Partai Politik dalam Dialektika Demokrasi
di Indonesia :
Napak
tilas perjanalan partai politik di Indonesia sejak zaman kemerdekaan sampai era
reformasi
Oleh: Iwan Ismi Febriyanto
A. Pendahuluan
A.1 Latar Belakang
Partai
Politik merupakan unsur penting dalam suatu negara, baik itu negara demokratis
maupun negara otoriter. Secara umum dapat dikatakan partai politik adalah suatu
kelompok yang terorganisir dan anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai, dan
cita-cita yang sama. Tujuan dari kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan
politik di negara yang menaunginya. Sigmund Neumann dalam bukunya, Modern Political Parties, mengemukakan
definisi sebagai berikut: Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis
politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut
dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan
lain yang mempunyai pandangan berbeda.[1]
Adapun fungsi dari adanya partai politik di Negara Demokrasi
adalah sebagai sarana komunikasi politik, sebagai sarana sosialisasi politik,
sebagai sarana rekrutmen politik, dan juga sebagai sarana pengatur konflik (conflict management).
Dalam suatu negara, tentunya ada banyak sistem yan mengatur dalam implikasi dari tiap kegiatan yang ada dalam negara tersebut. Tak terkecuali dengan partai politik. Sistem yang mengatur bagaimana partai politik itu berjalan sesuai peraturan perundang-undangan adalah sistem kepartaian. Sistem kepartaian merupakan suatu mekanisme interaksi antar partai dalam sebuah sistem politik. Karena tujuan utama dari partai politik adalah untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam rangka mewujudkan program yang disusun berdasarkan ideology tertentu. Maka untuk merealisasikan program tersebut, partai-partai politik yang ada berinteraksi dalam suatu sistem kepartaian.
Dalam suatu negara, tentunya ada banyak sistem yan mengatur dalam implikasi dari tiap kegiatan yang ada dalam negara tersebut. Tak terkecuali dengan partai politik. Sistem yang mengatur bagaimana partai politik itu berjalan sesuai peraturan perundang-undangan adalah sistem kepartaian. Sistem kepartaian merupakan suatu mekanisme interaksi antar partai dalam sebuah sistem politik. Karena tujuan utama dari partai politik adalah untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam rangka mewujudkan program yang disusun berdasarkan ideology tertentu. Maka untuk merealisasikan program tersebut, partai-partai politik yang ada berinteraksi dalam suatu sistem kepartaian.
Secara klasik, Maurice Duverger menyebutkan ada tiga sistem
partai yang dapat mewujudkan interaksi antar partai. Ketiga sistem tersebut
ialah one party system (sistem
satu partai), two party system
(sistem dua partai), dan serta multy
party system (sistem banyak partai). Sistem satu partai maksudnya hanya
ada satu partai, seperti Partai Komunis di China. Sistem dua partai ialah bahwa
ada dua partai dalam Pemilu, seperti Partai Republik dan Demokrat di Amerika
Serikat. Sedangkan sistem banyak partai, Pemilu diikuti oleh lebih dari lima
partai seperti di Indonesia.[2]
Dalam suatu negara demokrasi seperti Indonesia, tentunya
banyak sekali sejarah mengenai eksistensi partai politik yang bergejolak dari
satu rezim ke rezim berikutnya. Disini penulis ingin lebih melakukan tinjauan
secara teoritis terhadap perjalanan partai politk di Indonesia dari rezim ke
rezim. Tentunya ada banyak sekali cerita mengenai eksistensi partai politik di
Indonesia, itu dikarenakan rezim yang berkuasa masing-masing mempunyai sistem
yang berbeda dalam penentuan mekanisme kepartaian, terutama melalui pemilu.
Maka dari itu, belajar dari sejarah yang panjang inilah
kemudian penulis ingin menggali lebih dalam dengan tinjauan yang lebih teoritis
mengenai eksistensi partai politik dari rezim ke rezim sesuai dengan sistem
kepartaian yang diterapkannya.
A.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang
dimaksud dengan sistem kepartaian dan bagaimana klasifikasinya ?
