Skip to main content

PERIHAL CIVIL SOCIETY


PAPER
PERIHAL CIVIL SOCIETY
Gerakan Civil Society dalam bingkai sejarah Indonesia pada masa pasca Orde Baru dan pengaruhnya terhadap demokratisasi
Oleh : Iwan Ismi Febriyanto


A. PENDAHULUAN
     A.1 Latar Belakang
            Secara historis civil society di Indonesia telah muncul ketika proses transformasi akibat modernisasi terjadi yang menghasilkan pembentukan masyarakat baru yang berbeda dengan masyarakat tradisional. Dengan demikian, akar civil society di Indonesia bisa dirunut secara historis semenjak terjadinya perubahan sosial ekonomi pada masa kolonial Belanda. Hal tersebut mendorong terjadinya pembentukan masyarakat baru lewat proses industrialisasi, urbanisasi, dan pendidikan modern. Hasilnya antara lain adalah munculnya kesadaran baru di kalangan kaum elit pribumi yang kemudian mendorong terbentuknya organisasi-organisasi sosial modern di awal abad 20.
Dalam perjalanannya, pertumbuhan civil society di Indonesia pernah mengalami suatu masa yang cukup menjanjikan bagi pertumbuhannya. Hal ini terjadi sejak kemerdekaan sampai dengan 1950-an, yaitu pada saat organisasi-organisasi sosial dan politik dibiarkan tumbuh bebas dan memperoleh dukungan kuat dari warga masyarakat yang baru saja merdeka. Oleh karena itu, terciptalah kekuatan masyarakat yang mampu menjadi penyeimbang dan pengawas terhadap kekuatan negara.
Sayang sekali iklim demikian itu tidak berlangsung lama karena ormas-ormas dan lembaga-lembaga sosial berubah menjadi alat bagi merebaknya aliran politik dan pertarungan berbagai ideologi.
Pada awal 1960-an, akhirnya mengalami kemunduran yang nyata. Demokrasi terpimpin maupun orde baru membuat posisi negara semakin kuat sedangkan posisi rakyat lemah. Pada masa itu terjadi paradok, yaitu semakin berkembangnya kelas menengah pada masa orde baru ternyata tidak mampu mengontrol hegemoni negara karena ternyata kelas menengah di Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap negara dan penguasa. Kelas menengah di negeri ini juga masih punya problem kultural dan primordial, yaitu ada kelas menengah pribumi dan nonpribumi, muslim dan nonmuslim, Jawa dan non-Jawa.
Hal ini berpengaruh terhadap munculnya solidaritas di kalangan para anggotanya. Akibatnya, negara mudah melakukan tekanan dan pencegahan bagi timbulnya solidaritas kelas menengah untuk memperluas kemandirinnya. Pasca jatuhnya rezim Soeharto, yang dipelopori oleh gerakan mahasiswa, tepatnya 21 Mei 1998, menaruh harapan besar bagi rakyat Indonesia untuk membangun iklim demokrasi di Nusantara ini. Selama kepemimpinan Soeharto  mereka berada dalam kungkungan rezim otoritarian. Angin segar kebebasan mulai dirasakan oleh rakyat. Di Indonesia, gerakan sosial tak kurang pula gebrakan. Tak terlalu berlebihan pula jika di katakan bahwa gerakan sosial merupakan bagian terpenting serta tak terpisahkan dari perjalanan Indonesia sebagai sebuah bangsa.
