DEMOKRASI
DELIBERATIF :
PENERAPAN
KONSEP TINDAKAN KOMUNIKATIF SEBAGAI TONGGAK TERCIPTANYA HUBUNGAN TIMBAL BALIK
ANTARA PEMERINTAH DAN MASYARAKAT
Iwan
Ismi Febriyanto*
ABSTRACT
The idea of good
governance has successfully gained its popularity in Indonesia. The concept of
Good Governance must be supported by best communication between society and
government. Deliberative of democracy is one of solution from conception of
Good Governance. In this paper, the writer try to collaboration implementation
of deliberative of democracy with good governance principle. Its how to make
government which responsibility and accountable in this country.
Key words : Democracy,
Deliberative democracy, Society, Implementation of Communication.
PENDAHULUAN
Wacana tentang demokrasi tentunya memang sudah tidak asing
lagi kedengarannya ditelingi kita, bagaimana demokrasi dianggap sebagai sistem
yang paling ideal untuk mewujudkan suatu keadilan dan keharmonisan dalam
strukturasi masyarakat disuatu negara. Karena secara pengertian teoritis,
demokrasi diartikan sebagai bentuk pemerintahan yang dijalankan atas nama
rakyat. Artinya disini rakyat memiliki peranan yang sangat penting dalam
mengelola tata pemerintahan yang ada. Menurut asal usulnya
"demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti
rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan. Dengan demikian
secara harfiah dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih
kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. [1]
Suatu bentuk pemerintah dimana hak untuk membuat
keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga
negara yang bertindak berdasar prosedur mayoritas. Demokrasi langsung (direct
democracy) pada negara-kota Yunani Kuno dapat berlangsung efektif karena
berlangsung dalam kondisi sederhana, wilayahnya terbatas, serta jumlah penduduk
yang sedikit, dan itupun hanya berlaku untuk warga negara resmi, dimana
sebagian besar penduduk merupakan budak yang tidak mempunyai hak membuat
keputusan politik. Dalam negara modern, demokrasi tidak lagi bersifat langsung,
tetapi bersifat demokrasi berdasar perwakilan (representative democracy).
Kita tentunya mengenal berbagai macam istilah mengenai
demokrasi. Ada yang dinamakan Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila,
Demokrasi Konstitusional, Demokrasi Parlementer, Demokrasi Soviet, Demokrasi
Rakyat, Demokrasi Nasional, dan lain sebagainya. Ini menunujukkan bahwa
disetiap negara pasti memiliki konsepan demokrasi yang berebeda. Artinya mereka
berusaha untuk kemudian menyesuaikan bentuk demokrasi menurut konteks keadaan
suatu masyarakatnya sendiri.
Di Indonesia sendiri, perkembangan demokrasi telah
mengalami pasang surut. Selama 25 tahun berdirinya Republik Indonesia ternyata
masalah pokok yang kita hadapi ialah bagaimana, dalam masyarakat yang beraneka
ragam pola budayanya, mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi disamping membina
suatu kehidupan sosial politik yang demokratis. Pada pokoknya masalah ini
berkisar pada penyusunan suatu sistem politik di mana kepemimpinan cukup kuat
untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta nation building, dengan partisipasi rakyat seraya menghindarkan
timbulnya diktatorisme kepemimpinan. Dan yang menjadi permasalahan sekarang
adalah bagaimana membangun suatu pola partisipasi rakyat dalam upaya demokrasi
yang deliberative, atau dengan kata lain bahwa rakyat pun ikut turut serta
dalam mengkonstruksi setiap kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah.
Karena seperti yang kitahui bahwa
kesiapaan masyarakat Indonesia secara keseluruhan belum sepenuhnya siap untuk
kemudian menjalankan sistem demokrasi yang bersifat deliberative. Ini dipicu
oleh pola pendidikan kita yang masih belum maksimal dalam upaya untuk meningktakan
atau membangun wacana tentang demokrasi. Imbasnya adalah money politics yang
masih merajalela, tingkat korupsi yang semakin lama semakin tak terkendali, dan
lain sebagainya.
