difokuskan pada isi individual tetapi
pada isu sosial yang menyangkut setiap orang.
b. Adanya
pengakuan bahwa negara punya peran penting paling sedikit dalam penyediaan
pelayanan kepada publik.
c. Bahwa dimana
negara tidak dapat menyediakan pelayanan kepada public maka sektor karitas dan
swasta diundang sebagai upaya kemitraan.
3.
The Welfare State
Model ini berjalan antara
tahun 1945-1980, yang melandasi adalah keyakinan bahwa penyediaan pelayanan
yang dilaksanakan oles sector karitas dan swasta telah gagal karena adanya
fragmentasi dan duplikasi peran penyedia pelayanan, serta adanya ketidak
efisienan dan keefektifan pengelolaan pelayanan kepada publik. Konsekuensinya,
semua kebutuhan akan pelayanan public ditangani oleh pemerintah mulai dari yang
sederhana sampai yang besar. Pelayanan ini dikelola oleh para kader
professional dari dinas publik dengan cara yang profesional dan objektif.
4. The Plural State
Model ini berjalan sejak
tahun 1970an sampai sekarang, dimana partai konservatif di inggris mulai
melontarkan kritik atas konsep ngara kesejahteraan yag dinilai tidak mampu memberikan
kepuasan pada warganya. Yang menjadi acuan utama model plural state adalah
karena model ini dinilai terlampau memusatkan diri pada nilai-nilai ekonomi dan
pemotongan anggaran daripada penyediaan pelayanan yang efektif dan melebihkan
superioritas sekor swasta serta teknik manajemen swasta diatas kemampuan sekor
publik dan administrasi publik.
Perkembangan manajemen publik paling tidak dipengaruhi
oleh beberapa pandangan yaitu:.
1. Manajemen Normatif
Menggambarkan
apa yang sebaiknya dilakukan oleh seorang manajer dalam proses manajemen.
2. Manajemen Deskriptif
Menggambarkan
apa yang kenyataan yang dilakukan oleh manajer ketika menjalankan tugasnya.
3. Manajemen Stratejik
Menggambarkan
suatu cara memimpin organisasi untuk mencapai misi, tujuan dan sasaran.
4. Manajemen Publik
Menggambarkan
apa yang sebaiknya dilakukan dan senyatanya pernah dilakukan oleh para manajer
public di instansi pemerintah.
5. Manajemen Kinerja
Mengganbarkan
bagaimana merancang untuk meningkatkan kinerja organisasi
Public Management vs Governance
Tema sentral dalam manajemen public adalah upaya
mereformasi sector public agar tujuan padat dicapai lebih efektif,efesien dan
ekonomis,semata-mata hanya menunjukan kepada kita tentang hubungan antara
Negara (the state) dan pasar (the market) dan tekanan lebih
eksplisit ditujukan pada adanya dominasi preferensi individu terhadap
penyediaan barang dan jasa atas preferensi kolektif. Kita perlu menyadari bahwa
pemerintahan yang modern itu bukan hanya sekedar mencapai tujuan efisiensi
tetapi tentang hubungan akuntabilitas terhadap Negara dengan warga Negara nya
yaitu warga meminta agar tidak diperlakukan hanya sebagai konsumen dan
pelanggan tetapi mereka juga memiliki hak untuk menuntut pemerintahannya
bertanggung jawab atas tindakan yang diambil atau kegagalan dalam bertindak
/melakukan sesuatu.
Warga Negara menghendaki pemberian pelayanan yang efisien
,pengenaan pajak yang rendah dsb,tetapi mereka juga menginginkan agar
hak-haknya dilindungi,suaranya didengar,nilai-nilai dan preferensinya dihargai
sanksi mutlak yang ada ditangan warga Negara atas rendahnya mutu pelayanan yang
diperoleh adalah dengan menolak dan menuntut mundur kepada mereka yang secara
politis bertanggung jawab atas penyediaan pelayanan yang bermutu rendah dan tidak
sesuai dengan kebutuhan warga Negara. Penyediaan anggaran yang cukup,persaingan
,penetapan standar mutu kerja dsb. Mungkin dibutuhkan untuk mewujudkan
manajemen yang baik dan pemanfaatan sumber-sumber yang efisien, tetapi bila
upaya perbaikan ini menghasilkan pelayanan yang tidak sesuai dengan harapan
warga,maka warga sebagai pemilih dalam pemilu akan berontak dan tidak memilih
nya lagi.
