BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Indonesia sebagai negara yang sedang membangun, ingin mencoba untuk dapat
membangun bangsa dan negaranya sendiri tanpa memperdulikan bantuan dari negara
lain. Tentu ini pernah dicoba. Namun ternyata Indonesia sulit untuk terus
bertahan ditengah derasnya laju globalisasi yang terus berkembang dengan cepat
tanpa mau menghiraukan bangsa yang lain yang masih membangun. Dalam kondisi
seperti ini, Indonesia akhirnya terpaksa mengikuti arus tersebut, mencoba untuk
membuka diri dengan berhubungan lebih akrab dengan bangsa lain demi menunjang
pembangunan bangsanya terutama dari sendi ekonomi nasionalnya.
Menurut Boediono (1999:22), pertumbuhan ekonomi merupakan tingkat
pertambahan dari pendapatan nasional. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi
merupakan sebagai proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang
dan merupakan ukuran keberhasilan pembangunan.
Dalam proses
pembangunan ekonomi, negara membutuhkan investasi dalam bentuk modal kapital
dan modal manusia dalam jumlah yang tidak sedikit. Pada kenyataannya, tidak
semua negara sanggup membiayai program pembangunannya secara mandiri.
Keterbatasan kapasitas fiskal yang dihadapi suatu negara menyebabkan negara
tersebut membutuhkan bantuan dari negara lain, yakni berupa bantuan pinjaman
atau utang luar negeri. Dalam perkembangannya, kebutuhan akan utang luar negeri
tidak hanya diartikan dalam ruang ekonomi saja, tetapi sudah mulai
merambat ke dalam ruang politik. Kebijakan utang luar negeri dijadikan
sebagai salah satu bargain power yang dimiliki oleh negara-negara
kreditur (pada umumnya negara-negara maju) untuk melakukan ekspansi politik
luar negeri berdasarkan self-interest-nya masing-masing terhadap
negara-negara peminjam (biasanya negara-negara berkembang).
Tulisan ini
bertujuan membahas secara singkat bagaimana perkembangan politik utang luar
negeri yang terjadi di Indonesia sejak awal dimulainya Orde Baru hingga saat
sekarang dan bagaimana negara-negara kreditur memanfaatkan kebijakan utang luar
negeri dalam kepentingan politiknya terhadap pemerintah Indonesia.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Bagaimana sejarah Indonesia mempunyai
utang luar negeri ?
2. Bagaimana
dampak positif dan negatif utang luar negeri terhadap Indonesia ?
3. Apa peranan
utang luar negeri terhadap Indonesia ?
1.3 Tujuan
1. Agar
mahasiswa mengetahui sejarah Indonesia mengapa bisa memiliki utang luar negeri.
2. Agar
mengetahui bagaimana saja dampak utang luar negeri terhadap Indonesia , baik
dampak positif dan dampak negatif.
3. Mengetahui
peranan-peranan utang luar negeri terhadap kebijakan yang ada di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah
Utang Luar Negeri
Menurut
Wikipedia, utang luar negeri adalah sebagian dari total utang suatu negara
yang diperoleh dari para kreditor di luar negara tersebut. Penerima utang luar negeri
dapat berupa pemerintah, perusahaan, atau perorangan. Bentuk utang dapat berupa
uang yang diperoleh dari bank swasta, pemerintah negara lain, atau lembaga keuangan
internasional seperti IMF
dan Bank
Dunia.
Dalam suatu masa, Indonesia pernah
menempuh kebijakan ekonomi yang pragmatis dan non-ideologis. Di era
pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto mengintegrasikan Indonesia ke dalam
perekonomian dunia dan membangun hubungan dengan negara-negara maju
(Hollinger,1996). Arah kebijakan seperti ini ditempuh karena pemerintah Orde
Baru menyadari bahwa sikap keras pemerintah Orde Lama terhadap negara-negara
Barat-lah yang menjadi penyebab kerugian ekonomi yang dialami Indonesia.
Ketika pemerintahan Orde Baru dimulai, Presiden Soeharto terlebih dahulu
menciptakan stabilitas politik, kemudian menata ulang perekonomian Indonesia.
