Skip to main content

Tan Malaka


 Rekam Jejak Sang Revolusioner
“Gerakan Perlawanan Tan Malaka sebagai upaya pembebasan Indonesia dari para penjajah”


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
            Dalam bingkai sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, tentunya banyak sekali sejarah yang telah diukirkan oleh para sang pahlawan kita, baik itu dituangkan dalam bentuk senjata, pemikiran, dan lain sebagainya. Pada kebanyakan orang, nama pahlawan yang kemudian dielukan-elukan sebagai pahlawan sejati adalah sang Presiden pertama kita, yaitu Soekarno atau lebih dikenal dengan sebutan Bung Karno. Namun, ada beberapa nama yang nampaknya asing ditelinga para pemuda-pemudi kita terhadap nama yang satu ini, yaitu Tan Malaka. Namanya seakan telah menjadi korban kepalsuan sejarah yang selalu mendeskreditkan kaum komunis pada waktu itu. Padahal, beliau adalah orang pertama yang menulis tentang konsep negara Indonesia sebelum Bung Karno menulis brosur mencapai Indonesia Merdeka pada tahun 1930. Tan Malaka menulis menuangkan pemikirannya tentang Indonesia dalam bukunya yang berjudul Naar de Republiek Indonesia pada tahun 1924 di Canton, Tiongkok (R.R.C.). Tidak berlebihan jika beliau juga pantas disebut sebagai Bapak Revolusi Indonesia. 

            Tan Malak yang mempunyai nama lengkap Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka lahir di Pandan Gadang Suliki, Sumatera Barat, pada 2 Juni 1897. Padan Gadang adalah sebuah negari yang tersuruk di Bukit Barisan, di antara lempit bukit dan sawah hijau yang membentang, juga kicau burung yang berlompatan di buah-buah ranum. Alam disana serupa dengan banyak desa di Ranah Minang yang bernafaskan keindahan, kenyamanan, dan kehijauan. Tan Malaka sangatlah beruntung memiliki orang tua yang notabennya adalah seorang pegawai pertanian Hindia Belanda, selangkah selangkah lebih maju ketimbang warga lainnya. Dengan keberuntungan dan kecerdasan yang telah dia tunjukkan sejak kecil, pada umur 12 tahun dia diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan guru yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda yaitu disekolah Rajo, Bukittinggi. Sebagimana dikatakn oleh guru Belandanya, G.H. Horensma, “Rambutnya hitam-biru yang bagus sekali, bermata hitam kelam seolah-olah memancarkan sesuatu.”
            Tan Malaka kemudian lulus pada tahun 1913. Lalu atas rekomendasi Horensma, dan berkat pinjaman dana dari para engku di Suliki sebesar Rp 50 per bulan, pada usia 17 tahun dia melanjutkan studi ke negeri Belanda untuk sekolah Rijkskweekschool (Sekolah Pendidikan Guru Pemerintahan) di Harleem. Konstruksi alam yang permai di Minangkabau, tidaklah lengkap jika tidak membekali anak-anaknya dengan mengaji dan silat. Mengaji dan silat sebagai pembentuk keribadian dan kepercayaan diri.
            Di negeri penjajah itu, dia mengecap dan menyerap ideology yang menjadi titik perjuangannya sampai akhir hayat. Disana, dia bertemu dengan Herman (pemuda pelarian dari Belgia) dan seorang Belanda bernama Van Der Mey yang sedikit membuka mata Tan Malaka tentang politik. Ini yang membuktikan bahwa Tan Malaka telah mendahului sekolah di Belanda daripada Mohammad Hatta, Nazir Datuk Pamoentjak, Sutan Sjahrir, Abdul Rivai, Asaat, Ibrahim Taher, Zaharin Zain, dan Abdul Muis.
            Pada November 1919, setelah kecamuk Perang Dunia I usai, Tan Malaka pulang ke Indonesia. Lalu dia menjadi guru di sekolah yang didirikan oleh perusahaan perkebunan Eropa. Di sana dia menjadi mengajar anak-anak kuli kontrak di perkebunan tembakau milik orang Jerman dan Swiss di Deli, dekat Medan, Sumatera Utara. Gajinya setaraf dengan gaji seorang guru Belanda. Di lingkungan perkebunan itu, semangat radikalnya semakin tumbuh ketika dia menyaksikan ketimpangan sosial antara kaum buruh dan tuan tanah. Dalam buku Dari Penjara ke Penjara, Tan Malaka menulis: “Kekayaan bumi iklimnya Deli menjadi alat adanya satu golongan kaum modal penjajah yang paling kaya, paling sombong ceroboh dan paling kolot pada satu kutup. Di kutup yang lain berada satu golongan bangsa dan pekerja Indonesia yang paling terhisap, tertindas, dan terhina: kuli kontrak.”
            Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.
Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.
Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.
Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.
Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.
Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.
Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis "Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925. Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah…."
Begitulah sekilas tentang sepak terjangnya dalam bingkai sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang panjang. Bagaimana dia bisa memberikan stimulasi bagi para pemuda tentang arti sebuah semangat revolusi demi cita-cita bangsa kita yang bebas dari imperialism dan kolonialisme asing. Mengenai kematian sang revolusioner ini, ada banyak versi yang memberikan gambaran. Namun, banyak versi yang menyatakan bahwa Tan Malaka mati di tepi sungai Brantas. Nafas terakhirnya terenggut ketika ia bersama-sama 20 orang pemuda pengawal di tembak mati pada 19 Februari 1949 di pinggir  Sungai Brantas.