Diawal era 1996-1997 munculah
salah satu konsep tentang bagaimana melakukan pengelolaan terhadap suatu negara
yang baik atau lebih dikenal prinsip good
governance. Konsep tersebut dianggap oleh beberapa kalangan sebagai
reformasi bentuk kepemerintahan dinegara kita yang memang pada saat zaman orde
baru berada pada sistem diktatorisme. Dan formulasi inilah yang kemudian
menjadi dasar dari adanya penerapan sistem good
governance di Indonesia. Salah satu dari esensi dari prinsip good governance ini adalah adanya
hubungan timbale balik antara masyarakat dan negara dalam menjaga stabilitas
suatu negara demi kesejahteraan masyarakatnya.
Nah, yang kemudian menjadi pertanyaan disini adalah bagaimana
konsepan yang ideal dalam menuju suatu kepemerintahan yang demokratis dan
berkeadilan ditengah berbagai problematika atau konflik baik secara vertikal
maupun horizontal yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia ? Jawaban dari
pertanyaan itu sendiri menurut penulis adalah dengan cara menerapkan suatu pola
tindakan komunikatif antara masyarakat dengan negara dalam membangun sistem
demokrasi yang deliberative agar terciptanya kesetaraan sosial ditengah
masyarakat yang multikultural.
Sejarah dan
Arti Demokrasi
Manusia disebut sebagai makhluk
sosial yang artinya manusia tidak akan dapat hidup tanpa adanya bantuan dari
orang lain di sekitarnya. Ketika kita berbicara tentang manusia sebagai sosial,
maka tentunya kita akan bersinggungan dengan proses interaksi sosial, konyol
ketika kita di tuntut untuk hidup bersosialisasi tetapi tidak diikuti dengan
komunikasi atau interaksi. Menurut teori sosiologi, interaksi sosial adalah
indikator utama dari terjadinya proses-proses sosial yang sejatinya dalam kita
melakukan suatu proses dalam hidup bermasyarakat, pasti kita akan menemukan suatu
konflik sosial, baik itu konflik antar pribadi maupun konflik yang orientasinya
adalah bersinggungan dengan kehidupan bersama atau bermasyarakat. Tidak bisa
dipungkiri bahwasannya manusia sebagai makhluk sosial juga memiliki
kecenderungan atau rasa egoisme yang nantinya dapat mengganggu hubungan manusia
dengan manusia lainnya dalam hidup bermasyarakat.
Nah, rasa egoisme tersebutlah yang
nantinya akan menimbulkan kecenderungan manusia untuk melakukan sesuatu
berdasarkan kepentingan personalnya saja, dan hal tersebut nantinya akan
memunculkan suatu konflik dalam hidup bermasyarakat. Ketika kita berbicara
tentang konflik dalam hidup bermasyarakat, tentunya kita akan mencari sebuah
solusi dimana solusi tersebut dapat meredakan atau menyelesaikan suatu konflik-konflik
sosial. Dan solusi yang paling relevan untuk menyelesaikan suatu konflik dalam
kehidupan bermasyarakat adalah dengan jalan bagaimana kita membentuk suatu
wadah yang yang nantinya wadah tersebut diharapkan untuk bisa menampung segala
aspirasi maupun kepentingan-kepentingan yang terkandung dalam rasa egoisme dari
tiap-tiap individu tersebut. Disinilah yang merupakan awal munculnya ilmu-ilmu
yang mempelajari tentang kehidupan bermasyarakat, salah satunya adalah ilmu
politik. Menurut J.Barents, dalam Ilmu
politika: “Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari tentang kehidupan
bermasyarakat.”[2]
Selain itu, para filsuf pada zaman
yunani kuno seperti Plato dan Aristoteles juga mempunyai persepsi bahwasannya
politik adalah sebuah usaha untuk mencapai masayarakat politik yang terbaik.