Untuk urusan pembangunan ekonomi, Presiden Soeharto menyerahkan tugas ini
kepada sekelompok ekonom dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI)
yang dipimpin oleh Prof.Dr.Widjojo Nitisastro (Thee,2004). Oleh beliau,
rencana pemulihan ekonomi Indonesia pun dibagi menjadi tiga tahapan, yakni :
stabilisasi, rehabilitasi, dan pembangunan. Tahapan stabilisasi meliputi empat
tujuan, yakni : (1) penghentian hiperinflasi dan memulihkan stabilitas
makroekonomi ; (2) decontrol ; (3) penjadwalan utang luar negeri dan
upaya memperoleh kredit dari luar negeri ; dan (4) membuka pintu bagi penanaman
modal asing (Arndt,1984). Penghentian hiperinflasi menjadi prioritas utama
karena pada saat itu laju inflasi sangat tidak terkendali, sehingga sangat
mengganggu stabilitas makroekonomi. Kemudian, decontrol bertujuan untuk
menghilangkan berbagai rintangan dalam perdagangan luar negeri dan valuta asing
(semacam deregulasi). Sementara itu, kebijakan penjadwalan utang luar negeri
dan upaya pemerolehan kredit luar negeri diperlukan untuk mengamankan neraca
pembayaran. Terakhir, kebijakan penanaman modal asing ditujukan untuk
mengembangkan sumber daya alam dan industrialisasi di Indonesia (Sadli,1972).
Argumentasi dari dua kebijakan terakhir di atas menurut kelompok Prof.Widjojo
adalah bahwa tidak bijaksana jika pemerintah Orde Baru terjebak dalam retorika
nasionalisme ekonomi. Dalam kondisi seperti ini mempertahankan
perekonomian Indonesia agar tetap dapat berjalan adalah prioritas utama,
sehingga pemerintah Orde Baru memerlukan bantuan luar negeri dan penanaman
modal asing (Thee,2004).
Dalam pelaksanaannya, kebijakan penjadwalan utang luar negeri serta usaha
pemerolehan kredit luar negeri ternyata sulit untuk dilaksanakan. Beban berat
neraca pembayaran luar negeri sebagai akibat utang luar negeri yang diwariskan
oleh Orde Lama, membuat Indonesia berada dalam posisi yang sulit. Indonesia
tidak mampu membayar cicilan dan bunga utang luar negeri. Bank Indonesia bahkan
tidak mampu membayar letters of credit dan terpaksa menunda pembayaran
kredit perdagangan luar negeri yang totalnya mencapai 177 juta dollar AS
(Panglaykim dan H.W Arndt,1966). Dari total utang luar negeri itu, sebanyak 60%
kredit luar negeri jangka menengah dan jangka panjang diperoleh Indonesia dari
negara-negara komunis, terutama Uni Soviet. Sementara 40% sisanya berasal dari
negara nonkomunis, antara lain Jepang dan Amerika Serikat. Di sisi lain, hasil
ekspor Indonesia pada akhir tahun 1966 hanya mencapai 430 juta dollar AS.
Rendahnya tingkat ekspor memaksa pemerintah Orde Baru menekan impor serendah
mungkin sampai-sampai tekstil, obat-obatan, dan pangan tidak terbeli
(Prawiro,1998). Dengan situasi seperti itu, Indonesia tidak memiliki
kualifikasi yang cukup untuk mendapatkan bantuan kredit yang baru sampai
akhirnya Presiden Soeharto mengirimkan delegasi ke berbagai negara kreditor
untuk membahas masalah moratorium utang luar negeri. Melalui diplomasi yang
intensif di dalam forum London Club dan Paris Club, pemerintah Indonesia
mengajukan gagasan pembentukan konsorsium negara-negara kreditor untuk
Indonesia.
Pertemuan dengan Paris Club merupakan peluang pertama bagi pemerintah
Orde baru untuk menjelaskan kebijakan ekonomi seperti apa yang akan ditempuh,
antara lain : pengendalian hiperinflasi, anggaran belanja berimbang, serta investasi
biaya rendah untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi berdasarkan
prinsip-prinsip mikroekonomi dan makroekonomi (Prawiro,1998). Perlu dicatat
bahwa sebelum pertemuan Paris Club berlangsung, pemerintah Indonesia sudah
melakukan deal politik dengan pemerintah Belanda dan pemerintah Inggris
mengenai pembayaran ganti rugi atas nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda
pada tahun 1958 senilai 165 juta dollar AS dan perusahaan-perusahaan Inggris
yang diambil alih pemerintah Indonesia pada tahun 1960 sebagai akibat kampanye
“Ganyang Malaysia” (Panglaykim dan Thomas,1971). Hal ini dilakukan sebagai
syarat dalam meyakinkan negara-negara kreditor Paris Club (dimana Inggris dan
Belanda termasuk di dalamnya) bahwa pemerintah Orde baru bertikad baik dan
serius berkomitmen untuk memulihkan perekonomian Indonesia (Thee,2004).