Kemerdekaan Indonesia itu sendiri pada dasarnya tidaklah semata-mata muncul dari gerakan bersenjata, tapi juga lewat gerakan sosial yang tumbuh sebagai manifestasi dari kesadaran sejumlah kaum muda waktu, itu akan realitas. Gerakan inilah yang kemudian memaksa Ir Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Gerakan sosial pula yang kemudian mengukuhkan semangat kemerdekaan itu dengan melakukan sebuah rapat besar di lapangan Ikada. Gerakan sosial seakan-akan menjadi penyebab utama perubahan indonesia. Orde lama tumbang karena gerakan sosial.
Menurut Bill Moyer dalam bukunya yang berjudul Merencanakan Gerakan, wacana gerakan sosial yang dihadirkan sejak awal merupakan suatu usaha yang menginginkan suatu perubahan.[1] Ia mengartikan perubahan adalah jalang yang paling memungkingkan untuk melakukan perbaikan. Bagi kalangan pengamat politik Indonesia umumnya, tumbangnya pemerintahan Presiden Soeharto pada pertengahan tahun 1998 terasa mengejutkan.
Sebenarnya sejak jauh sebelum pemiluh 1997 suara-suara yang mengisyaratkan perlawanan terhadap penguasa mulai terdengar kuat. Hal itu ditunjukan oleh demostrasi mahasiswa sejumlah perguruan tinggi. Selai itu berbagai gerakan sosial juga di lakukan sejumlah ornop (Organisasi Non Pemerintahan/NGO) yang menggugat berbagai kebijakan pemerintah di bidang perburuhan, pertahanan, hukum dan peradilan. Salah satu yang cukup menonjol adalah unjuk rasa ribuan buruh di bawah komando SBSI ( Serikat buruh sejatera Indonesia) yang berbuntut kerusuhan sosial di medan pada tahun 1994. Namun semua itu tidak mampu menggoyahkan pilar kekuasaan Soeharto.
Akibat dari semua inilah yang menguatnya kelompok - kelompok yang menentang Presiden Soeharto dan orde baru. Yang menjadi penggerak kala itu yaitu masyarakat sipil yang datang dari kalangan mahasiswa dan pemuda. Dimana gerakan masyarakat sipil ini berhasil menduduki Gedung DPR/MPR RI di Senayan pada bulan Mei 1998 merupakan langkah awal kejatuhan Presiden Soeharto dan tumbangnya era orde baru. Kekuatan dari masyarakat sipil yang besar menyebabkan mereka sulit diusir dari Gedung DPR / MPR dan semakin kuat dukungan dari para mahasiswa dan berbagai daerah di Indonesia terhadap gerakan tersebut memaksa elite politik untuk berubah sikap terhadap Presiden Soeharto.
Pimpinan DPR secara terbuka meminta presiden turun. Kemudian disusul 14 orang menteri Kabinet Pembangunan menyatakan penolakan mereka untuk bergabung dengan kabinet yang akan dibentuk oleh Presiden Soeharto yang berusaha untuk memenuhi tuntutan mahasiswa. Melihat perkembangan politik seperti ini, Presiden Soeharto merasa yakin bahwa ia tidak mendapat dukungan yang besar dari rakyat dan orang - orang dekatnya sendiri, sehingga beliau kemudian memutuskan untuk mundur sebagai Presiden RI pada tanggal 20 Mei 1998. Ini merupakan buah usaha dari masyarakat Indonesia dalam hal ini civil society yang dimotori pergerakannya oleh para mahasiswa.
Namun, dibalik kesuksesan dari dari adanya gerakan yang masiv dari civil society ini, masih banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Yaitu bagaimana mengatur atau menjalankan proses demokratisasi di Indonesia. Itulah yang akan menjadi pembahasan atau kajian yang akan dibahas dipaper yang mungkin sangat singkat ini.