Dan persepsi tersebut tigaskan kembali oleh Peter Merkl, dia
mengatakan:”Politik dalam bentuk yang paling baik adalah usaha mencapai suatu
tatanan sosial yang yang baik dan berkeadilan.”[3]
Namun politik itu sejatinya hanyalah sebuah metode atau sekedar ilmu yang masih
bersifat abstrak, oleh karena itu, untuk mengimplementasikan sebuah metode atau
ajaran yang masih bersifat abstrak tersebut dibutuhkanlah sebuah badan atau
lembaga khusus yang orientasinya di harapkan mampu untuk menjadi tempat
pengimplementasian ilmu politik secara konkrit. Dan salah satu tempat untuk
mengimplementasikan ilmu politik adalah negara, karena negara itu mempunyai
pengertian sebagai tempat berkumpulnya suatu masyarakat dalam skala yang sangat
besar yang fungsinya adalah untuk mengatur, menjaga, dan menstabilisasikan
berbagai kepentingan untuk semua elemen masyarakat.
Namun dalam kenyataannya dan yang
menjadi masalah yang sangat sering terjadi adalah bahwasannya terkadang negara
juga tidak bisa menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat. Nah, disinilah timbul pertanyaan mengenai bentuk negara yang
bagaimanakah yang ideal untuk mencapai suatu kesejahteraan tersebut?. Jawaban
yang paling benar adalah relative, karena masing-masing bentuk suatu negara itu
pasti memiliki kekurangan dan kelebihan, jadi kita tidak akan bisa menjustice
bahwasannya bentuk negara ini salah, atau bentuk negara yang lainnya itu benar.
Dan yang bisa menjawab pertanyaan itu sebenarnya adalah zaman.Contoh ketika
pada zaman sebelum zaman yunani kuno, banyak negara-negara di dunia yang masih
memakai model bentuk negara kerajaan atau monarki, termasuk Indonesia.
Mungkin pada saat itu, bentuk
monarki masih relevan untuk di pakai dalam suatu negara dalam menyelesaikan
suatu masalah. Karena seperti kita ketahui, salah satu ciri dari bentuk monarki
adalah adanya kekuasaan absolut atau mutlak dati seorang raja. Dan karena pada
saat itu masyarakatnya masih belum tersentuh arus modernisasi dan belum banyak
yang berpikir kritis, maka yang terjadi adalah mereka sangat patuh dan taat
pada rajanya tanpa adanya pembelaan atau pengkritisan terhadap kebijakan yang
terapkan oleh raja tersebut. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan
meningkatnya daya pikir seseorang dalam segala bidang kehidupan, sistem atau
bentuk negara tersebut sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan dalam
menjalankan fungsi negara sebagai mestinya.
Kemudian muncullah sebuah konsep
yang dimana di dalam konsep tersebut terkandung suatu kebebasan untuk
mengeluarkan pendapat atau ikut serta dalam pengambilan keputusan dalam
menetapkan suatu kebijakan yang nantinya akan diterapkan dalam kehidupan
bermasyarakat. Dan konsep tersebut bernama DEMOKRASI.Istilah demokrasi itu
sendiri muncul pada zaman Yunani kuno, tepatnya pertengahan abad ke 5 dan ke 4
SM.
Konsep demokrasi ini muncul karena banyak
bangsa-bangsa di Eropa yang merasakan sulit dan pahitnya pemerintahan bila di
pegang oleh satu orang atau satu golongan tertentu saja, sehingga dibuat sebuah
konsep dimana kekuasaan itu harus di pisahke dalam beberapa lembaga sebagaimana
dikemukakan oleh beberapa ilmuan atau ahli, diantaranya, Montesquieu, John
Locke, Gabriel Almond, Abdul Kadir Audah, Frank J. Goodnow, Van Vollen Hoven
dan lain-lain.
