MODEL
SISTEM DALAM KEBIJAKAN PUBLIK :
KAJIAN
TEORITIS PENDEKATAN MODEL SISTEM DALAM PERSPEKTIF ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK
Oleh : Iwan Ismi Febriyanto
Abtraksi
Model kebijakan adalah
representasi sederhana mengenai aspek-aspek yang terpilih dari suatu kondisi
masalah yang disusun untuk tujuan-tujuan tertentu.Seperti halnya
masalah-masalah kebijakan yang merupakan bangunan mental yang berdasarkan pada
konseptualisasi dan spesifikasi elemen-elemen kondisi masalah, model-model
kebijakan merupakan rekonstruksi artificial dari realitas dalam wilayah yang
merentang dari energi dan lingkungan sampai ke kemiskinan, kesejahteraan dan
kejahatan.
Model
adalah wakil ideal dari situasi-situasi dunia nyata.Model adalah
menyederhanakan dari realitas yang diwakili. Model dapat dibedakan atas model
fisik dan model abstrak. Model fisik adalah reproduksi ukuran kecil dari benda
atau objek fisik.Model pesawat terbang, model pakaian, model rumah dibuat untuk
menggambarkan bentuk asli dari benda yang ingin digambarkannya. Model abstrak
adalah penyederhanaan fenonema sosial atau konsep-konsep tertentu yang
dinyatakan dalam bentuk pernyataan-pernyataan teoritis, simbol-simbol, gambar
atau rumusan-rumusan matematis mengenai fenomena yang dideskripsikannya.
Penggunaan
model untuk mengkaji kebijakan publik akan sangat besar sekali manfaatnya. Ada
beberapa alasan yang dapat dikemukakan dalam hal ini. Pertama, kebijakan
publik merupakan proses yang kompleks. Oleh karena itu, sifat model yang
menyederhanakan realitas akan sangat membantu dalam memahami realitas yang
kompleks tersebut. Dengan adanya model-model analisis kebijakan publik, seperti
misalnya model implementasi kebijakan, maka kita akan lebih mudah untuk
memilah-milah proses-proses implementasi kebijakan ke dalam elemen-elemen implementasi
yang lebih sederhana. Hal ini akan sangat berguna untuk melihat variabel-variabel
apa saja yang berpengaruh dalam proses implementasi kebijakan tersebut. Kedua,
seperti telah dikemukakan di atas, yakni sifat alamiah manusia yang tidak
mampu memahami realitas yang kompleks tanpa menyederhanakannya terlebih dahulu,
maka peran model dalam menjelaskan kebijakan publik akan semakin berguna.
Dalam
tulisan ini, penulis hanya ingin memfokuskan diri pada salah model yang penulis
anggap masih yang terbaik dari pendekatan model lainnya, yaitu model sistem.
Dengan adanya merelevansikan para tokoh mengenai teori sistem ini, diharapkan
bisa membantu kita dalam upaya memahami pendekatan model sistem ini secara
sistematis dan menyeluruh.
Kata Kunci : Analisis
Kebijakan Publik, Model Sistem, Teori Sistem
Abstract
Policy model is a simple representation of the selected aspects of a
problem condition prepared for the purposes of tertentu.Seperti as policy
issues that are mental construction based on the conceptualization and
specification of the elements of the condition of the problem, a policy models
artificial reconstruction of reality in a region extending from energy and
environment to poverty, welfare, and crime. The model is representative of the
ideal world situations nyata.Model is simplifying of reality represented. The
model can be divided into physical models and abstract models. The physical
model is a reproduction of the small size of the object or objects fisik.Model
aircraft, model clothes, home made models to describe the original form of the
object to describe. Abstract model is a simplification of social fenonema or
certain concepts are expressed in terms of theoretical statements, symbols,
images or mathematical formulas concerning dideskripsikannya phenomenon.
The use of models to assess public
policy would be enormous benefits. There are several reasons that can be
mentioned in this regard. First, public policy is a complex process. Therefore,
the nature of the model that simplifies the reality will be very helpful in
understanding the complex reality. With the models of public policy analysis,
such as the model of policy implementation, then we will be much easier to sort
out policy implementation processes into elements im ¬ plementasi simpler. This
will be very useful to see the variable ¬-variables that influence the process
of policy implementation. Second, as noted above, that human nature is not able
to understand the complex reality without prior da ¬ upper simplify, clarify
the role models in public policy will be more useful. In this paper, we just
want to focus on one model is still considered the best writers from other
modeling approaches, namely the system models. With the leaders of the theory
merelevansikan system, expected to help us in understanding the systems model
approach in a systematic and thorough.
Keywords
: Public Policy Analysis, Model Systems, Systems Theory
Pendahuluan
Kajian tentang kebijakan publik juga membahas tentang
model-model dalam analisa kebijakan publik. Model ini sendiri sebenarnya
merupakan representasi teori yang disederhanakan tentang dunia nyata. Ia lebih
merujuk pada sebuah konsep atau bagan untuk menyederhanakn realitas. Berbeda
dengan teori yang kesahihannya telah dibuktikan melalui pengujian emperis,
model didasarkan pada isomorphism, yaitu kesamaan kesamaan antara
kenyataan satu dengan kenyataan lainnya. Atau dapat juga dikatakan, model
adalah isomorfisme antara dua atau lebih teori empiris. Dengan
kedudukannya sebagai isomorfisme antara dua atau lebih teori empiris,
sehingga model seringkali sulit untuk diuji kebenarannya di lapangan. Namun
demikian, meskipun model belum menjadi teori empiris, model tetap dapat digunakan
sebagai pedoman yang sangat bermanfaat dalam penelitian, terutama penelitian
yang bertujuan untuk mengadakan penggalian ataupun penemuan-penemuan baru. Jika
ditilik dari fungsinya, perbedaan antara teori empiris dengan model adalah
teori empiris difungsikan untuk menjelaskan (to explain) gejala
sosial, sedangkan model menjadi pedoman untuk menemukan (to discover) dan
mengusulkan hubungan antara konsep-konsep yang digunakan untuk mengamati gejala
sosial. Dalam ilmu, model merupakan representasi dari sebuah realitas.
Pada dasarnya pikiran manusia tidak mampu memahami semua realitas
secara keseluruhan, tetapi hanya dapat mengisolasi dan memahami bagian-bagian
dari realitas itu. Kemudian dengan menggunakan bagian-bagian dari realitas
itu, pikiran manusia membangun ide atau gagasan. Dengan demikian, sekalipun
model tidak sama dengan teori, mengingat konsep-konsep yang diidealisasikan
dalam model-model tidak sama dengan konsep-konsep teoritis, tetapi jika model
benar-benar isomorfis dan dapat ditemukan bukti-bukti empirisnya, maka
model akan menjadi sebuah teori.
Penggunaan model untuk mengkaji kebijakan publik akan sangat
besar sekali manfaatnya. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan dalam hal
ini. Pertama, kebijakan publik merupakan proses yang kompleks. Oleh
karena itu, sifat model yang menyederhanakan realitas akan sangat membantu
dalam memahami realitas yang kompleks tersebut. Dengan adanya model-model
analisis kebijakan publik, seperti misalnya model implementasi kebijakan, maka
kita akan lebih mudah untuk memilah-milah proses-proses implementasi kebijakan
ke dalam elemen-elemen implementasi yang lebih sederhana. Hal ini akan sangat
berguna untuk melihat variabel-variabel apa saja yang berpengaruh dalam proses
implementasi kebijakan tersebut. Kedua, seperti telah dikemukakan di
atas, yakni sifat alamiah manusia yang tidak mampu memahami realitas yang
kompleks tanpa menyederhanakannya terlebih dahulu, maka peran model dalam
menjelaskan kebijakan publik akan semakin berguna.
