BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Negara
merupakan elemen terpenting dalam suatu komunitas masyarakat, peran negara
bukan hanya sebagai wadah atau tempat berkumpul komunal masyarakat dalam suatu
daerah tertentu. Namun juga sebagai wujud manusia mengaktualisasikan salah satu
sifatnya, yaitu zon politicon atau manusia politik. Politik, dalam bahasa
yunani berarti policy atau kebijakan.
Ketika kita mendengar kata kebijakan, pasti erat kaitannya terhadap suatu
keputusan yang kemudian dijadikan sebagai sebuah peraturan yang mengatur hajat
hidup orang banyak dalam suatu komunitas tertentu (dalam hal ini negara). Negara
mempunyai sifat-sifat khusus yang merupakan manifestasi dari kedaulatan yang
dimilikinya dan hanya terdapat dalam negara saja, yaitu sifat monopoli,
memaksa, dan sifat mencakup semua. Didunia ini, seperti yang sama-sama kita
ketahui bahwasannya ada banyak sekali macam negara, dan setiap negara itu pasti
memiliki sistem maupun bentuk pemerintahan yang berbeda-beda pula yang
disesuaikan dengan keadaan atau kondisi geografis negara tersebut. Seperti
contohnya, negara kesatuan, negara serikat atau federal, negara dominion,
negara protektorat, dan negara uni atau gabungan.
Indonesia
sendiri, adalah salah satu contoh negara yang memiliki bentuk negara kesatuan,
yaitu suatu negara yang mempunyai pemerintahan pusat dan pemerintahan lokal
atau daerah yang terpencar dan terbagi atas beberapa pulau. Dan seperti yang
kita ketahui, bahwa manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi
dalam kehidupan sehari-harinya. Dan dalam hal yang menyangkut tentang negara,
tentunya dibutuhkan informasi tentang situasi dan kondisi internal atau suprastruktur
dalam suatu negara tersebut kepada msyarakat luas. Apalagi, di Indonesia
sendiri, sekarang pemerintah telah menetapkan tentang Undang-Undang Keterbukaan
Informasi Publik. Artinya segala bentuk atau macam kebijakan yang ada
dipemerintahan haruslah memliki sisi keterbukaan kepada khalayak umum. Ini
tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memudahkan masyarakat dalam upaya
melakukan kontrol terhadap pemerintah agar tidak menyimpang dari nilai-nilai
demokrasi yang kita anut. Berbicara tentang demokrasi, tentunya sudah tidak
asing lagi kedengarannya bagi kita. Karena memang system politik yang kita anut
dari dulu sampai sekarang adalah demokrasi, yaitu pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Ada
beberapa prinsip yang tentunya harus dimiliki oleh suatu negara yang menganut
system demokrasi, salah satu diantaranya adalah tentang kebebasan pers sebagai
pilar demokrasi. Pers disini adalah berfungsi sebagai upaya kontrol terhadap
pemerintah dalam menentukan segala macam kebijakan dan juga sebagai alat
transformasi nilai, serta segala bentuk informasi atau isu-isu politik yang ada
di lembaga pemerintahan. Ini yang kemudian menarik pemakalah untuk sekedar
memberikan gambaran tentang penyelenggaran pers di Indonesia dan juga tentang
bagaimana perjalanan ataupun lika-liku pers yang tentunya memiliki sejarah yang
amat sangat panjang dalam upaya penengakkan nilai atau prinsip-prinsip
demokrasi yang kita anut. Semoga apa yang kami sajikan kedepan nanti dapat
bermanfaat bagi kita semua dalam upaya membangun dan merekontsruksi bangsa kita
kedepannya untuk menjadi lebih baik lagi.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian Pers ?
2.
Apa pengertian Media Massa ?
3.
Apa pengertian dari kebebasan pers dan bagaimana
peran atau manfaatnya pada sistem demokrasi di Indonesia serta bagaimanakah
sejarah perjalanannya ?
4.
Apakah kebebasan Pers di Indonesia sudah
berjalan sebagaimana mestinya ?
Tujuan
1.
Memberikan pengetahuan tentang Pers
2.
Memberikan sedikit gambaran tentang Media Massa
3.
Untuk mengetahui sejarah perjalanan pers di
Indonesia dan seberapa besar peranan maupun manfaat dari adanya kebebasan pers
pada sistem demokrasi di Indonesia
4.
Dapat memberikan pengetahuan bagi kita mengenai
pengaktualisasian dari kebebasan pers di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
Seperti
yang diuraikan pada latar belakang di atas, tentang bagaimana pentingnya
transformasi nilai ataupun segala bentuk informasi mengenai kebijakan dari
pemerintah sebagai upaya kontrol sosial dari masyarakat umum, kami akan mencoba
untuk kemudian menguraikan sedikit gambaran tentang Kebebasan Pers di Indonesia
dan bagaimana kondisi atau perjalanannya sejak awal kemerdekaan sampai Era
Reformasi yang sedang kita alami sekarang ini. Dan inilah yang termasuk dalam
komunikasi politik. Secara
sederhana, komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang
melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan
kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini,
sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru.
Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara “yang
memerintah” dan “yang diperintah”.
Mengkomunikasikan
politik tanpa aksi politik yang kongkret sebenarnya telah dilakukan oleh siapa
saja: mahasiswa, dosen, tukang ojek, penjaga warung, dan seterusnya. Tak heran
jika ada yang menjuluki Komunikasi Politik sebagai neologisme, yakni ilmu yang
sebenarnya tak lebih dari istilah belaka.
Dalam
praktiknya, komuniaksi politik sangat kental dalam kehidupan sehari-hari.
Sebab, dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu pun manusia tidak berkomunikasi,
dan kadang-kadang sudah terjebak dalam analisis dan kajian komunikasi politik.
Berbagai penilaian dan analisis orang awam berkomentar sosal kenaikan BBM, ini
merupakan contoh kekentalan komunikasi politik. Sebab, sikap pemerintah untuk
menaikkan BBM sudah melalui proses komunikasi politik dengan mendapat
persetujuan DPR.
Pers dan
Teorinya
Seperti
yang kita ketahui, manusia selalu berinteraksi dalam kehidupan sehari-harinya.
