Skip to main content

PKI dan Indonesia


PKI dan Indonesia
Analisis Pengaruh PKI dalam wajah Keindonesiaan
Oleh : Iwan Ismi febriyanto 

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Setiap negara atau bangsa, tentunya memiliki sejarah tersendiri dalam upaya mencapai kemerdekaannya dari kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan oleh bangsa Barat. Tak terkecuali dengan Indonesia. Indonesia telah menasbihka diri sebagai bangsa yang merdeka sejak 17 Agustus 1945 melalui pidato Soekarno-Hatta di depan seluruh rakyat Indonesia yang hadir pada saat itu. Namun, sejarah perjuangan bangsa ini tidak bisa dikesampingkan dalam upaya mencapai kemerdekaan tersebut, sudah banyak sekali korban berjatuhan demi terciptanya kehidupan yang bebas dari penjajahan bangsa Asing. Beberapa organisasi penggerak bangsa mulai menunjukkan taring sejak terciptanya kesadaran untuk hidup bebas dari penjajahan bangsa Asing. Mulai dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang menggauangkan semangat nasionalisme bangsa kita dengan 3 semboyannya yang berujung pada satu bahasa, satu bangsa, dan satu tanaha air, yaitu Indonesia.
Kita pernah memiliki wilayah yang terpisah-pisah, secara historis wilayah Indonesia adalah wilayah bekas jajahan Belanda. Wilayah Hindia Belanda ini masih terpisah pisah berdasarkan ketentuan Ordonansi 1939 dimana laut teritorial Hindia Belanda adalah sejauh 3 (tiga) mil. Dengan adanya ordonansi tersebut, laut atau perairan yang ada diluar 3 mil tersebut merupakan lautan bebas dan berlaku sebagai perairan internasional. Sebagai bangsa yang terpecah-pecah dan terjajah, hal ini jelas merupakan kerugian besar bagi bangsa Indonesia. Keadaan tersebut tidak mendukung kita  dalam mewujudkan bangsa yang merdeka, bersatu dan berdaulat. Untuk bisa keluar dari keadaan tersebut kita membutuhkan semangat kebangsaan yang melahirkan visi bangsa yang bersatu.
Upaya untuk mewujudkan wilayah Indonesia sebagai wilayah yang utuh tidak lagi terpisah  baru terjadi 12 tahun kemudian setelah Indonesia merdeka yaitu ketika Perdana Menteri Djuanda mengeluarkan pernyataan yang selanjutnya disebut sebagai  Deklarasi Djuanda pada  13 Desember 1957. Isi pokok dari deklarasi tersebut menyatakan bahwa laut teritorial Indonesia tidak lagi sejauh 3 mili melainkan selebar 12 mil dan secara resmi menggantikam Ordonansi 1939. Deklarasi Djuanda juga dikukuhkan dalam UU No.4/Prp Tahun 1960 tentang perairan Indonesia yang berisi :
1.         Perairan Indonesia adalah laut  wilayah Indonesia beserta perairan pedalaman Indonesia
2.         Laut wilayah Indonesia adalah jalur laut 12 mil laut
Perairan pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis dasar.
            Namun, dari semua perjuangan kemerdekaan itu, tidak bisa dilepaskan begitu saja mengenai peran organisasi penggerak bangsa. Salah satunya adalah PKI. Memang, dalam bingkai sejarah yang kita pelajari selama ini PKI terkesan sebagai dalang dari terpecahnya Indonesia. PKI selalu dijadikan kambing hitam dalam sejarah kelam Orde Baru. Manipulasi dan intrik dalam menghancurkan PKI dilakukan dengan segala cara untuk memukul bahkan membumi hanguskan para kader, simpatisan, maupun para pimpinan-pimpinannya. Maka dari itu, disinilah penulis akan mencoba menggali seberapa besar peranan PKI yang tentunya ikut andil dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia baik sesudah, maupun sebelum kemerdekaan.

1.2 Rumusan Masalah
            1.         Bagaimana sejarah kelahiran PKI di Indonesia ?
2.                     Bagaimana peran PKI dalam ikut andil dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia ?

1.3 Tujuan
1.         Memberikan penjelasan tentang bagaimana sejarah kelahiran dari PKI di bumi Indonesia.
2.         Memberikan gambaran dalam menafsirkan sejarah tentang perjuangan PKI sebelum maupun sesudah kemerdekaan bangsa Indonesia.




BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Partai Komunis Indonesia (PKI)
            Partai Komunis Indonesia (PKI), sebagaimana partai-partai komunis di negara-negara dunia ketiga mendasarkan ajarannya (atau berdasarkan pada) Marxisme-Leninisme, yaitu pikiran Karl Marx yang dikembangkan oleh Lenin. Ajaran dari Lenin ini didapat setelah Lenin berhasil memenangkan Revolusi Oktober 1917 di Rusia. Praktik lapangan yang dilaksanakan Lenin ini telah memperkaya dan menyempurnakan ajaran Marx. Partai Komunis Indonesia ini juga terus berkiblat pada Partai Komunis Rusia setelah Lenin, yaitu ketika dipimpin oleh Stalin. Kemungkinan dengan menjadikan Partai Komunis Rusia (yang kemudian menjadi Partai Komunis Uni Soviet, PKUS) menjadi kiblat PKI karena menjadi pusat kekuatan kubu komunis, Komintern. Tetapi PKI juga memperkaya diri dengan menyerap ajaran Mao Tse Tung, terutama setelah ia berhasil mengkomuniskan Cina daratan.
            Kaum komunis sangat yakin bahwa perjuangan kekuatan politik hanya bisa dilakukan dengan perjuangan bersenjata sebagaimana yang pernah dilakukan dan dimenangkan Rusia dan si RRC. Tetapi dalam kasus Indonesia perjuangan bersenjata ini tidak mutlak karena kondisi sosial geografi Indonesia yang berbeda paling tidak dengan Rusia dan Cina. Justru disinilah terjadinya tarik menarik antara, di satu pihak, kelompok yang menginginkan perjuangan bersenjata dengan, pihak lain, yang tidak menginginkannya. Dua peristiwa pengahncuran PKI (pemberontakan 1926-1927 dan Provokasi Madium 1948) adalah peristiwa yang dihadapi PKI sebagai “keadaan yang terpojok” yang menyebabkan mereka harus angkat senjata melawan musuh-musuhnya.
            Peristiwa 30 September 1965 juga bukan merupakan sebuah pemberontakan bersenjata (karena PKI tidak punya senjata) apalagi kalau divonis sebagai sebuah pemberontakan yang jauh terencana. Sampai sekarang masil menjadi perdebatan wacana dari pemerhati peristiwa September 1965 dan sejarawan yang mencoba mencaro objektivitas keberlangsungan peristiwa itu. Dengan dengan sangat kuat PKI buka merupakan dalang tetapi lebih sebagai korban, sebagaimana korban lainnya, yaitu tujuh Jendral Angkatan Darat, dan Soekarno berikut pengikut setianya. Era Demokrasi Terpimpin, PKI percaya kepada cara Parlemen, ia yakin akan menang karena kecenderungan setelah Pemilu 1955 (PKI mendapat suara baik di Parlemen dan Konstituante sebesar 16 persen) jumlah pengikutnya telah berkembang pesat. Hal ini dibuktikan dengan menangnya PKI dalam Pemilu di daerah-daerah pada 1957.

