Skip to main content

NASIONALISASI KONSTITUSI


NASIONALISASI KONSTITUSI
Telaah mengenai semangat nasionalisme dalam praktek konstitusi di Indonesia
Oleh : Iwan Ismi Febriyanto



            Negara merupakan salah suatu bentuk organisasi yang termasuk dalam struktur masyarakat. Seperti yang kita ketahui bahwa setiap organisasi itu harus memiliki garis hukum yang jelas dalam mengatur secara keseluruhan garis atau pedoman yang akan dipakai dalam mencapai tujuannya tersebut. Inilah konstitusi. Menurut Brian Thompson, konstitusi adalah seperangkat dokumen yang berfungsi sebagai peraturan dasar untuk menjalankan suatu roda organisasi [1]. Artinya, setiap organisasi manapun, harus memiliki aturan hukum yang jelas dalam melaksanakan roda organisasinya untuk mencapai tujuan dari didirikannya organisasi tersebut. Dalam sedikit tulisan ini, penulis ingin menyampaikan beberapa poin penting tentang bagaimana sejarah terbentuknya konstitusi kita dan juga implikasi dari rasa nasionalisme bangsa kita yang tercantum dalam UUD 1945.
Sejarah Konstitusi di Indonesia
Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara [2]. Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut dengan Undang-Undang Dasar, dapat pula tidak tertulis. UUD 1945 pertama kali disahkan berlaku sebagai konstitusi Negara Indonesia
dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu sehari setelah kemerdekaan negara Republik Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Naskah UUD 1945 ini pertama kali dipersiapkan oleh satu badan bentukan pemerintahbalatentara Jepang yang diberi nama “Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai” yang dalam bahasa Indonesia disebut “Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia” (BPUPKI). Pimpinan dan anggota badan ini dilantik oleh Pemerintah Balatentara Jepang pada tanggal 28 Mei 1945 dalam rangka memenuhi janji Pemerintah Jepang di depan parlemen (Diet) untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia . Namun, setelah pembentukannya, badan ini tidak hanya melakukan usaha-usaha persiapan kemerdekaan sesuai dengan tujuan pembentukannya, tetapi malah mempersiapkan naskah Undang-Undang Dasar sebagai dasar untuk mendirikan Negara Indonesia merdeka.
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ini beranggotakan 62 orang, diketuai oleh K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, serta Itibangase Yosio dan Raden Panji Suroso, masing-masing sebagai Wakil Ketua. Persidangan badan ini dibagi dalam dua periode, yaitu masa sidang pertama dari tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, dan masa sidang kedua dari tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Juli 1945. Dalam kedua masa sidang itu, fokus pembicaraan dalam sidang-sidang BPUPKI langsung tertuju pada upaya mempersiapkan pembentukan sebuah negara merdeka. Hal ini terlihat selama masa persidangan pertama, pembicaraan tertuju pada soal ‘philosoische grondslag’, dasar falsafah yang harus dipersiapkan dalam rangka negara Indonesia merdeka. Pembahasan mengenai hal-hal teknis tentang bentuk negara dan pemerintahan baru dilakukan dalam masa persidangan kedua dari tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Agustus 1945 .
Dalam masa persidangan kedua itulah dibentuk Panitia Hukum Dasar dengan anggota terdiri atas 19 orang, diketuai oleh Ir. Soekarno. Panitia ini membentuk Panitia Kecil yang diketuai oleh Prof. Dr. Soepomo, dengan anggota yang terdiri atas Wongsonegoro, R. Soekardjo, A.A. Maramis, Panji Singgih, Haji Agus Salim, dan Sukiman. Pada tanggal 13 Juli 1945, Panitia Kecil berhasil menyelesaikan tugasnya, dan BPUPKI menyetujui hasil kerjanya sebagai rancangan Undang-Undang Dasar pada tanggal 16 Agustus 1945. Setelah BPUPKI berhasil menyelesaikan tugasnya, Pemerintah Balatentara Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang beranggotakan 21 orang, termasuk Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, masing-masing sebagai Ketua dan Wakil Ketua.
Setelah mendengarkan laporan hasil kerja BPUPKI yang telah menyelesaikan naskah rancangan Undang-Undang Dasar, pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, beberapa anggota masih ingin mengajukan usul-usul perbaikan disana-sini terhadap rancangan yang telah dihasilkan, tetapi akhirnya dengan aklamasi rancangan UUD itu secara resmi disahkan menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Namun demikian, setelah resmi disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
