Skip to main content

Civil Society


Civil Society
“Konsep dan Tipologi Civil Society serta perkembangannya di Indonesia”
Oleh : Iwan Ismi Febriyanto


Sejarah Singkat perkembangan Civil Society
            Pada abad kedelapan belas, A. Ferguson (1767) menganggap masyarakat sipil sebagai keadaan berwarga negara dan merupakan konsekuensi peradaban. Namun, ia juga menganggap masyarakat sipil sebagai istilah politik ketika membedakan negara Barat dari despotisme oriental. Lagi pula, istilah itu memiliki konotasi ekonomi ketika membedakan peradaban dari masyarakat (keadaan barbar) yang tidak mengakui hak milik pribadi. Analisis mengenai masyarakat sipil juga telah dituangkan dalam pemikiran Hegel dan Marx pada tahun 1837. Karl Marx melanjutkan pemikiran Hegel tentang civil society dalam mengembangkan teorinya tentang masyarakat kapitalis. Tetapi, dia melihat civil society dari perspektif determinisme ekonomi bahwa modus produksi kehidupan materiallah yang ternyata mengkondisi kehidupan sosial dan politik manusia pada umumnya. Civil society juga dilihat sebagai bentukan sosial (social formation)
masyarakat borjuis tempat negara menjadi alat dari kepentingan-kepentingan kelas borjuis. Penampilan luar civil society sebagai suatu masyarakat, tempat para anggotanya dengan bebas dapat mengejar keuntungan ekonomi, dikritik oleh Marx sebagai suatu kamuflase dari monopoli sarana produksi oleh kaum borjuis yang mengeksploitasi kaum proletar. Dengan demikian, civil society bagi Marx hanyalah merupakan fase transisi yang masih tetap mengandung kontradiksi-kontradiksi hubungan ekonomi masyarakat kapitalis, yang pada akhirnya pasti akan hancur dari dalam karena terjadi tranformasi total menuju masyarakat sosialis.
Marx sepakat dengan Hegel, bahwa civil society berkarakter egois, mendahulukan kepentingan subjektif, dan juga konflik. Marx juga sepakat bahwa tahapan ini harus diakhiri, dengan adanya ruang warga negara. Pertama, Civil society dalam konsepsi Marx, dipahami sebagai masyarakat kelas. Dimana relasi civil society, dan negara dikontrol sepenuhnya oleh bagaimana relasi produksi, distribusi dan hukum-hukum ekonomi. Dan relasi politik adalah derivasi dari relasi ekonomistik (hukum basis struktur menentukan suprastruktur).
Kedua, permasalahan di dalam masyarakat bukan hanya antara kepentingan individu bertemu dengan kepentingan individu yang lain. Namun ada unsur eksploitasi di sana. Dimana ada eksploitasi dari modal terhadap buruh, yang mengambil surplus value. Dan dua kontradiksi ini tidak akan pernah dapat didamaikan. Ketiga, Marx juga menolak bahwa setiap asosiasi bisa menjadi alatnya. Sehingga tidak ada asosiasi yang mengakomodasi dua kepentingan, yang didalamnya menampung exploitatator terhadap humanitas dan civil society.
Dalam pandangan Marx, Negara dapat menjadi instrumen bagi kelas bermodal, sehingga prinsip universalitas hanyalah ilusi belaka. Negara bagi Hegel adalah entitas suci, dan kemudian dia mensubordinasikan civil society. Sebaliknya Marx mensubordinasikan negara dan mengangkat posisi civil society di atasnya. Karena civil society adalah ruang dimana terjadi dialektika antara sosial dan politik, antara dominasi dan perlwanan, antara penindasan dan emansispasi.
Karena negara adalah produk sejarah revolusi yang belum selesai, dimana membawa jarak antara wilayah politik dengan wilayah sipil. Sebagai produk dari revolusi yang belum selesai, negara tidaklah bersifat netral, universal dan superior. Tapi negara berada dalam ikatan kelas dimana emansipasi dan pemenuhan hak-hak hanyalah retorika kosong. Negara tidak akan dapat merekonsiliasikan kontradiksi dari dua kelas dalam civil society. Sebaliknya Negara menjadi bagian yang semakin menegangkan kontradisksi itu.
Civil society yang dihasilkan oleh revolusi borjuis telah menghancurkan seluruh eksistensi relasi sosial dan ikatan dari komunitas alami, telah menghalangi akses individual kepada alat-alat produksi, dan membuat individu tergantung pada individu lain yang memilikinya, dan memasukan mereka pada pasar buruh dan barang. Hasilnya adalah kompetisi, egoisme dan mengasingkan mereka dari ikatan sosial. Kondisi civil society sesungguhnya bagi Marx hanya akan ada pada arena yang bebas dari formalitas belaka dan kembali pada penyelesaian kontradiksi dalam relasi produksi. Dalam kondisi negara yang dikuasai oleh kekuatan kapitalisme, civil society adalah kekuatan yang harus diorganisasi untuk menjadi penghancur kelas borjuisme dan memihak pada perubahan revolusif. Perubahan ini ada di dalam salah satu unsur civil society, yaitu kelas proletariat.