Literatur dari ilmu politik
menyimpan banyak sekali definisi dari kebijakan publik. Cepat atau lambat,
hampir seluruh orang menyerah pada dorongan untuk menegaskan kebijaksanaan
publik dan begitu juga dengan besar kecilnya kesuksesan di mata
pengkritik. Sebagian kecil definisi akan
di catat dan kugunaan mereka terhadap analisis akan dipuji. Agar dapat
benar-benar bermanfaat dan untuk memfasilitasi komunikasi, sebuah definisi
operasional (atau konsep) harus mengindikasikan karakter penting dari konsep
yang didiskusikan.
Satu definisi dari kebijakan
publik, secara luas, berarti hubungan sebuah unit pemerintah dengan
lingkungannya. Definisi lainnya mengatakan bahwa kebijakan publik berarti
apapun yang terkait dengan perintah pemerintah mengenai apa yang dilakukan dan
apa yang tidak dilakukan. Pada intinya, kebijakan publik merujuk pada
kebijakan-kebijakan yang dibentuk oleh badan pemerintahan.
Satu definisi dari kebijaksanaan
publik mengatakan bahwa “pendefinisian luas” adalah “merupakan hubungan antara
sebuah unit pemerintahan dengan lingkungannya.” Definisi tersebut sangat luas
sehingga meninggalkan sebagian besar
murid tidak yakin dengan artinya; hal ini dapat mencakup hampir seluruh
hal. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, definisi lain mengatakan bahwa
“kebijaksanaan publik adalah apapun yang pemerintah pilih untuk dilakuakan atau
tidak dilakukan”. Ada perkiraan kasar terhadap definisi ini, tapi ini tidak
cukup mengenali bahwa mungkin ada perbedaan terhadap apa yang diputuskan
pemerintah untuk dilakukan dan apa yang benar – benar mereka lakukan. Selain
itu, dapat diterima untuk mengikut sertakan aksi sebagai perjanjian pribadi
atau pemberian bantuan, yang biasanya tidak dianggap sebagai hal kebijaksanaan.
Richard Rose telah mengusulkan bahwa kebijaksanaan dapat dianggap “sebuah seri
panjang dari kurang lebih aktifitas yang berhubungan” dan konsekuensi mereka
terhadap fokus tersebut lebih dari sekedar keputusan tersendiri. Walaupun
ambigu, definisi Rose menambahakan dugaan bahwa kebijaksanaan adalah merupakan
sebuah bagian atau pola dari aktifitas dan bukan sebuah keputusan sederhana
untuk melakukan sesuatu. Akhirnya mari kita catat definisi dari Carl Friedrich.
Ia mengatakan kebijaksanaan sebagai:
Kebijaksanaan publik adalah
merupakan kebijaksanaan yang dikembangkan oleh tubuh pemerintah dan secara
resmi. (aktor – aktor nonpemerintah dan faktor - faktornya dapat tentu saja,
mempengaruhi perkembangan kebijaksanaan). Karakteristik spesial dari akar
kebijaksanaan publik terhadap fakta bahwa mereka diformulasikan oleh apa yang
disebut David Easton sebagai “kewenangan” dalam sistem politik, disebut, “sesepuh,
kepala tertinggi, eksekutif, legislator, hakim, administrator, konselor,
monarkhi dan sebagainya”. Mereka adalah orang – orang yang “diikut sertakan
pada kegiatan sehari – hari dari sistem politik” adalah “dikenali oleh sebagian
besar anggota dari sistem sebagai pemegang tanggung jawab dalam hal ini” dan
melakukan aksi “menerima sebagai pengikat sebagian besar waktu oleh sebagian
besar anggota terlalu lama seperti mereka beraksi dengan limit aturan mereka.
Pembahasan
Model kebijakan adalah representasi
sederhana mengenai aspek-aspek yang terpilih dari suatu kondisi masalah yang
disusun untuk tujuan-tujuan tertentu.Seperti halnya masalah-masalah kebijakan
yang merupakan bangunan mental yang berdasarkan pada konseptualisasi dan
spesifikasi elemen-elemen kondisi masalah, model-model kebijakan merupakan
rekonstruksi artificial dari realitas dalam wilayah yang merentang dari energi
dan lingkungan sampai ke kemiskinan, kesejahteraan dan kejahatan.
Model
kebijakan dapat dinyatakan sebagai konsep, diagram, grafik atau persamaan
matematika. Mereka dapat digunakan tidak hanya untuk menerangkan, menjelaskan
dan memprediksikan elemen-elemen suatu kondisi masalah melainkan juga untuk
memperbaikinya dengan merekomendasikan serangkain tindakan untuk memecahkan masalah-masalah
tertentu.
Model
adalah wakil ideal dari situasi-situasi dunia nyata.Model adalah
menyederhanakan dari realitas yang diwakili. Model dapat dibedakan atas model
fisik dan model abstrak. Model fisik adalah reproduksi ukuran kecil dari benda
atau objek fisik.Model pesawat terbang, model pakaian, model rumah dibuat untuk
menggambarkan bentuk asli dari benda yang ingin digambarkannya. Model abstrak
adalah penyederhanaan fenonema sosial atau konsep-konsep tertentu yang
dinyatakan dalam bentuk pernyataan-pernyataan teoritis, simbol-simbol, gambar
atau rumusan-rumusan matematis mengenai fenomena yang
dideskripsikannya.
Fungsi Model Kebijakan
Fungsi
utama model adalah untuk mempermudah kita menerangkan suatu benda atau konsep.
Dalam beberapa kasus, model dapat didasarkan suatu teori, tetapi model juga
dapat dipakai untuk menguji atau menjelaskan hipotesis sebagai bagian dari
proses perumusan teori. Untuk mempermudah dalam menjelaskan gedung, pasar,
pemerintah, partisipasi, atau kesejahteraan tentunya diperlukan model, benda
dan konsep di atas tidak mungkin kita bawa kemana-mana.Kita hanya dapat membawa
benda dan konsep tersebut dalam bentuk model. Oleh karena itu, model memiliki
fungsi :
a.
Membantu kita untuk memperoleh pemahaman tentang peroperasinya sistem alamiah
atau system buatan manusia. Model membantu kita menjelaskan sistem apa, dan
bagaimana sistem tersebut beroperasi.
b.
Membantu kita dalam menjelaskan permasalahan dan memilah-milah elemen-elemen
tertentu yang relevan dengan permasalahan.
c.
Membantu kita memperjelas hubungan antara elemen-elemen tersebut.
d. Membantu kita
dalam merumuskan kesimpulan dan hipotesis mengenai hakekat hubungan antar
elemen.
Dalam
studi pendahuluan sebelumnya telah dibahas, bahwasannya disini saya ingin lebih
memfokuskan diri pada satu sistem dalam beberapa pendekatan terhadap analisis
kebijakan publik. Oleh karena itu, isi dari paper yang saya buat ini juga ingin
lebih fokus kepada bagaimana model sistem itu berkembang di dalam analisis
kebijakan publik, dan juga pembicaraan mengenai keunggulan dan kekurangan dari
pendekatan teori model sistem tersebut.