UUD 1945 ini tidak langsung dijadikan referensi dalam setiap pengambilan keputusan kenegaraan dan pemerintahan. UUD 1945 pada pokoknya benar-benar dijadikan alat saja untuk sesegera mungkin membentuk negara merdeka yang bernama Republik Indonesia. UUD 1945 memang dimaksudkan sebagai UUD sementara yang menurut istilah Bung Karno sendiri merupakan ‘revolutie-grondwet’ atau Undang-Undang Dasar Kilat, yang memang harus diganti dengan yang baru apabila negara merdeka sudah berdiri dan keadaan sudah memungkinkan. Hal ini dicantumkan pula dengan tegas dalam ketentuan asli Aturan Tambahan Pasal II UUD 1945 yang berbunyi: “Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis ini bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar”.
Adanya ketentuan Pasal III Aturan Tambahan ini juga menegaskan bahwa UUD Negara Republik Indonesia yang bersifat tetap barulah akan ada setelah MPR-RI menetapkannya secara resmi. Akan tetapi, sampai UUD 1945 diubah pertama kali pada tahun 1999, MPR yang ada berdasarkan UUD 1945 belum pernah sekalipun menetapkan UUD 1945 sebagai UUD Negara Republik Indonesia.
Konstitusi dan Semangat Nasionalisme
            Setelah sedikit mengemukakan kilas balik sejarah ditetapkannya konstitusi di Indonesia, maka bisa kita lihat disini, bahwa semangat yang terdapat pada sejarah awal adanya konstitusi kita adalah semangat nasionalisme. Artinya, rasa nasionalisme yang waktu itu tumbuh pada kalangan pemuda adalah semangat untuk kemudian bersatu untuk merumuskan suatu dasar hukum dan sistem ketatanegaraan di Indonesia untuk masa depan Indonesia kedepannya. Rasa ini juga tumbuh karena adanya semacam persamaan persepsi tentang siapa kawan dan siapa lawan. Inilah letak perbedaan mindset yang imbasnya adalah perpecahan dan ancaman disintegrasi nasional yang ada di Indonesia masa sekarang.
            Berbicara tentang nasionalisme dalam konstitusi kita, sudah tidak diragukan lagi bahwa dasar dari pembuatan konstitusi bangsa atau UUD 1945 Indonesia adalah semangat nasionalismenya. Kalau kita telaah pasal per pasal, tidak akan ada dari sekian banyaknya pasal yang tidak mengandung unsur rasa nasionalisme dari bangsa Indonesia, baik itu dibidang politik, hukum, ekonomi, dan lain sebagainya. Lalu, apa yang menjadi perdebatan tentang nasionalisme dalam UUd 1945 ?
            Menurut saya singkat, yaitu pada tataran implementasi atau praktek dari penjabaran Undang-Undang Dasar 1945. Dimasa sekarang, praktek dari tidak adanya rasa nasionalisme dalam tataran masyarakat Indonesia dalam mengejwantahkan Undang_undang Dasar negara kita. Pemerintah kita terlalu disibukkan dengan hal-hal yang bersifat politis, hal-hal yang seifatnya prosedural, dan banyak hal lagi yang sebenarnya tidak mencakup pada substansi dari tujuan didirikannya bangsa Indonesia. Belum lagi berbagai konflik horizontal di ranah masyarakat kita yang tentunya mengancam integrasi nasional wilayah Indonesia. Dibidang ekonomi juga negara kita mengamali disorientasi nasionalisme. Banyak ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat akibat dari sistem kapitalisme yang perlahan menggerogoti bangsa Indonesia.
            Inilah yang menadi akar pokok permasalahan kita saat ini, bahwa jati diri bangsa ini erlahan mulai tergerus oleh arus globalisasi. Fenomena perubahan tingkah laku dan pola pikir pemuda kita saat ini menjadi elitis dan glamor. Nilai-nilai semangat nasionalisme yang menjadi dasar pembuatan konstitusi kita mulai luntur dan terlupakan oleh generasi muda yang perlahan meninggalkan paham nasionalisme bangsa kita.
            Dari beberapa fenomena yang telah dibahas diatas, salah satu gagasan penulis adalah dengan merekonstruksi pola pikir masyarakat kita (terutama generasi muda) dalam menghadapi tantangan global yang kian lama kian menghilangkan idealisme bangsa kita. Artinya, doktrin ideology yang masiv harus segera dilakukan sedini mungkin dalam pola pendidikan yang akan diterapkan nantinya. Selain dari pada itu, penting kiranya juga menyoroti perilaku elit kita yang akhir-akhir ini banyak memunculkan polemik dikalangan masyarakat. Kehidupan mereka yang glamour, perilaku yang tidak mencerminkan kepribadian bangsa ini adalah salah satu hal yang sangat berpengaruh pada masyarakat kita. Setidaknya, para elit teresebut bisa memberikan contoh yang baik kepada masyarakat dan generasi muda untuk menumbuhkan jiwa nasionalismenya. Dengan langkah tersebut, diharapkan bangsa ini bisa menemukan kembali jati diri yang semakin luntur, terutama dalam hal implementasi dari konstitusi yang telah ditetapkan oleh para pendiri bangsa kita.