Dan dalam interaksi tersebut, pasti terdapat unsur komunikasi antara individu
yang satu dengan yang lainnya. Pun demikian halnya dengan hubungan antara
masyarakat dan negaranya, komunikasi sangatlah penting sebagai sarana untuk
melakukan kontrol maupun transformasi nilai ideologis dari pemerintah ke
masyarakat luas. Pers adalah salah satu sarana komunikasi antar manusia dengan
manusia, manusia dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok lainnya dalam
suatu komunitas masyarakat di sebuah negara atau organ-organ kemasyarakatan
tertentu. Dalam perspektif demokrasi, pers bisa diartikan sebagai mediator
ataupun kontrol terhadap sebuah kebijakan yang akan maupun telah dikeluarkan oleh
pihak pemerintah. Ada beberapa teori tentang Pers, yaitu :
-
Otoritarian
1. Berkembang
di Inggris pada abad 16 dan 17, dipakai secara meluas di dunia dan masih
dipraktekkan di beberapa tempat sekarang ini.
2. Teori
ini muncul dari filsafat kekuasaan monarki absolut, kekuasaan pemerintahan.
Tujuan utamanya adalah mendukung dan memajukan kebijakan pemerintah yang berkuasa dan mengabdi pada negara.
Tujuan utamanya adalah mendukung dan memajukan kebijakan pemerintah yang berkuasa dan mengabdi pada negara.
3. Pemerintah
atau seseorang yang mempunyai kekuasaan dalam kerajaan adalah orang yang berhak
mengatur dan menggunakan media untuk kepentingannya.
4. Media
dikontrol melalui paten-paten dari pemerintah, izin dan sensor.
5. Media
massa dilarang untuk melakukan kritik terhadap mekanisme politik, dan para
pejabat yang berkuasa.
6. Media
massa dimiliki oleh swasta perorangan atau masyarakat umum.
7. Media
massa dianggap sebagai alat untuk melaksanakan kebijakan pemerintah, walaupun
tidak harus dimiliki oleh pemerintah. Pers di sini dapat dikatakan statusnya
sebagai hamba bagi negara.
-
Libertarian
1. Teori
ini berkembang di Inggris setelah tahun 1688, dan kemudian di Amerika Serikat.
2. Teori
ini muncul dari tulisan-tulisan Locke, Milton dan Mill, dan filsafat umum
tentang rasionalisme dan hak-hak asasi.
3. Tujuan
utamanya adalah memberi informasi, menghibur dan berjualan, tetapi tujuan
utamanya adalah membantu untuk menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintah.
4. Dalam
teori ini disebutkan, media massa diatur oleh siapa saja yang mempunyai
kemampuan ekonomi untuk menggunakannya.
5. Media
dikontrol dengan proses pelurusan sendiri untuk mendapatkan kebenaran dalam
pasar ide yang bebas, serta melalui pengadilan.
6. Media
massa dilarang melakukan penghinaan, kecabulan, kerendahan moral dan
pengkhianatan pada masa perang.
7. Media
massa dianggap sebagai alat untuk mengawasi pemerintah dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan mayarakat lainnya.
-
Tanggung Jawab Sosial
1. Teori
ini berkembang di Amerika Serikat pada abad ke-20
2. Teori
ini terbentuk dari tulisan W.E Hocking, Komisi Kebebasan Pers, para pelaksana
media, dan kode-kode etik media massa.
3. Tujuan
utama dari media massa adalah memberi informasi, menghibur dan berjualan,
tetapi tujuan utamanya adalah mengangkat konflik sampai tingkatan diskusi.
4. Teori
ini mengatakan bahwa semua orang berhak menggunakannya, dan berhak mengeluarkan
pendapatnya.
5. Media
massa dikontrol melalui pendapat masyarakat, tindakan-tindakan konsumen, dan
etika-etika kaum profesional.
6. Media
massa dilarang melakukan invasi serius terhadap hak-hak perorangan yang
dilindungi dan terhadap kepentingan vital masyarakat.
7. Kepemilikan
media massa dikuasai oleh perorangan, kecuali jika pemerintah harus mengambil
demi kelangsungan pelayanan terhadap masyarakat.
8. Media
massa harus menerima tanggungjawabnya terhadap masyarakat; dan kalau tidak,
harus ada pihak yang mengusahakan agar media mau menerimanya.
-
Soviet Komunis
1. Teori
ini berkembang di Uni Soviet, walaupun ada kesamaannya dengan yang dilakukan
Nazi dan Italia Fasis.
2. Teori
ini terbentuk dari pemikiran Marxis, Leninis, dan Stalinis dengan campuran
pikiran Hegel, dan pandangan orang Rusia abad 19.
3. Tujuan
utama dari media massa adalah memberi sumbangan bagi keberhasilan dan
kelanjutan dari sistem sosialis Soviet, dan terutama bagi kediktatoran Partai.
4. Yang
berhak menggunakan media massa adalah anggota-anggota partai yang loyal dan
ortodoks.
5. Media
massa dikontrol melalui pengawasan dan tindakan politik atau ekonomi oleh
pemerintah.
6. Media
massa dilarang melakukan kritik-kritik terhadap tujuan partai yang dibedakan
dari taktik-taktik partai.
7. Kepemilikan
media massa adalah masyarakat.
8. Media
massa adalah milik negara dan media yang dikontrol sangat ketat semata-mata
merupakan kepanjangan tangan-tangan negara.
Media Massa
Media
massa adalah alat komunikasi yang dipakai didalam suatu tataran masyarakat
dalam sebuah komunitas tertentu. Media Massa memiliki cakupan pengertian yang
lebih luas dari pada pers. Dalam kamus ilmiah popular, pers hanya diartikan
sebagai sarana komunikasi di bidang persuratkabaran, sedangkan media massa
lebih kepada semua hal yang menyangkut sarana komunikasi. Media dibutuhkan
sebagai sarana transformasi nilai dan juga sarana informasi tentang kondisi dan
situasi yang dialami oleh suatu negara. Ada 2 jenis media massa menurut
pembagiannya, yaitu Media Massa Tradisional dan Media Massa Modern. Media massa tradisional adalah media massa
dengan otoritas dan memiliki organisasi yang jelas sebagai media massa. Secara
tradisional media massa digolongkan sebagai berikut: surat kabar, majalah, radio, televisi, film (layar lebar). Dalam jenis media ini terdapat ciri-ciri seperti:
- Informasi dari lingkungan diseleksi, diterjemahkan dan didistribusikan
- Media massa menjadi perantara dan mengirim informasinya melalui saluran tertentu.