Sistem dapat diartikan sebagai kesatuan yang terbentuk dari
beberapa unsur (elemen). Unsur, komponen atau bagian yang banyak ini satu sama
lain berada dalam keterkaitan yang mengikat dan fungsional. Masing-masing
kohesif satu sama lain, sehingga ketotalitasannya unit terjaga utuh
eksistensinya. Tinjauan tersebut adalah pandangan dari segi bentuknya. Jadi
pengertian sistem, disamping dapat diterapkan pada hal yang bersifat
“immaterial” atau suatu proses “immaterial”, juga dapat diterapkan pada hal
yang bersifat material. Untuk yang bersifat “immaterial” penguraian atau
penentuan “model”-nya lebih cenderung berfungsi sebagai alat analisis dan
merupakan cara, tata, rencana, skema, prosedur atau metode. Sistem adalah suatu
cara yang mekanismenya berpatron (berpola) dan konsisten, bahkan mekanismenya
sering disebut otomatis. Sementara itu menurut David Easton (1984:395) sistem
adalah:
Teori sistem adalah suatu model yang menjelaskan hubungan tertentu antara sub-sub sistem dengan sistem sebagai suatu unit (yang bisa saja berupa suatu masyarakat, serikat buruh, organisasi pemerintah).
Teori sistem adalah suatu model yang menjelaskan hubungan tertentu antara sub-sub sistem dengan sistem sebagai suatu unit (yang bisa saja berupa suatu masyarakat, serikat buruh, organisasi pemerintah).
Easton
juga meringkas ciri-cirinya sebagai berikut:
1.
Sistem mempunyai batas yang didalamnya ada saling hubungan fungsional yang
terutama dilandasi oleh beberapa bentuk komunikasi.
2.
Sistem terbagi kedalam sub-sub sistem yang satu sama lainnya saling melakukan
pertukaran (seperti antara desa dengan pemerintah daerah atau antara pemerintah
daerah dengan pemerintah pusat).
3. Sistem bisa membuat kode, yaitu menerima informasi, mempelajari dan menerjemahkan masukan (input) kedalam beberapa jenis keluaran (output).
3. Sistem bisa membuat kode, yaitu menerima informasi, mempelajari dan menerjemahkan masukan (input) kedalam beberapa jenis keluaran (output).
Carl. D. Friedrich dalam buku “man and his Government” mengemukakan
definisi sistem, yaitu : Apabila beberapa bagian yang berlainan dan berbeda
satu sama lain membentuk suatu kesatuan, melaksanakan hubungan fungsional yang
tetap satu sama lain serta mewujudkan bagian-bagian itu saling tergantung satu
sama lain. Sehingga kerusakan suatu bagian mengakibatkan kerusakan keseluruhan,
maka hubungan yang demikian disebut sistem. (Sukarna, 1981:19)
Sedangkan teori sistem menurut Michael Rush dan Philip
Althoff (1988:19) menyatakan bahwa gejala sosial merupakan bagian dari politik
tingkah laku yang konsisten, internal dan reguler dan dapat dilihat serta
dibedakan, karena itu kita bisa menyebutnya sebagai: sistem sosial, sistem
politik dan sejumlah sub-sub sistem yang saling bergantung seperti ekonomi dan
politik. Sebenarnya tiap-tiap sistem
yang ada dalam masyarakat itu tidak otonom atau tertutup tetapi terbuka, dalam
arti suatu sistem akan dipengaruhi oleh sistem yang lain. Setiap sistem akan
menerima input dari sistem lainnya dan sistem akan memproses input tersebut
dalam bentuk output bagi sistem lainnya.
David Easton dalam karyanya A System Analysis of Political
Life (dalam Susser, 1992:189) mencoba menggambarkan kemungkinan melihat
kehidupan politik dari terminologi sistem. Sistem adalah konsep simulasi dari
totalitas. Untuk melihat kehidupan sosial, sistem dapat bermakna kenyataan
sosial yang terintegrasi dari kompleksitas berbagai unit yang ada serta
bersifat interdependen. Jadi perubahan unit-unit sosial akan menyebabkan
perubahan pada unit-unit lainnya dalam satu totalitas. Apabila melihat
kehidupan politik suatu negara, dengan perpektif sistem maka fokusnya adalah
adanya ko-variasi dan interdependensi dari berbagai unit-unit politik dalam
suatu negara yang merupakan bagian dari unit sistem itu sendiri. Kehidupan
politik diinterpretasikan sebagai sistem tingkah laku yang bersifat adaptif dan
melakukan proses penyesuaian secara otomatis terhadap berbagai tekanan dari
lingkungan dan perubahan fungsional dari unit-unitnya. David Easton (1984: 395) mendefinisikan
sistem politik sebagai sistem interaksi dalam masyarakat dimana didalamnya
alokasi yang mengikat atau juga yang mengandung otoritas dibuat dan
diimplementasikan. Menurut S.P Varma (1990:298), definisi sistem Easton
tersebut terbagi kedalam tiga komponen yaitu : (1) alokasi nilai-nilai, (2)
alokasi sebagai kewenangan dan (3) alokasi-alokasi otoritatif sebagai sesuatu
yang mengikat masyarakat secara keseluruhan dan menurutnya cara yang paling
memuaskan.
Pengertian lain tentang sistem politik dikemukakan Rusadi
Kantaprawira (1988:8) yaitu mekanisme seperangkat fungsi atau peranan dalam
struktur politik dalam hubungannya satu sama lain yang menunjukan suatu yang
langgeng, proses termaksud mengandung dimensi waktu (masa lampau, masa kini dan
masa yang akan datang) kemudian yang diartikan dengan struktur ialah semua
aktivitas yang dapat diobservasi atau diidentifikasi dapat menentukan sistem
politik itu sendiri. Menurut pendapat Robert. S. Dahl (dalam Mohtar M. 1982:2)
dalam bukunya yang berjudul Modern “Political Analysis”, dinyatakan tentang
pengertian sistem politik sebagai berikut : A
political system as any persistent pattern of human relationships that involves
to a significant extent, control, influence, power or outhority. (jadi
menurut Dahl sistem politik adalah sebagai pola yang tetap dari
hubungan-hubungan antar manusia yang melibatkan,--sampai pada tingkat
berarti--, kontrol, pengaruh, kekuasaan ataupun wewenang).
Gabriel A. Almond mendefinisikan sistem politik sebagai
sistem interaksi yang terdapat dalam seluruh masyarakat merdeka yang
menjalankan fungsi-fungsi integrasi dan adaptasi (baik secara internal maupun
dalam berhadapan dengan masyarakat lain dengan alat-alat atau ancaman paksaan
fisik yang kurang lebih absah.(SP. Varma, 1990:298). Ada tiga hal yang secara
jelas muncul dari definisi Almond tentang sistem politik (SP. Varma, 1990:199)
adalah :
1.
Bahwa suatu sistem politik adalah sustu keseluruhan yang konkret yang
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan-lingkungan, hadirnya kekuatan yang
absah secara bersamaan menjaga sistem itu.
2.
Interaksi-interaksi yang terjadi bukan diantara individu-individu tetapi
diantara peranan-peranan yang mereka mainkan.
3.
Sistem politik merupakan sistem yang terbuka yang terikat dalam suatu komunikasi
yang terus-menerus dengan entitas-entitas dan sistem disebrang perbatasannya.
