Skip to main content

Teori New Public Management


DIALEKTIKA KEBIJAKAN PUBLIK :
“STUDI KOMPARASI TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT DENGAN GOOD GOVERNANCE DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK”
Oleh: Iwan Ismi Febriyanto

Abstract
Public sector organizations are often described unproductive, inefficient, always loss, low quality, poor innovation and creativity, as well as many other critics. The emergence of strong criticism directed at public sector organizations will then cause the movement to reform public sector management. One of the public sector reform movement is the emergence of the concept of New Public Management (NPM). The concept of new public management was initially introduced by Christopher Hood in 1991. When viewed from a historical perspective, modern management approaches in the public sector at first appear in Europe in the 1980s and 1990s as a reaction to the inadequacy of the traditional model of public administration. NPM emphasis at that time was the implementation of decentralization, devolution, and the modernization of public service delivery. As it grows, modern managerial approach has many names,
for example: managerialsm, new pubic management, market-based public management, post-bureaucratic paradigm, and entrepreneurial government. The term is widely used and known then is new public management. Before applying the concept of NPM, the government used a model of public administration with emphasis on bureaucracy. New Public Management (NPM) is the new public management theory assumes that private sector management practices are better than public sector management practices. Based on the above, it can be concluded that the New public management is a concept of public management / new government, the private sector work practices apply to the public sector to create efficiency and effectiveness of government performance that will create a welfare society (social welfare). Apart from the theory of New Public Management, we know the term Good Governance. Here, the author would like to try to compare the two theories in relation to public policy.
Keywords: Public Management, New Public Management, Good Governance
Abstraksi
Organisasi sektor publik sering digambarkan tidak produktif, tidak efisien, selalu rugi, rendah kualitas, miskin inovasi dan kreativitas, serta berbagai kritikan lainnya. Munculnya kritik keras yang ditujukan kepada organisasi-organisasi sektor publik tersebut kemudian menimbulkan gerakan untuk melakukan reformasi manajemen sektor publik. Salah satu gerakan reformasi sektor publik adalah dengan munculnya konsep New Public Management (NPM).
Konsep new public management pada awalnya dikenalkan oleh Christopher Hood tahun 1991. Apabila dilihat dari perspektif historis, pendekatan manajemen modern di sektor publik pada awalnya mucul di Eropa tahun 1980-an dan 1990-an sebagai reaksi terhadap tidak memadainya model administrasi publik tradisional. Penekanan NPM pada waktu itu adalah pelaksanaan desentralisasi, devolusi, dan modernisasi pemberian pelayanan publik. Seiring perkembangannya, pendekatan manajerial modern tersebut memiliki banyak sebutan, misalnya: managerialsm, new pubic management, market-based public management, post-bureaucratic paradigm, dan entrepreneurial government. Istilah yang kemudian banyak dipakai dan dikenal adalah new public management. Sebelum menerapkan konsep NPM, pemerintah menggunakan model administrasi publik yang lebih menekankan pada birokrasi. New Public Management (NPM) merupakan teori baru manajemen publik yang beranggapan bahwa praktik manajemen sektor swasta adalah lebih baik dibandingkan dengan praktik manajemen sektor publik. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa New public management adalah sebuah konsep manajemen publik/pemerintahan baru, yang menerapkan praktik kerja sektor privat ke sektor publik untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas kinerja pemerintah daerah sehingga akan tercipta welfare society (kesejahteraan masyarakat). Selain dari pada teori New Public Management, kita mengenal istilah Good Governance. Disini, penulis ingin mencoba untuk membandingkan kedua teori ini dalam kaitannya dengan kebijakan publik.
Kata Kunci : Public Management, New Public Management, Good Governance