     A.2 Rumusan Masalah
1.  Bagaimana sejarah gerakan civil society di Indonesia pada masa Orde baru ?
     2. Apa pengaruh dari gerakan civil society di Indonesia dengan proses demokratisasi pasca Orde Baru ?

     A.3 Tujuan Penulisan
1.  Disini penulis mencoba untuk kembali mengurai mengenai sejarah tentang peregrakan civil society di Indonesia pada masa Orde Baru yang tentunya memliki napak tilas perjalanan yang begitu berliku.
2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh dari adanya civil society di Indonesia dalam proses demokratitasi yang berjalan pasca runtuhnya rezim Orde Baru

B. PEMBAHASAN
     Gerakan Civil Society di Indonesia pada masa Orde Baru
Mengacu pada sejarah di Indonesia, dimana pergerakan masyarakat sipil menjadikan bahan bakar dimulainya revolusi dari era orde baru menuju reformasi. Dimana kala itu telah terjadi pemusatan kekuasaan di tangan Presiden yang kala itu berada di tangan Soeharto. Berdalih untuk menjaga kestabilan politik, pembangunan nasional, dan integrasi nasional telah digunakan sebagai alat pembenaran bagi pemerintah untuk melakukan tindakan - tindakan politik, termasuk yang bertentangan dengan demokrasi. Contohnya adalah prinsip monoloyalitas PNS. Semula prinsip itu diperlukan untuk melindungi orde baru dari gangguan - gangguan yang mungkin timbul dari musuh - musuh orde baru dengan mewajibkan semua PNS untuk memilih Golkar dalam setiap pemilu, Kemudian setelah orde baru menjadi lebih kuat, ternyata prinsip monoyolitas tersebut masih tetap digunakan untuk mencegah partai politik lain keluar sebagai pemenang dalam pemilu sehingga Golkar dan orde baru dapat terus berkuasa.
Memang pada kala itu, pemilu sebagai tolak ukur yang ideal dari konsep demokrasi menurut Dahl sudah dijalankan secara teratur dan berkesinambungan hingga enam kali pemilu yaitu pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1997.[2] Namun di sisi lain ternyata nilai - nilai demokrasi tidak diberlakukan dalam pemilu tersebut karena tidak ada kebebasan memilih bagi para pemilih dan tidak ada kesempatan yang sama bagi ketiga organisasi peserta pemilu untuk memenangkan pemilu. Sebelum fusi partai politik tahun 1973, semua OPP, kecuali Golkar menghadapi berbagai kendala dalam menarik dukungan dari para pemilih, antara lain karena adanya asas monoyolitas yang sudah disebutkan sebelumnya. Setelah fusi 1973 yang menghasilkan dua partai politik di samping Golkar, tidak ada perubahan dalam pemilu karena Golkar tetap dapat dipastikan keluar sebagai pemenang pemilu.
Hal ini disebabkan karena Golkar mendapat dukungan dan fasilitas dari pemerintah sedangkan dua partai lainnya yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menghadapi banyak kendala dalam memperoleh dukungan dari para pemilih. Terlepas dari itu semua pelaksanaan pemilu sebanyak enam kali telah memberikan pendidikan politik yang penting bagi rakyat Indonesia sehingga rakyat telah terbiasa memberikan suara dan menentukan pilihan dalam pemilu.