Berdasarkan pada pengertian-pengertian atau batasan-batasan yang dikemukakan
oleh para sarjana terkemuka seperti tersebut diatas dapatlah ditarik suatu
pengertian bahwa sistem politik adalah merupakan sistem interaksi atau hubungan
yang terjadi di dalam masyarakat, melalui dialokasikannya nilai-nilai kepada
masyarakat dan pengalokasian nilai-nilai tersebut dengan mempergunakan paksaan
fisik yang sedikit banyak bersifat sah. Talcot Parson dengan fungsionalisme
strukturalnya percaya adanya empat fungsi dasar dalam sistem politik yaitu,
penyesuaian pencapaian tujuan, integrasi dan pemeliharaan pola. Masing-masing
fungsi dasar ini dihasilkan oleh empat subsistem analisis yaitu, sosial,
kultural, personalitas dan organisme perilaku. Secara bersama-sama
fungsi-fungsi ini dipandang Parsons sebagai syarat penting untuk pemeliharaan
tiap masyarakat. Menurut Parsons, masyarakat terdiri dari empat struktur dasar
atau sub-sub sistem yaitu ekonomi, politik, hukum dan kontrol sosial serta
budaya dan komitmen-komitmen pendorong yang masing-masing berguna untuk
menjalankan salah satu fungsi bagi masyarakat. (SP. Varma, 1990: 282) Dalam sistem politik terdapat mekanisme yang
biasa dilalui, berikut adalah sistem politik model David Easton (1984:165)
Dalam mekanisme sistem politik, input terdiri dari atas
tuntutan (demand) dan dukungan (support). Tuntutan terhadap sistem politik
dapat bervariasi bentuknya, misalnya tuntutan untuk mendapatkan pelayanan yang
layak, penghasilan yang layak, keamanan, prinsip-prinsip moral dan sebagainya.
Tuntutan merupakan mesin bekerjanya sistem politik dan dalam beroperasi
melakukan konversi atas tuntutan itu dalam bentuk kebijakan-kebijakan
otoritatif sebagai outputnya. Jadi terpeliharanya sistem menuntut adanya
tuntutan yang diproses dalam tingkat yang dapat diarahkan. Untuk memenuhi
tujuan ini sistem politik menetapkan filter yang berfungsi melakukan seleksi
maupun membatasi tuntutan-tuntutan itu. Filter-filter utama sebagai pengolahnya
adalah institusi, budaya, dan struktur politik. Disamping tuntutan, sistem juga
memerlukan dukungan. Dukungan tersebut bersifat terbuka dalam bentuk
tindakan-tindakan yang secara jelas dan nyata mendukung dan tertutup yaitu tindakan-tindakan
serta sentimen-sentimen yang mendukung. Dengan mengikuti proses konversi dalam
sistem politik “keluaran” dalam bentuk keputusan. Keputusan otoritatif dapat
diproduksi, dalam proses konversi bisa disebut Black box. Hal ini dikarenakan
dalam proses tersebut tidak jelas lembaga mana yang paling dominan dalam proses
tersebut. Namun dapat diketahui bahwa mereka adalah kelompok yang disebut
sebagai elite, yaitu lapisan yang paling menentukan kebijakan-kebijakan suatu
negara. Output/keluaran kemudian berproses lagi menjadi input setelah melalui
proses umpan balik (feedback). Dalam sistem tersebut juga dipengaruhi oleh
lingkungan baik internal maupun eksternal, lingkungan tersebut mencakup
lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang memberi masukan-masukan, variabel
sistem, keluaran dan hasil akhir yang berupa kebijakan.
Sejarah Model Sistem
Titik awal mengenai munculnya
model ini semua adalah pasca terjadinya perang dunia ke-2 yang melahirkan
banyak fenomena baru dalam dunia perpolitikan yang belum sepenuhnya dapat
dipahami, atau dalam kata lain ternyata pendekatan institusional sudah mulai
tidak relevan lagi untuk digunakan sebab fenomena sosial politik pada saat itu
juga sudah sangat kompleks.
Dari peristiwa perang dunia ke-2 itulah,
kemudian muncul pendekatan atau teori baru dalam ilmu politik yang kita kenal
dengan teori atau pendekatan sistem dengan tokoh terkenalnya David Easton.
Secara singkat, teori sistem ini menurut Easton (dalam SAW, 2008; 101) seperti
sebuah organisme yang terinspirasi dari organisme yang ada dalam ilmu alam
dengan menyederhanakan suatu proses-proses yang terjadi di dalamnya. Inilah
salah satu keunggulan dalam teori sistem yang dikemukakan oleh Easton, yaitu
memudahkan dan menyederhanakan kita untuk memahami fenomena politik dari sudut
pandang sebuah organisme dan tidak lagi serumit sebelumnya. Arti organisme ini
sering disamakan juga dengan bagian-bagian tubuh dalam manusia yang apabila
terjadi penurunan kerja atau kerusakan dalam sebuah bagian tubuh, maka akan
mempengaruhi bagian tubuh dan kerja tubuh secara keseluruhan, disinilah proses
saling mempengaruhi terjadi, lebih dari sekedar konsep keseimbangan seperti
yang banyak diungkapkkan oleh ilmuwan-ilmuwan sebelumnya.
David Easton adalah ilmuan politik
pertama yang mengembangkan kerangka pendekatan analisa sistem pada kajian ilmu
politik. Walaupun menjadikan sistem politik sebagai dasar analisanya, bidang
penelitian utamanya adalah perilaku intra sistem dari berbagai sistem dan
pendekatan yang digunakannya adalah pendekatan konstruktifis. Menurut Easton,
di luar dan di balik sistem politik terdapat sistem-sistem lain atau lingkungan
baik fisik, biologis, sosial, psikologis, dan sebagainya yang bisa menjadi
landasan pembeda antara sistem politik dengan sistem lainnya. Maka titik tekan
pembedaan tersebut adalah pembuatan alokasi yang terlindungi dan mengandung
otoritas. Dalam membahas sistem politik, Easton memiliki beberapa asumsi yang
harus dimiliki oleh orang yang ingin mengembangkan atau belajar ilmu politik
terkait teori sistem, salah satunya adalah keharusan untuk melihat sistem
politik sebagai sebuah satu kesatuan lebih dari sekedar terkonsentrasi pada
solusi masalah-masalah yang terbatas. Teori harus mampu menggabungkan
pengetahuan yang reliable dan data yang empiris.
Sistem dalam pembahasan ini
didefinisikan sebagai jalinan unsur-unsur yang dari setiap unsur tersebut
memiliki fungsi dan satu kesatuan tersebut melakukan fungsi utama. Asumsi ini
dalam kehidupan berpolitik dikatakan bahwa negara, masyarakat, dan individu adalah
sebuah sistem, dan kesatuan itu semua adalah satu batang tubuh yang saling
mempengaruhi dan punya tujuan utama. Sistem politik merupakan bagian dari ilmu
politik, karena memberikan perhatian kepada pembuatan keputusan tentang alokasi
sumber daya kekuasaan.
Easton memberlakukan semua sistem
politik sebagai sistem yang terbuka maupun yang adaptif dan memusatkan
perhatiannya terutama pada studi tentang sifat-sifat perubahan dan
transaksi-transaksi yang terjadi diantara suatu sistem politik dan
lingkungannya. Keanggotaan dalam sistem ini dapat bertindak bilamana terjadi
pengaruh-pengaruh dari sistem atau lingkungan luarnya, dengan demikian sistem
politik harus memiliki kemampuan untuk merespon gangguan-gangguan dan oleh
karenanya dapat menyesuaikan diri dari kondisi-kondisi tersebut. Inilah yang
disebut Easton sebagai unsur mekanisme, yaitu kamapuan keanggotaan sistem untuk
bekerjasama dengan lingkungan mereka dan untuk mengatur perilakunya sendiri
maupun mengubah struktur internalnya. Dengan cara ini, suatu sistem mimiliki kemampuan untuk
mengatasi gangguan-gangguan secara kreatif dan konstruktif.