Civil Society di Indonesia
            Sejak bangkitnya kekuatan reformasi, politik masyarakat di Indonesia semakin tumbuh dengan bebas. Orientasi politik masyarakat ini makin terbaca dan dapat dibuat tipologinya. Pertama, ada tipologi yang memperjuangkan kultur dan sistem pemerintahan demokrasi. Contoh yang sangat menonjol dari ini adalah Cetro. LSM ini menjadi tulang punggung dari aneka koalisi yang memperjuangkan pemilihan presiden langsung, komisi konstitusi sampai accountability anggotaparlemen. Kedua, tipologi politik masyarakat yang memperjuangkan kultur dan sistem pemerintahan yang tidak paralel dengan demokrasi.
Simbol dan nilai yang diperjuangkan adalah politik Islam. Contoh yang sangat menonjol dari ini adalah FPI (Front Pembela Islam). Belakangan ini, bersama organisasi lain, mereka memperjuangkan masuknya Piagam Jakarta ke dalam konstitusi kita. Piagam Jakarta memberlakukan syariat Islam bagi pemeluknya. Pemerintah, melalui Piagam Jakarta, diminta aktif menjadi operator prinsip agama Islam. Jika demokrasi membuat pemerintah netral dalam hal agama publik, Piagam Jakarta membuat pemerintah lebih aktif dan memihak pada salah satu agama. Ketiga, tipologi politik masyarakat yang juga memperjuangkan ide reformasi, tapi dengan cara yang radikal. Contoh yang paling menonjol adalah koalisi longgar aneka LSM, intelektual, dan partai kecil, yang diromantisir oleh ide pembubaran Golkar, adili Soeharto, ganyang koruptor, dan waspadai kebangkitan Orde Baru. Sebagian dari mereka bahkan mendukung dekrit mantan presiden Gus Dur yang membekukan parlemen.
Tiga tipologi politik masyarakat ini memiliki efek yang berbeda bagi tumbuhnya demokrasi di Indonesia. Tidak semua organisasi kemasyarakatan mempunyai karakter civil society, yang dapat menjadi pilar bagi tumbuhnya masyarakat yang terbuka, plural, dan dinamis. Ada yang menyuburkan, ada yang menghambat. Yang menyuburkan demokrasi adalah yang berkarakter civil society. Sedangkan yang menghambat adalah yang antikarakter civil society.

Tipologi Civil Society dalam wajah keindonesiaan
            Larry Diamond menjelaskan istilah civil society dengan lengkap. Ia mendefinisikannya sebagai kehidupan sosial yang terorganisir, tumbuh secara sukarela, umumnya bersifat swadaya, dan tidak terkooptasi oleh pemerintah. Di samping syarat ini, untuk berkarakter civil society, sebuah kelompok harus pula memenuhi kriteria yang lain. Pertama, kelompok itu haruslah peduli pada dimensi publik dunia sosial (public sphere). Segala hal yang bersifat pribadi, tidak berada di lingkup civil society. Bukan masalah pribadi itu tidak penting. Masalah pribadi diserahkan kepada setiap aktor berdasarkan prinsip self-determination, sejauh ia tidak memiliki efek ke dunia publik. Hanya di dunia publik setiap aksi akan memberi pengaruh kepada pihak lain.
            Kedua, walau kelompok itu tetap berhubungan dengan negara, namun sejak awal ia tak ingin terlibat merebut posisi resmi pemerintahan. Ia hanya aktif dalam mengontrol, mempengaruhi policy dan meminta pertanggungjawaban pemerintah. Dalam bangsa modern, tidak segala proses politik terjadi dan berpusat di wilayah pemerintahan. Selalu dibutuhkan hadirnya kelompok sosial yang memang memposisikan diri berada di luar pemerintahan. Ketiga, kelompok itu punya komitmen pada pluralitas dan diversity. Seluruh organisasi yang sektarian tak termasuk bagian civil society, seperti fundamentalisme agama, ekstremisme etnis, dan berbagai lembaga lain yang mengklaim sebagai satu-satunya pengembang kebenaran mutlak. Kelompok yang berniat memonopoli ruang kesadaran bertentangan dengan situasi persaingan yang disyaratkan civil society.
            Tentu saja kehadiran kelompok yang sektarian tak terhindari dalam situasi masyarakat yang majemuk. Namun, mereka tak pernah menjadi kekuatan dan inisiator masyarakat modern. Realitas plural dan kemauan menerima perbedaan pandangan mengisolasi mereka, menjadikan mereka duri dalam setangkai bunga. Keempat, kelompok yang berkarakter civil society selalu bersifat parsial. Ia tidak berniat mewakili komunitas secara keseluruhan. Tak ada kelompok yang mampu mengemban semua kepentingan. Bahkan untuk sebuah kepentingan, katakanlah kepentingan bisnis atau profesi, tetap tak ada yang mampu mewakili kehendak semua anggota. Sebuah kelompok saingan di bidang garapan yang sejenis, bertentangan dengan prinsip parsialitas.
            Kelima, civil society tak hanya membebaskan diri dari kekuatan negara, tapi bebas pula dari kekuatan politik. Sudah dimaklumi partai didirikan memang untuk berkompetisi merebut posisi resmi pemerintahan. Sedangkan lokus civil society memang tidak sama. Dengan karakter di atas, banyak hal dapat dilakukan. Kekuatan masyarakat yang efektif membuat pertumbuhan sebuah bangsa tidak lagi hanya bertumpu pada pemerintah. Inisiatif dan kepemimpinan datang dari lebih banyak sumber. Di samping itu, karena komitmen pada pluralitas, civil society dapat menjadi arena bagi pengembangan sikap moderat, toleran, rela berkompromi dalam mencari aturan main bersama, serta menghormati pendapat yang berbeda, bahkan bertentangan. Perbedaan pandangan dan kepentingan tidak berubah menjadi konflik tapi kompetisi.
            Tipologi politik masyarakat seperti Cetro adalah yang paling positif sumbangannya kepada tumbuhnya demokrasi yang terkonsolidasi di Indonesia, termasuk pula dalam tipologi ini adalah jaringan "Islam Liberal" yang tengah dikembangkan kawan-kawan muda dari Paramadina, NU, dan intelektual muslim yang sekolah di AS dan Eropa. Berbeda dengan FPI, jaringan "Islam Liberal" ini menginterpretasikan Islam sesuai dengan prinsip dasar demokrasi. Memperjuangkan demokrasi di Indonesia itu ekuivalen dengan memperbanyak politik masyarakat dengan tipologi seperti Cetro dan "Islam Liberal" itu.