1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemikiran politik Tan Malaka dalam upaya membebaskan Indonesia dari penajajahan Belanda ?

1.3 Tujuan
1. Agar kita mengetahui tentang sepak terjang sang pahlawan revolusioner Indonesia dengan pemikiran radikalnya yang mampu mengobarkan semnagat juang pemuda dalam upaya membebaskan diri dari belenggu penjajah.



BAB II
PEMBAHASAN


2.1       Paradigma materialisme Tan Malaka
            Seperti yang banyak diketahui bahwa Tan Malaka memiliki karya terbesar dalam hidupnya yang diurauikan dalam bentuk buku yang berjudul Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Ini merupakan karya terbesar dari seorang Tan Malaka dalam mengkonstruksi pemikiran rakyat Indonesia dalam simpul perjuangan kemerdekaannya. Namun, disini penulis ingin membatasi kilas pemikirannya mengenai materialismenya. Dimana ada pengaruh langsung dari gagasan Karl Marx dalam paradigma berfikirnya. Materialisme diambil olehnya sebagai titik nadir dalam membangun semangat berjuang masyarakat Indonesia. ini tak lepas dari pengaruh lingkungan Indonesia terutama disekitar tempat tinggalnya yang hampir sama persis dengan apa yang terjadi di Rusia.
            Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama. Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana. Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari oleh kondisi Indonesia. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.
Materialisme yang digagas oleh Tan Malaka sendiri menyesuaikan dengan kondisi Indonesia. Menurut Tan Malaka, dasar dan aksioma materialism Barat tidak cocok diterapkan di Indonesia. Karena perbedaan aksioma dalam memahami materialism inilah yang membuat Tan Malaka dalam melihat materialism dialektis berlainan dengan yang dipahami Marx dan Engels. Beberapa kali Tan Malaka menyatakan dirinya sebagai seorang komunis dan materialis, namun disisi yang lain dia juga mempercayai agama. Menurut Tan Malaka, masyarakat Indonesia tidak mungkin dapat menerima filsafat materialism Barat, yang Marxisme adalah turunannya. Formula yang tepat bagi keyakinan politiknya adalah Murbaisme. Dengan kondisi Indonesia yang pada waktu itu masih dipengaruhi anismisme dan percaya dengan hal-hal yang masih bersifat mistisme, Tan Malaka mulai mencoba merubahnya dengan pola berfikir yang realistis dan melihat fenomena lebih jauh melalui perjuangan kelas pekerja yang selalu ditindas oleh kaum penjajah. Ini merupakan semangat awal dari perjuangan untuk merubah paradigma masyarakat Indonesia menjadi masyarakat dengan semangat juang perubahan dan revolusi demi persatuan dan kesatuan Indonesia.
           