Pendahuluan
Manajemen publik merupakan suatu spesialisasi baru, tetapi berakar dari pendekatan normative, Woodrow Wilson sebagai penulis “The Study of Administration” ditahun 1887 dalam Shafritz & Hyde (1997), merupakan vionernya. Di dalam aliran ini yang dibicarakan benar-benar manajemen publik. Wilson mendesak agar ilmu administrasi publik segera mengarahkan perhatiannya pada orientasi yang dianut dunia bisnis, perbaikan kualitas personel pada tubuh pemerintah, aspek organisasi dan metode-metode kepemerintahan. Fokus dari ajaran tersebut adalah melakukan perbaikan fungsi ekskutif dalam tubuh pemerintahan karena waktu itu dinilai telah berada di luar batas kewajaran sebagai akibat dari merebaknya gejala korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan mengadopsi prinsip manajemen bisnis.
Wilson meletakkan empat prinsip dasar bagi studi administrasi publik yang mewarnai manajemen publik sampai sekarang yaitu :
(1) pemerintah sebagai setting utama organisasi, (2) fungsi eksekutif sebagai fokus utama, (3) pencarian prinsip-prinsip dan teknik manajemen yang lebih efektif sebagai kunci pengembangan kompetensi administrasi, (4) metode perbandingan sebagai suatu metode studi pengembangan bidang administrasi publik.
            Warna manajemen publik dapat dilihat pada masing-masing paradigma, misalnya dalam paradigma pertama yaitu pemerintah diajak mengembangkan sistem rekrutmen, ujian pegawai, klasifikasi jabatan, promos, disiplin dan pensiun secara lebih baik. Manajemen sumber daya manusia dan barang/ jasa harus diupayakan akuntabel agar tujuan negara dapat tercapai, paradigma kedua dikembangkan prinsip-prinsip manajemen yang diklaim sebagai prinsip-prinsip universal yang dikenal sebagai POSDCORB (Planing, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting, dan Budgeting), yang merupakan karya besar Luther Gullick dan Lundall Urwick di tahun 1937. Prinsip-prinsip ini kemudian dikritik dalam karya “Administrative Behaviour”, yang mengajak para ahli tidak hanya mendasarkan dirinya pada aspek normatif sebagai diajarkan dalam rasional tetapi harus melihat kenyataan yang terjadi dalam satu fungsi manajemen yang penting yaitu pembuatan keputusan (decision making). Kritik ini telah memberikan ruang baik kemunduran pengembangan fungsi manajemen publik waktu itu, karena para ahli politik akhirnya melihat administrasi publik sekaligus manajemen publik sebagai kegiatan politik, atau lebih merupakan bagian dari ilmu politik. Paradigma ketiga, karnanya fungsi-fungsi manajenen tidak perlu di ajarkan secara normatif, atau tidak perlu lagi melihat fungsi-fungsi manajemen tersebut sebagai sesuatu yang universal. Paradigma keempat, setelah tidak menyetujui kritikan para ahli ilmu politik, konsep manajemen terus dikembangkan seperti didirikannya School of Bussines dan administrasi publik serta Journal Administrative Science Quarterly di Cornell University Amerika Serikat.
Model NPM (New Public Management), pada dasarnya merupakan model yang dikembangkan oleh para teoritisi dalam upaya memperbaiki kinerja birokrasi (model tradisional) yang dirasakan kurang mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan dalam memenuhi harapan masyarakat akan pelayanan yang diinginkan dengan mengedepankan pendekatan manajerial. NPM memfokuskan diri pada perbaikan birokrasi dari dalam organisasi (inside the organization) dengan melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan (Hughes, 1994, 2). Dengan dokrin sebagaimana diungkapkan Rhodes mengadopsi pendapat Hood (Hughes,1994,2) sebagai berikut : pertama, memfokuskan pada kegiatan manajemen bukan pada aktivitas kebijakan, penilaian kinerja dan efisiensi; kedua, pemecahan birokrasi publik menjadi badan-badan kecil dan sederhana yang berkaitan langsung dengan kepentingan dasar pengguna jasa (user – pay bases); ketiga,  menggunakan ‘quasi market’ dan melemparkan ke pasar (contracting out) sebagai daya dorong terciptanya kompetisi; keempat, pemotongan biaya; kelima, pola manajemen yang menekankan pada antara lain target keluaran, pembatasan waktu kontrak, insentif keuangan dan kebebasan dalam mengelola.
Sedangkan David Osborne dan Ted Gaebler (1992, 13-22) menawarkan suatu pendekatan manajerial dari sisi lain dalam mengelola birokrasi pemerintahan dimana birokrasi menjadi bergaya wirausaha (entreprenuer government). Dengan karakteristik : mendorong kompetisi antar pemberi jasa, memberi wewenang kepada masyarakat, mengukur kinerja perwakilannya dengan memusatkan pada hasil bukan pada masukan, digerakan oleh misi bukan ketentuan dan peraturan, mendefinisikan klien (masyarakat) kembali sebagai pelanggan dan menawarkan banyak pilihan, mencegah masalah sebelum muncul, mencurahkan energi untuk menghasilkan uang bukan untuk membelanjakan, desentralisasi wewenang dengan manajemen partisipasi, menyukai mekanisme pasar daripada mekanisme birokrasi, dan tidak hanya memfokuskan pada pengadaan perusahaan negara, tetapi juga pada mengkatalisir semua sektor –pemerintah, swasta, dan lembaga suka rela- ke dalam tindakan untuk memecahkan masalah masyarakatnya.
Pendekatan manajerial model NPM yang dikembangkan pertama kali oleh Hood ini atau managerialism istilah Pollitt atau market based public administration istilah Lan dan Rosenbloom atau  entrepreneurial government istilah Osbone dan Gebler, walau memiliki istilah yang berbeda namun pada dasarnya sama-sama berupaya mentransformasi birokrasi lama menjadi birokrasi baru. Dengan melakukan hal-hal yang sebagaimana dikemukakan Owen E. Hughes (1994, 3) : Improving public management, reducing budgets, privatisations of public enterprise seem universal; no-one now is arguing for or increasing the scope of government or bureaucracy.
Dan memiliki tujuan yang sama pula, antara lain : pertama, lebih memperhatikan  pada hasil tujuan dan tanggung jawab personal manajer; kedua, lebih mengutamakan  pembentukan organisasi, personil, dan pekerja dan suasana yang lebih fleksibel; ketiga, membuat tujuan organisasi dan personil yang jelas dan mudah diukur dengan menentukan indikatornya; keempat, staf senior lebih memiliki komitmen politik (politically commited) pada pemerintah, tidak partisan dan tidak netral benar; kelima, fungsi pemerintah lebih kepada fasilitator dari pada pelaksana; terakhir, pada fungsi pemerintah dikurangi dengan melakukan privatisasi (Hughes, 1994, 58
Pembahasan
Sejarah Teori New Public Management
            Organisasi sektor publik sering digambarkan tidak produktif, tidak efisien, selalu rugi, rendah kualitas, miskin inovasi dan kreativitas, serta berbagai kritikan lainnya. Munculnya kritik keras yang ditujukan kepada organisasi-organisasi sektor publik tersebut kemudian menimbulkan gerakan untuk melakukan reformasi manajemen sektor publik. Salah satu gerakan reformasi sektor publik adalah dengan munculnya konsep New Public Management (NPM).
Konsep new public management pada awalnya dikenalkan oleh Christopher Hood tahun 1991. Apabila dilihat dari perspektif historis, pendekatan manajemen modern di sektor publik pada awalnya mucul di Eropa tahun 1980-an dan 1990-an sebagai reaksi terhadap tidak memadainya model administrasi publik tradisional. Penekanan NPM pada waktu itu adalah pelaksanaan desentralisasi, devolusi, dan modernisasi pemberian pelayanan publik (Mwita dalam Mahmudi: 2010).
Seiring perkembangannya, pendekatan manajerial modern tersebut memiliki banyak sebutan, misalnya: managerialsm, new pubic management, market-based public management, post-bureaucratic paradigm, dan entrepreneurial government. Istilah yang kemudian banyak dipakai dan dikenal adalah new public management. Sebelum menerapkan konsep NPM, pemerintah menggunakan model administrasi publik yang lebih menekankan pada birokrasi. New Public Management (NPM) merupakan teori baru manajemen publik yang beranggapan bahwa praktik manajemen sektor swasta adalah lebih baik dibandingkan dengan praktik manajemen sektor publik. Hughes, dkk. dalam Mahmudi: 2010 mengatakan bahwa “Untuk memperbaiki kinerja sektor publik perlu diadopsi beberapa praktik dan teknik manajemen yang diterapkan di sektor swasta ke dalam organisasi sektor publik, seperti pengadopsian mekanisme pasar, kompetisi tender, dan privatisasi perusahaan-perusahaan publik”.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa New public management adalah sebuah konsep manajemen publik/pemerintahan baru, yang menerapkan praktik kerja sektor privat ke sektor publik untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas kinerja pemerintah daerah sehingga akan tercipta welfare society (kesejahteraan masyarakat).“NPM memiliki doktrin sebagai berikut: berfokus pada manajemen, bukan kebijakan, debirokratisasi, berfokus pada kinerja dan penilaian kinerja, akuntabilitas berbasis hasil (results-based accountability), pemecahan birokrasi publik ke dalam unit-unit kerja: penerapan mekanismae pasar melalui pengontrakan atau outsourcing untuk membantu perkembangan persaingan di sektor publik, pemangkasan biaya (cost cutting) dan efisiensi, kompensasi berbasis kinerja (performance-based pay), dan kebebasan manajer untuk mengelola organisasi” (Mahmudi: 2010).