Lebih lanjut, sistem ini menerima
tantangan serta dukungan dari masyarakat, dan diharapkan dapat mengatasi
tantangan tersebut denagn cara seperti yang dilakukannya untuk mengatur dirinya
sendiri dengan bantuan dukungan yang diterimanya ataupun yang dapat
dimanipulasikannya. Tuntutan dan dukungan yang diterima sistem politik dari
lingkungan dalam bentuk masukan-masukan (inputs)
masuk ke dalam suatu proses konversi dalam sistem, dan kemudian menjadi bentuk
out-puts. Hal ini diikuti dengan apa yang disebut feedback mechanism atau
mekanisme umpan balik, melalui mekanisme tersebut akibat-akibat dan
konsekuaensi-konsekuensi keluaran dikembalikan kepada sistem sebagai keluaran-keluaran.
Masukan terdiri dari (1) tuntutan
(demands), dan (2) dukungan (supports). Tuntutan dan dukungan
diterima oleh sistem dari masyarakat. Suatu tuntutan menurut Easton merupakan
“cermin opini atas suatu hal tertentu yang menghendaki suatu alokasi otoritas
dari pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan atau tidak
melakukannya”. Bersamaan dengan konsep tuntutan terdapat juga konsep over-load
(melampaui batas), yang terjadi baik karena jumlah tuntutan yang sangat banyak
maupun sedikit jumlahnya tapi mengandung tuntutan yang sangat banyak.
Tuntutan-tuntutan ini sebenarnya bukanlah satu-satunya masukan, sebab dukungan
juga terdapat di sana. Suatu sistem politik mendapat dukungan yang besar dari
lingkungan, yang bila tidak, secara alamiah sistem tersebut akan mati. Dukungan
tersebut bersifat terbuka, dalam bentuk tindakan-tindakan yang secara jelas dan
nyata mendukung, dan tertutup, yaitu tindakan-tindakan serta sentiment-sentimen
yang mendukung.
Selanjutnya, ada konsep keluaran
menurut David Easton yang berupa keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan
otoritas. Keluaran seperti menurut Easton tadi tidak saja membantu mempengaruhi
peristiwa-peristiwa dalam masyarakat yang lebih luas di mana sistem tadi
merupakan satu bagian tetapi juga membantu menetukan tiap perputaran masukan
yang menemukan jalannya dalam sistem politik. Proses ini digambarkan sebagai
suatu ikatan umpan balik (feedback loop)
dan merupakan suatu respon penting untuk mendukung tekanan dalam suatu sistem
politik. Meski begitu, menururt Easton keluaran beukanlah merupaka titik akhir,
sebab keluaran tersebut mengumpan kembali pada sistem dan oleh karenanya
membentuk perilaku berikutnya.
Konseptualisasi kegiatan-kegitan dan kebijakan
publik ini dapat dilihat dalam Gambar di bawah ini
Gambar Kerangka Kerja Sistem (dalam
Adipraja, 2010) yang Dikembangkan Easton
Menurut Schumann (dalam Dadalos
Hompage, 2010) tentang konsep diatas bahwa:
“According to this concept, demands, expectations and support approach
the political system, before being processed within the political system during
the so-called conversion process and made into binding decisions for all
members of society in the form of laws and provisions. These laws and
provisions, in turn, create reactions within society and feedback and, again,
to demands and/or support.” (Schumann, 2003)
Kalau kita terjemahkan pengertian
di atas dalam bahasa Indonesia, maka artinya kira-kira sebagai berikut:
"Menurut konsep ini,
tuntutan, harapan dan dukungan pendekatan sistem politik, sebelum diproses
dalam sistem politik selama proses konversi yang disebut dan dibuat menjadi
keputusan yang mengikat bagi seluruh anggota masyarakat dalam bentuk
undang-undang dan ketentuan. Undang-undang dan ketentuan, pada gilirannya,
membuat reaksi dalam masyarakat dan umpan balik dan, sekali lagi, tuntutan dan
/ atau dukungan. (Schumann, 2003)
Dari gambar tersebut dapat
dipahami bahwa proses formulasi kebijakan publik berada dalam sistem politik
dengan mengandalkan pada masukan (input) yang terdiri atas dua hal, yaitu
tuntutan dan dukungan. Model Easton inilah yang dikembangkan oleh para akademis
di bidang kebijakan publik, seperti: Anderson, Dunn, Patton dan Savicky, dan
Effendy.
Model Sistem
Paine dan Naumes menawarkan suatu model proses pembuatan
kebijakan merujuk pada model sistem yang dikembangkan oleh David Easton. Model
ini menurut Paine dan Naumes merupakan model deskripitif karena lebih berusaha
menggambarkan senyatanya yang terjadi dalam pembuatan kebijakan.
Menurut Paine dan Naumes, model ini disusun hanya dari sudut
pandang para pembuat kebijakan. Dalam hal ini para pembuat kebijakan dilihat
perannya dalam perencanaan dan pengkoordinasian untuk menemukan pemecahan
masalah yang akan (1) menghitung kesempatan dan meraih atau menggunakan
dukungan internal dan eksternal, (2) memuaskan permintaan lingkungan, dan (3)
secara khusus memuaskan keinginan atau kepentingan para pembuat kebijakan itu
sendiri.
Dengan merujuk pada pendekatan sistem yang ditawarkan oleh
Easton, Paine dan Naumes menggambarkan model pembuatan kebijakan sebagai
interaksi yang terjadi antara lingkungan dengan para pembuat kebijakan dalam
suatu proses yang dinamis.
Model ini mengasumsikan bahwa dalam pembuatan kebijakan
terdiri dari interaksi yang terbuka dan dinamis antar para pembuat kebijakan
dengan lingkungannya. Interaksi yang terjadi dalam bentuk keluaran dan masukan
(inputs dan outputs). Keluaran yang dihasilkan oleh organisasi pada akhirnya
akan menjadi bagian lingkungan dan seterusnya akan berinteraksi dengan
organisasi. Paine dan Naumes memodifikasi pendekatan ini dengan menerapkan
langsung pada proses pembuatan kebijakan.
Menurut model sistem, kebijakan politik dipandang sebagai
tanggapan dari suatu sistem politik terhadap tuntutan-tuntutan yang timbul dari
lingkungan yang merupakan kondisi atau keadaan yang berada diluar batas-batas
politik. Kekuatan-kekuatan yang timbul dari dalam lingkungan dan mempengaruhi
sistem politik dipandang sebagai masukan-masukan (inputs) sebagai sistem
politik, sedangkan hasil-hasil yang dikeluarkan oleh sistem politik yang
merupakan tanggapan terhadap tuntutan-tuntutan tadi dipandang sebagai keluaran
(outputs) dari sistem politik.
Sistem politik adalah sekumpulan struktur untuk dan proses
yang saling berhubungan yang berfungsi secara otoritatif untuk mengalokasikan
nilai-nilai bagi suatu masyarakat. Hasil-hasil (outputs) dari sistem politik
merupakan alokasi-alaokasi nilai secara otoritatif dari sistem dan
alokasi-alokasi ini merupakan kebijakan politik. Di dalam hubungan antara
keduanya, pada saatnya akan terjadi umpan balik antara output yang dihasilkan
sebagai bagian dari input berikutnya. Dalam hal ini, berjalannnya sistem tidak
akan pernah berhenti.