Hasil dari forum ini adalah disetujuinya moratorium bagi Indonesia.
Selain itu, pemerintah Orde Baru juga diberikan pinjaman baru sebanyak 200 juta
dollar AS pada tahun 1967. Sejak tahun itu bantuan dari negara-negara Barat dan
Jepang meningkat, sehingga pada tahun 1967-1969 bantuan luar negeri menyumbang
28% bagi pembiayaan pemerintah, termasuk untuk pembangunan dan pengeluaran
rutin pada awalnya (Bresnan,1993). Untuk lebih meringankan beban utang,
Indonesia juga melakukan persetujuan dengan negara-negara komunis, terutama Uni
Soviet. Perundingan ini berjalan alot karena Uni Soviet menghendaki Indonesia
tetap berpegang pada persetujuan awal yang mewajibkan Indonesia terlebih dahulu
menyelesaikan utangnya dalam waktu singkat (Thee,2004). Sikap Uni Soviet ini
dilatarbelakangi oleh kekhawatiran bahwa konsesi-konsesi yang diberikan
negara-negara Barat dalam penjadwalan utang Indonesia dimaksudkan untuk menekan
Indonesia agar meninggalkan kebijakan luar negeri yang anti-kolonial dan
anti-imperialis (Prawiro,1998). Episode lanjutan dari upaya Indonesia untuk
memperoleh bantuan pinjaman luar negeri berujung pada dibentuknya suatu
konsorsium yang terdiri dari negara-negara donor yang bernama IGGI (Inter
Governmental Group on Indonesia) yang diketuai oleh pemerintah Belanda. IGGI
memberikan bantuan dalam bentuk program untuk memperkuat neraca pembayaran,
baik berupa kredit dalam valuta asing maupun bantuan pangan. Selebihnya
diberikan dalam bentuk proyek (Arndt,1984). Selama 25 tahun, IGGI berfungsi sebagai
“kasir” pemerintah Indonesia sekaligus sebagai penasihat pemerintah dalam
pelaksanaan pembangunan (Harinowo,2002). Setiap tahunnya, IGGI membahas dan
mengevaluasi kinerja pemerintah Indonesia di bidang ekonomi dan pembangunan.
Setidaknya ada dua pertemuan yang perlu diingat dalam sejarah IGGI bagi
Indonesia. Pertama, pada Maret 1976 membahas krisis Pertamina yang terbelit
utang kepada The Republic National Bank of Dallar sebesar 40 juta dollar AS (Prawiro,1998).
IGGI berjanji akan memberikan bantuan pembiayaan darurat sebesar 1 miliar
dollar AS untuk melunasi utang Pertamina sekaligus menutupi biaya proyek
Pertamina semisal pabrik baja Krakatau Steel dan proyek LNG (Bresnan,1993).
Kedua, pembahasan laporan Bank Dunia mengenai kebijakan industri dan
perdagangan Indonesia. Dalam laporan yang kritis itu, Bank Dunia menyebutkan
bahwa sistem perizinan industri di Indonesia sangat rumit dan berbelit-belit,
aturan administratif yang restriktif, dan kebijakan perdagangan yang
proteksionis dan mengandung bias anti-ekspor yang kuat. Hal ini menyebabkan
pola pembangunan industri manufaktur Indonesia menjadi tidak efisien dan tidak
bisa bersaing di pasar internasional (Thee,2004). Laporan ini kemudian
ditanggapi negatif oleh pemerintah Indonesia. Meskipun demikian, pemerintah
Indonesia tetap melakukan deregulasi seperti yang disarankan oleh Bank Dunia.
Hal ini dipicu oleh berakhirnya era Oil Boom tahun 1982, sehingga
memaksa pemerintah Indonesia untuk mengembangkan industri manufaktur yang
berdaya saing internasional agar dapat menggantikan peranan minyak bumi sebagai
motor pembangunan dan sumber pendapatan devisa yang utama dalam beberapa belas
tahun terakhir (Thee,2004).