- Penerima pesan tidak pasif dan merupakan bagian dari masyarakat dan menyeleksi informasi yang mereka terima.
- Interaksi antara sumber berita dan penerima sedikit.
Sedangkan
Media massa modern adalah media yang tidak memiliki organisasi yang jelas dalam
penerapannnya dikehidupan sehari-hari. Artinya media massa modern lebih
menekankan kebebasan terhadap individu dalam mengekspresikan dirinya. Contoh
dari media massa modern adalah internet dan telepon seluler. Dalam jenis media ini terdapat ciri-ciri seperti:
- Sumber dapat mentransmisikan pesannya kepada banyak penerima (melalui SMS atau internet misalnya).
- Isi pesan tidak hanya disediakan oleh lembaga atau organisasi namun juga oleh individual.
- Tidak ada perantara, interaksi terjadi pada individu.
- Komunikasi mengalir (berlangsung) ke dalam.
- Penerima yang menentukan waktu interaksi.
Kebebasan Pers dan perannya
dalam sistem demokrasi di Indonesia
Kebebasan Pers adalah adalah hak yang diberikan oleh
konstitusional atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan
bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebar luaskan, pencetakan dan
penerbitkan surat kabar, majalah, buku atau dalam material lainnya tanpa adanya
campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah. Di Indonesia
sendiri kebebasan pers telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 di dalam ayat 1
disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, ayat kedua
bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau
pelarangan penyiaran, ayat ketiga bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers
nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan
informasi dan ayat keempat bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di
depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak bahkan dalam Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa setiap orang berhak
untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.
Sebelum
kita beranjak lebih jauh tentang kebebasan pers di Indonesia, ada baiknya jika
kita lihat kembali bagaimana sejarah perjalanan pers di Indonesia dari awal
kemerdekaannya, sampai pada era reformasi sekarang ini.
1.
Pers awal kemerdekaan
Pada tahun 1946, pihak pemerintah mulai merintis hubungan
dengan pers. Di masa itu telah disusun peraturan yang tercantum dalam Dewan
Pertahanan Negara Nomor 11 Tahun 1946 yang mengatur soal percetakan,
pengumuman, dan penerbitan. Kemudian diadakan juga beberapa perubahan aturan
yang tercantum dalam Wetboek van Strafrecht (UU bikinan Belanda), seperti
drukpersreglement tahun 1856, persbreidel ordonnantie 1931 yang mengatur
tentang kejahatan dari pers, penghinaan, hasutan, pemberitaan bohong dan
sebagainya. Namun upaya ini pelaksanaannya tertunda karena invasi dari pihak
Belanda. Barulah setelah Indonesia memperoleh kedaulatannya di tahun 1949,
pembenahan dalam bidang pers dilanjutkan kembali. Di saat itu telah terjadi
peristiwa bersatunya kembali golongan insan pers yang bergerak di kota yang
dikuasai Belanda dengan golongan yang bergerak di daerah gerilya. Hubungan itu
meliputi soal perundang-undangan, kebijaksanaan pemerintah terhadap kepentingan
pers dalam hal aspek sosial ekonomi maupun aspek politisnya. Dalam UUD pasal 19
contohnya, telah dicantumkan kalimat, setiap orang berhak atas kebebasan
mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Pelaksanaan UUD pasal 19 tersebut telah
diusulkan dalam sidang Komite Nasional Pusat Pleno VI Yogya tanggal 7 Desember
1949 yang intinya, Pemerintah RI agar memperjuangkan pelaksanaan kebebasan pers
yang mencakup memberi perlindungan kepada pers nasional, memberi fasilitas yang
dibutuhkan perusahaan surat kabar, dan mengakui kantor berita Antara sebagai
kantor berita nasional yang patut memperoleh fasilitas dan perlindungan. Usulan
di atas kemudian dijawab. Pemerintah RI sudah mulai merencanakan segala
peraturan mengenai pers dan berupaya sekerasnya untuk melaksanakan hak asasi
demokrasi. Hubungan antara pemerintah dan pers lebih dipererat dengan cara
membentuk Panitia Pers pada tanggal 15 Maret 1950, penambahan halaman koran,
persediaan kertas dan bahan-bahan yang diperlukan, tanpa ada ikatan apapun yang
mengurangi kemerdekaan pers. Untuk meningkatkan nilai dan mutu jurnalistik,
maka para wartawan diberi kesempatan untuk memperdalam ilmunya. Dan diupayakan
pula agar kedudukan kantor berita Antara lebih terasa sebagai mitra dari para
pengelola surat kabar. Upaya di atas telah memungkinkan terciptanya iklim pers
yang tertib dan menguntungkan semua pihak. Jumlah perusahaan koran pun dari
tahun ke tahun semakin meningkat. Buktinya dalam kurun waktu empat tahun
sesudah 1949, jumlah surat kabar berbahasa Indonesia, Belanda, dan Cina naik,
dari 70 menjadi 101 buah. Sekalipun demikian bukan berarti mutu jurnalistiknya
ikut meningkat. Untuk itu, Ruslan Abdulgani dalam tulisannya "Pers
Nasional dan Funksi Sosialnya" telah menulis sebagai berikut,
"Mempertinggi mutu journalistiek pada umumnja harus diartikan mempertinggi
kwaliteit apa jang ditulis: hal ini dapat ditjapai bila wartawan berkesempatan
tjukup memperlengkapi dirinja dengan pengetahuan tentang keadaan jang hendak
ditulis, dan pelbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu politik, sociologie,
ekomomi, psychologie, sedjarah dan ketatanegaraan". Selanjutnya, pada
jaman pendudukan Jepang., untuk wilayah Jawa dan Madura diterapkan
Undang-undang No.16 yang memberlakukan sistem lisensi dan sensor preventif.
