Rekam
Jejak Sang Revolusioner
“Gerakan
Perlawanan Tan Malaka sebagai upaya pembebasan Indonesia dari para penjajah”
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dalam
bingkai sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, tentunya banyak sekali
sejarah yang telah diukirkan oleh para sang pahlawan kita, baik itu dituangkan
dalam bentuk senjata, pemikiran, dan lain sebagainya. Pada kebanyakan orang,
nama pahlawan yang kemudian dielukan-elukan sebagai pahlawan sejati adalah sang
Presiden pertama kita, yaitu Soekarno atau lebih dikenal dengan sebutan Bung Karno. Namun, ada beberapa nama
yang nampaknya asing ditelinga para pemuda-pemudi kita terhadap nama yang satu
ini, yaitu Tan Malaka. Namanya seakan telah menjadi korban kepalsuan sejarah
yang selalu mendeskreditkan kaum komunis pada waktu itu. Padahal, beliau adalah
orang pertama yang menulis tentang konsep negara Indonesia sebelum Bung Karno
menulis brosur mencapai Indonesia Merdeka pada tahun 1930. Tan Malaka menulis
menuangkan pemikirannya tentang Indonesia dalam bukunya yang berjudul Naar de
Republiek Indonesia pada tahun 1924 di Canton, Tiongkok (R.R.C.). Tidak
berlebihan jika beliau juga pantas disebut sebagai Bapak Revolusi
Indonesia.
Tan
Malak yang mempunyai nama lengkap Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka lahir di
Pandan Gadang Suliki, Sumatera Barat, pada 2 Juni 1897. Padan Gadang adalah
sebuah negari yang tersuruk di Bukit
Barisan, di antara lempit bukit dan sawah hijau yang membentang, juga kicau
burung yang berlompatan di buah-buah ranum. Alam disana serupa dengan banyak
desa di Ranah Minang yang bernafaskan keindahan, kenyamanan, dan kehijauan. Tan
Malaka sangatlah beruntung memiliki orang tua yang notabennya adalah seorang
pegawai pertanian Hindia Belanda, selangkah selangkah lebih maju ketimbang
warga lainnya. Dengan keberuntungan dan kecerdasan yang telah dia tunjukkan
sejak kecil, pada umur 12 tahun dia diberi kesempatan untuk mengenyam
pendidikan guru yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda yaitu disekolah
Rajo, Bukittinggi. Sebagimana dikatakn oleh guru Belandanya, G.H. Horensma,
“Rambutnya hitam-biru yang bagus sekali, bermata hitam kelam seolah-olah
memancarkan sesuatu.”
Tan
Malaka kemudian lulus pada tahun 1913. Lalu atas rekomendasi Horensma, dan
berkat pinjaman dana dari para engku
di Suliki sebesar Rp 50 per bulan, pada usia 17 tahun dia melanjutkan studi ke
negeri Belanda untuk sekolah Rijkskweekschool (Sekolah Pendidikan Guru
Pemerintahan) di Harleem. Konstruksi alam yang permai di Minangkabau, tidaklah
lengkap jika tidak membekali anak-anaknya dengan mengaji dan silat. Mengaji dan
silat sebagai pembentuk keribadian dan kepercayaan diri.
Di
negeri penjajah itu, dia mengecap dan menyerap ideology yang menjadi titik
perjuangannya sampai akhir hayat. Disana, dia bertemu dengan Herman (pemuda
pelarian dari Belgia) dan seorang Belanda bernama Van Der Mey yang sedikit
membuka mata Tan Malaka tentang politik. Ini yang membuktikan bahwa Tan Malaka
telah mendahului sekolah di Belanda daripada Mohammad Hatta, Nazir Datuk
Pamoentjak, Sutan Sjahrir, Abdul Rivai, Asaat, Ibrahim Taher, Zaharin Zain, dan
Abdul Muis.