Hubungan manis antara pemerintah Indonesia dengan IGGI berakhir pada
tahun 1992. Kala itu, pemicunya adalah insiden Dilli. Insiden ini dikecam oleh
banyak negara yang kebetulan termasuk sebagai anggota IGGI. Kecaman konkrit ini
diwujudkan lewat pembekuan bantuan pinjaman oleh Belanda, Denmark, dan Kanada
(Manning,1992). Tindakan ini menyinggung rasa nasionalisme bangsa Indonesia,
termasuk opini mengenai ketergantungan terhadap bantuan luar negeri. Presiden
Soeharto mengambil sikap dengan menolak bantuan pinjaman untuk tahun anggaran
1992/1993 dengan alasan bantuan tersebut mengandung terlalu banyak persyaratan
yang tidak dikehendaki pemerintah Indonesia (meskipun sebenarnya persyaratan
tersebut tidak jauh berbeda dengan persyaratan pada perjanjian utang di
tahun-tahun sebelumnya). Akhirnya, IGGI dibubarkan pada tahun 1992. Tetapi
karena Indonesia masih membutuhkan bantuan luar negeri (dengan syarat lunak)
seperti yang pernah diberikan IGGI, maka dibentuklah CGI (Consultative Group
on Indonesia) yang diketuai oleh Bank Dunia. Anggota CGI sebagian besar merupakan
anggota IGGI, kecuali Belanda. Dengan demikian, CGI menjadi pengganti IGGI
sebagai forum yang efektif bagi Indonesia dalam bernegosiasi dengan lembaga
internasional dan negara-negara pendonor bantuan luar negeri dan pinjaman yang
dibutuhkan untuk membangun perekonomian Indonesia (Prawiro,1998) selama
beberapa tahun lamanya hingga pada tahun 2007, berdasarkan keputusan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah Indonesia memutuskan untuk membubarkan CGI
dengan alasan sudah tiba waktunya bagi Indonesia untuk mampu merancang dan
menjalankan sendiri program ekonomi secara mandiri (Thee,2004).
2.2 Dampak
Utang Luar Negeri Terhadap Indonesia
Dampak positif dari utang luar
negeri adalah percepatan pembangunan nasional dan daerah akan tercapai atau terealisasikan
dikarenakan dana atau pembiayaannya sudah terjamin yang berasal dari luar
negeri, karena APBN kurang mencukupi untuk tercapainya pembangunan nasional
yang ditargetkan serta kemakmuran masyarakat segera terwujud. Namun dibalik
dari keuntungan tersebut juga terdapat dampak negatif yang merugikan banyak
kalangan karena membebankan anggaran negara karena harus mencicil utang yang
dipinjam, apalagi jika hutang tersebut jatuh tempo. Serta membuat eksisnya negara yang member
pinjaman di negara yang meminjam.
Salah satu beban politik ekonomi Indonesia adalah utang luar negeri yang
terus membengkak. Utang ini sudah begitu besar. Biaya ini sudah melewati
kapasitas yang wajar, sehingga biaya untuk kepentingan-kepentingan yang begitu
mendasar dan mendesak menjadi sangat minim yang berimplikasi cukup luas.
2.3 Peranan
Utang Luar Negeri Dalam Pembangunan Ekonomi
Menurut aliran neoklasik, utang luar negeri merupakan suatu hal yang
positif. Hal ini dikarenakan utang luar negeri dapat menambah cadangan devisa
dan mengisi kekurangan modal pembangunan ekonomi suatu negara. Dampak positif
ini akan diperoleh selama utang luar negeri dikelola dengan baik dan benar.
Rasanya hampir tidak ada bukti empiris yang menunjukkan bahwa ada negara
di dunia ini yang tidak pernah berutang kepada negara lain. Hal ini dikarenakan
setiap negara memiliki perencanaan pembangunan yang berbeda-beda, tetapi
memiliki kapasitas fiskal yang terbatas. Untuk membiayai pembangunan,
pemerintah memiliki apa yang dikenal sebagai government spending. Jika selisih pengeluaran pemerintah dengan
tingkat penerimaan pajak bernilai defisit, maka alternatifnya adalah dengan
memanfaatkan pendanaan yang berasal dari luar negeri.