Setiap penerbitan cetak harus memiliki ijin terbit serta melarang penerbitan
yang dinilai memusuhi Jepang. Aturan itu masih diperkuat lagi dengan menempatkan
shidooin (penasehat) dalam staf redaksi setiap surat kabar. Tugas “penasehat”
ini sesungguhnya adalah mengontrol dan menyensor, bahkan adakalanya menulis
artikel-artikel dengan memakai nama para anggota redaksi. Sejumlah aturan yang
diterapkan pada era penjajahan itu ternyata tetap dipelihara
oleh pemerintahan Republik Indonesia, setelah memproklamasikan kemerdekaan. Misalnya ketentuan yang tertuang dalam Persbreidel Ordonnantie, terus dipakai dan secara formal baru diganti pada 1954. Mengikuti perkembangan politik, pada 14 September 1956, Kepala Staf Angkatan Darat, selaku Penguasa Militer, mengeluarkan peraturan No. PKM/001/0/1956. Pasal 1 peraturan ini menegaskan larangan untuk mencetak, menerbitkan dan menyebarkan serta memiliki tulisan, gambar, klise atau lukisan yang memuat atau mengandung kecaman atau penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Larangan itu juga berlaku bagi tulisan dan gambar yang dinilai mengandung perenyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan. Ketentuan yang sangat mirip dengan Haatzaai. Artikelen ini, kemudian dicabut setelah diprotes kalangan pers. Mengikuti penerapan situasi darurat perang (SOB), Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya mengeluarkan ketentuan ijin terbit pada 1 Oktober 1958. Pembredelan pers di era Soekarno banyak terjadi setelah pemberlakuan SOB, 14 Maret 1957, termasuk penahanan sejumlah wartawan. Aturan soal ijin terbit bagi harian dan majalah kemudian dipertegas dengan Penpres No.6/1963. Selain Surat Ijin terbit, setelah meletus Peristiwa Gerakan 30 september 1965, berlaku pula Surat Ijin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Pelaksana
Khusus (Laksus) Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah (Kopkamtibda). Pers Indonesia saat itu dikepung dengan ketentuan SIT, SIC, serta ada lagi: Surat Ijin Pembagian Kertas (SIPK), kertas tidak akan diberikan kepada media yang dinilai tidak patuh.
oleh pemerintahan Republik Indonesia, setelah memproklamasikan kemerdekaan. Misalnya ketentuan yang tertuang dalam Persbreidel Ordonnantie, terus dipakai dan secara formal baru diganti pada 1954. Mengikuti perkembangan politik, pada 14 September 1956, Kepala Staf Angkatan Darat, selaku Penguasa Militer, mengeluarkan peraturan No. PKM/001/0/1956. Pasal 1 peraturan ini menegaskan larangan untuk mencetak, menerbitkan dan menyebarkan serta memiliki tulisan, gambar, klise atau lukisan yang memuat atau mengandung kecaman atau penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Larangan itu juga berlaku bagi tulisan dan gambar yang dinilai mengandung perenyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan. Ketentuan yang sangat mirip dengan Haatzaai. Artikelen ini, kemudian dicabut setelah diprotes kalangan pers. Mengikuti penerapan situasi darurat perang (SOB), Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya mengeluarkan ketentuan ijin terbit pada 1 Oktober 1958. Pembredelan pers di era Soekarno banyak terjadi setelah pemberlakuan SOB, 14 Maret 1957, termasuk penahanan sejumlah wartawan. Aturan soal ijin terbit bagi harian dan majalah kemudian dipertegas dengan Penpres No.6/1963. Selain Surat Ijin terbit, setelah meletus Peristiwa Gerakan 30 september 1965, berlaku pula Surat Ijin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Pelaksana
Khusus (Laksus) Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah (Kopkamtibda). Pers Indonesia saat itu dikepung dengan ketentuan SIT, SIC, serta ada lagi: Surat Ijin Pembagian Kertas (SIPK), kertas tidak akan diberikan kepada media yang dinilai tidak patuh.
2.
Pers pada masa Orde Baru
Aturan yang menindas pers itu terus
dilestarikan pada era Soeharto, represi sudah dijalankan bahkan sejak pada awal
era Orde Baru—orde yang menjanjikan keterbukaan. Sejumlah Koran menjadi korban,
antara lain majalah Sendi terjerat delik pers, pada 1972, karena memuat tulisan
yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Surat ijin terbit Sendi
dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan. Setahun kemudian, 1973,
Sinar Harapan, dilarang terbit seminggu karena dianggap membocorkan rahasia
negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belum dibicarakan di
parlemen (dalam Soebagijo I.N, Sejarah Pers Indonesia, Jakarta: Dewan Pers,
1977, hal.
181).
181).
Pada 1974, setelah meledak
Persitiwa Malari, sebanyak 12 penerbitan pers dibredel, melalui pencabutan
Surat Ijin Terbit (SIT). Pers dituduh telah “menjurus ke arah usaha-usaha
melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional, dengan mengobarkan isu-isu seperti
modal asing, korupsi, dwi fungsi, kebobrokan aparat pemerintah, pertarungan
tingkat tinggi; merusak kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan nasional;
menghasut rakyat untuk bergerak mengganggu ketertiban dan keamanan negara; menciptakan
peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus pada perbuatan makar.”
Pencabutan SIT ini dipertegas dengan pencabutan Surat Ijin Cetak (SIC) yang
dikeluarkan oleh Laksus Kopkamtib Jaya.
dikeluarkan oleh Laksus Kopkamtib Jaya.