Keberhasilan pemerintah Presiden Soeharto untuk menjadikan Indonesia swasembada beras pada pertengahan dasawarsa 1980 -an dan pembangunan ekonomi pada masa - masa setelah itu ternyata tak diikuti dengan kemampuan untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang telah berkembang pesat seiring dengan keberhasilan pembangunan ekonomi dengan ditandaipendapatan per kapita (GNP) yang pada 1967 hanya $50, pada tahun 1990-an telah naik menjadi hampir $600. Jumlah orang miskin yang pada 1970 berjumlah 70 juta atau 60% pada 1990 turun menjadi 27 juta atau sekitar 15,1%.Keberhasilan pembangunan ekonomi malah dianggap sebagai peluang untuk melakukan KKN yang dilakukan oleh para anggota keluarga dan kroni para penguasa, baik di pusat maupun di daerah.
Namun dibalik berkat suksesnya pembangunan ekonomi, ditambah keberhasilan pendidikan, telah timbul kelas menengah terdidik terutama di daerah perkotaan, dengan sejumlah besar professional seperti insinyur, manager, dan pakar di berbagai bidang. Selain itu dari sana telah berkembang kelompok mahasiswa dan civil society yang vokal.
Di bidang politik, dominasi Presiden Soeharto telah membuat presiden menjadi penguasa mutlak karena tidak ada satu institusi atau lembaga pun yang dapat menjadi pengawas presiden dan mencegahnya melakukan penyelewengan kekuasaan.Pengekangan terhadap pers, kebebasan berpendapat yang dibatasi, pembredelan pers seperti yang dialami oleh Sinar Harapan (1984) dan Majalah Tempo, Detik, dan Editor (1994). Konflik di Aceh dihadapkan dengan kekerasan militer melalui Daerah Operasional Militer (DOM). Banyak kasus kekerasan terjadi,  antara lain Peristiwa Tanjung Priuk (1984), dan Peristiwa Trisakti. Hingga pada akhirnya Presiden Soeharto dijatuhkan oleh para mahasiswa pada bulan Mei 1998, dan mulai saat itulah reformasi dimulai.Menjelang berakhirnya orde baru inilah elite politik semakin tidak peduli dengan aspirasi rakyat dan semakin banyak membuat kebijakan - kebijakan yang menguntungkan kroni dan merugikan negara dan rakyat banyak.
Akibat dari semua inilah yang menguatnya kelompok - kelompok yang menentang Presiden Soeharto dan orde baru. Yang menjadi penggerak kala itu yaitu masyarakat sipil yang datang dari kalangan mahasiswa dan pemuda. Dimana gerakan masyarakat sipil ini berhasil menduduki Gedung DPR/MPR RI di Senayan pada bulan Mei 1998 merupakan langkah awal kejatuhan Presiden Soeharto dan tumbangnya era orde baru. Kekuatan dari masyarakat sipil yang besar menyebabkan mereka sulit diusir dari Gedung DPR / MPR dan semakin kuat dukungan dari para mahasiswa dan berbagai daerah di Indonesia terhadap gerakan tersebut memaksa elite politik untuk berubah sikap terhadap Presiden Soeharto. Pimpinan DPR secara terbuka meminta presiden turun. Kemudian disusul 14 orang menteri Kabinet Pembangunan menyatakan penolakan mereka untuk bergabung dengan kabinet yang akan dibentuk oleh Presiden Soeharto yang berusaha untuk memenuhi tuntutan mahasiswa. Melihat perkembangan politik seperti ini, Presiden Soeharto merasa yakin bahwa ia tidak mendapat dukungan yang besar dari rakyat dan orang - orang dekatnya sendiri, sehingga beliau kemudian memutuskan untuk mundur sebagai Presiden RI pada tanggal 20 Mei 1998. Ini merupakan buah usaha dari masyarakat Indonesia dalam hal ini civil society yang dimotori pergerakannya oleh para mahasiswa.