2. Bagaiamana
eksistensi partai politik di Indonesia dengan sejarah yang berkepanjangan dari
rezim satu ke rezim lainnya ?
3. Bagaimana kosep
ideal dari partai politik di Indonesia di masa depan ?
A.3 Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui tinjauan teoritis mengenai sistem kepartaian yang ada di dunia.
2. Sama-sama
meninjau seberapa besar eksistensi dari partai politik di Indonesia setelah
mengalami beberapa kali pergantian dari rezim satu ke rezim lainnya.
3. Mencoba untuk
merumuskan konsep ideal dari sistematika partai politik di Indonesia di masa
yang akan datang dalam dialektika demokrasi yang tak menentu arahnya.
B. Pembahasan
B.1 Definisi dan
Klasifikasi Sistem Kepartaian
Sistem kepartaian merupakan suatu
mekanisme interaksi antar partai dalam sebuah sistem politik. Karena tujuan
utama dari partai politik adalah untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan
dalam rangka mewujudkan program yang disusun berdasarkan ideology tertentu.
Maka untuk merealisasikan program tersebut, partai-partai politik yang ada
berinteraksi dalam suatu sistem kepartaian. Secara klasik, Maurice Duverger
menyebutkan ada tiga sistem partai yang dapat mewujudkan interaksi antar
partai. Ketiga sistem tersebut ialah one
party system (sistem satu partai), two party system (sistem dua partai), dan serta multy party system (sistem banyak
partai). Sistem satu partai maksudnya hanya ada satu partai, seperti Partai
Komunis di China. Sistem dua partai ialah bahwa ada dua partai dalam Pemilu,
seperti Partai Republik dan Demokrat di Amerika Serikat. Sedangkan sistem
banyak partai, Pemilu diikuti oleh lebih dari lima partai seperti di Indonesia. [3]
Ada banyak
jenis sistem pemilihan umum yang saat ini diimplementasikan di seluruh dunia.
Namun secara sederhana, hanya ada tiga sistem pemilihan umum yang dikenal
dewasa ini. Ketiga sistem tersebut ialah sistem pemilihan mayoritas plural
(plural majority), sistem pemilihan proporsional (representasi), dan sistem
pemilihan semi proporsional.
Sistem
Pemilu mayoritas plural lebih menekankan pada perwakilan setempat melalui
penggunaan distrik pemilihan yang kecil dan beranggota tunggal. Sebaliknya,
sistem Pemilu Proporsional menggunakan distrik yang lebih besar dan anggota
yang banyak serta hasil yang lebih proporsional. Sedangkan sistem semi
proporsional merupakan campuran dari model-model umum dengan model
proporsional. Maksudnya sebagian dari badan legislatif dipilih melalui
perwakilan proporsional dan sebagian melalui distrik lokal.
Dalam
sistem distrik, satu wilayah kecil (yaitu distrik pemilihan) memilih satu wakil
tunggal atas dasar pluralitas (suara terbanyak). Dalam sistem proporsional,
satu wilayah besar memilih beberapa wakil. Perbedaan pokok antara dua sistem
ialah bahwa cara menghitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam
komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai politik.
Sistem distrik
merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan
geografis. Setiap kesatuan geografis memperoleh satu kursi dalam parlemen.
Untuk keperluan itu negara dibagi dalam sejumlah besar distrik pemilihan
(kecil) yang kira-kira sama jumlah penduduknya. Dalam sistemdistrik, satu
distrik menjadi bagian dari suatu wilayah, satu distrik hanya berhak satu
kursi, dan kontestan yang memperoleh suara terbanyak menjadi pemenang tunggal.
Hal ini dinamakan the first past the post (FPTP). Pemenang tunggal meraih satu
kursi itu. Hak ini terjadi sekalipun selisih suara dengan partai lain hanya
kecil saja. Suara yang tadinya mendukung kontestan lain dianggap hilang
(wasted) dan tidak dapat membantu partainya untuk menambah jumlah suara
partainya di distrik lain. Dalam sistem proporsional, satu wilayah dianggap
sebagai satu kesatuan, dan dalam wilayah itu jumlah kursi dibagi sesuai jumlah
suara yang diperoleh oleh para kontestan, secara nasional, tanpa menghiraukan
distribusi suara itu.