Daftar Bacaan
-          Kamus Sosiologi
-          Artikel Koran Tempo dalam tajuk Opini tentang “tipolodi masyarakat sipil” oleh: Denny J.A









           

Comments

Popular posts from this blog

Teori Elit dalam Kebijakan Publik

ELIT DAN KEBIJAKAN : TINJAUAN TEORITIS TENTANG MODEL ELIT DALAM MEMAHAMI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK Oleh : Iwan Ismi Febriyanto Abstract             In the analysis of public policy, of course, there are some models that can be used to focus on one subject of public policy itself. That is, before we alone make this a great and sturdy construction, of course, we must have a clear model. That is the reason why public policy analysis models are crucial in making or analyzing public policy. There are several models in the classification of policy analysis. However, here the author would like to focus on Elite Model Theory in the analysis of public policy. To find out how political institutions operate, how decisions are made then the informant's most relevant is the political elite. Elite is defined as "those that relate to, or have, an important position." Political elite to do with how power affects the person's public policy making. Here the role of the

TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT

DIALEKTIKA KEBIJAKAN PUBLIK : “STUDI KOMPARASI TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT DENGAN GOOD GOVERNANCE DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK” Oleh: Iwan Ismi Febriyanto Abstract Public sector organizations are often described unproductive, inefficient, always loss, low quality, poor innovation and creativity, as well as many other critics. The emergence of strong criticism directed at public sector organizations will then cause the movement to reform public sector management. One of the public sector reform movement is the emergence of the concept of New Public Management (NPM). The concept of new public management was initially introduced by Christopher Hood in 1991. When viewed from a historical perspective, modern management approaches in the public sector at first appear in Europe in the 1980s and 1990s as a reaction to the inadequacy of the traditional model of public administration. NPM emphasis at that time was the implementation of decentralization, devolution, and the m

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme Analisis Mengenai Pengaruh dan Implementasinya dalam Kondisi Politik di Suatu Negara Oleh : Iwan Ismi Febriyanto BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG             Ideologi merupakan hal yang paling krusial dalam sejarah maupun masa depan kehidupan manusia, terutama dalam bidang politik dan ekonomi. Bagaimana ideologi mempunyai peran sebagai dasar maupun pijakan yang digunakan oleh suaru kelompok sebagai panutan dari apa yang akan dilakukannya kedepan. Kata ideologi sendiri pertama kali dikembangkan dan diperkenalkan oleh seorang filsuf dari negara Perancis yang bernama Antonie Destutt de Tracy di masa Revolusi Perancis. Antony Downs (1957:96) mengatakan bahwa ideology merupakan seperangkat asumsi dasar baik normatif maupun empiris mengenai sifat dan tujuan manusia atau masyarakat agar dapat dipakai untuk mendorong serta mengembangkan tertib politik.