Bagi warga Negara yang paling penting adalah terciptanya
hukum yang adil dan ketertiban sosial, yang hal lain itu hanya bisa dilakukan
oleh pemerintahan yang sah kuat. Istilah “Governance” merefleksikan
proses penyelenggaraan pemerintah yang baik. Konsep “Governance”
tidaklah dimaksudkan untuk menggantikan konsep “New Public Management”,akan
tetapi lebih menekankan kesadaran kita bahwa pemerintahan yang baik itu adalah
pemerintahan yang memenuhi 4 persyaratan utama yaitu:
1. Yang kuat legitiminasinya
2. Akuntabel
3. kompeten
4. Respek terhadap hukum dan
hak-hak azasi manusia
Oleh karena itu “New Public
Management” itu merupakan bagian dari strategi yang lebih luas tentang “Good
Governance”. Teori penyelenggaraan pemerintahan (governance theory)
didasarkan atas pandangan R.A.W.Rhodes,1996 dan G.Stoker,(1998)
Perbedaan Makna Government
dan Governance
GOVERNMENT berbeda pemaknaannya dengan GOVERNANCE
. Menurut Stoker istilah ’government’ menunjukan pada :
- the formal institutions
of state,
- monopoly of legitimate
coercive power,
- its ability to make
decisions and its capacity to enforce them,
- the formal and
institutional processes which operate at the level of the nation state to
maintain public order and facilicate collective action.
Selanjutnya menurut
Rhodes,istilah ‘governance’ menunjukan pada:
- a chance in the meaning
of government
- referring a new process
of governing
- a changed condition of
ordered rule
- the new method by which
society is governed.
Stoker memandang perbedaan government
dan governance hanya pada prosesnya (styles of governing)
bukan pada outputnya. Akhirnya Stoker dan pakar yang lainnya setuju untuk
menyatakan bahwa: “Governance itu menunjukan pada pengembangan gaya
menjalankan pemerintahan dalam mana antara sektor publik dan privat telah
menjadi kabur. Esensi governance pada fokusnya yaitu mekanisme
penyelenggaraan pemerintahan yang tidak lagi tergantung pada bantuan dan sanksi
dari pemerintah “.”Konsep governance lebih tertuju pada kreasi suatu
struktur atau tertib yang tidak dapat diimposisikan keluar tetapi merupakan
hasil dari interaksi banyak pihak yang ikut terlibat dalam proses pemerintahan
dan mereka saling mempengaruhi satu sama lain”.(Kooiman dan Vliet,1993).
Rhodes memandang paling tidak ada 6 istilah yang berbeda
dalam memberi makna lonsep governance,yaitu :
- as the minimal state
- as corporate governance
- as the new public
management,
- as ‘good governance’
- as a socio-cybernetic
system,
- as self-organizing
network.
Lima Proposisi konsep Good
Governance
Pandangan Stoker tentang governance
as theory,mengemukakan adanya 5 proposisi yang perlu dipertimbangkan dalam
mengkaji konsep good governance,yaitu :
Proposisi I : Governanace refers to a set of
institutions and actors that are drawn from but also beyond government.
Penyelengaraan pemerintahan
yang baik perlu memanfaatkan seperangkat institusi dan actor yang baik dari
dlam maupun dari luar burokrasi pemerintah. Pemerintah perlu membuka pintu dan
tidak alergi atau curiga terhadap ekstensi pelbagai macam institusi dan actor
diluar institusi pemerintah,bahkan sebalikmya hal itu bisa dimanfatkan sebagai
komponen penguat dalam mencapai tujuan bersama.
Proposisi II : Governance recognizes the blurring of
boundaries and responbilities for tacking social and economics issues
Penyelenggaraan pemerintah
yang baik tidak memungkinkan lagi terjadinya tritomi peran sektor pertama
(eksekutif dan legislatif); sektor kedua(swasta)dan sektor ketiga (masyarakat)
dalam menangani masalah sosial ekonomi, karena peran tersebut sekarang sudah
demikian kabur. Peran ketiga sector tersebut seyogyanya sudah menyatu dan padu
karena mereka punya kepentingan dan komitmen yang sama tingginya untuk
mengatasi masalah-masalah sosial-ekonomi tersebut.
Proposisi III : Governance identifies the power
dependence involved in the relationship between institutions involved in
collective action
Penyelenggaraan
pemerintahan yang baik mengakui adanya saling ketergantungan diantara ketiga
faktor tersebut diatas dalam peran bersama untuk mengatasi masalah
social-ekonomi. Tujuan masyarakat kesejahteraan hidup masyarakat tidak
membutuhkan lagi satu kekuatan manapun yang dominan yang melebihi perannya atas
yang lain , melainkan semuanya berinteraksi dan berinterrelasi serta punya
akses yang sama dalam berpatisipasi dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat
Proposisi IV : Governance is about autonomous self
governing network of actors.