Doktrin tersebut semakin menegaskan bahwa NPM sangat terkait dengan semakin pentingnya pelayanan kepada pelanggan/masyarakat (customer sevice), devolusi, reformasi regulasi, reformasi proses anggaran menuju pengangggaran kinerja (performance budgeting), dan accrual budgeting.
Pada akhir tahun 1980an dan awal tahun 1990an kita melihat munculnya suatu pendekatan manajemen baru di sektor publik sebagai respon atas kekurangberhasilan model administrasi tradisional. Pendekatan manajemen baru di sektor publik ini mempunyai berbagai nama/sebutan, antara lain : Managerialism (Pollit, 1990) ; New Public Management (Hood, 1991); Market-Based public Administration (Lan and Rosenbloom, 1992) ; dan Enterpreneurial Government (Osborne and Gaebler, 1992).
            Menurut Owen E.Hughes (1994), ada 6 alasan munculnya paradigma Public Management yaitu :
     1. Administrasi publik tradisional telah gagal mencapai tujuanynya secara efektif dan efisien sehingga perlu diubah menuju ke orientasi yang lebih memusatkan perhatian pada pencapaian hasil(kinerja) dan akuntabilitas;
     2. Adanya dorongan yang kuat untuk mengganti tipe birokrasi klasik yang kaku menuju ke kondisi organisasi public, kepegawaian, dan pekerjaan yang lebih luwes;
     3. Perlunya menetapkan tujuan organisasi da pribadi secara jelas dan juga perlu ditetapkan alat ukur keberhasilan kinerja lewat indicator kinerja;
     4. Perlunya para pegawai senior lebih punya komitmen politik pada pemerintah yang sedang berkuasa daripada bersikap netral atau non partisan;
     5. Fungsi-fungsi yang dijalankan pemerintah hendaknya lebih disesuaikan dengan tuntutan dan signal pasar; dan
     6. adanya kecenderungan untuk mereduksi peran dan fungsi pemerintah dengan melakukan kontrak kerja dengan pihak lain (contracting out) dan privatisasi.
Keenam alasan tersebut di atas, ditambahkan oleh Martin Minogue (2000) dengan menyebut adanya 3 tekanan yang menyebabkan perlu adanya perubahan paradigma menuju ke Public management yaitu:
1.  Semakin membesarnya anggaran pemerintah
2.  Rendahnya mutu kinerja pemerintah
3. Adanya nilai ideologi yang bersifat konfiktif terhadap perubahan paradigma pemerintahan
            Adanya gelombang perubahan paradigma pemerintahan itu sendiri merupakan tekanan perubahan tidak hanya karena ia merupakan perubahan yang fundamental dalam nilai-nilai sector public tetapi juga karena ia memberikan peluang bagi perumus kebijakan untuk menemukan solusi terhadap tekanan yang positif (meningkatkan mutu kinerja pemerintah), atau tekanan yang negative ( mereduksi ukuran dan peran pemerintah).
Sedangkan menurut Owen (1994) :
1. Adanya tekanan yang kuat atas peran sektor public
2. Terjadinya perubahan teori ekonomi
3. Adanya pengaruh globalisasi terhadap sektor publik
Salah satu sumber teoritis penting dari New Public Management adalah humanisme organisasi. Selama tiga puluh tahun terakhir, teori administrasi publik telah bergabung dengan di disiplin ilmu lain dalam menunjukkan pendekatan hirarkis tradisional pada organisasi sosial yang ketat dalam pandangan mereka tentang perilaku manusia, dan mereka telah bergabung dalam kritik birokrasi serta mencari pendekatan alternatif untuk manajemen dan organisasi. Secara kolektif, pendekatan ini telah berusaha untuk organisasi mode publik kurang didominasi oleh isu-isu kekuasaan dan kontrol serta lebih memperhatikan kebutuhan dan keprihatinan konstituen internal dan eksternal.
Sama seperti penulis seperti Dimock, Dahl, dan Waldo memberikan pandangan secara dengan pandangan yang berlaku pada teori administrasi publik, penulis seperti Chris Argyris dan Robert Golembiewski menyediakan perbedaan pandangan yang berlaku dari manajemen organisasi pada bagian terakhir abad kedua puluh. Dalam buku terdahulu, Kepribadian dan Organisasi, Argyris mengeksplorasi dampak dari praktek-praktek manajemen tradisional pada perkembangan psikologis individu dalam organisasi yang kompleks. Argyris mencatat bahwa studi tentang kepribadian manusia menunjukkan bahwa orang tumbuh dari bayi sampai dewasa pindah dari pasif ke aktivitas, dari ketergantungan menuju kemandirian, dari berbagai perilaku terbatas ke rentang yang lebih besar, dari dangkal sampai kepentingan yang lebih dalam, dari perspektif yang lebih pendek ke waktu yang lebih lama, dari posisi bawahan ke posisi kesetaraan atau super-ordinasi, dan dari kurangnya kesadaran pada kesadaran yang lebih besar (1957, 50). Sebaliknya, Argyris melihat sebagai praktek manajemen standar waktu itu (dan orang dapat berargumentasi bahwa mereka tidak berubah banyak bahkan sampai hari ini) tampaknya menghambat perkembangan karyawan daripada meningkatkan. Sebagai contoh, dalam kebanyakan organisasi, orang memiliki kendali yang relatif sedikit di atas pekerjaan mereka. Dalam banyak kasus, mereka diharapkan harus tunduk, tergantung, dan terbatas pada apa yang bisa mereka lakukan. Pengaturan tersebut pada akhirnya menjadi bumerang, Argyris berpendapat, karena membatasi kontribusi karyawan untuk berbuat dalam organisasi. Dalam rangka mempromosikan dan meningkatkan pertumbuhan individu serta kinerja organisasi, Argyris mencari pendekatan untuk manajemen di mana manajer akan mengembangkan dan menggunakan "keterampilan dalam kesadaran diri, dalam mendiagnosis efektif, dalam membantu individu tumbuh dan menjadi lebih kreatif, [dan] di mengatasi bergantung orientasi..... karyawan "(Argyris 1962, 213). Pekerjaan Argyris yang matang, ia semakin berfokus pada cara-cara mana organisasi bisa bergerak, dalam arah ini melalui program perubahan terencana yang dikenal sebagai "pengembangan organisasi."
Kami harus mencatat bahwa ide-ide Argyris yang berseberangan langsung dengan model rasional yang berlaku pada administrasi, diartikulasikan paling jelas, seperti yang kita lihat, Herbert Simon. Memang, pada tahun 1973, Argyris menggunakan Review Administrasi Publik untuk menjelajahi beberapa keterbatasan dari model rasional (Argyris 1973). Argyris mulai dengan menunjukkan bahwa model rasional Simon sangat mirip dengan teori administrasi tradisional, di mana manajemen mendefinisikan tujuan organisasi dan tugas-tugas yang akan dilakukan, serta pelatihan, bermanfaat, dan menghukum semua karyawan dalam kerangka
struktur piramidal formal di mana otoritas mengalir dari atas ke bawah
. Simon menambahkan untuk model ini adalah fokus pada perilaku rasional, yaitu, perilaku yang dapat didefinisikan dalam hal sarana dan tujuan. (Sekali lagi, dalam pandangan ini "rasional" tidak peduli dengan konsep-konsep filosofis yang luas seperti kebebasan atau keadilan, tetapi lebih pada bagaimana orang efisien dapat menyelesaikan pekerjaan organisasi.) Mengingat penekanan ini, model rasional berfokus pada "yang konsisten, terprogram, terorganisir, kegiatan berpikir manusia, "memberi" keutamaan untuk perilaku yang berhubungan dengan tujuan, "dan menganggap" tujuan tanpa bertanya bagaimana ia telah mengembangkan "(Argyris 1973, 261).
Pandangan seperti gagal untuk mengakui berbagai pengalaman manusia, kenyataan bahwa orang-orang bertindak secara spontan, bahwa mereka mengalami kekacauan dan ketidakpastian dalam hidup mereka, dan bahwa mereka bertindak atas perasaan dan emosi yang jauh dari rasional. Selain itu, karena pertumbuhan manusia bukanlah proses sepenuhnya rasional, organisasi yang dibangun pada model ini tidak akan mendukung pertumbuhan, pengembangan, dan "aktualisasi diri" individu. Sebaliknya model rasional akan memberikan preferensi kepada perubahan-perubahan yang akan meningkatkan rasionalitas (efisiensi) dari organisasi. Perubahan-perubahan mungkin akan sangat konservatif, memperkuat status quo dengan berfokus "lebih pada apa yang daripada yang dari apa yang mungkin" (Argyris 1973, 261). Berbeda dengan pandangan ini, Argyris mendesak perhatian yang lebih besar untuk "keaslian individu, moralitas, (dan) aktualisasi diri manusia," atribut yang terkait dengan "sisi manusia pada perusahaan" (253).
Di bidang administrasi publik, pengembangan organisasi (OD) perspektif telah dieksplorasi lebih menyeluruh oleh Robert Golembiewski. Dalam karya awal, Pria, Manajemen, dan Moralitas (1967), Golembiewski mengembangkan kritik terhadap teori tradisional organisasi, dengan penekanan mereka di otoritas atas-bawah, kontrol hirarkis, dan standar prosedur operasional, dengan alasan bahwa pendekatan seperti mencerminkan ketidakpekaan terhadap sikap moral dari individu, khususnya pertanyaan tentang kebebasan individu. Sebaliknya, Golembiewski mencari cara untuk "memperbesar area kebijaksanaan terbuka kepada kita dalam mengatur dan meningkatkan kebebasan individu" (1967, 305). Setelah perspektif OD, Golembiewski mendesak manajer untuk menciptakan iklim pemecahan masalah terbuka melalui organisasi sehingga anggota dapat menghadapi masalah, bukan bertengkar tentang atau melarikan diri dari mereka. Dia mendorong mereka untuk membangun kepercayaan antara individu-individu dan kelompok di seluruh organisasi, untuk melengkapi atau bahkan menggantikan peran otoritas atau status dengan otoritas pengetahuan dan kompetensi. Dia menyarankan bahwa pengambilan keputusan dan pemecahan masalah tanggung jawab berada sedekat mungkin dengan sumber informasi dan untuk membuat kompetisi, di mana ia ada, memberikan kontribusi untuk tujuan pertemuan bekerja sebagai lawan kompetisi menang-kalah. Dia mengatakan ide itu untuk memaksimalkan kolaborasi antara individu dan unit-unit yang bekerja adalah saling tergantung dan untuk mengembangkan sistem penghargaan yang mengakui baik pencapaian misi organisasi dan pertumbuhan serta pengembangan anggota organisasi. Manajer harus bekerja, katanya, untuk meningkatkan kontrol diri dan pengarahan diri sendiri untuk orang-orang dalam organisasi, untuk menciptakan kondisi di mana konflik muncul dan dikelola secara tepat dan positif, dan untuk meningkatkan kesadaran proses kelompok dan konsekuensinya untuk kinerja (Denhardt 1999, 405).