Pada
November 1919, setelah kecamuk Perang Dunia I usai, Tan Malaka pulang ke
Indonesia. Lalu dia menjadi guru di sekolah yang didirikan oleh perusahaan
perkebunan Eropa. Di sana dia menjadi mengajar anak-anak kuli kontrak di
perkebunan tembakau milik orang Jerman dan Swiss di Deli, dekat Medan, Sumatera
Utara. Gajinya setaraf dengan gaji seorang guru Belanda. Di lingkungan
perkebunan itu, semangat radikalnya semakin tumbuh ketika dia menyaksikan
ketimpangan sosial antara kaum buruh dan tuan tanah. Dalam buku Dari Penjara ke Penjara, Tan Malaka
menulis: “Kekayaan bumi iklimnya Deli menjadi alat adanya satu golongan kaum
modal penjajah yang paling kaya, paling sombong ceroboh dan paling kolot pada
satu kutup. Di kutup yang lain berada satu golongan bangsa dan pekerja
Indonesia yang paling terhisap, tertindas, dan terhina: kuli kontrak.”
Pada tahun 1921 Tan Malaka telah
terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah
gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda
cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner
dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan
suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI
(Sarekat Islam)
untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran
komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan
keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan
kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.
Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan
sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru.
Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk
mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca,
ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan
kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk
perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk
mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan
sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin
besar.
Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha
mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan
dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap
pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran
sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat
adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
Seperti
dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh
untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila
nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya
untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.
Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis
di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul
dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas
aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga
harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari
Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang
telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti
oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil
Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.
Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan
tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian
kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.
Pemberontakan
1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang
berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah
waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan
kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat
pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik
ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang
dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini
dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang
yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat
pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama
bertahun-tahun.
Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu,
berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok.
Di ibu kota Thailand
itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni
1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai
Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah
menulis "Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada
para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu
pertama kali di Kowloon,
Hong Kong,
April 1925. Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan
Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya
daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum
kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum
revolusi Philippina pecah…."
Begitulah sekilas tentang sepak terjangnya dalam bingkai
sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang panjang. Bagaimana dia bisa memberikan
stimulasi bagi para pemuda tentang arti sebuah semangat revolusi demi cita-cita
bangsa kita yang bebas dari imperialism dan kolonialisme asing. Mengenai
kematian sang revolusioner ini, ada banyak versi yang memberikan gambaran.
Namun, banyak versi yang menyatakan bahwa Tan Malaka mati di tepi sungai
Brantas. Nafas terakhirnya terenggut ketika ia bersama-sama 20 orang pemuda
pengawal di tembak mati pada 19 Februari 1949 di pinggir Sungai Brantas.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
pemikiran politik Tan Malaka dalam upaya membebaskan Indonesia dari penajajahan
Belanda ?
1.3 Tujuan
1. Agar kita
mengetahui tentang sepak terjang sang pahlawan revolusioner Indonesia dengan
pemikiran radikalnya yang mampu mengobarkan semnagat juang pemuda dalam upaya
membebaskan diri dari belenggu penjajah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Paradigma
materialisme Tan Malaka
Seperti yang banyak diketahui bahwa
Tan Malaka memiliki karya terbesar dalam hidupnya yang diurauikan dalam bentuk
buku yang berjudul Madilog (Materialisme,
Dialektika, dan Logika). Ini merupakan karya terbesar dari seorang Tan Malaka
dalam mengkonstruksi pemikiran rakyat Indonesia dalam simpul perjuangan
kemerdekaannya. Namun, disini penulis ingin membatasi kilas pemikirannya
mengenai materialismenya. Dimana ada pengaruh langsung dari gagasan Karl Marx
dalam paradigma berfikirnya. Materialisme diambil olehnya sebagai titik nadir
dalam membangun semangat berjuang masyarakat Indonesia. ini tak lepas dari
pengaruh lingkungan Indonesia terutama disekitar tempat tinggalnya yang hampir
sama persis dengan apa yang terjadi di Rusia.
Madilog
merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti
serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat
kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta
dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan
pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat
materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling
sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama. Bagi Madilog (Materialisme,
Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat
diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu
bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum
dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana. Semua
karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari oleh kondisi Indonesia. Terutama
rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu
diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata
bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang
teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun
1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.