Setelah sebelumnya Selama 35 tahun berkuasa rezim totaliter Orde Baru berhasil merusak dan membungkam kesadaran “civil society” di Indonesia. Nyaris tidak ada organisasi kemasyarakatan yang bebas dari kooptasi negara. Prestasi rezim Orde Baru ini boleh dikatakan jauh melebihi prestasi rezim totaliter komunis.
Begitu dominannya peranan negara pada masa Orde Baru. Dalam acara “dari desa ke desa”, pak tani tak pernah lupa berterimakasih kepada pemerintah/negara; karena ikan mas, padi, jagung atau apa saja yang ditanamnya, bisa berhasil berkat bantuan pemerintah/negara.
  Pada masa orde baru ini secara khusus, bila kita melihat perkembangan kekuatan civil society pada masa Orde Baru terdapat tiga kategori civil society menurut Edward Aspinall yaitu: pertama, organisasi yang dibentuk sebagai bagian dari kelompok fungsional pada masa awal pemerintahan Orde Baru seperti HKTI.[3] Model kelompok civil society yang seperti ini memiliki loyalitas yang tinggi terhadap pemerintahan Orde Baru bahkan menjadi bagian dari kekuatan Golongan Karya. Kedua, organisasi yang semi korporatis terhadap negara, dimana kelompok ini memiliki independensi dalam ide dan gagasannya namun dapat berkompromi terhadap kebijakan negara agar mereka dapat bertahan hidup serta memiliki suara dalam lembaga legislatif atau eksekutif. Kelompok seperti NU dan Muhammadiyah merupakan kategori yang masuk di dalamnya karena mereka sadar bahwa mereka memiliki kekuatan jaringan serta pendukung yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan politik penguasa. Ketiga, kelompok civil society yang berkembang menjadi kelompok oposisi. Kelompok ini memiliki keotonoman yang kuat terhadap kekuasaan negara bahkan cenderung mengkritik berbagai kebijakan dan tindakan dari negara. Tidaklah heran bila kemudian aparat negara juga bersikap represif terhadap kelompok ini seperti YLBHI ataupun WALHI.
Maka kekuatan civil society pada masa Orde Baru tidaklah signifikan karena sebagian kelompok civil society juga memiliki aliansi dengan kekuatan di lingkaran kekuasaan. Dalam konteks itulah terlihat bahwa kelompok civil society dan partai politik pada masa Orde Baru memiliki relasi yang sulit dideskripsikan menurut model yang diajukan oleh Beavis. Alasannya adalah pada satu sisi, kelompok civil society merupakan bagian tak terpisahkan dengan partai politik atau bahkan civil society yang memiliki keotonoman juga merasa ada ketergantungan untuk bisa hidup dari usaha mendukung negara. Sementara di sisi lain, civil society juga merasakan perlu kehadiran akan kekuatan politik. Sayangnya keterbasan ruang politik serta wadah politik yang diberlakukan oleh negara mengakibatkan kelompok civil society tidak leluasa untuk dapat berkontribusi terhadap proses pembuatan kebijakan, termasuk pembuatan undang-undang.