2.2       Ideologi dalam dialektika pemikiran Tan Malaka
            Berbicara tentang Tan Malaka, maka kita berbicara mengenai tokoh legendaris. Bisa dibilang dialah tokoh pejuang paling misterius sepanjang sejarah kemerdekaan. Selama hidupnya ia hanya merasakan beberapa tahun kebebasan dan berjuang ditengah-tengah rakyat, dan selebihnya ia berada dalam pengasingan atau dalam penjara. Tokoh ini memang cukup unik. Bila kita perhatikan, pemikirannya begitu kompleks. Tan Malaka tidak hanya selalu dapat dikataka sebagai pemimpin komunis, namun lebih dari itu. Di mata Ben Anderson, Tan Malaka dilihat sebagai seorang nasionalis yang komunis. Sedangkan George Mc. T Kahin lebih suka melihat Tan Malaka dalam perspektif seorang komunis yang menyadari arti penting nasionalisme sebagai sikap mandiri yang harus dijunjung tinggi. Sementara Semaoen, pemimpin PKI pertama, melihat Tan Malaka sebagai seorang Marxis-Leninis yang konsisten. Di mata PKI sendiri pasca pemberontakan 1926/1927 Tan Malaka dilihat sebagai Trotskyis, symbol untuk menyebut musuh partai dalam perspektif Stalinis. Bahkan lebih jauh dari itu Hamka juga menyebut Tan Malaka sebagai pemimpin Islam Indonesia, sama seperti Soekarno dan Hatta.
Ketika menceritakan riwayat hidupnya, Tan Malaka berusaha melepaskan keterkaitannya dengan PKI, dengan mengaku sebagai ketua Sarekat Rakyat dan bukan Comintern. “Saya bukan Bolsyevik”. Ia mengelak dari tuduhan tersebut. “Jika seseorang mencintai tanah airnya memperlihatkan kecendrungan terhadap bolsyevikisme, maka panggillah saya Bolsyevik”.  Marxisme bagi Tan Malaka harus dipahami dalam kerangka teoritis dan penerapannya amat tergantung pada kondisi masyarakat dimana ia tinggal. Yang penting dari Marxisme penerapan metode Marx berfikir, bukan menjalankan hasilnya cara berfikir.
Kalau materialisme di barat menganggap bahwa segala sesuatu yang ada didunia ini berasal dari benda (matter), maka sesuatu yang bukan benda (un matter) dan tidak masuk di akal/ tidak rasional walaupunsecara fakta ada, akan dianggap sebagai sesuatu yang tidak ilmiah dan harus ditolak.
Murbaisme adalah formula tepat bagi keyakinan politik Tan Malaka. Hal itu ditunjukkan ketika revolusi Indonesia bergolak Tan malaka tetap berpendapat, ini adalah revolusi nasional Indonesia dan tidak ada hubungannya dengan perlawanan terhadap facisme, seperti yang dipropagandakan oleh kaum komunis. Dalam konteks tersebut revolusi nasional dilihat semata-mata sebagai bentuk perlawanan terhadap imperialisme Belanda. Namun kaum komunis Indonesia tidak berdiri diatas itu, bagi mereka facisme jepang hanyalah merupakan satu tahap dari perkembangan kapitalisme, untuk itu facisme harus diperangi. Bagi Tan Malaka sikap facisme buta adalah bentuk ke-tidaknasionalisme-an. Bagi seorang Tan Malaka, revolusi Indonesia memiliki dua sisi, revolusi nasional adalah bingkainya dan revolusi sosial adalah isinya. Jadi  revolusi Indonesia tidaklah berhenti pada revolusi politik semata-mata, naumn harus dilanjutkan dengan emansipasi sosial sebagai kelanjutan revolusi tersebut.
Melaui MADILOGnya, bisa ditunjukkan bahwa Tan Malaka berusaha mensintesakan Marxisme dalam konteks ke-indonesia-an, dengan melacak akar-akar kebangsaan dan kebudayaan masyarakat untuk kemudian diselaraskan dengan keyakinan politiknya, yaitu Murbaisme. Murbaisme dengan demikian tidak sama dengan komunisme. Atau lebih enaknya dikatakan Marxis-Nasionalis. Ia memiliki ciri khas dalam menuangkan ide-ide nasionalisme, ang membedakannya dengan tokoh-tokoh yan lain. Dalam pemikirannya terdapat konvergensi antara ideology Marxisme, yang sebenarnya bersifat internasionalis dan mengedepankan solidaritass kaum buruh sedunia, tanpa dibatasi rasa kebangsaan, dengan ideologi nasionalisme yang memiliki ciri khas pada nation state.
            Disamping itu, dalam MADILOG ia juga memperlihatkan penghargaannya terhadap islam. Islam sangat mempengaruhi pola pikir dan perilakunya. Islam diakuinya sebagai obor penerang dalam hidupnya. Selanjutnya kalau ia dikatakan seorang komunis, tetapi mengapa ia begitu menekankan aspek persatuan diantara sesama warga bangsa apapun afiliasi politik maupun ideologinya, mengapa ia tidak berjuang untuk perjuangan kelas yang menjadi bagian penting dalam teori Marxis-Leninis. Dan yang lebih mencolok lagi adalah mengapa ia ber-Tuhan?, hal itu dibuktikannya ketika ibunya sakit, ia sempat berulang-ulang melantunkan bacaan surat yasin dalam al-qur’an. Tan Malaka telah membeberkan aspek-aspek baik secara histories, rasionalistis, dan dinamis. Sekiranya perlu kita menilik kembali pemikirannya dan gagasannya. Dan stigma komunisme buta saya kira tidak lagi relevan kita jalankan mengingat kita sat ini memang benar-benar membutuhkan sumbangan pemikirannya. Dan yang paling penting bagi kita sebagai anak muda adalah membuka dan mengeksplor kembali pemikiran Tan Malaka kepada orang lain untuk didiskusikan. Karena dengan hal itu mungkin akan lebih baik dan implementatif dalam memecahkan persoalan-persoalan bangsa ini kedepan. Begitulah katanya dalam upaya mengkolaborasikan pemkirian Marx dalam karya-karyanya.