Dalam
sistemdistrik karena hanya diperukan pluralitas suara untuk membentuk suatu
pemerintahan, dan bukan mayoritas (50% plus satu)dapat terjadi bahwa partai
yang menang dengan hanya memperoleh pluralitas suara dapat membentuk kabinet.
Pemerintahan seperti ini dinamakan minority government.
Ciri khas
yang melekat pada sistem distrik, yaitu bahwa pada pelaksanaan sistem distrik
mengakibatkan “distorsi” atau kesenjangan antara jumlah suara yang diperoleh
suatu partai secara nasional dan jumlah kursi yang diperoleh partai tersebut.
Akibat distorsi menguntungkan partai besar melalui over-representation, dan
merugikan partai kecil karena under-representation. Hal ini disebabkan karena
banyak suara dari partai kecil bisa dinyatakan hilang, yaitu lantaran tidak
berhasil menjadi juara pertama suatu distrik. Keadaan ini akan berpengaruh
dalam masyarakat pluralis, dengan banyaknya kelompok minoritas, baik agama
maupun etnis.
B.2 Eksistensi Partai Politik di
Indonesia
Di
Indonesia partai politik telah merupakan bagian dari kehidupan politik selama
kurang lebih seratus tahun. Di Eropa Barat, terutama Inggris, partai politik
telah muncul jauh sebelumnya sebagai sarana pertisipasi bagi beberapa kelompok
masyarakat, yang kemudian meluas partisipasi seluruh masyarakat dewasa. Saat
ini partai politik ditemukan hampir di semua negara di dunia. Di Indonesia kita
terutama mengenal sistem multi-partai, sekalipun gejala partai dwi-tunggal dan
dwi-partai tidak asing dalam sejarah kita. Sistem yang kemudian berlaku
berdasarkan sistem tiga orsospol dapat dikategorikan sebagai sistem
multi-partai dengan dominasi satu partai. [4]
Demokrasi
Liberal Pertama di Indonesia ditandai dengan keluarnya Maklumat No.X Oktober
1945. Maklumat yang ditandatangani oleh Drs. Moh. Hatta (wakil presiden RI saat
itu) mempersilakan publik Indonesia untuk mendirikan partai-partai politik.
Mulai saat itu, berdirilah beragam partai politik yang sebagian besar
berbasiskan ideologi dan massa pemilih di Indonesia. Oleh sebab masih banyaknya
peperangan (revolusi fisik berupa pemberontakan dan hendak kembalinya kekuasaan
asing), pemilu belum kunjung dilaksanakan hingga tahun 1955.
Pemilu
1955 menandai “resminya” era sistem politik demokrasi liberal di Indonesia.
Aneka partai politik diberi kebebasan untuk memperkuat organisasi, meluaskan
basis massa, dan sejenisnya. Saat itu, sistem kepartaian yang berlaku di
Indonesia adalah Pluralisme Terpolarisasi. Cukup banyak partai politik yang
ikut serta di dalam pemilu pertama dalam sejarah kemerdekaan Indonesia ini.
Namun, partai-partai yang memperoleh suara besar (4 partai) memiliki garis
ideologi yang cukup berseberangan antara satu sama lain.
Dalam sejarahnya, Indonesia telah mempraktikkan sistem
kepartaian berdasarkan pada sistem multipartai. Meski dalam derajat dan
kualitas yang berbeda. Pada pemilu pertama tahun 1955─sebagai tonggak kehidupan
politik pasca kemerdekaan hingga sekarang―menghasilkan lima partai besar: PNI,
Masyumi, NU, PKI, dan PSI. Jumlah partai yang berlaga dalam pemilu itu lebih
dari 29 partai, ditambah independen. Dengan sistem pemilu proporsional,
menghasilkan anggota legislatif yang imbang antara Jawa dan Luar Jawa. Pemilu
dekade 1950-an 1960-an adalah sistem multipartai tanpa ada pemenang mayoritas.