Konseptualisasi kegiatan-kegitan dan kebijakan publik ini
dapat dilihat dalam Gambar di bawah ini
Gambar
Kerangka Kerja Sistem yang Dikembangkan Easton
Gambar ini adalah suatu versi yang disederhanakan dari
gagasan ilmu politik yang dijelaskan panjang lebar oleh seorang ilmuwan politik
bernama David Easton. Pemikiran sistem politik yang dikemukakan oleh Easton
ini, baik secara implisit atau eksplisit telah digunakan oleh banyak sarjana
untuk melakukan analisis mengenai sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi yang
timbul akibat adanya kebijakan publik.
Menurut model sistem, kebijakan publik merupakan hasil dari
suatu sistem politik. Konsep ”sistem” itu sendiri menunjuk pada seperangkat
lembaga dan kegiatan yang dapat diidentifikasi dalam masyarakat yang berfunsi
mengubah tuntutan-tuntutan (demands) menjadi keputusan-keputusan yang
otoritatif. Konsep ”sistem” juga menunjukkan adanya saling hubungan antara
elemen-elemen yang membangun sistem politik serta mempunyai kemampuan dalam
menanggapi kekuatan-kekuatan dalam lingkungannya. Masukan-masukan diterima oleh
sistem politik dalam bentuk tuntutan-tuntutan dan dukungan.
Gambar
Model Pembuatan Kebijakan
Yang
Dikembangkan Oleh Pained Dan Naumes
Tuntutan-tuntutan timbul bila individu atau kelompok-kelompok
dalam sistem politik memainkan peran dalam mempengaruhi kebijakan publik.
Kelompok-kelompok ini secara aktif berusaha mempengaruhi kebijakan publik.
Sedangkan dukungan (supports) diberikan bila individu-individu atau
kelompok-kelompok dengan cara menerima hasil-hasil pemilihan-pemilihan,
mematuhi undang-undang, membayar pajak dan secara umum mematuhi
keputusan-keputusan kebijakan. Suatu sistem menyerap bermacam-macam tuntutan
yang kadangkala bertentangan antara satu dengan yang lain.
Untuk mengubah tuntutan-tuntutan menjadi hasil-hail
kebijakan (kebijakan-kebijakan publik), suatu sistem harus mampu mengatur
penyelesaian-penyelesaian pertentangan atau konflik dan memberlakukan
penyelesaian-penyelesaian ini pada pihak yang bersangkutan. Oleh karena suatu
sistem dibangun berdasarkan elemen-elemen yang mendukung sistem tersebut dan
hal ini bergantung pada interaksi antara berbagai subsistem, maka suatu sistem
akan melindungi dirinya melalui tiga hal, yakni: 1) menghasilkan outputs yang
secara layak memuaskan, 2) menyandarkan diri pada ikatan-ikatan yang berakar
dalam sistem itu sendiri, dan 3) menggunakan atau mengancam untuk menggunakan
kekuatan (penggunaan otoritas).
Dengan penjelasan yang demikian, maka model ini memberikan
manfaat dalam membantu mengorganisaikan penyelidikan terhadap pembentukan
kebijakan. Selain itu, model ini juga menyadarkan mengenai beberapa aspek
penting dari proses perumusan kebijakan, seperti misalnya bagaimana
masukan-masukan lingkungan mempengaruhi substansi kebijakan publik dan sistem
politik? Bagaimana kebijakan publik mempengaruhi lingkungan dan
tuntutan-tuntutan berikut sebagai tindakan? Kekuatan-kekuatan atau
faktor-faktor apa saja dalam lingkungan yang memainkan peran penting untuk
mendorong timbulnya tuntutan-tuntutan pada sistem politik.
Pendekatan
Gabriel Almond Terhadap Teori Sistem
Sedangkan teori sistem ini menurut
Gabriel Almond, dimakanai bahwa dalam setiap sistem terdapat struktur, dan
setiap struktur memiliki fungsi. Dari melihat definisi tersebut jelas bahwa Almond
rupanya juga banyak terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran Easton, jadi sifat
teori yang dikemukakan oleh Almond lebih kepada penambahan atau revisi terhadap
teori sistem sebelumnya.
Menurut Almond terdapat enam
elemen struktur di dalam sebuah negara, yaitu birokrasi, lembaga-lembaga trias
politika (legislatif, yudikatif, dan eksekutif), pengadilan, partai-partai
politik, dan kelompok kepentingan. Sedangkan tambahan Almond terhadap teori
sistem yang dikemukakan oleh Easton diantaranya, (1) sistem itu harus memiliki
kapabilitas, yaitu kapabilitas ekstraktif atau kemampuan negara untuk mengelola
sumber daya yang ada, kapabilitas regulatif atau kemampuan negara untuk
mengatur tingkah laku warga negaranya, kapabilitas distributif atau kemampuan
negara untuk mengatur kebutuhan-kebutuhan warga negaranya, kapabilitas simbolik
atau kemampuan negara untuk memperlihatkan kekuasaan yang ada padanya, dan
kapabilitas yang terakhir adalah kapabilitas domestik dan internasional. (2)
adaya budaya politik dalam sebuah sistem, dan (3) merincikan kembali fungsi
input dan output.
Diagram Sistem Politik Almond dan Level-level Fungsi (Chilcote, 1981)
Menurut Chicote mengenai skema
diatas
“At the level of the input function, socialization and political
recruitment includes recruitment of individuals from various classes of
society, ethnic groups, and the like to get into political parties,
bureaucracy, judiciary, and so on. In the development of his thinking later,
Almond include socialization and political recruitment into the conversion
function. Articulation of an expression of political interests and demands for
action. Through the scheme on the Almond divides political systems into three
levels. The first level consists of six conversion functions are: (1) the articulation
of interests (delivery demands and support), (2) interest aggregation (grouping
or combining various interests in the form of draft legislation), (3) political
communication, (4) rulemaking (conversion of a bill into law or other
regulations that are binding), (5) implementing regulations (applying general
rule of laws and other regulations to the national level), and, (6) regulatory
oversight (supervision course application of the law among citizens)”
(Chilcote,1981).
Kalau kita terjemahkan pengertian
di atas dalam bahasa Indonesia, maka artinya kira-kira sebagai berikut:
“Di level fungsi input, sosialisasi dan
rekrutmen politik meliputi rekrutmen individu dari aneka kelas masyarakat,
etnik, kelompok, dan sejenisnya untuk masuk ke dalam partai politik, birokrasi,
lembaga yudisial, dan sebagainya. Dalam perkembangan pemikirannya kemudian,
Almond memasukkan sosialisasi dan rekrutmen politik ke dalam fungsi konversi.
Artikulasi kepentingan merupakan ekspresi kepentingan dan tuntutan politik
untuk melakukan tindakan.
Melalui skema di atas
Almond membagi sistem politik ke dalam tiga level. Level pertama terdiri
atas enam fungsi konversi yaitu: (1) artikulasi kepentingan (penyampaian
tuntutan dan dukungan); (2) agregasi kepentingan (pengelompokan ataupun pengkombinasian
aneka kepentingan ke dalam wujud rancangan undang-undang); (3) komunikasi
politik; (4) pembuatan peraturan (pengkonversian rancangan undang-undang
menjadi undang-undang atau peraturan lain yang sifatnya mengikat); (5)
pelaksanaan peraturan (penerapan aturan umum undang-undang dan peraturan lain
ke tingkat warganegara), dan; (6) pengawasan peraturan (pengawasan jalannya
penerapan undang-undang di kalangan warganegara)” (Chilcote,1981).