2.2 Sejarah Singkat Kelahiran PKI di Indonesia
            Pada tahun 1909, Raden Mas Tirto Adisurya mendirikan Serikat Dagang Islam (SDI) di Jakarta, kemudian disusul di tempat lain, missal pada 1911 di Bogor dan Solo. Tujuan dari SDI adalah membantu pedagang-pedagang pribumi dalam melawan saingannya, pedagang-pedagang Tionghoa. Tujuan lain, mendorong agar rakyat Hindiamampu beremansipasi dalam segi ekonomi. Pada 1912, SDI berubah menjadi Serikat Islam (SI) dengan tujuan yang masih tetap sama dengan SDI. Secara umum boleh dikatakan bahwa kehadiran SDI adalah untuk membela rakyat yang tertindas, yang lemah, dan sebagainya. Hal ini dapat dilihat dari pembelaannya terhaadap penghuni tanah-tanah partikelir di Jakarta dan Surabaya yang menderita akbiat kesewenang-wenangan dari para tuan tanah, para wajib pajak dan rosi si Sumatra Selatan, dan dari semua mereka yang menderita karena tindak kesewenang-wenangan pejabat.
            Benih-benih ide sosialisme ternyata juga tumbuh dalam tubuh SI. Dalam harian Sinar Djawa (Semarang 1916), yang diperkirakan penulisnya adalah Semaoen (yang kemudian menjadi tokoh utama PKI), terdapat tulisan panjang lebar sosialisme bagi cita-cita emansipasi bangsa Hindia. Dinyatakan bahwa tujuan nasionalisme dan sosialisme pada hakikatnya dalah sama. Dengan berkembangnya industry kapitalisme karenanya banyak pengusaha-pengusaha Hindia berubah menjadi pekerja-pekerja yang menerima upah. Oleh karena itu mereka berkepentingan terhadap kepentingan sosialisme. Menurut Hasan Ali Surati di depan Kongres SI di Bandung (1916), Nabi Muhammad adalah sosialis yang hebat karena telah melenyapkan semua perbedaan antara manusia.
            Pada tahun 1913, Henk Snevliet, anggota Sociaal-Democraticshe Arbeiders Partij (Partai Buruh Sosial-Demokrat, Belanda), datang ke Hindia. Pada tahun 1914, ia mendirikan Indische Sociaal-Democratische Vereniging (ISDV-Persatuan Sosial-Demokrat Hindia) di Semarang untung mendapatkan basis massa, ISDV bekerja sama dengan SI, sejak saat itu pengaruh kiri menjadi kuat dalam kubu SI, terutama SI cabang Semarang yang dbawah pimpinan Semaun. Di pihak lain pada Tahun 1915 terdapat perpecahan di kubu SI, yaitu fraksi yang diwakili oleh Haji Agus Salim, yang memperjuangkan Pan-Islamisme dan Modernisasi.  Akhirnya pada tanggal 26 Oktober s.d 2 November 1919 mengadakan Kongres di Surabaya. Putusan Kongres antara lain dibentuknya panitia agama yang mempelajari keterkaitan antara Islam dan Sosialisme juga mengenai pembangunan organinsasi gerakan buruh. Sebelumnya Kongres SI, pada Mei 1919 beberapa perserikatan buruh yang didirikan oleh ISDV diwakili oleh pimpinan-pimpinan yang berasal dari SI, seperti Alimin, Semaun, dan Sosrokardono, mengadakan Kongres di Bandung.
            Hasil kongres menyatakan bahwa perjuangan menjadi alat produksi milik umum tidak harus dicapai dengan kekerasan senjata, meliankan dengan “paksaan batin”, dengan aksi pemogokan. Pada 23 Mei 1920, ISDV mengubah dirinya menjadi PKI, sementara pada Oktober 1921, SI mengadakan kongres dan mengambil keputusan antara lain mengenai “Disiplin Partai”. Akibatnya anggota SI yang menjadi anggota partai lain (terutama PKI)-kecuali yang menjadi anggota Muhammadiyah-dikeluarkan dari SI. Dengan tindakan sentral SI tersebut, maka banyak anggota dan cabang SI mendirikan Serikat Islam Merah. Pada awal Maret 1923, PKI mengadakan konfrensi di Bandung dengan dihadiri oleh 15 cabang PKI, 12 cabang SI Merah, dan 13 organisasi Buruh. Konferensi memutuskan bahwa SI merah berubah menjadi Sarekat Rakyat. Sementara Sarekat Rakyat adalah salah satu sumber calon calon PKI. Setelah melewati beberapa tahap, mereka diproses menjadi anggota PKI.
            Menurut Haji Misbach, tokoh utama dari Solo, semua pengikut sosial, ekonomi, dan penderita batin yang di derita oleh masyarakat Hindia adalh disebabkan oleh sistem kapitalisme yang telah menguasai dunia. Sistem kapitalisme harus dihancurkan dan akan didirikan masyarakat komunis dengan negara dan ekonomi yang dijalankan oleh rakyat. “Dunia Baru” atau “dunia sama rata” ini telah dikembangkan oleh Ratu Adil atau Imam Mahdi di Jawa. Ketika terjadi kerusuhan di Surakarta, haji Misbah didakwa sebagai yang memimpin aksi-aksi terror, tetapi pemerintah tidak dapat membuktikan dakwaan itu. Berdasarkan hak-hak luar biasa (exorbitante rechten) yang dimilikinya, pemerintah pada bulan Juni 1929 membuang Misbach ke Manokwari (Papua Barat). Haji Misbach akhirnya meninggal disana pada Mei 1926. Setelah Misbach meninggal, kepemimpinan PKI di Surakarta di lanjutkan oleh Mas Marco Martodikromo, yang tetap mempertahankan tradisi Marxisme-Islam yang telah dimulai oleh Misbach.