Pemberangusan terhadap pers kembali
terjadi pada 1978, berkaitan dengan maraknya aksi mahasiswa menentang
pencalonan Soeharto sebagai presiden. Sebanyak tujuh surat kabar di Jakarta
(Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan
Pos Sore) dibekukan penerbitannya untuk sementara waktu hanya melalui telepon,
kepada pemimpin nasional (Soeharto). Kisah pembredelan di era Soeharto terus
berlanjut. Era 1980-an meminta korban antara lain: pada 1982 majalah Tempo
ditutup untuk sementara waktu, ketika menulis peristiwa kerusuhan kampanye pemilu
di Lapangan Banteng. Koran Jurnal Ekuin, dilarang terbit pada Maret 1983 oleh
Kopkamtib akibat menyiarkan berita penurunan patokan harga ekspor minyak
Indonesia yang merupakan informasi off the record. Korban berikutnya adalah
majalah Expo (Januari 1984) setelah memuat serial tulisan mengenai Seratus
Milyader Indonesia. Tulisan tersebut dinilai telah “melakukan penyimpangan
terhadap ketentuan perundangan yang mengatur manajemen penerbitan pers”.
Dua bulan kemudian giliran majalah
Topik akibat menulis editorial Mencari Golongan Miskin (Topik, 14 Februari
1984) dan menurunkan wawancara imajiner dengan Presiden Soeharto berjudul Eben
menemui Pak Harto. Tulisan pertama dinilai “cenderung beraliran ekstrim kiri
dan ingin mengobarkan pertentang kelas”, sedangkan tulisan kedua dianggap
“bernada sinis, insinuatif dan tidak mencerminkan pers bebas dan
bertanggungjawab.” Bulan Mei 1984, majalah Fokus dilarang terbit dan dicabut
SIT-nya setelah menurunkan tulisan yang dianggap dapat mempertajam prasangka
sosial.
Berikutnya, pada 9 Oktober 1986, koran Sinar Harapan dilarang terbit Deretan pembredelanitu terus berlanjut dengan korban koran Prioritas, tabloid Monitor, majalah Senang, hingga pada 21 Juni 1994 ketika pemerintah membunuh Tempo, Editor
dan Detik.
Berikutnya, pada 9 Oktober 1986, koran Sinar Harapan dilarang terbit Deretan pembredelanitu terus berlanjut dengan korban koran Prioritas, tabloid Monitor, majalah Senang, hingga pada 21 Juni 1994 ketika pemerintah membunuh Tempo, Editor
dan Detik.
3.
Pers pada era Reformasi
Presiden Soeharto turun pada 21 Mei 1998,
akibat krisis ekonomi dan karena arus informasi yang mengungkap kebobrokan
pemerintahannya mengalir tanpa bisa dibendung-- melalui media alternatif dan
internet. Selain itu, pers juga tidak lagi mau dibungkam. Saat-saat terakhir
menjelang keruntuhannya, Presiden Soeharto mencoba mengintimidasi pers, dengan
menuduh pers "tidak proporsional dan melakukan disinformasi”. Soeharto
marah karena pers selalu menempatkan aksi demonstrasi mahasiswa dan tuntutan
reformasi di halaman pertama. Biasanya pers Indonesia akan ciut nyalinya jika
Soeharto marah, namun situasi memang sedang berubah.
Perubahan pun terbuka dengan mundurnya Soeharto. Bagi para jurnalis itu berarti peluang terwujudnya jaminan kebebasan pers. Menteri Penerangan yang baru, Junus Josfiah, segera merevisi ketentuan perizinan (SIUPP) dan mencabut ketentuan wadah tunggal organisasi wartawan.
Perubahan pun terbuka dengan mundurnya Soeharto. Bagi para jurnalis itu berarti peluang terwujudnya jaminan kebebasan pers. Menteri Penerangan yang baru, Junus Josfiah, segera merevisi ketentuan perizinan (SIUPP) dan mencabut ketentuan wadah tunggal organisasi wartawan.
Pemerintah tidak lagi bisa sewenang-wenang
mencabut SIUPP—yang menjadi sangat mudah diperoleh. Lebih dari 1.600 SIUPP baru
dikeluarkan periode Mei 1998-Agustus 1999, sebelum ketentuan SIUPP akhirnya
dicabut, dengan disahkannya UU No.40 tahun 1999 tentang Pers pada September
1999. Bandingkan dengan era Soeharto yang cuma mengeluarkan 241 perizinan
selama 32 tahun kekuasaannya.
Perubahan lain yang drastis adalah diakuinya hak wartawan untuk mendirikan organisasi baru di luar PWI. AJI setelah empat tahun diperlakukan sebagai organisasi ilegal, mulai diakui keberadaannya. Diikuti dengan lahirnya berbagai organisai wartawan baru seperti Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), PWI Reformasi, Pewarta Foto Indonesia (PFI) dan lain-lain, yang jumlahnya mencapai 40. Memang terkesan ada inflasi organisasi wartawan dan penerbitan baru.
Perubahan lain yang drastis adalah diakuinya hak wartawan untuk mendirikan organisasi baru di luar PWI. AJI setelah empat tahun diperlakukan sebagai organisasi ilegal, mulai diakui keberadaannya. Diikuti dengan lahirnya berbagai organisai wartawan baru seperti Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), PWI Reformasi, Pewarta Foto Indonesia (PFI) dan lain-lain, yang jumlahnya mencapai 40. Memang terkesan ada inflasi organisasi wartawan dan penerbitan baru.
Tapi ini gejala wajar, semacam demam kebebasan
yang sedang dirayakan masyarakat (sebagaimana munculnya partai-partai politik
baru, yang jumlahnya pernah mencapai 108 partai-- dari semula 3 partai). Para
wartawan yang lama terkungkung dalam satu wadah organisasi, menemukan momentum
untuk mengaktualisasikan diri. Penerbitan pers yang semula dibatasi perizinan
kemudian leluasa menerbitkan media. Di kota-kota kabupaten, bahkan kecamatan,
terbit tabloid baru. Di Ujung Pandang, misalnya, yang semula cuma memiliki 5
penerbitan pers, kurang dari setahun melonjak mencapai lebih dari 45 penerbitan
pers. Banyak pengusaha “dadakan” menerbitkan penerbitan pers dengan nama-nama
yang aneh atau lucu, yang mengesankan kurang serius, seperti Deru, Dobrak,
Pantura, Amien Pos, Mega Pos, Posmo, X-file, Gugat (tabloid ini bermotto: trial
by the press) Terbukti kemudian, banyak media yang cuma bertahan satu atau dua
bulan, dan berhenti terbit.