     Civil Society pada masa setelah jatuhnya rezim Orde Baru
Selama 11 tahun pasca runtuhnya kekuasaan pemerintahan Orde Baru, politik Indonesia telah mengalami perubahan dan dinamika sosial politik yang dramatis. Di awal masa Reformasi, euphoria kebebasan politik telah memberi celah munculnya kekuatan-kekuatan politik baru yang selama masa Orde Baru tidak dimungkinkan terjadi. Pembatasan jumlah partai politik di era Orde Baru telah berubah menjadi era mulitpartai pada Pemilu 1999 dan pemilu-pemilu selanjutnya. Kekuatan organisasi masyarakat lainnya seperti LSM ataupun organisasi yang sejenis juga meningkat jumlahnya secara drastis bila dibandingkan dengan masa Orde Baru.
  Di samping itu, perubahan kelembagaan politik setelah Reformasi juga mengalami perubahan, seperti adanya penguatan lembaga-lembaga politik (eksekutif, legislative dan yudikatif) dalam peran-perannya dan juga mekanisme procedural seperti pemilihan umum yang lebih transparan dan adil bagi semua pihak. Aspek desentralisasi juga menjadi salah satu perubahan penting dalam tatanan kehidupan social politik di Indonesia karena kekuatan dan pergeseran politik di tingkat lokal pun menjadi lebih dinamis. Perubahan kelembagaan dan prosedur di dalam tatanan politik telah menjadi salah satu aspek penting yang terjadi dalam masa demokratisasi di Indonesia. Namun demikian, dalam beberapa hal perubahan tersebut juga membawa dinamika yang menarik untuk diperhatikan lebih dalam, semisal yang terjadi di civil society dan juga partai politik. Kedua elemen ini dianggap oleh kalangan ilmuwan politik sebagai kekuatan yang mendorong dan mengarahkan jalannya demokratisasi di sebuah Negara.
Tumbuh dan kembangnya civil society setelah Orde Baru runtuh menimbulkan sebuah harapan baru yakni munculnya sebuah kekuatan yang penting dalam mendorong gerakan pembaharuan politik di Indonesia. Pada saat yang bersamaan, struktur politik yang lebih terbuka dan memberi kesempatan yang lebih luas adalah keuntungan yang dimanfaatkan oleh kelompok civil society di Indonesia. Akibatnya arena politik seperti negosiasi dan lobi dengan penguasa politik yang dulu dianggap sebagai sesuatu hal yang dihindari oleh para aktornya, menjadi faktor penting yang harus dipertimbangkan kembali.
Kehadiran civil society yang dijamin kebebasannya juga menopang bagi keberlangsungan partai politik, terutama untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada masyarakat. Tugas civil society adalah menghasilkan gagasan-gagasan yang konstruktif dalam pembangunan dan juga memonitor aparat negara serta kelompok-kelompok ekonomi. Sementara itu, tugas partai politik adalah menghasilkan dan membentuk konstitusi dan aturan-aturan perundang-undangan, mengontrol aparat birokrasi dan juga menghasilkan produk- produk kerangka kebijakan bagi semua pihak, termasuk kelompok ekonomi.