Demokrasi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos dan kratos.Demos artinya rakyat, sedangkan Kratos artinya adalah kekuasaan. Jadi dapat disimpulkan bahwasannya
demokrasi adalah kekeuasaan berada di tangan rakyat, yang artinya rakyatlah
yang menentukan atau memutuskan segala kebijakan yang akan di ambil oleh
pemerintah untuk kemudian diterapkan dalam berbagai kehidupan
sehari-hari.Banyak definisi-definisi mengenai demokrasi, contohnya yang di
ungkapkan oleh Emha Ainun Najib atau yang lebih akrab dinpanggil dengan sebutan
“Cak Nun”.Dia menyebutkan bahwasannya Demokrasi itu bak”perawan”, yang merdeka
dan memerdekakan.Watak utama demokrasi adalah “mempersilahkan”.Bukan menolak,
menyingkirkan, atau membuang. Demokrasi itu harga mati, demokrasi itu kebenaran
sejati, dan demokrasi itu la roiba fih,
tak ada keraguan kepadanya.[4]
Istilah demokrasi diperkenalkan kali pertama oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu
suatu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan banyak
orang (rakyat).Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang
diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia.
Selain dari para pendahulu yang
menerangkan tentang bagaimana demokrasi itu dijalankan dan memang sudah lama
bergelut dalam bidang politik, ada juga anggapan bahwa dari salah satu filsuf
politik radikal, yaitu Alan Badiou. Badioau menolak penafsiran liberal tentang
demokrasi sebagai persaingan bebas antarkelompok kepentingan atau individu,
baginya, demokrasi adalah sesuatu yang sama sekali lain. Demokrasi adalah
invariant komunis, atau sebut saja:egalitarianism radikal. Konsekuensinya,
demokrasi bukan sekedar pengambilan keputusan secara kolektif, baik secara
agregatif maupun deliberatif. Demokrasi adalah dia yang menghadirkan kesetaraan.[5]
Konsep
Mengenai Demokrasi Deliberatif dengan Tindakan Komunikatif
Kata “deliberasi” berasal dari bahasa Latin deliberatio yang
kemudian dalam bahasa Inggris menjadi deliberation. Istilah ini
memiliki arti “konsultasi”, “menimbang-nimbang”, atau dalam istilah politik
adalah “musyawarah”.[6]
Pemakian istilah demokrasi memberikan makna tersendiri bagi konsep
demokrasi. Istilah demokrasi deliberatif memiliki makna yang
tersirat yaitu diskursus praktis, formasi opini dan aspirasi politik, serta
kedaulatan rakyat sebagai prosedur.[7]
Teori
demokrasi deliberatif tidak memfokuskan pandangannya dengan aturan-aturan
tertentu yang mengatur warga, tetapi sebuah prosedur yang menghasilkan
aturan-aturan itu. Teori ini membantu untuk bagaimana
keputusan-keputusan politis diambil dan dalam kondisi bagaimanakah
aturan-aturan tersebut dihasilkan sedemikian rupa sehingga warganegara mematuhi
peraturan-peraturan tersebut. Dengan kata lain, demokrasi
deliberatif meminati kesahihan keputusn-keputusan kolektif itu. Secara
tidak langsung, opini-opini publik di sini dapat mengklaim keputusan-keputusan
yang membuat warga mematuhinya.
Di dalam demokrasi deliberatif, kedaulatan rakyat dapat
mengkontrol keputusan-keputusan mayoritas. Kita sebagai rakyat dapat
mengkritisi keputusan-keputusan yang dibuat oleh orang-orang yang memegang
mandat. Jika kita berani mengkritisi kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah, maka secara tidak langsung kita sudah menjadi
masyarakta rasional, bukan lagi masyarakat irasional. Opini publik atau
aspirasi memiliki fungsi untuk mengendalikan politik formal atau
kebijakan-kebijakan politik. Jika kita berani mengkritik kebijakan-kebijakan
yang legal itu, secara tidak langsung kita sudah tunduk terhadap sistem.
Konsepan yang seperti inilah yang memang sekiranya patut
untuk kemudian dipraktekan dalam rangka merekonstruksi kondisi politik dinegara
kita. Artinya, ketika mungkin suatu opini publik sudah mulai banyak berkembang,
tentunya mereka akan secara otomatis melakukan kontrol terhadap segala jenis
kebijakan yang akan maupun telah ditetapkan oleh birokrasi pemerintahan. Dan
inilah yang akan menjadikan upaya untuk mendemokratitasi negara Indonesia
menjadi lebih baik untuk kedepannya. Namun, yang tak kalah pentingnya adalah
bagaimana nantinya kita harus senantiasa mencoba untuk kemudian merubah pola
berpikir masyarakat yang memang masih terkesan konservatif dan belum mampu
untuk berfikir jauh kedepan. Kita bisa mencoba menarik ini dengan menggunakan
paradigm teori tindakan komunikatif Jurgen Habermas.