Namun, di era demokrasi parlementer tersebut telah terjadi tingkat kompetisi
yang tinggi. Memasuki era demokrasi parlementer yang ditandai dengan
dikeluarkannya Dekrit Presiden yang tujuannya untuk mengakhiri konflik ideologi
antarpatai. Pada masa itu, sistem kepartaian menerapkan sistem multipartai,
namun tidak terjadi kompetisi.
Memasuki dekade 1970-an sampai Pemiliu 1971, Indonesia masih
menganut sistem multipartai sederhana (pluralisme sederhana). Waktu itu ada
sembilan partai politik yang tersisa dari Pemilu 1955. Kesembilan partai
ditambah Golkar, ikut berlaga dalam Pemilu 1971. Fenomena menarik dalam Pemilu
1971 ini adalah faktor kemenangan Golkar yang sangat spektakuler di luar dugaan
banyak orang. Padahal kalangan partai tidak yakin akan memenangkan pemilu. Hal
itu didasari pada dua hal, yaitu ABRI tidak ikut pemilu dan Golkar belum
berpengalaman dalam pemilu. Tetapi, setelah pemilu digelar, ternyata justru
bertolak belakang, Golkar menang mutlak lebih dari 63%. Kemenangan itu
menandakan Indonesia memasuki era baru, yaitu Orde Baru.
Pada era orde baru, sistem kepartaian masih disebut sistem
multipartai sederhana, namun antarpartai tidak terjadi persaingan. Karena
Golkar menjadi partai hegemoni. Sehingga ada pendapat bahwa secara riil sistem
kepartaian menjurus ke sistem partai tunggal (single entry). Kenapa?
Karena Golkar hanya berjuang demi status quo. Pada masa reformasi,
Indonesia kembali menerapkan sistem multipartai. Hal ini dapat dipahami karena
selama puluhan tahun kebebasan berekspresi dan berserikat serta berkumpul
dikekang. Sehingga ketika reformasi memberikan ruang kebebasan, hasrat para
politisi untuk mendirikan partai politik tersalurkan. Sebagai sebuah proses
pembelajaran, fenomena menjamurnya partai politik mestinya dilihat sebagai
sesuatu yang wajar di tengah masyarakat yang sedang mengalami euforia politik.
Pada Pemilu 1999, yang menggunakan sistem proporsional dengan
daftar calon tertutup (stelsel daftar) diikuti 48 partai peserta pemilu. Jumlah
partai sekitar 140 buah, tetapi lolos verifikasi hanya 48 partai. Dari jumlah
itu, keluar enam partai besar pemenang pemilu, yakni PDI-P, Golkar, PPP, PKB,
PAN, dan PBB. Sistem kepartaiannya multipartai, dan tidak ada partai pemenang
pemilu yang memperoleh suara mayoritas.
Setelah dua kali pemilihan umum paska reformasi dengan sistem
multipartai, Indonesia bisa belajar banyak. Proses evaluasi diri perlu
dilakukan, baik partai-partai politik, maupun sistem yang diterapkan. Apakah
partai-partai paska reformasi telah berperan sebagai pilar demokrasi yang
mendorong demokrasi kita lebih efektif dan pemerintahan yang stabil, atau
sebaliknya. Sistem kepartaian secara ideal harus mendorong pemerintahan yang
stabil dan demokrasi yang semakin efektif. Bila tidak, maka tentu ada yang
salah dengan sistem yang diterapkan. Pemilu 2004 adalah pesta rakyat yang
sangat bersejarah bagi Indonesia. Pasalnya, untuk pertama kalinya Indonesia
menyelenggarakan pemilu secara langsung. Keberhasilan pemilu secara langsung
telah mendaulat Indonesia sebagai negara paling demokrasi ketiga di dunia
setelah Amerika dan India.
Setelah dua kali pemilu paska reformasi dengan sistem
multipartai, Indonesia bisa belajar banyak. Proses evaluasi diri perlu
dilakukan, baik partai-partai politik, maupun sistem yang diterapkan. Apakah
partai-partai paska reformasi telah berperan sebagai pilar demokrasi yang mendorong
demokrasi kita lebih efektif dan pemerintahan yang stabil, atau sebaliknya.