Peran Civil Society dalam demokratitasi lewat pembangunan relasi dengan partai politik
Relasi dan dinamika yang terbangun diantara dua kelembagaan ini, civil society dan partai politik, sedang berusaha menemukan arah yang konstruktif. Dahulu pada masa Orde Baru, kelompok civil society yang cenderung beroposisi dengan pemerintah, tidak mendapat tempat dalam konstelasi politik nasional. Pada saat yang bersamaan, hegemoni Golkar yang didukung oleh penguasa Orde Baru telah mematikan langkah dan strategi partai politik lainnya seperti PPP dan PDI. Dalam konteks ini kita tidak mampu mendiskusikan secara jelas arah relasi civil society dan partai politik.
Dalam era paska reformasi, kedua institusi ini sebenarnya telah sepakat bahwa membangun demokrasi tentu memerlukan relasi yang konstruktif, terutama demi menghasilkan kebijakan-kebijakan public yang menguntungkan masyarakat luas. Hanya saja yang perlu didiskusikan secara intensif menyangkut perbedaan perspektif mengenai hal tersebut. Bagi kelompok civil society, kebutuhan untuk terlibat dalam arena pembuatan kebijakan adalah penting. Permasalahannya kemudian adalah bagaimana mengkoneksikan kebutuhan tersebut menjadi sebuah kenyataan manakala terdapat kendala yang masih dihadapi, semisal mobilisasi dukungan financial yang dibutuhkan dalam pemenangan pemilu.
Hal ini bisa terjadi karena partai politik besar di Indonesia masih menghadapi persoalan serius dalam pembenahan internal organisasi, semisal dalam urusan rekrutmen yang belum tertata dengan baik. [4] Padahal salah satu usaha untuk memenangkan pemilu adalah menyangkut mekanisme rekrutmen yang dikaitkan dengan cara pemenangan tersebut. Artinya para aktor civil society yang berkeinginan untuk menjadi anggota partai politik tertentu dan menjadi caleg partai tersebut akan mempertimbangkan kembali manakala partai belum memikirkan secara serius terkait dengan aspek pemenangan tersebut. Sementara itu, partai politik juga berpandangan bahwa memenangkan pemilu ataupun memutuskan sebuah perundang-undangan tanpa dukungan nyata dari kelompok atau organisasi kemasyarakatan adalah sesuatu yang sulit dilakukan.
Maka tidak heran bila partai politik memiliki organ dan sayap kelompok masyarakat yang berkoneksi langsung dengan kebutuhan mereka.[5] Dalam konteks itu kelompok civil society dan partai politik memiliki kedekatan yang jelas, namun masih memiliki permasalahan yang harus dicari penyelesaiannya. Apakah mengajak dan meminta aktor civil society ke dalam partai untuk membantu penyelesaian hal tersebut dan mendorong agar terjadi hubungan yang permanen dan saling menguntungkan di kemudian hari? Ataukah yang bersifat sementara, dimana kehadiran aktor civil society hanya menjadi pelengkap bagi usaha meningkatkan suara partai? Maka diskusi tentang hal ini menjadi agenda yang menarik agar tidak menimbulkan rasa curiga. Gagasan Blok Politik Demokratik yang disampaikan oleh DEMOS merupakan sebuah hal yang menarik.[6] Gagasan ini sebenarnya ingin member penekanan adanya lembaga perantara diantara dua kekuatan yaitu organisasi partai politik yang punya tujuan politis dengan organisasi civil society seperti organisasi gerakan social dan organisasi kerakyatan lainnya.
 Harapannya model blok seperti ini akan mampu menjelma sebagai sarana yang efektif untuk menjembatani kepentingan politik dari organisasi civil society dengan keterbatasan yang mereka miliki. Namun demikian, catatan yang perlu didiskusikan adalah bagaimana blok ini mampu secara efektif bekerja dalam mengarahkan kepentingan politik dari kelompok civil society manakala komitmen diantara para aktor (baik di dalam partai dan civil society) belum terbangun dengan utuh. Pada saat yang bersamaan, kesiapan infrastruktur baik menyangkut mobilisasi sumber daya untuk mengarahkan tujuan politik masih menghadapi persoalan serius di partai politik dan civil society. Sebagai contoh, dalam persoalan sumber daya, partai politik dan civil society masih mengandalkan mobilisasi dari pihak luar untuk menjalankan organisasinya.
Parahnya, partai politik memiliki kelemahan dalam mengelola sumber daya secara baik, terutama dalam urusan pendanaan. Artinya untuk menciptakan sebuah bangunan blok yang baik dibutuhkan kedua organ penopangnya yaitu civil society dan partai politik yang juga memiliki kesiapan yang memadai untuk menciptakan sebuah blok yang efektif.
 Oleh karena itu, salah satu hal yang bisa dilakukan segera adalah membangun komitmen diantara para aktor civil society dan pimpinan partai politik untuk mendesakkan agenda pembangunan blok politik demokratik. Hal yang positif pada saat ini adalah adanya kawan-kawan Ornop yang sudah bergabung di partai menjadi penghubung dalam upaya menciptakan komitmen bersama ini. Bila ini bisa dilakukan dan mendapat dukungan luas dan nyata dalam bentuk kesamaan komitmen terhadap blok-blok ini maka akan terbuka kemungkinan kerjasama ini bisa diwujudkan.