Penyelenggaaan pemerintahan
yang baik merupakan jaringan kerja antar actor dari ketiga kekuatan yang
menyatu dalam suatu ikatan yang otonom dan kuat. Ketiga actor tadi akan menjadi
kekuatan yang solid dan dahsyat bila mereka bersedia memberikan dan menerima
kontribusi baik sumber-sumber, keahlian, kepentingan maupun tujuan-tujuan
bersama yang diinginkan.
Proposisi V : Governance recognizes the capacity to
get things done which does not rest on the power of government to commandor use
its authority. It sees government as able to use new tools and
techniques to steer and guide.
Penyelenggaraan pemerintahan
yang baik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak perlu
semata-mata menggantungkan diri pada arahan, petunjuk dan otoritas pemerintah
tetapi juga kemampuan untuk memanfaatkan sarana dan teknik pemerintahan dari
sektor non-pemerintah untuk merumuskan , melaksanakan dan mengevaluasi
kebijakan yang baik dan benar.
Kelima proposisi tersebut diatas walaupun mempunyai nilai
dan arti yang cukup tinggi namun untuk bisa diterapkan secara efektif masih perlu
diuji tingkat signifikannya.
Kesimpulan
Public Management dapat diartikan sebagai bagian yang sangat penting dari administrasi publik
(yang merupakan bidang kajian yang lebih luas), karena administrasi publik
tidak membatasi dirinya hanya pada pelaksanaan manajemen pemerintahan saja
tetapi juga mencakup aspek polotik, sosial, kultural, dan hukum yang
berpengaruh pada lembaga-lembaga publik. Dan Public Management berkaitan
dengan fungsi dan proses manajemen yang berlaku baik pada sektor publik
(pemerintahan) maupun sektor diluar pemerintahan yang tidak bertujuan mencari
untung (nonprofit sector).
New
Public Management
secara umum dipandang sebagai suatu pendekatan dalam administrasi publik yang
menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dalam dunia manajemen
bisnis dan disiplin yang lain untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas kinerja
pelayanan publik pada birokrasi modern.
Bagi warga Negara yang paling penting adalah terciptanya
hukum yang adil dan ketertiban sosial, yang hal lain itu hanya bisa dilakukan
oleh pemerintahan yang sah kuat. Istilah “Governance” merefleksikan
proses penyelenggaraan pemerintah yang baik. Konsep “Governance”
tidaklah dimaksudkan untuk menggantikan konsep “New Public Management”,akan
tetapi lebih menekankan kesadaran kita bahwa pemerintahan yang baik itu adalah
pemerintahan yang memenuhi 4 persyaratan utama yaitu:
1. Yang kuat legitiminasinya
2. Akuntabel
3. kompeten
4. Respek terhadap hukum dan
hak-hak azasi manusia
Oleh karena itu “New Public
Management” itu merupakan bagian dari strategi yang lebih luas tentang “Good
Governance”.
Daftar
Pustaka
-
Dunn,
William, N, 2003. Pengantar Analisis
Kebijakan Publik. Yogyakarta : Gajah mada University Press.
-
Abdul
Wahab, Solikhin. Prof, 2008. Pengantar
Analisis Kebijakan Publik. Malang : UMM Press.
-
King,
C.S. and C. Stivers, 1998. Government is Us: Public Administration in an
Anti-Government Era. Thopusand Oaks, CA: Sage.
-
Rosenbloom,
David H., 1993. Public Administration, Understanding Management, Politics,
and in the Publik Sector. New York: McGraw-Hill, Inc.
-
Vigoda,
E.(Ed), 2001. From Responsivenes to Collaboration: Governance, Citizen, and
the Next Generation of Publik Administration. Public Administration Review,
62, 527-540.
-
Kooiman,
Jan (ed), 1993. Modern Governance: New Government Society Interactions.
London : SAGE Publications.
-
Pasalong,
Harbani. 2007. Teori Administrasi Publik. Makasar, Indonesia :
ALFABETA.
-
Denhardt,
J,V. and R.B. Denhardt, 2000. The New Public Service: Serving Rather Than
Steering. Public Administration Review, Nov/Dec.60 6, 549-559.
____________, 2003. The New Public Servive: Serving Not Steering. Expanded Edition. New York : M.E. Sharpe.
____________, 2003. The New Public Servive: Serving Not Steering. Expanded Edition. New York : M.E. Sharpe.
-
Osborne,
David and Gaebler, 1992. Reinventing Government (How the Enterpreneurial
Spirit is Transforming to the Public Sector). Harvard University Press.
-
Osborne,
avid and Peter Plstrik, 1997. Banishing Bureucracy. The Five Strategies for
Reinventing Government. Reading, MA: Harvad University Press.
Comments