Menariknya, Golembiewski, seperti Argyris, lebih humanistik pandangan organisasi dengan model pilihan rasional, dalam hal ini melalui kritik dari model pilihan publik. Golembiewski pertama berpendapat bahwa asumsi rasionalitas klasik adalah membangun metodologi yang sama sekali tidak mencerminkan realitas (suatu titik yang bahkan teori pilihan publik mengakui). Orang-orang tidak selalu bertindak rasional atau bahkan perilaku rasional perkiraan. Untuk dasar teori pilihan pada asumsi bahwa yang mereka lakukan, berarti bahwa seseorang terbatas pada proposisi-proposisi logis tentang bagaimana orang akan berperilaku jika mereka tidak bertindak secara rasional. Pandangan demikian, Golembiewski berpendapat, mengabaikan pertimbangan politik atau emosional penting, yang harus diperhitungkan dalam mengembangkan teori yang menyeluruh tentang perilaku manusia. Jika tidak, orang bisa menyimpulkan, dengan Norton panjang, bahwa teori pilihan publik "berdebat dengan logika elegan dan sempurna tentang unicorn" (dikutip dalam Golembiewski 1977, 1492).
Kontribusi penting lainnya untuk membangun organisasi yang lebih humanistik dalam sektor publik dibuat oleh sekelompok sarjana secara kolektif dikenal sebagai New Public Management, pada dasarnya mitra administrasi publik untuk akhir tahun enam puluhan / awal tujuh gerakan radikal dalam masyarakat umumnya dan di lain disiplin ilmu sosial . Sementara Administrasi Publik Baru, pernah ada gerakan yang sangat koheren, dengan kontributor yang sering berbeda secara substansial satu dengan sama lain, beberapa ide yang berhubungan dengan New Public Management adalah penting untuk diingat. Tentu sehubungan dengan masalah humanisme organisasi, beberapa sarjana selama periode yang menekankan kebutuhan untuk mengeksplorasi alternatif untuk model top-down tradisional, hirarki organisasi birokrasi. Mendakwa model lama untuk objektifikasi dan depersonalisasi anggota organisasi dan menyerukan untuk model yang dibangun di sekitar keterbukaan, kepercayaan, dan komunikasi yang jujur, para sarjana ini membahas alternatif dengan nama seperti "organisasi dialektis" dan "model consociated."
Denhardt menaruhnya dalam bukunya Dalam Bayangan Organisasi: "Penciptaan pengaturan di mana kreativitas dan dialog dapat terjadi, di mana kebersamaan dan menghormati kontribusi baik untuk pertumbuhan individu dan pengembangan serta memungkinkan kelompok-kelompok dan organisasi untuk menangani lebih efektif dan bertanggung jawab dengan kompleksitas lingkungan, merupakan upaya yang dimulai dengan tindakan individu "(1981, xii).
Kami harus mencatat bahwa teori New Public Management berkontribusi pada sudut pandang lain setuju pada pembahasan utama administrasi publik. Secara khusus, ada argumen untuk administrator memainkan peran yang lebih aktif dalam pengembangan kebijakan publik daripada yang sebelumnya telah terjadi, sebagian karena kompleksitas masalah-masalah kontemporer diperlukan keahlian administrator terlatih secara profesional dan spesialis yang terkait teknis, dan dalam sebagian hanya karena "seseorang harus menghadapi tantangan." Ada pengakuan yang lebih eksplisit dan diskusi tentang peran nilai-nilai dalam administrasi publik. Misalnya, George Frederickson, Administrasi Publik Baru, berpendapat atas nama keadilan sosial sebagai konsep pedoman dalam keputusan administratif dan politik dibuat, "Ini adalah kewajiban pelayan publik untuk dapat mengembangkan dan mempertahankan kriteria dan ukuran ekuitas dan untuk memahami dampak dari pelayanan publik pada martabat dan kesejahteraan warga negara "(1980, 46). Pada dasarnya, memberikan solusi yang adil untuk masalah publik tidak hanya melibatkan dan menawarkan layanan yang sama untuk semua tetapi tingkat pelayanan yang lebih besar kepada mereka yang membutuhkan yang lebih besar. Frederickson berpendapat bahwa administrasi publik tidak netral dan tentu saja tidak harus dinilai dengan kriteria efisiensi saja. Sebaliknya, konsep-konsep seperti kesetaraan, keadilan, dan responsif juga harus dicapai.
Konsepsi Teori New Public Management
            Pada dasarnya public management, yaitu instansi pemerintah. Overman dalam Keban (2004 : 85), mengemukakan bahwa manajemen publik bukanlah “scientific management”,meskipun sangat dipengaruhi oleh “scientific management”. Manajemen publik bukanlah “policy analysis’, bukanlah juga administrasi publik, merefleksikan tekanan-tekanan antara orientasi “rational-instrumental” pada satu pihak, dan orientasi politik kebijakan dipihak lain. Public management adalah suatu studi interdisipliner dari aspek-aspek umum organisasi, dan merupakan gabungan antara fungsi manajemen seperti planning, organizing, dan controlling satu sisi, dengan SDM, keuangan, fisik, informasi dan politik disisi lain. Berdasarkaan pendapat Overman tersebut, OTT, Hyde dan Shafritz (1991:xi), mengemukakan bahw manajemen publik dan kebijakan publik merupakan dua bidang administrasi publik yang tumpang tindih. Tapi untuk membedakan keduanya secara jelas maka dapat dikemukakan bahwa kebijakan publik merefleksikan sistem otak dan syaraf, sementara manajemen publik mempresentasikan sistem jantung dan sirkulasi dalam tubuh manusia. Dengan kata manajemen publik merupakan proses menggerakkan SDM dan non SDM sesuai perintah kebijakan publik.
J. Steven Ott, Albert C. Hyde dan Jay M. Shafritz (1991), berpendapat bahwa dalam tahun 1990an, manajemen publik mengalami masa transisi dengan beberapa isu terpenting yang akan sangat menantang, yaitu: (1) privatisasi sebagai suatu alternatif bagi pemerintah untuk memberikan pelayanan publik, (2) rasionalitas dan akuntabilitas, (3) perencanaan dan kontrol, (4) keuangan dan penganggaran, dan (5) produktivitas sumber daya manusia. Isu-isu ini telah menantang sekolah atau perguruan tinggi yang mengajarkan manajemen publik atau administrasi publik untuk menghasilkan calon manajer publik profesional yang kualitas tinggi, dan penataan sistem manajemen yang lebih baik.
Sedangkan Owen E.Hughes(1994), menyajikan dalam Public Management And Administration , bahwa pada awal tahun 1990an kita telah menyaksikan adanya suatu transformasi dalam tubuh sektor publik di negara-negara maju, yaitu suatu perubahan bentuk administrasi publik dari yang kaku, hierarkhis, dan birokratis menuju ke bentuk manajemen publik yang lebih fleksibel, dan berbasis pasar. Ini bukanlah sekedar perubahan kecil tentang gaya manajemen tetapi perubahan mendasar tentang peran pemerintah dalam masyarakat dan hubungan antara pemerintah dengan warganya. Administrasi publik tradisional telah dikritik baik secara teoritik maupun praktis sehingga memunculkan paradigma baru yang kemudian dikenal dengan istilah Public Management And New Public Management.
Doktrin utama Public Management adalah :
       1.        Fokus utamanya pada aktivitas manajemen, penilaian kinerja dan efisiensi, bukan pada kebijakan;
       2.        Memecah birokrasi publik ke dalam agensi-agensi (unit-unit) dibawah yang terkait langsung dengan pemakai pelayanan;
       3.        Pemanfaatan ‘pasar-semu’ dan ‘kontrak kerja’ untuk menggalakkan persaingan;
4.        Pengurangan anggaran pemerintah;
       5.        Penggunaan gaya manajemen yang lebih menekankan pada sasaran akhir, kontrak jangka pendek, insentif anggaran, dan kebebasan melaksanakan manajemen.
Berdasarkan hal-hal di atas maka Public Management dapat diartikan sebagai bagian yang sangat penting dari administrasi publik (yang merupakan bidang kajian yang lebih luas), karena administrasi publik tidak membatasi dirinya hanya pada pelaksanaan manajemen pemerintahan saja tetapi juga mencakup aspek politik, sosial, kultural, dan hukum yang berpengaruh pada lembaga-lembaga publik. Dan Public Management berkaitan dengan fungsi dan proses manajemen yang berlaku baik pada sektor publik (pemerintahan) maupun sektor diluar pemerintahan yang tidak bertujuan mencari untung (nonprofit sector). Organisasi publik melaksanakan kebijakan publik. Public Management memanfaatkan fungsi-fungsi : perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan sebagai sarana untuk mencapai tujuan publik, maka berarti ia memfokuskan diri pada the managerial tools, techniques, knowledges and skills yang dipakai untuk mengubah kebijakan menjadi pelaksanaan program.