Tindakan komunikatif memiliki 2 aspek, aspek teleologis yang
terdapat pada perealisasian tujuan seseorang (atau dalam proses penerapan
rencana tindakannya) dan aspek komunikatif yang terdapat dalam interpretasi
atas situasidan tercapainya kesepakatan.[8]
Dalam tindakan komunikatif, partisipan menjalankan rencananya secara kooperatif
berdasarkan definisi situasi bersama. Jika definisi situasi bersama tersebut
harus dinegosiasikan terlebih dahulu atau jika upaya untuk sampai pada
kesepakatan dalam kerangka kerja definisi situasi bersama gagal, maka
pencapaian konsensus dapat menjadi tujuan tersendiri., karena konsensus adalah
syarat bagi tercapainya tujuan. Namun keberhasilan yang dicapai oleh tindakan
teleologis dan konsensus yang lahir dari tercapainya pemahaman merupakan
kriteria bagi apakah situasi tersebut telah dijalani dan ditanggulangi dengan
baik atau belum. Oleh karen itu, syarat utama agar tindakan komunikatif bisa
terbentuk adalah partisipan menjalankan rencana mereka secara kooperatif dalam
situasi tindakan yang didefiniskan bersama. Sehingga mereka bisa menghindarkan
diri dari dua resiko, resiko tidak tercapainya pemahaman (ketidaksepakatan atau
ketidaksetujuan) dan resiko pelaksanaan rencana tindakan secara salah (resiko
kegagalan).
SIMPULAN
Good
Governance tidak akan berjalan sempurna ketika kesiapan masyarakat dalam
hal komunikasi masih belum terbentuk secara cultural. Inilah yang menjadi
masalah atau hambatan dari aktualisasi atau penerapan tentang prinsip good governance tersebut. Itu terjadi
bukan hanya pada tataran antara masyarakat dan pemerintahan, tapi juga pada
bagian structural kepemerintahannya.
Hadirnya konsep mengenai demokrasi
deliberative ini diharapkan mampu menopang proses aktualisasi dari prinsip good governance yang memang sekarang
menjadi tren topic dari diskusi-diskusi publik dalam menjalankan mekanisme
pemerintahan yang responsive, akuntabel, dan bertanggung jawab pada
kemaslahatan masyarakat luas.
DAFTRA RUJUKAN
-
Budiardjo, Miriam Prof. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta,
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
-
Ainun Najib, Emha. 2009. Demokrasi La Roiba Fih. Jakarta, Penerbit Buku Kompas.
-
Hardiman, Budi F. 2009. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan
Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta, Penerbit Kanisius.
-
Adian, Donny Gahral. 2011. Teori Militansi: Esai-Esai Politik Radikal. Depok, Penerbit
Koekoesan.
Mahasiswa
Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang
Angkatan
2010
[1]
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar ilmu
politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2008), hlm. 105
[2]
Barents, Ilmu Politik; Suatu Perkenalan
Lapangan, terjemahan LM. Sitorus (Jakarta: PT Pembangunan, 1965,) hlm. 23
[3]
Peter H. Merkl, Continuity and Change (New
York: Harper and Row, 1967), hlm. 13
[4]
Emha Ainun Najib, Demokrasi La Roiba Fih (Jakarta:
Kompas Penerbit Buku, 2009) , hlm 54
[5]
Donny Gahral Adian, Teori Militansi:
Esai-Esai Politik Radikal (Depok: Penerbit Koekoesan; 2011), hlm. 43
[6]
Fresco Budi Hardiman Demokrasi Deliberatif. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius. 2009. hlm. 128.
[7]
Ibid
[8]
F.Budi Hardiman Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius. 2009. hlm. 14.
Comments