Fungsi nomor satu hingga tiga
berhubungan dengan tuntutan dan dukungan yang masuk melalui mekanisme input
sementara fungsi nomor emapt hingga enam berada di sisi keluaran berupa
keputusan serta tindakan. Mengenai penjelasan atas tuntutan (demands) dan
dukungan (support) yang dimaksud Almond, Jagdish Chandra Johari memetakannya ke
dalam tiga aras penjelasan yaitu input, konversi, dan output.
Tuntutan dan
Dukungan
Tuntutan adalah raw material atau bahan mentah yang
kemudian diolah sistem politik menjadi keputusan. Tuntutan diciptakan oleh
individu maupun kelompok yang memainkan peran tertentu di dalam sistem politik
(baca: struktur input). Tuntutan sifatnya beragam dan setiap tuntutan punya
dampak yang berbeda atas sistem politik. Tuntutan berasal dari lingkungan
intrasocietal maupun extrasocietal, yang variannya sebagai:
Tuntutan atas komoditas dan
pelayanan. Konversi atas tuntutan ini berupa artikulasi kepentingan (atau
tuntutan). Lalu output berlingkup pada kemampuan ekstraktif. Tuntutan untuk
mengatur sejumlah perilaku warganegara. Konversi atas tuntutan ini berupa
integrasi atau kombinasi kepentingan ke dalam rancangan undang-undang
(agregasi). Output berupa kemampuan regulatif yang mengatur perilaku individu,
kelompok, ataupun warganegara secara keseluruhan. Tuntutan untuk berpartisipasi
dalam sistem. Konversi atas tuntutan ini
adalah mengubah rancangan undang-undang menjadi peraturan yang lebih
otoritatif. Output konversi yaitu kemampuan regulatif.
Tuntutan yang sifatnya simbolik meliputi penjelasan pejabat pemerintah
atas suatu kebijakan, keberhasilan sistem politik mengatasi masalah, upaya
menghargai simbol-simbol negara. Konversi atas tuntutan jenis ini misalnya
dibuatnya ketentuan umum yang mengatur implementasi setiap tuntutan yang
sifatnya simbolik. Output yang sifatnya simbolik termasuk penegasan sistem
politik atas simbol-simbol negara, penegasan nilai-nilai yang dianut, serta
penjelasan rutin dari pejabat negara atas isu-isu yang kontroversial dan
menyita perhatian publik.
Jika tuntutan adalah bahan mentah
untuk memproduksi keputusan-keputusan politik, maka dukungan berkisar pada
upaya mempertahankan atau menolak keberlakuan sebuah sistem politik. Tanpa
dukungan sistem politik kehilangan legitimasi dan otoritasnya. Dukungan terdiri
atas:
Dukungan material warganegara. Konversi
dukungan ini adalah ajudikasi peraturan di tingkat individu yaitu upaya
penerapan sanksi bagi yang tidak menurut pada program pemerintah serta
kemampuan simbolik pemerintah untuk melakukan himbauan agar publik tertarik
memberi dukungan pada pemerintah.
Dukungan untuk taat pada hukum
serta peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Konversi dukungan ini
berupa pentransmisian informasi yang berkaitan dengan ketaatan warganegara pada
hukum di sekujur struktur sistem politik, antar sistem politik, serta
lingkungan extrasocietal-nya. Dukungan untuk berpartisipasi dalam pemilu, ikut
serta dalam organisasi politik, ataupun mengadakan diskusi tentang politik.
Dukungan dalam bentuk tindakan untuk mempertahankan otoritas publik, serta
simbol-simbol negara.
Kapabilitas
Sistem Politik
Level kedua dari aktivitas sistem
politik terletak pada fungsi-fungsi kemampuan. Kemampuan suatu sistem politik
menurut Almond terdiri atas kemampuan regulatif, ekstraktif, distributif,
simbolis, dan responsif. Kemampuan ekstraktif adalah kemampuan sistem politik
dalam mendayagunakan sumber-sumber daya material ataupun manusia baik yang
berasal dari lingkungan domestik (dalam negeri) maupun internasional.
Kemampuan regulatif adalah
kemampuan sistem politik dalam mengendalikan perilaku serta hubungan antar
individu ataupun kelompok yang ada di dalam sistem politik. Dalam konteks
kemampuan ini sistem politik dilihat dari sisi banyaknya regulasi
(undang-undang dan peraturan) yang dibuat serta intensitas penggunaannya karena
undang-undang dan peraturan dibuat untuk dilaksanakan bukan disimpan di dalam
laci pejabat dan warganegara. Selain itu, kemampuan regulatif berkaitan dengan
kemampuan ekstraktif di mana proses ekstraksi membutuhkan regulasi.
Kemampuan distributif adalah
kemampuan sistem politik dalam mengalokasikan barang, jasa, penghargaan,
status, serta nilai-nilai (misalnya seperti nilai yang dimaksud Lasswell) ke
seluruh warganegaranya. Kemampuan distributif ini berkaitan dengan kemampuan
regulatif karena untuk melakukan proses distribusi diperlukan rincian,
perlindungan, dan jaminan yang harus disediakan sistem politik lewat kemampuan
regulatif-nya. Kemampuan simbolik adalah kemampuan sistem politik untuk secara
efektif memanfaatkan simbol-simbol yang dimilikinya untuk dipenetrasi ke dalam
masyarakat maupun lingkungan internasional. Simbol adalah representasi
kenyataan dalam bahasa ataupun wujud sederhana dan dapat dipahami oleh setiap
warga negara. Simbol dapat menjadi basis kohesi sistem politik karena
mencirikan identitas bersama.
Kemampuan responsif adalah
kemampuan sistem politik untuk menyinkronisasi tuntutan yang masuk melalui
input dengan keputusan dan tindakan yang diambil otoritas politik di lini
output. Almond menyebutkan bahwa pada negara-negara demokratis, output dari
kemampuan regulatif, ekstraktif, dan distributif lebih dipengaruhi oleh
tuntutan dari kelompok-kelompok kepentingan sehingga dapat dikatakan bahwa
masyarakat demokratis memiliki kemampuan responsif yang lebih tinggi ketimbang
masyarakat non demokratis. Sementara pada sistem totaliter, output yang
dihasilkan kurang responsif pada tuntuan, perilaku regulatif bercorak paksaan,
serta lebih menonjolkan kegiatan ekstraktif dan simbolik maksimal atas sumber
daya masyarakatnya.
Pemeliharaan
Sistem Politik
Level ketiga ditempati oleh fungsi
maintenance (pemeliharaan) dan adaptasi. Kedua fungsi ini ditempati oleh
sosialisasi dan rekrutmen politik. Teori sistem politik Gabriel A. Almond ini
kiranya lebih memperjelas maksud dari David Easton dalam menjelaskan kinerja
suatu sistem politik. Melalui Gabriel A. Almond, pendekatan struktural
fungsional mulai mendapat tempat di dalam analisis kehidupan politik suatu
Negara.