2.3       Marx dalam paradigma Tan Malaka
            Ketika berbicara tentang pemikiran Tan Malaka, tentunya tak bisa dilepaskan dengan pengaruh Karl Marx dan filsafat Hegel dalam upaya membangun konstruksi pemikirannya. Dalam bukunya “MADILOG”, Tan Malaka menceritakan tentang buku-buku yang yang pernah dia baca. Namun, dari kebanyakan buku yang dia baca merupakan buku karya dari Karl Marx. Tan Malaka mengaku sangat tertarik pada semangat revolusioner yang dituangkan oleh Karl Marx  dalam tulisan-tulisannya seperti, Manifesto Komunis dan Das Capital. Setelah mendapat hukuman dari gubernur Jendral Belanda, Tan Malaka memilih untuk diasingkan ke Belanda sebagai tempat pengasingannya pada Maret 1922. Dari sana dia ke Moskow dan mengikuti program pendidikan partai komunis. Kisah Tan di Moskow dimulai pada Oktober 1922 setibanya dia dari Jerman. Disana dia sering mengunjungi pabrik, berkenalan dengan para buruh, dan cepat akrab dengan para Bolshevik di Rusia. Kamar Tan di salah satu bekas hotel di Moskow, menjadi tempat singgah para pemuda dan pelajar.
            Ketika Komunis Internasional (Komintern) sibuk mempersiapkan kongres keempat, Tan yang melopor sebagai wakil Indonesia diajak ikut rapat-rapat persiapan. Tapi dia hadir sebagai penasihat, bukan anggota yang punya hak suara. Tan Malaka lalu menghadiri Kongres Komintern di Moskow pada November 1922. Disana dia bertemu dengan tokoh-tokoh komunis tingkat dunia yaitu Vlademir Illich Lenin, Joseph Stalin, dan Leon Trotsky.
            Kongres Komintern IV berlangsung pada 5 November – 5 Desember 1922. Di sini Tan juga bertemu dengan para pemimpin revolusi Asia, termasuk Ho Chi Minh dari Vietnam. Tan beruntung, semua wakil Asia mendapat kesempatan bicara lima menit. Giliran Tan jatuh pada hari ketujuh. Di sanalah, dalam bahasa Jerman patah-patah, dia menyampaikan gagasan revolusioner tentang kerja sama antara komunis dan Islam.
            Menurut Tan Malaka, komunis tak boleh mengabaikan kenyataan bahwa pada saat itu ada 250 juta Muslim di dunia. Pan-Islamisme sedang berjuang melawan imperialism, perjuangan yang sama dengan gerakan komunisme. Menurut dia, gerakan itu perlu mereka dukung. Namun dia tahu keputusan ada ditangan petinggi-petinggi partai yaitu Bolshevik tua. Karena itu, di akhir pidato dia berkata, “Maka dari itu saya bertanya sekali lagi, haruskah kita mendukung Pan-Islamisme?”. Tan berbicara lebih dari lima menit. Mungkin karena pidatonya yang membangkitkan semangat, diselingi sedikit humor, ketua sidang cuma mengingatkan dia sekali dan membiarkan dia terus pidato. Dan inilah sebagai bukti bahwa dia memang mereduksi kembali apa yang dipikirkan oleh Marx dalam gagasan-gagasannya untuk Indonesia. dia mencoba mengelaborasikan pemikiran Marx dengan menyesuaikan pada kondisi geopolitik di Indonesia.