Secara umum, pendanaan luar negeri berasal dari sumber-sumber sebagai
berikut: (1) bilateral (pemerintah negara lain) berupa hibah, pinjaman lunak
dan pinjaman campuran; (2) lembaga multilateral/internasional berupa hibah dan
pinjaman, dan; (3) perbankan atau lembaga keuangan internasional berupa
fasilitas kredit ekspor dan pinjaman komersial. Besarnya nilai utang luar
negeri dapat disebabkan penerimaan pajak dan pengeluaran pemerintah yang tidak
seimbang. Rendahnya penerimaan pajak, sementara pengeluaran pemerintah akibat
impor barang modal tinggi.
Setidaknya ada dua alasan mengapa pemerintah di negara-negara berkembang
tetap membutuhkan utang luar negeri. Pertama, utang luar negeri dibutuhkan
sebagai tambahan modal bagi pembangunan prasarana fisik. Infrastruktur
merupakan investasi yang mahal dalam pembangunan. Kedua, utang luar negeri
dapat digunakan sebagai penyeimbang neraca pembayaran.
Penggunaan utang luar negeri sebenarnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan
selama digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang produktif. Jika
berhasil, output perekonomian akan meningkat dan economic growth akan naik. Naiknya angka pertumbuhan merupakan
salah satu faktor (selain stok cadangan devisa dan pengembangan alokasi APBN)
yang menjadi pertimbangan dalam pemberian peringkat utang oleh lembaga-lembaga
internasional pemeringkat kredit dunia seperti Fitch dan Standard
& Poor. Jika suatu negara dikategorikan sebagai investment grade, tentu ini akan
berdampak baik bagi perekonomian domestik. Status investment grade ini akan menekan biaya penerbitan obligasi
negara yang diterbitkan pemerintah dan swasta domestik karena dianggap memiliki
risiko gagal bayar yang rendah. Akibatnya, banyak investor asing akan tertarik
untuk menanamkan modalnya di dalam negeri. Terjadilah capital inflow. Ruang untuk melakukan ekspansi dalam
perekonomian pun semakin lebar.
Akan tetapi, utang luar negeri juga bisa menjadi bumerang. Alih-alih
digunakan untuk sektor-sektor yang produktif, penggunaan utang luar negeri
tidak tepat sasaran akan menyebabkan permasalahan yang serius di kemudian hari.
Kasus yang paling banyak terjadi antara lain penyalahgunaan pinjaman dan
lemahnya pengawasan proyek yang dibiayai dengan utang luar negeri membuat
praktik-praktik korupsi dan rent
seeking di kalangan pejabat pemerintahan tumbuh subur. Di negara-negara
yang tidak memiliki struktur dan sistem kelembagaan yang kuat, penggunaan
pinjaman luar negeri yang ditujukan untuk membiayai program berbasis pemerataan
dan pro-pemberantasan kemiskinan sering mengalami inefisiensi
(Chong,Gradstein,dan Calderon,2009). Oleh karena itu, justifikasi terhadap
penggunaan utang luar negeri tidak dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan
kondisi-kondisi di atas. Jika tidak, yang terjadi adalah debt trap yang tidak berkesudahan
dimana negara pengutang kesulitan membayar bunga dan pokok cicilan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara teoritis, suatu negara dalam membiayai program-program
pembangunannya dapat memanfaatkan utang luar negeri jika terkendala kapasitas
fiskal yang terbatas. Secara nilai ekonomi, baik negara peminjam maupun negara
pendonor akan diuntungkan dengan adanya utang luar negeri. Di satu sisi negara
pendonor akan mendapatkan bunga dari pokok pinjaman, sedangkan negara pengutang
akan mendapatkan tambahan kapital untuk melaksanakan pembangunannya.
Pada kenyataannya, utang luar negeri merupakan salah satu instrumen
kebijakan politik luar negeri di bidang ekonomi. Dengan memanfaatkan
ketergantungan negara debitur terhadap utang luar negeri, negara kreditur dapat
memanfaatkan keterikatan yang menyertai perjanjian utang luar negeri untuk
kepentingan negaranya. Argumentasi perlu tidaknya kebijakan berutang luar
negeri juga masih bisa diperdebatkan, tergantung kondisi yang dihadapi negara
yang membutuhkan utang luar negeri.
DAFTAR PUSTAKA
-
Harinowo,
Cyrillus (2002), Utang Pemerintah – Perkembangan, Prospek, dan
Pengelolaannya, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
-
Thee,
Kian Wie (2004). Pembangunan, Kebebasan, dan ‘Mukjizat’ Orde Baru :
Esai-Esai, Penerbit Buku Kompas.
Comments