Fenomena lain yang muncul, dan sempat
memunculkan kekhawatiran kembalinya media partisan, adalah terbitnya sejumlah
tabloid yang “berafiliasi” dengan partai politik. Media partai itu antara lain
Amanat milik Partai Amanat Nasional (PAN), Duta Masyarakat milik Partai
Kebangkitan bangsa (PKB), Demokrat dikelola oleh Partai Demokrasi-Perjuangan
(PDI-P), Abadi milik Partai Bulan Bintang (PBB) dan Siaga yang dianggap corong
Partai Golkar. Berbeda dengan media partisan era demokrasi liberal pada tahun
1950-an, yang murni merupakan alat partai politik, media partisan jaman
reformasi kali ini terbit dengan motif utama bisnis ketimbang politik, karena
kelompok Jawa Pos Grup (Dahlan Iskan) lah yang mendanai penerbitan empat media
parpol itu.
Pers Indonesia memang bisa lebih longgar menyampaikan informasi di era Presiden Habibie, namun kebebasan pers yang baru saja dinikmati itu bukan tanpa ancaman. Karakter rezim Habibie sulit diprediksi, mengingat sebagian besar pejabat pemerintah adalah “orang-orang Soeharto” juga. Sejumlah contoh menunjukkan rezim baru Habibie berupaya mengontrol pers.
Pers Indonesia memang bisa lebih longgar menyampaikan informasi di era Presiden Habibie, namun kebebasan pers yang baru saja dinikmati itu bukan tanpa ancaman. Karakter rezim Habibie sulit diprediksi, mengingat sebagian besar pejabat pemerintah adalah “orang-orang Soeharto” juga. Sejumlah contoh menunjukkan rezim baru Habibie berupaya mengontrol pers.
Pada bulan Juni 1998, Habibie melontarkan
gagasan untuk menerapkan "sistem lisensi" pada wartawan, dan sebulan
kemudian dia mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk mengatur Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat (kedua usulan itu bias digagalkan, berkat gencarnya perlawanan
melalui aksi oposisi). Habibie juga meminta militer menindak keras aksi-aksi
demonstrasi masyarakat. Bulan Juli 1998, acara Talk Show di stasiun Indosiar
dihentikan secara tiba-tiba, oleh Menteri Sekretaris Negara (saat itu) Akbar
Tanjung, ketika acara sedang disiarkan, karena dianggap terlalu lugas dalam
mengritik Habibie. Tabloid Detak dan harian Merdeka dituntut oleh Menteri Dalam
Negeri Syarwan Hamid, karena membongkar keterlibatan Syarwan dalam Peristiwa 27
Juli 1996 (penyerbuan kantor PDI).. Majalah Tajuk dituntut oleh Kodam Jaya atas
tulisan tentang keterlibatan militer dalam kerusuhan 13-15 Mei 1998.
Pemberitaan media yang gencar menyangkut penyadapan percakapan telepon antara
Presiden Habibie dengan Jaksa Agung Andi M. Ghalib, telah menyebabkan beberapa
pemimpin redaksi diperiksa oleh kepolisian.
Pada era ini jurnalisme radio mulai semarak,
stasiun radio di Jakarta seperti Elshinta, Sonora dan Trijaya FM mulai
memproduksi laporan berita. Langkah itu diikuti sejumlah stasiun radio di
daerah seperti Nikoya, Banda Aceh. Permohonan untuk pendirian stasiun radio
baru mencapai 32. Sedangkan untuk media televisi, meskipun lima stasiun TV yang
terbelit utang, Departeman Penerangan sampai Maret 1999 mengeluarkan ijin
siaran untuk delapan stasiun baru, enam diantaranya untuk siaran nasional.Persoalannya
frekwensi yang tersedia untuk siaran nasional tinggal satu.
Dengan kemudahan memperoleh ijin menerbitkan media, berakibat muncul konflik manajemen di sejumlah media. Misalnya, sebagian awak majalah Gatra hengkang
mendirikan Gamma (Desember 1998), aksi serupa juga terjadi di harian Suara Pembaruan dengan terbitnya Suara Bangsa. Koran tertua Merdeka yang sebagian sahamnya diambil oleh oleh Jawa Pos Grup, ternyata menjadi bumerang, manajemen milik Dahlan Iskan itu kemudian menerbitkan Rakyat Merdeka setelah muncul ketidaksepahaman dalama manajerial.
Era kebebasan pers juga memunculkan ekses-ekses sensasionalisme, banyak tabloid baru menulis laporan spekulatif dan tidak mengindahkan kode etik, termasuk ramainya penerbitan media yang mengusung erotisme (cenderung pornografis). Sejumlah pemimpin redaksi tabloid erotis sempat di seret ke pengadilan pada Juni 1999, termasuk pemimpin redaksi majalah Matra, Riantiarno, yang divonis hukuman percobaan. Gaya jurnalisme agresif misalnya dipraktekkan oleh tabloid Warta Republik secara vulgar. Tabloid baru itu pada terbitan edisi Desember 1999 melaporkan “persaingan” mantan Wakil Presiden, Try Sutrisno, dan mantan Menteri Pertahanan, Edy Sudrajat, memperebutkan cinta seorang janda. Laporan itu semata-mata bersandar pada rumor, Warta Republik tidak berupaya melakukan konfirmasi atau wawancara kepada tiga figur tersebut.
Dengan kemudahan memperoleh ijin menerbitkan media, berakibat muncul konflik manajemen di sejumlah media. Misalnya, sebagian awak majalah Gatra hengkang
mendirikan Gamma (Desember 1998), aksi serupa juga terjadi di harian Suara Pembaruan dengan terbitnya Suara Bangsa. Koran tertua Merdeka yang sebagian sahamnya diambil oleh oleh Jawa Pos Grup, ternyata menjadi bumerang, manajemen milik Dahlan Iskan itu kemudian menerbitkan Rakyat Merdeka setelah muncul ketidaksepahaman dalama manajerial.