2.3 Peran PKI dalam perjuangan kemerdekan di Indonesia
            Selama abad ke-19 dan beberapa dasawarsa menjelang PD II, diberbagai tempat diseluruh Jawa (dan beberapa di luar Jawa), utamanya didaerah pedesaan, terus menerus terjadi huru-hara kerusuhan, berandalan, pemberontakan, dan sebagainya. Menurut Harvy J. Benda dan Ruth Mcvey, pemberontakan PKI 1926 di Jawa dan 1927 di Sumatra Barat adalah gejala tradisioanal dan sekaligus modern. Dalam melaksanakan pemberontakan, pemimpin pemberontakan menggunakan teori yang paling maju, teori yang dimiliki oleh kelas buruh, yatu Marxisme-Leninisme. Mereka menggunakan teori Lenin, yaitu mengusir kolonialis Belanda dengan kekerasan. Lenin pernah berpesan kepada kaum komunis di Timur bahwa mereka harus menerapkan teori dan praktik komunis di dalam situasi apabila massa terpenting terdiri dari kaum tani (bukan kaum buruh); dan bukannya melawan modal, tetapi melawan sisa-sia Abad Pertengahan (feodalisme). Dan hal inilah yang tidak dilakukan oleh PKI. Partai justru melepaskan tugasnya mengorganisasi kaum tani yang merupakan tenaga penggerak revolusi di negeri jajahan dan setengah feudal seperti Hindia dan menyadarkan pemberontakan pada sejumlah kecil proletariat kota.
            Pada Januari 1926 di Singapura berkumpul Sarjono, Subakar, Mohammad Sanusi, Winata, Musso, Alimin, Budisutjipto, dan Sugono untuk membicarakan masalah putusan dari Konferensi Prambanan. Setelah pertemuan, Alimin ditugaskan untuk menemui Tan Malaka (Mntan Ketua PKI yang menjabat sebagai wakil Komintern untuk Timur Jauh di Manila). Dalam pertemuan itu, Tan Malaka menolak untuk melakukan pemberontakan sesuai pertemuan Prambanan. Ia mengatakan bahwa situasinya belum matang dan PKI belum cukup kuat. Namun, pemberontakan akhirnya meletus pada 12 November 1926 di Jakarta kemudian meletus ke Banten, Solo, Sumatra Barat, dan keberbagai tempat lainnya. Namun, pemberontakan ini akhirnya berhasil digagalkan oleh pemerintah colonial dan langsung menghukum para pemberontak dangan membunuh dan menyiksanya.
            Peter Edman melihat peristiwa pemberontakan itu sebagai usaha para pemimpin komunis untuk mengobarkan pemberontakan. Dalam hal ini PKI semata-mata bukanlah kendaraan bagi komunisme dan bukan pula bagi nasionalisme, akan tetapi bagi banyak pengikutnya lebih diartikan sebagai alat untuk memuaskan keinginan mereka. Sebenarnya nasionalisme masih belum ada dan sebagian besar belumlah muncul dari peristiwa-peristiwa 1920-an, pemberontakan yang bersifat proto-nasionalistik dari pada sebuah kemunculan kaum nasionalis. Dengan kata lain, konsep tentang sebuah negara nasional Indonesia masih sangat lemah. Kemerdekaan yang mere perjuangkan adalah kemerdekaan yang anarkis serta individualis (Edman 2005, hlm. 23.).
            Pada 1927 Komintern mengutus Alimin dan Musso untuk membangun kembali PKI. Ada tiga macam pekerjaan yang telah diselesaikan Musso. (i) secara legal membangun kembali lagi organisasi PKI, yaitu dengan terbentuknya CC-Pamuji; (ii) menyebarkan dan menjelaskan garis front persatuan anti-fasis sesuai dengan keputusan Komintern; dan (iii) menjelaskan siapa itu Tan Malaka dan apa itu Pari-yang didirikan Tan Malaka-walaupun kecil ia mempunyai kegiatan di Indonesia. Disamping PKI yang dibangun kembali oleh Muso, di dalam negeri juga terbentuk berbagai pimpinan PKI illegal. Para pendiri ini sebagian besar adalah mereka yang sudah dibebaskan dari tempat pembuangan Digul, dan sebagian lagi adalah mereka yang tidak tertangkap oleh pemerintah colonial. Atas prakarsa Amir Syarifudin, Sartono, A.K. Gani, Wikana, dan lain-lain pada 23 Mei 1937 didirikan sebuah partai politik dengan nama Gerakan rakyat Indonesia (Gerindo). Namun, Gerindo mengambil jalan kooperatif dengan colonial belanda untuk melawan Jepang yang tengah berkibar dengan fasismenya di kawasan Asia. Ketika Jepang berhadil menduduki Hindia Belanda, hampir semua cabang PKI (baik PKI legal maupun illegal) diseluruh Pulau Jawa dihancurkan, ditangkap, dan sebagian dibunuh. Lalu, oleh generasi yang lebih muda, mereka membangun gerakan di bawah tanah, sebagai kelanjutan perjuangannya.












BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
            Dari berbagai sumber dan argumen yang telah penulis paparkan diatas, maka kita bisa melihat bagaimana PKI yang notabennya selama ini menjadi cacian banyak orang (sejak Orde Baru) juga mempunya andil dalam upaya memperjuangkan nasib bangsa Indonesia untuk kemerdekaannya. Artinya, walaupun akhirnya mereka sempat dihancurkan oleh kaum kolonialis, mereka berhasil untuk kemudian memberikan semangat dan stimulus untuk para pemuda dalam melakukan berbagai gerakan melawan kolonialisme dan impeliarialisme bangsa Asing.
3.2 Saran
            Dan sekedar saran untuk para pemuda yang mungkin sekarang hidup dalam zaman yang serba ada, setidaknya kita harus lebih memperhatikan tentang sejarah, terutama sejarah bangsa kita sendiri. Dan yang harus lebih diperhatikan lagi adalah jangan hanya mengambil inti sari sejarah dari satu aspek saja, namun galilah dari berbagai aspek yang mungkin sangat jarang sekali kita ketahui sebelumnya. Semoga dengan makalah yang penulis buat ini bisa membuka lebar mata kita akan teka-teki sejarah yang mungkin selama ini disembunyikan.













DAFTAR PUSTAKA


-          Budiardjo, Miriam Prof. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
-          Saksono, Gatug Ign. Neoliberalisme vs Sosialisme: Membangkitkan Ekonomi Kerakyatan. Yogyakarta: Forkoma PMKRI Yogyakarta. 2009.

Comments

Popular posts from this blog

Teori Elit dalam Kebijakan Publik

ELIT DAN KEBIJAKAN : TINJAUAN TEORITIS TENTANG MODEL ELIT DALAM MEMAHAMI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK Oleh : Iwan Ismi Febriyanto Abstract             In the analysis of public policy, of course, there are some models that can be used to focus on one subject of public policy itself. That is, before we alone make this a great and sturdy construction, of course, we must have a clear model. That is the reason why public policy analysis models are crucial in making or analyzing public policy. There are several models in the classification of policy analysis. However, here the author would like to focus on Elite Model Theory in the analysis of public policy. To find out how political institutions operate, how decisions are made then the informant's most relevant is the political elite. Elite is defined as "those that relate to, or have, an important position." Political elite to do with how power affects the person's public policy making. Here the role of the

TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT

DIALEKTIKA KEBIJAKAN PUBLIK : “STUDI KOMPARASI TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT DENGAN GOOD GOVERNANCE DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK” Oleh: Iwan Ismi Febriyanto Abstract Public sector organizations are often described unproductive, inefficient, always loss, low quality, poor innovation and creativity, as well as many other critics. The emergence of strong criticism directed at public sector organizations will then cause the movement to reform public sector management. One of the public sector reform movement is the emergence of the concept of New Public Management (NPM). The concept of new public management was initially introduced by Christopher Hood in 1991. When viewed from a historical perspective, modern management approaches in the public sector at first appear in Europe in the 1980s and 1990s as a reaction to the inadequacy of the traditional model of public administration. NPM emphasis at that time was the implementation of decentralization, devolution, and the m

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme Analisis Mengenai Pengaruh dan Implementasinya dalam Kondisi Politik di Suatu Negara Oleh : Iwan Ismi Febriyanto BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG             Ideologi merupakan hal yang paling krusial dalam sejarah maupun masa depan kehidupan manusia, terutama dalam bidang politik dan ekonomi. Bagaimana ideologi mempunyai peran sebagai dasar maupun pijakan yang digunakan oleh suaru kelompok sebagai panutan dari apa yang akan dilakukannya kedepan. Kata ideologi sendiri pertama kali dikembangkan dan diperkenalkan oleh seorang filsuf dari negara Perancis yang bernama Antonie Destutt de Tracy di masa Revolusi Perancis. Antony Downs (1957:96) mengatakan bahwa ideology merupakan seperangkat asumsi dasar baik normatif maupun empiris mengenai sifat dan tujuan manusia atau masyarakat agar dapat dipakai untuk mendorong serta mengembangkan tertib politik.