2.4       Tan Malaka dan Demokrasi
            Berbicara tentang demokrasi, nampaknya Tan Malaka mengambil konsep wahre democratie yang digagas oleh Karl Marx. Yang mengandung pengertian bahwa negara adalah abstraksi yang harus di deformasi oleh masa rakyat yang konkret. Demokrasi diartikan sebagai deformasi organism negara atas nama swadeterminasi masa rakyat (Marx, 1875 : 188). Swadeterminasi dalam teks-teks Marx diartikan sebagai komunisme. Demokrasi sungguhan, tak bersemayam dinegara, tetapi lebih kepada suatu jarak dari negara. Demokrasi adalah suatu gerak disinkarnasi yang bekerja secara konkret dibawah abstraksi negara. Demokrasi sejati adalah pembangunan aliansi kooperatif, agregasi afinitas pada level masyarakat yang secara material mendeformasi kuasa negara yang berusaha menikmati.
            Keberpihakannya terhadap demokrasi ditunjukkan dengan ikut mendirikan partai seperti parta Pari dan partai Murba untuk ikut terjun dalam pemilihan dan mengisi kursi di DPR sebagai penyeimbang penguasa. Terlebih ketika Soekarno menggagas tentang tiga pegangan yang harus dimiliki oleh Indonesia sebagai konsep dasar negara, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan aksi masa. Walaupun sebenarnya dia sendiri pernah berseberangan dengan Soekarno karena dia merasa terhadap Soekarno-Hatta yang sering memilih berunding dengan penjajah. Tan Malaka pantas kecewa melihat Soekarno yang kemudian berkolaborasi dengan Jepang selama pendudukan di Indonesia. Kekecawaan ini disebabkan oleh dua latar belakang. Pertama, Tan Malaka merasa dekat dengan Soekarno, yang menerapkan aksi massa dalam perjuangan politiknya hampir sepenuhnya menuntut apa yang ditulisnya di Singapura pada 1926 dalam sebuah brosur tentang aksi massa.
            Kedua, dia sangat terpesona oleh perjuangan kemerdekaan Filipina dengan semboyan immediate, absolute dan complete independence (kemerdekaan segera, tanpa syarat, dan penuh). Kekecewaan ini sedikit terobati ketika Soekarno-Hatta atas desakan pemuda revolusioner memproklamasikan kemredekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Konflik antara Tan Malaka dan Soekarno terus berlangsung, termasuk ketika Soekarno, melalui cabinet Sutan Sjarhir, memenjarakan Tan selama dua setengah tahun, tanpa pengadilan. Dia masih menganjurkan perjuangan revolusioner bersenjata dan dengan tegas menyatakan tidak setuju perundingan dengan Belanda kecuali atas dasar pengakuan kemerdekaan kedaulatan 100 persen.
