[1] Jimly Asshidiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal.16

[2] Ibid, hal 29

Comments

Popular posts from this blog

Teori Elit dalam Kebijakan Publik

ELIT DAN KEBIJAKAN : TINJAUAN TEORITIS TENTANG MODEL ELIT DALAM MEMAHAMI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK Oleh : Iwan Ismi Febriyanto Abstract             In the analysis of public policy, of course, there are some models that can be used to focus on one subject of public policy itself. That is, before we alone make this a great and sturdy construction, of course, we must have a clear model. That is the reason why public policy analysis models are crucial in making or analyzing public policy. There are several models in the classification of policy analysis. However, here the author would like to focus on Elite Model Theory in the analysis of public policy. To find out how political institutions operate, how decisions are made then the informant's most relevant is the political elite. Elite is defined as "those that relate to, or have, an important position." Political elite to do with how power affects the person's public policy making. Here the role of the

TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT

DIALEKTIKA KEBIJAKAN PUBLIK : “STUDI KOMPARASI TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT DENGAN GOOD GOVERNANCE DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK” Oleh: Iwan Ismi Febriyanto Abstract Public sector organizations are often described unproductive, inefficient, always loss, low quality, poor innovation and creativity, as well as many other critics. The emergence of strong criticism directed at public sector organizations will then cause the movement to reform public sector management. One of the public sector reform movement is the emergence of the concept of New Public Management (NPM). The concept of new public management was initially introduced by Christopher Hood in 1991. When viewed from a historical perspective, modern management approaches in the public sector at first appear in Europe in the 1980s and 1990s as a reaction to the inadequacy of the traditional model of public administration. NPM emphasis at that time was the implementation of decentralization, devolution, and the m

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme Analisis Mengenai Pengaruh dan Implementasinya dalam Kondisi Politik di Suatu Negara Oleh : Iwan Ismi Febriyanto BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG             Ideologi merupakan hal yang paling krusial dalam sejarah maupun masa depan kehidupan manusia, terutama dalam bidang politik dan ekonomi. Bagaimana ideologi mempunyai peran sebagai dasar maupun pijakan yang digunakan oleh suaru kelompok sebagai panutan dari apa yang akan dilakukannya kedepan. Kata ideologi sendiri pertama kali dikembangkan dan diperkenalkan oleh seorang filsuf dari negara Perancis yang bernama Antonie Destutt de Tracy di masa Revolusi Perancis. Antony Downs (1957:96) mengatakan bahwa ideology merupakan seperangkat asumsi dasar baik normatif maupun empiris mengenai sifat dan tujuan manusia atau masyarakat agar dapat dipakai untuk mendorong serta mengembangkan tertib politik.