Sistem kepartaian secara ideal harus mendorong pemerintahan yang stabil dan
demokrasi yang semakin efektif. Bila tidak, maka tentu ada yang salah dengan
sistem yang diterapkan.
B.3 Konsepsi Sistem
Kepartian dan Pemili yang ideal untuk masa depan Indonesia
Setelah
melalui tahap-tahapan yang sangat panjang, memang eksistensi partai politik di
Indonesia sangatlah kuat, dimana peran mereka sendiri semakin bertambah semenjak
rezim Orde Baru runtuh. Ini bisa dilihat dari semakin banyaknya partai-partai
baru di Indonesia yang semakin tumbuh untuk mengikuti persaingan dalam pemilu
atau pemilukada. Dengan semakin banyaknya keikutsertaan partai politik, maka
tentunya semakin banyakna anggaran yang dikeluarkan oleh negara dalam mengatur
sistem kepartaian dan pemilu di Indonesia. dan juga semakin bingungnya
masyarakat (terutama masyarakat yang awam dan lanjut usia) dalam menentukan
piliha mereka. Akhirnya terjadilah apa yang dinamakan dengan disfungsi nilai
parpol yang berujung pada pragmatisme partai politik dalam upaya mengejar
kekuasaan.
Dari
berbagai masalah inilah kemudian penulis mencoba untuk memberikan gambaran
mengenai konsepsi kepartaian demi menunjangnya pemilu yang lebih mengutamakan
politik nilai dan menuju pada kesejahteraan demi kemaslahatan masyarakat
Indonesia. Salah satu dari upaya untuk menjaga kestabilan politik di Indonesia
adalah dengan cara melakukan penyederhanaan jumlah partai politik melalui jalur
hukum. Upaya penyederhanaan partai politik juga dikemukakan oleh kalangan
partai politik, utamanya adalah partai politik besar. Pramono Anung misalnya,
menyatakan bahwa sudah saatnya melakukan penyederhanaan partai politik. Sistem
kepartaian harus stabil dan tidak lagi dipenuhi partai-partai seumur jagung
yang akan berganti baju pada pemilihan umum berikutnya. Idealnya partai politik
di Indonesia jumlahnya 4 sampai 7 partai politik.[5]
Salah satu
mekanisme yang digunakan adalah dengan adanya ketentuan batas minimal suara
yang harus diperoleh suatu partai politik sebagai syarat untuk dapat mengikuti
pemilihan umum selanjutnya., untuk dapat mencalonkan pasangan Presiden dan
Wakil Presiden, serta mencalonkan pasangan kepala daerah dalam proses pemilihan
kepala daerah (Pilkada). Upaya penyederhanaan partai politik tersebut menjadi
salah satu permasalahan dalam pembahasan RUU Partai Politik dan RUU Pemilihan
Umum yang akan menjadi landasan hukum pelaksanaan pemilihan umum. Selain
menggunakan sarana electoral threshold, Fraksi
Golkar dan Fraksi PDIP juga mengusulkan perubahan besaran daerah pemilihan dan
diterapkannya parliamentary threshold, yaitu
batas minimal suara yang diperoleh untuk dapat memperoleh kursi parlemen.
C. Penutup
C.1 Kesimpulan
Dari sekian
banyak penjelasan yang penulis sudah ungkapkan diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa dengan adanya perubahan sistematika kepartaian dan pemilu di Indonesia,
maka akan diaharapkan terjadinya perbaikan dialektika demokrasi dinegara kita
ini. Bagaimanapun, eksistensi dari partai politik itu sendiri haruslah
dipertahankan sebagai bentuk kebebasan dalam berserikat yang telah diatur oleh
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
C.2 Saran
Dari
kesimpulan yang telah dibeberkan diatas, maka dari dalam diri penulis sendiri
memberikan rekomendasi terhadap perbaikan sistem ini dengan cara menerapkan apa
yang dinamakan dengan electoral threshold
dan parliamentary threshold. Ini
dimaksudkan untuk menjaga stabilitas terhadap pesta demokrasi di Indonesia.
Selain itu juga diperlukan pembelajaran tentang politik melalui program
pemerintah terhadap masyarakat.
Comments