Keunggulan Pendekatan Model Sistem
Keunggulan
model sistem ini ialah kemampuannya untuk mengkonsepsualisasikan secara sederhana
gejala-gejala politik (political phenomena) yang dalam kenyataan sebenarnya
kerapkali jauh lebih kompleks. Dengan lebih memfokuskan pada proses-proses dan
bukannya pada lembaga-lembaga atau struktur-struktur, sebenarnya pendekatan
yang ditempuh oleh Easton ini lebih maju bila disbanding dengan analisis yang
biasa dilakukan dikalangan ilmu politik dan ilmu administrasi publik.
Model sistem juga bermanfaat dalam
mengelompokkan proses kebijakan ke dalam sejumlah tahapan yang berbeda-beda
yang masing-masing tahapan itu dapat pula dianalisis secara lebih terperinci.
Berdasarkan atas alasan-alasan itulah model sistem ini patut dipuji, dan
sumbangannya kepada kepustakaan analisis kebijakan kiranya tak dapat diragukan
lagi.
Kritik Terhadap Pendekatan Model Sistem
Meskipun sistem teori umum memiliki pengaruh kuat sehingga
menjadi pendekatan dominan dalam studi politik, namun teori ini bukannya tidak
ada kritik. Menurut Harold dan Margaret Sprout, sejumlah teoritisi sistem
“secara eksplisit mengenalkan konsep organisme mengenai diskusi tentang negara
dan sistem internasional”.
Meskipun mereka menyatakan bahwa “sebagian teoritisi sistem
akan berhenti untuk mengklaim bahwa struktus dan fungsi sosil dan biologi
adalah isomoporik namun benar-benar dalam pemahaman metafisik”, Sprout
mempertanyakan “apakah teori itu memperjelas dan memperkaya wawasan dalam
operasi organisasi politik dengan menggunakan mereka meskipun secara metaporis
dengan struktur pseudobiologis dan fungsi pseudopsikologis”.
Kritik
lain muncul dari Stanley Hoffmann yang mengatakan bahwa teori sistem tidak
memberikan sebuah kerangka untuk mencapai predikbilitas. Dengan
mengkombinasikan ideal ilmu deduktif dengan keinginan mencapai predikbilitas,
Hoffmann menyatakan teori sistem menjadi tautological (pengulangan).Kritik
Hoffmann adalah teoritisi sistem menggunakan teknik pribadi yang tidak tepat
meminjam dari disiplin lain seperti sosiologi, ekonomi, sibernetik, biologi dan
astronomi.
Pada saat yang sama, Hoffmann mengkritik model yang
mengandung pola interaksi karen kurang referensi empiris.Menurut Hoffmann,
model sistem karena bertujuan generalisasi tingkat tinggi dan penggunaan
alat-alat dari disiplin lain, tidak “menyentuh bidang politik”. Penekanan
banyak dari model sistem terhadap teori komunikasi menyederhanakan sistem
komunikasi manusia dan masyarakat mengabaikan substansi pesan yang dibawa
jaringan itu.Karena penekanan terhadap konsep stabilitas, keseimbangan,
kesiapan dan pola pemeliharaan, teori sistem dikritik karena adanya bias
ideologis untuk mendukung statusquo, meskipun teori ekuilibrium tidak
berkonotasi bias terhadap perubahan.
Kritik ini terutama diarahkan khususnya pada fungsionalisme
struktural meskipun ada respon dari Merton yang berargumentasi bahwa
pengkritiknya menuduh bias demi mendukung perubahan karena esensi alamiah
mekanistik analisa struktural fungsional dan kelemahannya untuk rekayasa
sosial. Selain itu studi sistemik dikritik karena tak bisa secara spesisik atau
menjelaskan basis epistemologinya. Sejak awal, penuli teori sistem mengarahkan
karyanya pada pernyataan substantif tentang kekuasaan dan stabilitas tanpa
memperjelas dalam definisi atau variabel yang jelas.
Simpulan
Model
sistem berusaha untuk menggambarkan kebijakan publik sebagai suatu hasil output
dari suatu sistem politik. Dalam model sistem tersebut tergambar jelas komponen
yang mempengaruhi lahirnya sebuah kebijakan publik, mulai dari input, tekanan –
tekanan dari dalam maupun luar sistem sehingga menghasilkan sebuah kebijakan
publik. Model sistem ini sangat rentan dengan pengaruh luar yang akan
mempengaruhi hasil kebijakan publik, melihat kondisi ini sebuah sistem mampu
melindungi diri dengan cara menghasilkan sebuah kebijakan yang dapat memuaskan
semua pihak, mengggunakan pemaksaan, dan menggantungkan pada akar- akar yang
telah mengikat secara mendalam dalam suatu sistem tersebut.
Lalu didalam model system trutama
dari pandangan David Easton terhadap Tuntutan dan dukungan, yang mana hal ini
dikonversi di dalam sistem politik yang bermuara pada output yang dikeluarkan
oleh Otoritas. Otoritas di sini berarti lembaga yang memiliki kewenangan untuk
mengeluarkan keputusan maupun tindakan dalam bentuk policy (kebijakan), bukan
sembarang lembaga, melainkan menurut Easton diposisikan oleh negara (state).
Output ini kemudian kembali dipersepsi oleh lingkungan dan proses siklis
kembali berlangsung.
Yang kedua menurut Paine dan
Naumes model ini memberikan manfaat dalam membantu mengorganisaikan
penyelidikan terhadap pembentukan kebijakan. Selain itu, model ini juga
menyadarkan mengenai beberapa aspek penting dari proses perumusan kebijakan,
seperti misalnya bagaimana masukan-masukan lingkungan mempengaruhi substansi
kebijakan publik dan sistem politik. Bagaimana kebijakan publik mempengaruhi
lingkungan dan tuntutan-tuntutan berikut sebagai tindakan. Kekuatan-kekuatan
atau faktor-faktor apa saja dalam lingkungan yang memainkan peran penting untuk
mendorong timbulnya tuntutan-tuntutan pada sistem politik.
Yang ketiga, menurut Almond,
didalam fungsi Input yang terdiri dari enam level, bahwa fungsi nomor satu
hingga tiga berhubungan dengan tuntutan dan dukungan yang masuk melalui
mekanisme input sementara fungsi nomor emapat hingga enam berada di sisi
keluaran berupa keputusan serta tindakan. Mengenai penjelasan atas tuntutan
(demands) dan dukungan (support) yang dimaksud Almond memetakannya ke dalam tiga aras penjelasan
yaitu input, konversi, dan output.
Daftar Pustaka
-
Abdul
Wahab, Solichin. 2008. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. UMM Press, Malang.
-
Chilcote, 1981. Theories
of Comparative Politics: The Search for a Paradigm, Westview Press,
Colorado.
-
Parsons, W. (2001), 'Modernising policy-making for the Twenty First Century:The
Professional Model', Public Policy and Administration, Vol 16, No 3,
pp.93-1 10.
-
Winarno,
Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Media Pressido. Yogyakarta.
-
Schumann, Wolfgang. 2003. English Article: Politycal System, Dedalos Homepage, Europe.
-
Thomas R. Dye. 1978. Understanding Public Policy,
Third Edition. Florida State University, Florida.
-
William
N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan
Publik, Gadjah Mada University Press, Jogjakarta, 2003.
-
Nagel, S.S., (ed.), Research in Public Policy
Analysis and Management, vol. 4, JAI Press, Greenwich, 1987.
-
Jones, PIP. Pengantar
Teori-Teori Sosial, Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-Modernisme.
Jakarta. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2010
Comments