Paradigma New Public Management
            Menurut Asmawi Rewansyah (2010), berawal dari kenyataan bahwa birokrasi pemerintahan yang terlalu besar, boros, inefisien dan merosotnya kinerja pelayanan publik, Ronald Reagan (Presiden Amerika Serikat) mengeluarkan pernyataan bahwa “government is not solution to our problem, government is the problem”. Kata administrasi dirasakan kurang agresif, maka digunakan kata manajemen (bisnis/privat) guna mentransformasi prinsip-prinsip bisnis atau wirausaha kedalam sektor publik. Kemudian paradigma ini lebih dikenal dengan New Public Management (NPM) yang melihat bahwa paradigma Old Public Administration (OPA) kurang efektif dalam memecahkan masalah dan dalam memberi pelayanan publik, termasuk membangun warga masyarakat. Konsep dan strategi pemangkasan birokrasi (banishing bureaucracy), sebagai opersionalisasi dari Reinventing Government.
Osborne & Plastrik (1997) mengemukakan makna mewirausahakan/ reinventing, sebagai transformasi fundamental terhadap sistem dan organisasi sektor publik untuk menciptakan peningkatan secara menakjubkan dalam hal efektivitas, efisiensi, adaptabilitas dan kapasitasnya untuk berinovasi. Tranformasi tersebut intinya bagaimana membangun sektor publik yang bersifat “self renewing system” dengan pendekatan prinsip-prinsip bisnis (wirausaha).
Banishing bureaucracy berisi 5 strategi untuk melaksanakan prinsip Reinventing Government yang bernama The Five C’S” yaitu :
  1. Core Strategy (Strategi inti). Menata kembali secara jelas mengenai tujuan, peran, dan arah organisasi.
  2. Consequence Strategy(Strategi Konsekuensi). Strategi yang mendorong  “persaingan sehat” guna meningkatkan motivasi dan kinerja pegawai, melalui penerapan Reward and Punishment dengan memperhitungkan resiko ekonomi dan pemberian penghargaan.
  3. Customer strategy (Strategi pelanggan). Memusatkan perhatian untuk bertanggung jawab terhadap pelanggan. Organisasi harus menang dalam persaingan dan memberikan kepastian mutu bagi pelanggan.
  4. Control strategy (Strategi kendali). Merubah lokasi dan bentuk kendali dalam organisasi. Kendali dialihkan kepada lapisan organisasi paling bawah yaitu pelaksana atau masyarakat. Kendali organisasi dibentuk berdasarkan visi dan misi yang telah ditentukan. Dengan demikian terjadi proses pemberdayaan organisasi, pegawai, dan masyarakat.
  5. Cultural strategy(Strategi Budaya). Merubah budaya kerja organisasi yang terdiri dari unsur-unsur kebiasaan, emosi dan psikologi, sehingga pandangan masyarakat terhadap budaya organisasi publik ini berubah (tidak lagi memandang rendah).
Paradigma NPM dipandang sebagai pendekatan dalam administrasi publik dengan menerapkan pengetahun dan pengalaman yang diperoleh dari dunia bisnis dan disiplin lain untuk memperbaiki efektivitas, efisiensi, dan kinerja pelayanan publik pada birokrasi modern.
Ketika muncul pertama kali, NPM hanya meliputi lima doktrin, yaitu : (1) penerapan deregulasi pada line management; (2) konversi unit pelayanan publik menjadi organisasi yang berdiri sendiri; (3) penerapan akuntabilitas berdasarkan kinerja terutama melalui kontrak antara regulator dengan operator; (4) penerapan mekanisme kompetensi seperti melakukan kontrak (contracting out), dan (5) memperhatikan mekanisme pasar (market oriented).
Pelajaran penting yang dapat diambil dari NPM ini adalah bahwa pembangunan birokrasi harus memperhatikan mekanisme pasar, mendorong kompetisi dan kontrak untuk mencapai hasil, harus lebih responsif terhadap kebutuhan pelanggan, harus lebih bersifat mengarahkan (steering) dari pada menjalankan sendiri (rowing), harus melakukan deregulasi, memberdayakan para  pelaksana agar lebih kreatif, dan memekankan budaya organisasi yang lebih fleksibel, inovatif, berjiwa wirausaha dan pencapaian hasil ketimbang budaya taat asas, orientasi pada proses dan input (Rosenbloom & Kravchuck, 2005).
New Public Management (NPM) adalah konsep “payung”, yang menaungi serangkaian makna seperti desain organisasi dan manajemen, penerapan kelembagaan ekonomi atas manajemen publik, serta pola-pola pilihan kebijakan. Telah muncul sejumlah debat seputar makna asli dari NPM ini. Namun, di antara sejumlah perdebatan itu muncul beberapa kesamaan yang dapat disebut sebagai prinsip atau paradigm dari NPM, yang meliputi:
  1. Penekanan pada manajemen keahlian manajemen professional dalam mengendalikan organisasi;
  2. Standar-standar yang tegas dan terukur atas performa organisasi, termasuk klarifikasi tujuan, target, dan indikator-indikator keberhasilannya;
  3. Peralihan dari pemanfaatan kendali input menjadi output, dalam prosedur-prosedur birokrasi, yang kesemuanya diukur lewat indikator-indikator performa kuantitatif;
  4. Peralihan dari system manajemen tersentral menjadi desentralistik dari unit-unit sektor publik;
  5. Pengenalan pada kompetisi yang lebih besar dalam sektor publik, seperti penghematan dana dan pencapaian standar tinggi lewat kontrak dan sejenisnya;
  6. Penekanan pada praktek-praktek manajemen bergaya perusahaan swasta seperti kontrak kerja singkat, pembangunan rencana korporasi, dan pernyataan misi; dan
  7. Penekanan pada pemangkasan, efisiensi, dan melakukan lebih banyak dengan sumber daya yang sedikit.1
Penekanan pertama, yaitu keahlian manajemen professional, mensugestikan top-manager (presiden, menteri, dirjen) harus mengendalikan organisasi-organisasi publik secara aktif dengan cara yang lebih bebas dan fleksibel. Top-top manager ini tidak lagi berlindung atas nama jabatan, tetapi lebih melihat organisasi yang dipimpinnya sebagai harus bergerak secara leluasa bergantung pada perkembangan sektor publik itu sendiri. Sebab itu, para top manager harus punya skill manajerial professional dan diberi keleluasaan dalan memanage organisasinya sendiri, termasuk merekrut dan member kompensasi pada para bawahannya.
Lalu, penekanan pada aspek orientasi output menghendaki para staf bekerja sesuai target yang ditetapkan. Ini berbalik dengan OPM yang berorientasi pada proses yang bercorak rule-governed. Alokasi sumber daya dan reward atas karyawan diukur lewat performa kerja mereka. Juga, terjadi evaluasi atas program serta kebijakan dalam NPM ini.
Sebelum berlakunya NPM, output kebijakan memang telah menjadi titik perhatian dari pemerintah. Namun, perhatian atas output ini tidaklah sebesar perhatian atas unsure input dan proses. Ini akibat sulitnya pengukuran keberhasilan suatu output yang juga ditandai lemahnya control demokratis atas output ini. NPM justru menitikberatkan aspek output dan sebab itu menghendaki pernyataan yang jernih akan tujuan, target, dan indikator-indikator keberhasilan.
Orientasi New Public Management
            Secara khusus, NPM hendak mengukur apa yang sudah dilakukan oleh sektor publik pemerintah. Pengukuran salah satunya dilakukan atas kepuasan warganegara atas layanan yang diberikan pemerintah. Juga pelayanan yang melibatkan partisipasi publik meski dalam skala pasif saja.
Asumsi format demokrasi konvensional adalah input diyakini mampu mengontrol output sektor publik. Juga, input diyakini mampu menghasilkan program-program yang memang dibutuhkan masyarakat. Cara pandang NPM tampak relatif baru, tetapi sesungguhnya telah berlaku sekurang-kurang selama beberapa dekade. Pola-pola korporatisme negara, khususnya pluralisme korporatis di negara-negara Skandinavia (Swedia, Finlandia, Norwegia) juga memberi kesempatan bagi partisipasi politik di sisi output kebijakan (sektor publik) dan mampu melengkapi jenis partisipasi politik konvensional semacam voting dan pelibatan diri dalam partai politik.
Hasil yang diharapkan dari skema baru hubungan demokrasi dan birokrasi adalah, kontrol terhadap pejabat publik lebih terkonsentrasi di tingkat pelaksana. Bukan lagi di tingkat pemilihan calon pejabat tatkala pemilu. Namun, ini tentu tanpa mengabaikan penjagaan kualitas penyelenggaraan pemilu, termasuk caleg/capres.
            NPM ini telah mengalami berbagai perubahan orientasi menurut Ferlie, Ashbuerner, Filzgerald dan Pettgrew dalam Keban (2004 : 25), yaitu:
     1.  Orientasi The Drive yaitu mengutamakan nilai efisiensi dalam pengukuran kinerja.
     2. Orientasi Downsizing and Decentralization yaitu mengutamakan penyederhanaan struktur, memperkaya fungsi dan mendelegasikan otoritas kepada unit-unit yang lebih kecil agar dapat berfungsi secara cepat dan tepat.
     3. Orientasi in Search of Excellence yaitu mengutamakan kinerja optimal dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
     4. Orientasi Public Service yaitu menekankan pada kualitas, misi dan nilai-nilai yang hendak dicapai organisasi publik, memberikan perhatian yang lebih besar kepada aspirasi, kebutuhan dan partisipasi “user” dan warga masyarakat, termasuk wakil-wakil mereka menekankan “social learning” dalam pemberian pelayanan publik dan penekanan pada evaluasi kinerja secara berkesinambungan, partisipasi masyarakat dan akuntabilitas.
Karakteristik Public Management
      M.Minougue (2000) paling tidak menyebut adanya 5 karakteristik utama Public Management, yaitu:
1. A separation of strategic policy from operational management. Public management lebih banyak terkait dengan tugas-tugas operasional pemerintahaan dari pada peran perumusan kebijakan.
     2. A concern with results rather than process and procedure. Public management lebih berkonsentrasi pada upaya mencapai tujuan daripada upaya berkutat dengan proses dan prosedur. 3. An orientation the needs of customer rather than those of bureaucratic organizations. Public management lebih banyak berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pelanggan dari pada kebutuhan birikrasi.
     4. A withdrawal from direct service provision in favour of a steering or enabling role. Public management menghindarkan diri dari berperan memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sesuai dengan peran nutamanya memberikan arahan saja atau pemberdayaan kepada masyarakat.
     5. A trans formed bureaucratic culture/ A change to entrepreneurial management culture. Public management mengubah diri dari budaya birokrasi.
Menurut C.Hood (1991) terdapat 7 karakteristik New Public Management, yaitu:
     1. Hands-on professional management. Pelaksanaan tugas manajemen pemerintahaan diserahkan kepada manajer professional.
     2. Explicit standards and measures of performance. Adanya standar dan ukuran kinerja yang jelas.
     3. Greater emphasis on out put controls. Lebih ditekankan pada control hasil/keluaran.
     4. A shift to desegregations of units in the public sector. Pembagian tugas ke dalam unit-unit yang dibawah.
     5. A shift to greater competition in the public sector. Ditumbuhkannya persaingan ditubuh sektor publik.
     6. A stress on private sectore styles of management practice. Lebih menekankan diterapkannya gaya manajemen sektor privat.
     7. A stress on greater discipline and parsimony in resource use. Lebih menekankan pada kedisiplinan yang tinggi dan tidak boros dalam menggunakan berbagai sumber. Sektor publik seyogjanya bekerja lebih keras dengan sumber-sumber yang terbatas (to do more with less).
Arah Public Management
      Dalam rangka meningkatkan kinerja sektor publik. Public management diarahkan kegiatannya pada:
     1.  Melakukan restrukturisasi sektor publik lewat proses privatisasi.
     2.  Melakukan restrukturisasi dan merampingkan struktur dinas sipil di pusat.
     3. Memperkenalkan nilai-nilai persaingan khususnya lewat pasar internal dan mengkontrakkan pelayanan public kepada pihak swasta dan intervensi oleh pemerintah.
     4.  Meningkatkan efisiensi lewat pemeriksaan dan pengukuran kinerja.
Tujuan Public Management
      Tujuan dari Public Management adalah:
     1. Menurut Rainey (1990): ‘public management aims to achieve skills and improve skills and improve accountability’ Manajemen publik itu ditujukan untuk meningkatkan tercapainya tujuan sektor publik (lebih efektif dan efisien), pegawainya lebih berkeahlian dan lebih mampu mempertanggungjawabkan kinerjanya.
     2.  Menurut Graham & Hays (1991): “public managemen are concerned with efficiency,accountability,goal achlevement and dozen of other managerial and technical question”, Manajemen publik itu bertujuan untuk menjadikan sector public lebih efisien, akuntabel, dan tujuannya tercapai serta lebih mampu menangani berbagai masalah manajerial dan teknis.
Tahap Perkembangan Public Management
Paling tidak ada empat tahap perkembangan manajemen publik disebuah negara maju (Inggris) yang meliputi:
            1. The Minimal State
Negara mini, atau peran pemerintah paling minimal, merupakan perkembangan tahap awal dari manajemen publik. Menurut Owen (1965) pelayanan sectok publik di Ingggis mayoritas diletakkan pada sektor karitas (charitable sector) atau penyediaan pelayanan oleh sektor swasta. Minimal state bukan berarti tidak ada peran negara sama sekali. Dulu memang penyediaan dan pelayanan atas barang dan jasa publik itu adalah merupakan prinsip dasar dalam administrasi publik.
2. Unequal Partnership between Government and The Charitable and Private Sectors.
Dimulai pada abad ke 20 yang ditandai dengan perubahan ideologi dari konservatisme tradisional dari abad ke 19 menuju reformisme social di abad ke 20 yang berisi tiga unsur:
     a. Bahwa masalah sosial dan ekonomi tidak lagi difokuskan pada isi individual tetapi pada isu sosial yang menyangkut setiap orang.
     b. Adanya pengakuan bahwa negara punya peran penting paling sedikit dalam penyediaan pelayanan kepada publik.
     c. Bahwa dimana negara tidak dapat menyediakan pelayanan kepada public maka sektor karitas dan swasta diundang sebagai upaya kemitraan.
            3. The Welfare State
Model ini berjalan antara tahun 1945-1980, yang melandasi adalah keyakinan bahwa penyediaan pelayanan yang dilaksanakan oles sector karitas dan swasta telah gagal karena adanya fragmentasi dan duplikasi peran penyedia pelayanan, serta adanya ketidak efisienan dan keefektifan pengelolaan pelayanan kepada publik. Konsekuensinya, semua kebutuhan akan pelayanan public ditangani oleh pemerintah mulai dari yang sederhana sampai yang besar. Pelayanan ini dikelola oleh para kader professional dari dinas publik dengan cara yang profesional dan objektif.
4. The Plural State
Model ini berjalan sejak tahun 1970an sampai sekarang, dimana partai konservatif di inggris mulai melontarkan kritik atas konsep ngara kesejahteraan yag dinilai tidak mampu memberikan kepuasan pada warganya. Yang menjadi acuan utama model plural state adalah karena model ini dinilai terlampau memusatkan diri pada nilai-nilai ekonomi dan pemotongan anggaran daripada penyediaan pelayanan yang efektif dan melebihkan superioritas sekor swasta serta teknik manajemen swasta diatas kemampuan sekor publik dan administrasi publik.
            Perkembangan manajemen publik paling tidak dipengaruhi oleh beberapa pandangan yaitu:.
     1. Manajemen Normatif
Menggambarkan apa yang sebaiknya dilakukan oleh seorang manajer dalam proses manajemen.
2. Manajemen Deskriptif
Menggambarkan apa yang kenyataan yang dilakukan oleh manajer ketika menjalankan tugasnya.
3. Manajemen Stratejik
Menggambarkan suatu cara memimpin organisasi untuk mencapai misi, tujuan dan sasaran.
4. Manajemen Publik
Menggambarkan apa yang sebaiknya dilakukan dan senyatanya pernah dilakukan oleh para manajer public di instansi pemerintah.
5. Manajemen Kinerja
Mengganbarkan bagaimana merancang untuk meningkatkan kinerja organisasi
Public Management vs Governance
Tema sentral dalam manajemen public adalah upaya mereformasi sector public agar tujuan padat dicapai lebih efektif,efesien dan ekonomis,semata-mata hanya menunjukan kepada kita tentang hubungan antara Negara (the state) dan pasar (the market) dan tekanan lebih eksplisit ditujukan pada adanya dominasi preferensi individu terhadap penyediaan barang dan jasa atas preferensi kolektif. Kita perlu menyadari bahwa pemerintahan yang modern itu bukan hanya sekedar mencapai tujuan efisiensi tetapi tentang hubungan akuntabilitas terhadap Negara dengan warga Negara nya yaitu warga meminta agar tidak diperlakukan hanya sebagai konsumen dan pelanggan tetapi mereka juga memiliki hak untuk menuntut pemerintahannya bertanggung jawab atas tindakan yang diambil atau kegagalan dalam bertindak /melakukan sesuatu.
Warga Negara menghendaki pemberian pelayanan yang efisien ,pengenaan pajak yang rendah dsb,tetapi mereka juga menginginkan agar hak-haknya dilindungi,suaranya didengar,nilai-nilai dan preferensinya dihargai sanksi mutlak yang ada ditangan warga Negara atas rendahnya mutu pelayanan yang diperoleh adalah dengan menolak dan menuntut mundur kepada mereka yang secara politis bertanggung jawab atas penyediaan pelayanan yang bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan warga Negara. Penyediaan anggaran yang cukup,persaingan ,penetapan standar mutu kerja dsb. Mungkin dibutuhkan untuk mewujudkan manajemen yang baik dan pemanfaatan sumber-sumber yang efisien, tetapi bila upaya perbaikan ini menghasilkan pelayanan yang tidak sesuai dengan harapan warga,maka warga sebagai pemilih dalam pemilu akan berontak dan tidak memilih nya lagi.
Bagi warga Negara yang paling penting adalah terciptanya hukum yang adil dan ketertiban sosial, yang hal lain itu hanya bisa dilakukan oleh pemerintahan yang sah kuat. Istilah “Governance” merefleksikan proses penyelenggaraan pemerintah yang baik. Konsep “Governance” tidaklah dimaksudkan untuk menggantikan konsep “New Public Management”,akan tetapi lebih menekankan kesadaran kita bahwa pemerintahan yang baik itu adalah pemerintahan yang memenuhi 4 persyaratan utama yaitu:



1. Yang kuat legitiminasinya
2. Akuntabel
3. kompeten
4. Respek terhadap hukum dan hak-hak azasi manusia
Oleh karena itu “New Public Management” itu merupakan bagian dari strategi yang lebih luas tentang “Good Governance”. Teori penyelenggaraan pemerintahan (governance theory) didasarkan atas pandangan R.A.W.Rhodes,1996 dan G.Stoker,(1998)
Perbedaan Makna Government dan Governance
GOVERNMENT berbeda pemaknaannya dengan GOVERNANCE . Menurut Stoker istilah ’government’ menunjukan pada :
- the formal institutions of state,
- monopoly of legitimate coercive power,
- its ability to make decisions and its capacity to enforce them,
- the formal and institutional processes which operate at the level of the nation state to maintain public order and facilicate collective action.
Selanjutnya menurut Rhodes,istilah ‘governance’ menunjukan pada:
- a chance in the meaning of government
- referring a new process of governing
- a changed condition of ordered rule
- the new method by which society is governed.


Stoker memandang perbedaan government dan governance hanya pada prosesnya (styles of governing) bukan pada outputnya. Akhirnya Stoker dan pakar yang lainnya setuju untuk menyatakan bahwa: “Governance itu menunjukan pada pengembangan gaya menjalankan pemerintahan dalam mana antara sektor publik dan privat telah menjadi kabur. Esensi governance pada fokusnya yaitu mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang tidak lagi tergantung pada bantuan dan sanksi dari pemerintah “.”Konsep governance lebih tertuju pada kreasi suatu struktur atau tertib yang tidak dapat diimposisikan keluar tetapi merupakan hasil dari interaksi banyak pihak yang ikut terlibat dalam proses pemerintahan dan mereka saling mempengaruhi satu sama lain”.(Kooiman dan Vliet,1993).
            Rhodes memandang paling tidak ada 6 istilah yang berbeda dalam memberi makna lonsep governance,yaitu :
- as the minimal state
- as corporate governance
- as the new public management,
- as ‘good governance’
- as a socio-cybernetic system,
- as self-organizing network.