Era kebebasan pers juga memunculkan ekses-ekses sensasionalisme, banyak tabloid baru menulis laporan spekulatif dan tidak mengindahkan kode etik, termasuk ramainya penerbitan media yang mengusung erotisme (cenderung pornografis). Sejumlah pemimpin redaksi tabloid erotis sempat di seret ke pengadilan pada Juni 1999, termasuk pemimpin redaksi majalah Matra, Riantiarno, yang divonis hukuman percobaan. Gaya jurnalisme agresif misalnya dipraktekkan oleh tabloid Warta Republik secara vulgar. Tabloid baru itu pada terbitan edisi Desember 1999 melaporkan “persaingan” mantan Wakil Presiden, Try Sutrisno, dan mantan Menteri Pertahanan, Edy Sudrajat, memperebutkan cinta seorang janda. Laporan itu semata-mata bersandar pada rumor, Warta Republik tidak berupaya melakukan konfirmasi atau wawancara kepada tiga figur tersebut.
Kebebasan pers Indonesia, kemudian, banyak
dikecam sebagai “kelewat batas” dan chaotic. Keprihatinan terhadap rendahnya
penghargaan pada etika pers, khususnya untuk tabloid-tabloid baru, ramai
disuarakan. Sebagai reaksi atas kondisi pers yang terkesan liar dan tak
terkontrol itu bermunculan lembaga-lembaga yang menerbitkan jurnal pengawas
media (media watch). Pada saat yang sama pers Indonesia memang tidak memiliki
lembaga yang mampu mengawasi etika pers. Dewan Pers (bentukan pemerintah), yang
seharusnya berfungsi sebagai lembaga pengontrol, tidak bisa berfungsi, karena
kehilangan legitimasinya. Untuk merespon suara kecaman terhadap pers itu, Dewan
Pers bersama sejumlah organisasi wartawan berupaya merumuskan kode etik
bersama—yang menjadi patokan untuk seluruh organisasi wartawan. Kode Etik
Wartawan Indonesia (KEWI) itu, setelah melalui proses perdebatan yang cukup
panjang, akhirnya bisa disepakati dan ditandatangani oleh wakil dari 26
organisasi wartawan pada 6 Agustus 1999.
Sementara itu, masyarakat pers Indonesia, sejak bergulirnya
reformasi mulai menggagas untuk menyusun Undang-undang Pers baru guna
membentengi kemerdekaan pers yang diperoleh. Sejumlah aktivis, pakar
komunikasi, wartawan dan pengurus organisasi pers, pada akhir 1998 membentuk
forum Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) yang kemudian menjadi
motor penyusunan UU Pers baru. Setelah melalui rangkaian diskusi dan lobi
panjang, akhirnya disahkan Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers (UU Pers
1999) pada 23 September 1999.
Dalam UU Pers 1999, Bab V Pasal 15, disebutkan tentang perlunya dibentuk Dewan Pers yang independen sebagai upaya mengembangkan kemerdekaan pers. Selanjutnya Dewan Pers (lama) memfasilitasi proses pembentukan Dewan Pers Baru yang beranggotakan wakil-wakil wartawan, perusahaan pers dan tokoh masyarakat. Proses pembentukan Dewan Pers baru cukup rumit, khususnya dalam menentukan perwakilan dari wartawan, mengingat besarnya jumlah organisasi wartawan. Terdapat 121 nama calon anggota Dewan Pers yang diajukan oleh 33 organisasi wartawan dan tujuh organisasi perusahaan pers. Akhirnya, pada 22 Februari 2000 Badan Pekerja memutuskan sembilan nama sebagai pengurus Dewan Pers periode 2000-2003.
Dalam UU Pers 1999, Bab V Pasal 15, disebutkan tentang perlunya dibentuk Dewan Pers yang independen sebagai upaya mengembangkan kemerdekaan pers. Selanjutnya Dewan Pers (lama) memfasilitasi proses pembentukan Dewan Pers Baru yang beranggotakan wakil-wakil wartawan, perusahaan pers dan tokoh masyarakat. Proses pembentukan Dewan Pers baru cukup rumit, khususnya dalam menentukan perwakilan dari wartawan, mengingat besarnya jumlah organisasi wartawan. Terdapat 121 nama calon anggota Dewan Pers yang diajukan oleh 33 organisasi wartawan dan tujuh organisasi perusahaan pers. Akhirnya, pada 22 Februari 2000 Badan Pekerja memutuskan sembilan nama sebagai pengurus Dewan Pers periode 2000-2003.
Setelah mengalami begitu panjang
perjalanan dan lika-likunya, pers akhirnya mengalami kebebasan untuk
menjalankan fungsinya sebagai salah satu media transformasi nilai dari
pemerintah ke masyarakat luas dan juga sebagai sarana kontrol terhadap segala
bentuk kebijakan yang akan maupun telah ditetapkan oleh lembaga pemerintahan. Ini
sangatlah penting dalam mengimplementasikan nilai demokrasi yang kita anut, karena
memang dengan sistem yang idealnya adalah rakyat yang berdiri diatas
pemerintahan, maka kebebasan pers sangatlah membantu. Selain itu, pers
sangatlah berpengaruh sekali dalam membangun opini maupun wacana publik hari
ini. Perannya sangatlah besar dalam mengkonstruk paradigma berpikir masyarakat
kita dewasa ini. Namun yang harus menjadi perhatian hari ini adalah ketika
netralitas maupun idealisme dari pers mulai dipertanyakan khalayak umum.
Bagaimana keadaan media cetak maupun elektronik kita hari ini lebih banyak
dikuasai oleh para oknum-oknum yang memang handal dalam melakukan propaganda membangun wacana ataupun opini publik yang
tentunya mempunyai kepentingan sendiri dalam praktik politik di lapangan.
Bahkan, seakan-akan yang terjadi sekarang ini adalah upaya dalam penyamaan
persepsi terhadap realitas yang terjadi melalui wacana. Realitas dipahami
disini sebagai seperangkat konstruk atau bangunan yang dibentuk melalui wacana.
Realitas itu sendiri, menurut Foucault, tidak bisa didefinisikan jika kita
tidak mempunyai akses dengan pembentukan struktur diskursif tersebut. Artinya,
kita mempersepsi dan bagaimana kita menafsirkan objek dan peristiwa dalam
sistem makna itu tergantung pada struktur diskursifnya.