Materialisme yang digagas oleh Tan
Malaka sendiri menyesuaikan dengan kondisi Indonesia. Menurut Tan Malaka, dasar
dan aksioma materialism Barat tidak cocok diterapkan di Indonesia. Karena
perbedaan aksioma dalam memahami materialism inilah yang membuat Tan Malaka
dalam melihat materialism dialektis berlainan dengan yang dipahami Marx dan
Engels. Beberapa kali Tan Malaka menyatakan dirinya sebagai seorang komunis dan
materialis, namun disisi yang lain dia juga mempercayai agama. Menurut Tan
Malaka, masyarakat Indonesia tidak mungkin dapat menerima filsafat materialism
Barat, yang Marxisme adalah turunannya. Formula yang tepat bagi keyakinan
politiknya adalah Murbaisme. Dengan kondisi Indonesia yang pada waktu itu masih
dipengaruhi anismisme dan percaya dengan hal-hal yang masih bersifat mistisme,
Tan Malaka mulai mencoba merubahnya dengan pola berfikir yang realistis dan
melihat fenomena lebih jauh melalui perjuangan kelas pekerja yang selalu
ditindas oleh kaum penjajah. Ini merupakan semangat awal dari perjuangan untuk
merubah paradigma masyarakat Indonesia menjadi masyarakat dengan semangat juang
perubahan dan revolusi demi persatuan dan kesatuan Indonesia.
2.2 Ideologi dalam dialektika pemikiran Tan
Malaka
Berbicara
tentang Tan Malaka, maka kita berbicara mengenai tokoh legendaris. Bisa
dibilang dialah tokoh pejuang paling misterius sepanjang sejarah kemerdekaan.
Selama hidupnya ia hanya merasakan beberapa tahun kebebasan dan berjuang
ditengah-tengah rakyat, dan selebihnya ia berada dalam pengasingan atau dalam
penjara. Tokoh ini memang cukup unik. Bila kita perhatikan, pemikirannya begitu
kompleks. Tan Malaka tidak hanya selalu dapat dikataka sebagai pemimpin
komunis, namun lebih dari itu. Di mata Ben Anderson, Tan Malaka dilihat sebagai
seorang nasionalis yang komunis. Sedangkan George Mc. T Kahin lebih suka
melihat Tan Malaka dalam perspektif seorang komunis yang menyadari arti penting
nasionalisme sebagai sikap mandiri yang harus dijunjung tinggi. Sementara
Semaoen, pemimpin PKI pertama, melihat Tan Malaka sebagai seorang
Marxis-Leninis yang konsisten. Di mata PKI sendiri pasca pemberontakan
1926/1927 Tan Malaka dilihat sebagai Trotskyis, symbol untuk menyebut musuh
partai dalam perspektif Stalinis. Bahkan lebih jauh dari itu Hamka juga
menyebut Tan Malaka sebagai pemimpin Islam Indonesia, sama seperti Soekarno dan
Hatta.
Ketika menceritakan riwayat
hidupnya, Tan Malaka berusaha melepaskan keterkaitannya dengan PKI, dengan
mengaku sebagai ketua Sarekat Rakyat dan bukan Comintern. “Saya bukan
Bolsyevik”. Ia mengelak dari tuduhan tersebut. “Jika seseorang mencintai tanah
airnya memperlihatkan kecendrungan terhadap bolsyevikisme, maka panggillah saya
Bolsyevik”. Marxisme bagi Tan Malaka harus dipahami dalam kerangka
teoritis dan penerapannya amat tergantung pada kondisi masyarakat dimana ia
tinggal. Yang penting dari Marxisme penerapan metode Marx berfikir, bukan
menjalankan hasilnya cara berfikir.
Kalau materialisme di barat menganggap bahwa segala sesuatu yang ada didunia ini berasal dari benda (matter), maka sesuatu yang bukan benda (un matter) dan tidak masuk di akal/ tidak rasional walaupunsecara fakta ada, akan dianggap sebagai sesuatu yang tidak ilmiah dan harus ditolak.