BAB III
PENUTUP

3.1       Kesimpulan dan Saran
            Begitulah secara ringkas rekam jejak sang pahlawan revolusioner yang terlupakan dan pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia. dengan gigih memperjuangkan nasib bangsa, dengan gagah berani berlari-larian demi merekonstruksi pemikiran masyarakat Indonesia yang lebih baik kedepannya, dan dengan semangat revolusionernya mencoba untuk mengkonsepsi republik Indonesia demi tercapainya cita-cita untuk bebas dari imperialisme dan kolonialisme asing. Mudah-mudahan dengan kita para generasi muda mengingatnya, bisa mewarisi semangat juangnya yang mulai terlupakan. Yah, sejarah memang sudah lewat dalam kacamata kita, namun seperti yang diungkapkan oleh Soekarno “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Kita bisa belajar dari semangat Tan Malaka yang walaupun seringkali menjadi musuh negara, tetapi kecintaannya terhadap tanah air tak pernah luntur dalam semangat perjuangannya membebaskan Indonesia dari belenggu penjajah.
















DAFTAR PUSTAKA


-          Saksono, Gatug Ign. Neoliberalisme vs Sosialisme: Membangkitkan Ekonomi Kerakyatan. Yogyakarta: Forkoma PMKRI Yogyakarta. 2009.
-          Adi Susilo, Taufik. Tan Malaka : Biografi singkat 1897-1949. Yogyakarta: GARASI. 2008.
-          Malaka, Tan. Dari Penjara ke Penjara Bagian I. Jakarta: Teplok Press. 2009.
-          Malaka, Tan. MADILOG. (Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague. Dimuat di MIA pada tanggal 13 Juni 2007).
-          Artikel Dony Gahral Adian tentang “Demokrasi Privatisasi” dalam tajuk opini kompas 2012.

Comments

Popular posts from this blog

Teori Elit dalam Kebijakan Publik

ELIT DAN KEBIJAKAN : TINJAUAN TEORITIS TENTANG MODEL ELIT DALAM MEMAHAMI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK Oleh : Iwan Ismi Febriyanto Abstract             In the analysis of public policy, of course, there are some models that can be used to focus on one subject of public policy itself. That is, before we alone make this a great and sturdy construction, of course, we must have a clear model. That is the reason why public policy analysis models are crucial in making or analyzing public policy. There are several models in the classification of policy analysis. However, here the author would like to focus on Elite Model Theory in the analysis of public policy. To find out how political institutions operate, how decisions are made then the informant's most relevant is the political elite. Elite is defined as "those that relate to, or have, an important position." Political elite to do with how power affects the person's public policy making. Here the role of the

TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT

DIALEKTIKA KEBIJAKAN PUBLIK : “STUDI KOMPARASI TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT DENGAN GOOD GOVERNANCE DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK” Oleh: Iwan Ismi Febriyanto Abstract Public sector organizations are often described unproductive, inefficient, always loss, low quality, poor innovation and creativity, as well as many other critics. The emergence of strong criticism directed at public sector organizations will then cause the movement to reform public sector management. One of the public sector reform movement is the emergence of the concept of New Public Management (NPM). The concept of new public management was initially introduced by Christopher Hood in 1991. When viewed from a historical perspective, modern management approaches in the public sector at first appear in Europe in the 1980s and 1990s as a reaction to the inadequacy of the traditional model of public administration. NPM emphasis at that time was the implementation of decentralization, devolution, and the m

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme Analisis Mengenai Pengaruh dan Implementasinya dalam Kondisi Politik di Suatu Negara Oleh : Iwan Ismi Febriyanto BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG             Ideologi merupakan hal yang paling krusial dalam sejarah maupun masa depan kehidupan manusia, terutama dalam bidang politik dan ekonomi. Bagaimana ideologi mempunyai peran sebagai dasar maupun pijakan yang digunakan oleh suaru kelompok sebagai panutan dari apa yang akan dilakukannya kedepan. Kata ideologi sendiri pertama kali dikembangkan dan diperkenalkan oleh seorang filsuf dari negara Perancis yang bernama Antonie Destutt de Tracy di masa Revolusi Perancis. Antony Downs (1957:96) mengatakan bahwa ideology merupakan seperangkat asumsi dasar baik normatif maupun empiris mengenai sifat dan tujuan manusia atau masyarakat agar dapat dipakai untuk mendorong serta mengembangkan tertib politik.