Disinilah peran pers sesungguhnya,
bagaimana dia bisa mengatur ataupun mengkonstruksi paradigma berpikir
masyarakat luas dengan struktur diskursif atau wacana yang dicetaknya. Namun,
kita juga bisa mengambil segi positifnya dari kebebasan pers itu sendiri. Yaitu
bagaimana kita bisa memperoleh informasi sebanyak-banyaknya dari apa yang
kemudian menjadi isu lintas nasional maupun lokal. Dan mengenai benar atau
tidaknya berita maupun wacana yang disajikan media, itu semua tergantung dari
bagaimana kita menganalisanya secara detail dan kritis dalam pembacaan realitas
sosial yang ada. Pers juga dapat berfungsi sebagai alat dalam menstimulasi daya
pikir kritis kita terhadap apa yang menjadi realitas sosial disekitar kita.
Aktualisasi Kebebasan Pers di
Indonesia
Kebebasan
memunculkan berbagai persoalannya sendiri, yang lebih kompleks ketimbang era
tirani kekuasaan.. Kebebasan Pers yang kini berkembang di Indonesia, telah
ditanggapi secara negatif oleh sejumlah pihak, karena dianggap telah “bebas
terlampau jauh”. .Ekses negatif kebebasan pers saat ini terlihat semakin nyata
dengan banyak bermunculannya media partisan, sensasional, termasuk yang
menonjolkan erotika. Fenomena lainnya adalah munculnya banyak media yang
mengusung asas jurnalisme alakadarnya dan kurang menghargai etika. Banyak pula
muncul pemodal melakukan akrobat dalam bisnis pers: menerbitkan media, dua
bulan kemudian ditutup lantaran tidak laku, kemudian menerbitkan media baru
lainnya. Seserius apakah ekses negatif kebebasan pers saat ini? Memang ada soal
ketika menyangkut pemberitaan konflik antar golongan atau etnis (seperti kasus
Ambon), sebagian media telah memposisikan diri sebagai corong kelompok
tertentu. Ada pula media yang diterbitkan semata-mata sebagai alat menyerang
atau membela orang-orang tertentu. Namun justru itu lah resiko demokrasi:
munculnya sejumlah pers yang buruk. Sebagaimana bertebaran pula gagasan-gagasan
buruk. Tantangan di Indonesia kini adalah, pers yang bermutu dituntut untuk
mengarahkan dan memperluas pembacanya, justru agar masyarakat tidak membaca
media yang buruk. Agar dalam market place of ideas ide-ide baik menang terhadap
gagasan buruk.
Setelah
halangan struktural kebebasan pers (regulasi pemerintah) berhasil disingkirkan,
maka kebebasan pers itu semata-mata berhadapan dengan batas toleransi
masyarakat. Opini publik lah yang akan membatasi, sejauh mana pers boleh bebas.
Tidak bisa dielakkan bakal ada benturan kepentingan dan memunculkan
ketidakpuasan satu pihak Ketika kebebasan berpendapat seseorang merugikan pihak
lain, maka satu-satunya penyelesaian adalah melalui pengadilan—yang diharapkan
bisa mengeluarkan keputusan yang bijaksana—setelah melalui perdebatan yang luas.
Sayangnya, ditengah kegandrungan terhadap kebebasan yang menggebu saat ini,
hukum belum siap mengantisipasinya--baik hukum untuk menggebuk pelaku kekerasan
maupun menindak media yang kurang ajar. Akibatnya tirani masih bias, dan pers
menjadi sasaran empuk untuk melampiaskan kejengkelan akan kebebasan. Situasi
itu merupakan produk langsung dari hukum yang vakum. Bukan saja aparatnya
sedang kehilangan wibawa, melainkan perangkat aturannya juga belum tersedia
secara memadai. Oleh karena itu, pers Indonesia dituntut untuk bisa mengatur
atau mengontrol sendiri (self regulated), sesama sejawat pers saling
mengingatkan. Atau setidaknya mematuhi ketentuan yang diatur dalam kode etik
pers, dan menempatkan lembaga semacam Dewan Pers menjadi “polisi” yang diikuti
teguran atau peringatannya. Jika tidak, apa boleh buat, kontrol masyarakat,
seperti pendudukan kantor media, akibat tidak puas atas pemberitaan pers bakal
akan terus terjadi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Setelah melihat tentang bagaimana bahasan teoritis maupun
empiris yang telah kami sajikan diatas, maka bisa kita tarik kesimpulan
bahwasannya pers memang merupakan pilar penting dalam upaya menjalankan sistem
demokrasi di Indonesia yang ideal. Karena memang dalam sistem yang
mengatasnamakan rakyat diatas segalanya, peran pers sangatlah besar dalam upaya
kontrol sekaligus media transformasi nilai dan juga informasi dari kebijakan
yang akan maupun telah ditetapkan oleh lembaga pemerintahan. Artinya, ini juga merupakan
langkah untuk kemudian menumbuhkan daya pikir kritis masyarakat terhadap
fenomena sosial yang ada. Namun, kebebasan pers juga dapat menimbulkan dampak
negatif terhadap sistem keterbukaan antara pemerintah dan masyarakat. Karena,
selain fungsi awalnya untuk mengabarkan realitas yang terjadi di lingkup
masyarakat maupun pemerintahan, pers dengan wacananya juga dapat menjadi alat
bagi sebagian oknum untuk melanggengkan kekuasaan mapun juga bisa sebagai alat
untuk mendiskreditkan suatu pihak. Maka dari itu, penting bagi kita untuk
melakukan analisis ulang terhadap apa yang menjadi isu maupun wacana yang
dibentuk oleh pers dan mencoba membandingkan antara berita atau wacana yang
satu dengan yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
-
Eriyanto. 2000. “Analisis Wacana: Pengantar
Analisis Teks Media”. Jakarta: LKIS.
-
Kaelola, Akbar. 2009. “Kamus Istilah Politik
Kontemporer”. Yogyakarta: Cakrawala.
-
Kamus
Ilmiah Populer. Ahmad Maulana. 2008.
-
Panduan
Jurnalistik Praktis: Mendalami Penulisan Berita dan Feature, Memahami Etika dan
Hukum Pers. Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS). 2009.
-
www.wikipedia.sejarah-pers-di-indonesia.com
Comments