Kalau materialisme di barat menganggap bahwa segala sesuatu yang ada didunia ini berasal dari benda (matter), maka sesuatu yang bukan benda (un matter) dan tidak masuk di akal/ tidak rasional walaupunsecara fakta ada, akan dianggap sebagai sesuatu yang tidak ilmiah dan harus ditolak.
Murbaisme adalah formula tepat
bagi keyakinan politik Tan Malaka. Hal itu ditunjukkan ketika revolusi
Indonesia bergolak Tan malaka tetap berpendapat, ini adalah revolusi nasional
Indonesia dan tidak ada hubungannya dengan perlawanan terhadap facisme, seperti
yang dipropagandakan oleh kaum komunis. Dalam konteks tersebut revolusi nasional
dilihat semata-mata sebagai bentuk perlawanan terhadap imperialisme Belanda.
Namun kaum komunis Indonesia tidak berdiri diatas itu, bagi mereka facisme
jepang hanyalah merupakan satu tahap dari perkembangan kapitalisme, untuk itu
facisme harus diperangi. Bagi Tan Malaka sikap facisme buta adalah bentuk
ke-tidaknasionalisme-an. Bagi seorang Tan Malaka, revolusi Indonesia memiliki
dua sisi, revolusi nasional adalah bingkainya dan revolusi sosial adalah
isinya. Jadi revolusi Indonesia tidaklah
berhenti pada revolusi politik semata-mata, naumn harus dilanjutkan dengan
emansipasi sosial sebagai kelanjutan revolusi tersebut.
Melaui MADILOGnya, bisa
ditunjukkan bahwa Tan Malaka berusaha mensintesakan Marxisme dalam konteks
ke-indonesia-an, dengan melacak akar-akar kebangsaan dan kebudayaan masyarakat
untuk kemudian diselaraskan dengan keyakinan politiknya, yaitu Murbaisme.
Murbaisme dengan demikian tidak sama dengan komunisme. Atau lebih enaknya
dikatakan Marxis-Nasionalis. Ia memiliki ciri khas dalam menuangkan ide-ide
nasionalisme, ang membedakannya dengan tokoh-tokoh yan lain. Dalam pemikirannya
terdapat konvergensi antara ideology Marxisme, yang sebenarnya bersifat
internasionalis dan mengedepankan solidaritass kaum buruh sedunia, tanpa
dibatasi rasa kebangsaan, dengan ideologi nasionalisme yang memiliki ciri khas
pada nation state.
Disamping
itu, dalam MADILOG ia juga memperlihatkan penghargaannya terhadap islam. Islam
sangat mempengaruhi pola pikir dan perilakunya. Islam diakuinya sebagai obor
penerang dalam hidupnya. Selanjutnya kalau ia dikatakan seorang komunis, tetapi
mengapa ia begitu menekankan aspek persatuan diantara sesama warga bangsa
apapun afiliasi politik maupun ideologinya, mengapa ia tidak berjuang untuk
perjuangan kelas yang menjadi bagian penting dalam teori Marxis-Leninis. Dan
yang lebih mencolok lagi adalah mengapa ia ber-Tuhan?, hal itu dibuktikannya
ketika ibunya sakit, ia sempat berulang-ulang melantunkan bacaan surat yasin
dalam al-qur’an. Tan Malaka telah membeberkan aspek-aspek baik secara
histories, rasionalistis, dan dinamis. Sekiranya perlu kita menilik kembali
pemikirannya dan gagasannya. Dan stigma komunisme buta saya kira tidak lagi
relevan kita jalankan mengingat kita sat ini memang benar-benar membutuhkan
sumbangan pemikirannya. Dan yang paling penting bagi kita sebagai anak muda
adalah membuka dan mengeksplor kembali pemikiran Tan Malaka kepada orang lain
untuk didiskusikan. Karena dengan hal itu mungkin akan lebih baik dan
implementatif dalam memecahkan persoalan-persoalan bangsa ini kedepan.
Begitulah katanya dalam upaya mengkolaborasikan pemkirian Marx dalam
karya-karyanya.