Lima Proposisi konsep Good Governance
Pandangan Stoker tentang governance as theory,mengemukakan adanya 5 proposisi yang perlu dipertimbangkan dalam mengkaji konsep good governance,yaitu :
Proposisi I : Governanace refers to a set of institutions and actors that are drawn from but also beyond government.
Penyelengaraan pemerintahan yang baik perlu memanfaatkan seperangkat institusi dan actor yang baik dari dlam maupun dari luar burokrasi pemerintah. Pemerintah perlu membuka pintu dan tidak alergi atau curiga terhadap ekstensi pelbagai macam institusi dan actor diluar institusi pemerintah,bahkan sebalikmya hal itu bisa dimanfatkan sebagai komponen penguat dalam mencapai tujuan bersama.
Proposisi II : Governance recognizes the blurring of boundaries and responbilities for tacking social and economics issues



Penyelenggaraan pemerintah yang baik tidak memungkinkan lagi terjadinya tritomi peran sektor pertama (eksekutif dan legislatif); sektor kedua(swasta)dan sektor ketiga (masyarakat) dalam menangani masalah sosial ekonomi, karena peran tersebut sekarang sudah demikian kabur. Peran ketiga sector tersebut seyogyanya sudah menyatu dan padu karena mereka punya kepentingan dan komitmen yang sama tingginya untuk mengatasi masalah-masalah sosial-ekonomi tersebut.
Proposisi III : Governance identifies the power dependence involved in the relationship between institutions involved in collective action
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik mengakui adanya saling ketergantungan diantara ketiga faktor tersebut diatas dalam peran bersama untuk mengatasi masalah social-ekonomi. Tujuan masyarakat kesejahteraan hidup masyarakat tidak membutuhkan lagi satu kekuatan manapun yang dominan yang melebihi perannya atas yang lain , melainkan semuanya berinteraksi dan berinterrelasi serta punya akses yang sama dalam berpatisipasi dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat
Proposisi IV : Governance is about autonomous self governing network of actors.
Penyelenggaaan pemerintahan yang baik merupakan jaringan kerja antar actor dari ketiga kekuatan yang menyatu dalam suatu ikatan yang otonom dan kuat. Ketiga actor tadi akan menjadi kekuatan yang solid dan dahsyat bila mereka bersedia memberikan dan menerima kontribusi baik sumber-sumber, keahlian, kepentingan maupun tujuan-tujuan bersama yang diinginkan.
Proposisi V : Governance recognizes the capacity to get things done which does not rest on the power of government to commandor use its authority. It sees government as able to use new tools and techniques to steer and guide.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak perlu semata-mata menggantungkan diri pada arahan, petunjuk dan otoritas pemerintah tetapi juga kemampuan untuk memanfaatkan sarana dan teknik pemerintahan dari sektor non-pemerintah untuk merumuskan , melaksanakan dan mengevaluasi kebijakan yang baik dan benar.
            Kelima proposisi tersebut diatas walaupun mempunyai nilai dan arti yang cukup tinggi namun untuk bisa diterapkan secara efektif masih perlu diuji tingkat signifikannya.