C. PENUTUP
     C.1 Kesimpulan
            Dari berbagai data dan analisa yang telah penulis paparkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa gerakan civil society terjadi perkembangan yang signifikan pada era reformasi. Artinya, disini mereka mendapatkan kebebasan untuk kemudian bergerak dalam ruang lingkup sosial, politik, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya. Keadaan ini berbeda jauh terhadap keadaan pada msa orde baru, dimana kebebasan mereka sangat dibatasi oleh tirani kekuasaan.

     C.2 Saran
                 Adapun yang harus diperhatikan setelah mengalami gejolak perubahan dari adanya pergantian rezim orde ke era reformasi adalah bagaimana membangun masyarakat sipil ini secara luas. Dan juga masalah independensi dari adanya pengaruh partai politik harus diminimalisir dalam kegiatan-kegiatan yang sifatnya pemilihan. Karena memang fungsi dari adanya civil society di suatu negara adalah sebagai jembatana yang menghubungkan antara masyarakat dan negara dalam mempengaruhi kebijakan yang akan diambil.

Daftar Pustaka
-          Budiardjo, Miriam Prof. 2008. Dasar-Dasar ilmu Politik.Jakarta, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
-          Kamus Sosiologi
-          Artikel Koran Tempo dalam tajuk Opini tentang “tipolodi masyarakat sipil” oleh: Denny J.A


           




[1] Bill Moyer, Merencanakan Gerakan , hal 121
[2] Miriam Budiarjo, Dasar-dasar ilmu politik, hal 67
[3] Edward Aspinall, Indonesia Transformation of Civil Society and Democratic Breakthrough dalam
Muthiah Alagappa, Civil Society and Political Change in Asia: Expanding and Contracting
Democratic Space, Palo Alto, Stanford University Press, 2004, hal.71-72
[4] Lihat Lili Romli, Aditya Perdana, Wawan Ichwanuddin dan
Miftah Sabri, Kerangka Penguatan Partai Politik di Indonesia, Depok, PUSKAPOL UI dan
Kemitraan, 2008, hal.19-26
[5] Lihat Marjonie Randon Hershey, Citizens’ Group and Political Parties in the United States, Annals of
the American Academy of Political and Social Science, Vol.528, Citizens, Protest and Democracy,
July 1993, hal.149
[6] Olle Tornqueist, Apa dan Mengapa Blok Politik Demokratik, dapat diakses di
http://www.demosindonesia.org/laput/article/article.php?id=327. Makalah yang disampaikan oleh tim
peneliti Demos dalam seminar berjudul Satu Dekade reformasi: Maju dan Mundurnya Demokrasi di
Indonesia. Dapat diakses di: http://www.demosindonesia.org/downloads/1210760409_
Satu_Dekade_Reformasi-Presentasi.pdf

Comments

Popular posts from this blog

Teori Elit dalam Kebijakan Publik

ELIT DAN KEBIJAKAN : TINJAUAN TEORITIS TENTANG MODEL ELIT DALAM MEMAHAMI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK Oleh : Iwan Ismi Febriyanto Abstract             In the analysis of public policy, of course, there are some models that can be used to focus on one subject of public policy itself. That is, before we alone make this a great and sturdy construction, of course, we must have a clear model. That is the reason why public policy analysis models are crucial in making or analyzing public policy. There are several models in the classification of policy analysis. However, here the author would like to focus on Elite Model Theory in the analysis of public policy. To find out how political institutions operate, how decisions are made then the informant's most relevant is the political elite. Elite is defined as "those that relate to, or have, an important position." Political elite to do with how power affects the person's public policy making. Here the role of the

TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT

DIALEKTIKA KEBIJAKAN PUBLIK : “STUDI KOMPARASI TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT DENGAN GOOD GOVERNANCE DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK” Oleh: Iwan Ismi Febriyanto Abstract Public sector organizations are often described unproductive, inefficient, always loss, low quality, poor innovation and creativity, as well as many other critics. The emergence of strong criticism directed at public sector organizations will then cause the movement to reform public sector management. One of the public sector reform movement is the emergence of the concept of New Public Management (NPM). The concept of new public management was initially introduced by Christopher Hood in 1991. When viewed from a historical perspective, modern management approaches in the public sector at first appear in Europe in the 1980s and 1990s as a reaction to the inadequacy of the traditional model of public administration. NPM emphasis at that time was the implementation of decentralization, devolution, and the m

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme Analisis Mengenai Pengaruh dan Implementasinya dalam Kondisi Politik di Suatu Negara Oleh : Iwan Ismi Febriyanto BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG             Ideologi merupakan hal yang paling krusial dalam sejarah maupun masa depan kehidupan manusia, terutama dalam bidang politik dan ekonomi. Bagaimana ideologi mempunyai peran sebagai dasar maupun pijakan yang digunakan oleh suaru kelompok sebagai panutan dari apa yang akan dilakukannya kedepan. Kata ideologi sendiri pertama kali dikembangkan dan diperkenalkan oleh seorang filsuf dari negara Perancis yang bernama Antonie Destutt de Tracy di masa Revolusi Perancis. Antony Downs (1957:96) mengatakan bahwa ideology merupakan seperangkat asumsi dasar baik normatif maupun empiris mengenai sifat dan tujuan manusia atau masyarakat agar dapat dipakai untuk mendorong serta mengembangkan tertib politik.