2.3 Marx dalam paradigma Tan Malaka
Ketika berbicara tentang
pemikiran Tan Malaka, tentunya tak bisa dilepaskan dengan pengaruh Karl Marx
dan filsafat Hegel dalam upaya membangun konstruksi pemikirannya. Dalam bukunya
“MADILOG”, Tan Malaka menceritakan tentang buku-buku yang yang pernah dia baca.
Namun, dari kebanyakan buku yang dia baca merupakan buku karya dari Karl Marx.
Tan Malaka mengaku sangat tertarik pada semangat revolusioner yang dituangkan
oleh Karl Marx dalam tulisan-tulisannya
seperti, Manifesto Komunis dan Das
Capital. Setelah mendapat hukuman dari gubernur Jendral Belanda, Tan Malaka
memilih untuk diasingkan ke Belanda sebagai tempat pengasingannya pada Maret
1922. Dari sana dia ke Moskow dan mengikuti program pendidikan partai komunis.
Kisah Tan di Moskow dimulai pada Oktober 1922 setibanya dia dari Jerman. Disana
dia sering mengunjungi pabrik, berkenalan dengan para buruh, dan cepat akrab dengan
para Bolshevik di Rusia. Kamar Tan di salah satu bekas hotel di Moskow, menjadi
tempat singgah para pemuda dan pelajar.
Ketika
Komunis Internasional (Komintern) sibuk mempersiapkan kongres keempat, Tan yang
melopor sebagai wakil Indonesia diajak ikut rapat-rapat persiapan. Tapi dia
hadir sebagai penasihat, bukan anggota yang punya hak suara. Tan Malaka lalu
menghadiri Kongres Komintern di Moskow pada November 1922. Disana dia bertemu
dengan tokoh-tokoh komunis tingkat dunia yaitu Vlademir Illich Lenin, Joseph
Stalin, dan Leon Trotsky.
Kongres
Komintern IV berlangsung pada 5 November – 5 Desember 1922. Di sini Tan juga
bertemu dengan para pemimpin revolusi Asia, termasuk Ho Chi Minh dari Vietnam.
Tan beruntung, semua wakil Asia mendapat kesempatan bicara lima menit. Giliran
Tan jatuh pada hari ketujuh. Di sanalah, dalam bahasa Jerman patah-patah, dia
menyampaikan gagasan revolusioner tentang kerja sama antara komunis dan Islam.
Menurut
Tan Malaka, komunis tak boleh mengabaikan kenyataan bahwa pada saat itu ada 250
juta Muslim di dunia. Pan-Islamisme sedang berjuang melawan imperialism,
perjuangan yang sama dengan gerakan komunisme. Menurut dia, gerakan itu perlu
mereka dukung. Namun dia tahu keputusan ada ditangan petinggi-petinggi partai
yaitu Bolshevik tua. Karena itu, di akhir pidato dia berkata, “Maka dari itu
saya bertanya sekali lagi, haruskah kita mendukung Pan-Islamisme?”. Tan
berbicara lebih dari lima menit. Mungkin karena pidatonya yang membangkitkan
semangat, diselingi sedikit humor, ketua sidang cuma mengingatkan dia sekali
dan membiarkan dia terus pidato. Dan inilah sebagai bukti bahwa dia memang
mereduksi kembali apa yang dipikirkan oleh Marx dalam gagasan-gagasannya untuk
Indonesia. dia mencoba mengelaborasikan pemikiran Marx dengan menyesuaikan pada
kondisi geopolitik di Indonesia.
2.4 Tan Malaka dan Demokrasi
Berbicara tentang demokrasi,
nampaknya Tan Malaka mengambil konsep wahre
democratie yang digagas oleh Karl Marx. Yang mengandung pengertian bahwa
negara adalah abstraksi yang harus di deformasi oleh masa rakyat yang konkret.
Demokrasi diartikan sebagai deformasi organism negara atas nama swadeterminasi
masa rakyat (Marx, 1875 : 188). Swadeterminasi dalam teks-teks Marx diartikan
sebagai komunisme. Demokrasi sungguhan, tak bersemayam dinegara, tetapi lebih
kepada suatu jarak dari negara. Demokrasi adalah suatu gerak disinkarnasi yang
bekerja secara konkret dibawah abstraksi negara. Demokrasi sejati adalah
pembangunan aliansi kooperatif, agregasi afinitas pada level masyarakat yang
secara material mendeformasi kuasa negara yang berusaha menikmati.
Keberpihakannya
terhadap demokrasi ditunjukkan dengan ikut mendirikan partai seperti parta Pari
dan partai Murba untuk ikut terjun dalam pemilihan dan mengisi kursi di DPR
sebagai penyeimbang penguasa. Terlebih ketika Soekarno menggagas tentang tiga
pegangan yang harus dimiliki oleh Indonesia sebagai konsep dasar negara, yaitu
sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan aksi masa. Walaupun sebenarnya dia
sendiri pernah berseberangan dengan Soekarno karena dia merasa terhadap
Soekarno-Hatta yang sering memilih berunding dengan penjajah. Tan Malaka pantas
kecewa melihat Soekarno yang kemudian berkolaborasi dengan Jepang selama
pendudukan di Indonesia. Kekecawaan ini disebabkan oleh dua latar belakang. Pertama, Tan Malaka merasa dekat dengan
Soekarno, yang menerapkan aksi massa dalam perjuangan politiknya hampir
sepenuhnya menuntut apa yang ditulisnya di Singapura pada 1926 dalam sebuah
brosur tentang aksi massa.
Kedua, dia sangat terpesona oleh
perjuangan kemerdekaan Filipina dengan semboyan immediate, absolute dan complete independence (kemerdekaan segera,
tanpa syarat, dan penuh). Kekecewaan ini sedikit terobati ketika Soekarno-Hatta
atas desakan pemuda revolusioner memproklamasikan kemredekaan Indonesia pada 17
Agustus 1945. Konflik antara Tan Malaka dan Soekarno terus berlangsung,
termasuk ketika Soekarno, melalui cabinet Sutan Sjarhir, memenjarakan Tan
selama dua setengah tahun, tanpa pengadilan. Dia masih menganjurkan perjuangan
revolusioner bersenjata dan dengan tegas menyatakan tidak setuju perundingan
dengan Belanda kecuali atas dasar pengakuan kemerdekaan kedaulatan 100 persen.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan dan Saran
Begitulah
secara ringkas rekam jejak sang pahlawan revolusioner yang terlupakan dan
pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia. dengan gigih memperjuangkan nasib
bangsa, dengan gagah berani berlari-larian demi merekonstruksi pemikiran
masyarakat Indonesia yang lebih baik kedepannya, dan dengan semangat
revolusionernya mencoba untuk mengkonsepsi republik Indonesia demi tercapainya
cita-cita untuk bebas dari imperialisme dan kolonialisme asing. Mudah-mudahan
dengan kita para generasi muda mengingatnya, bisa mewarisi semangat juangnya
yang mulai terlupakan. Yah, sejarah memang sudah lewat dalam kacamata kita,
namun seperti yang diungkapkan oleh Soekarno “Jangan sekali-kali melupakan
sejarah”. Kita bisa belajar dari semangat Tan Malaka yang walaupun seringkali
menjadi musuh negara, tetapi kecintaannya terhadap tanah air tak pernah luntur
dalam semangat perjuangannya membebaskan Indonesia dari belenggu penjajah.
DAFTAR PUSTAKA
-
Saksono, Gatug Ign. Neoliberalisme vs Sosialisme: Membangkitkan Ekonomi Kerakyatan.
Yogyakarta: Forkoma PMKRI Yogyakarta. 2009.
-
Adi Susilo, Taufik. Tan Malaka : Biografi singkat 1897-1949. Yogyakarta: GARASI. 2008.
-
Malaka, Tan. Dari
Penjara ke Penjara Bagian I. Jakarta: Teplok Press. 2009.
-
Malaka, Tan. MADILOG.
(Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague. Dimuat di MIA pada
tanggal 13 Juni 2007).
-
Artikel Dony Gahral Adian tentang “Demokrasi Privatisasi” dalam tajuk
opini kompas 2012.
Comments