Kesimpulan
Public Management dapat diartikan sebagai bagian yang sangat penting dari administrasi publik (yang merupakan bidang kajian yang lebih luas), karena administrasi publik tidak membatasi dirinya hanya pada pelaksanaan manajemen pemerintahan saja tetapi juga mencakup aspek polotik, sosial, kultural, dan hukum yang berpengaruh pada lembaga-lembaga publik. Dan Public Management berkaitan dengan fungsi dan proses manajemen yang berlaku baik pada sektor publik (pemerintahan) maupun sektor diluar pemerintahan yang tidak bertujuan mencari untung (nonprofit sector).
New Public Management secara umum dipandang sebagai suatu pendekatan dalam administrasi publik yang menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dalam dunia manajemen bisnis dan disiplin yang lain untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas kinerja pelayanan publik pada birokrasi modern.
Bagi warga Negara yang paling penting adalah terciptanya hukum yang adil dan ketertiban sosial, yang hal lain itu hanya bisa dilakukan oleh pemerintahan yang sah kuat. Istilah “Governance” merefleksikan proses penyelenggaraan pemerintah yang baik. Konsep “Governance” tidaklah dimaksudkan untuk menggantikan konsep “New Public Management”,akan tetapi lebih menekankan kesadaran kita bahwa pemerintahan yang baik itu adalah pemerintahan yang memenuhi 4 persyaratan utama yaitu:
1. Yang kuat legitiminasinya
2. Akuntabel
3. kompeten
4. Respek terhadap hukum dan hak-hak azasi manusia
Oleh karena itu “New Public Management” itu merupakan bagian dari strategi yang lebih luas tentang “Good Governance”.



Daftar Pustaka
-          Dunn, William, N, 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta : Gajah mada University Press.
-          Abdul Wahab, Solikhin. Prof, 2008. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Malang : UMM Press.
-          King, C.S. and C. Stivers, 1998. Government is Us: Public Administration in an Anti-Government Era. Thopusand Oaks, CA: Sage.
-          Rosenbloom, David H., 1993. Public Administration, Understanding Management, Politics, and in the Publik Sector. New York: McGraw-Hill, Inc.
-          Vigoda, E.(Ed), 2001. From Responsivenes to Collaboration: Governance, Citizen, and the Next Generation of Publik Administration. Public Administration Review, 62, 527-540.
-          Kooiman, Jan (ed), 1993. Modern Governance: New Government Society Interactions. London : SAGE Publications.
-          Pasalong, Harbani. 2007. Teori Administrasi Publik. Makasar, Indonesia : ALFABETA.
-          Denhardt, J,V. and R.B. Denhardt, 2000. The New Public Service: Serving Rather Than Steering. Public Administration Review, Nov/Dec.60 6, 549-559.
____________, 2003. The New Public Servive: Serving Not Steering. Expanded Edition. New York : M.E. Sharpe.
-          Osborne, David and Gaebler, 1992. Reinventing Government (How the Enterpreneurial Spirit is Transforming to the Public Sector). Harvard University Press.
-          Osborne, avid and Peter Plstrik, 1997. Banishing Bureucracy. The Five Strategies for Reinventing Government. Reading, MA: Harvad University Press.

Comments

Popular posts from this blog

Teori Elit dalam Kebijakan Publik

ELIT DAN KEBIJAKAN : TINJAUAN TEORITIS TENTANG MODEL ELIT DALAM MEMAHAMI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK Oleh : Iwan Ismi Febriyanto Abstract             In the analysis of public policy, of course, there are some models that can be used to focus on one subject of public policy itself. That is, before we alone make this a great and sturdy construction, of course, we must have a clear model. That is the reason why public policy analysis models are crucial in making or analyzing public policy. There are several models in the classification of policy analysis. However, here the author would like to focus on Elite Model Theory in the analysis of public policy. To find out how political institutions operate, how decisions are made then the informant's most relevant is the political elite. Elite is defined as "those that relate to, or have, an important position." Political elite to do with how power affects the person's public policy making. Here the role of the

TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT

DIALEKTIKA KEBIJAKAN PUBLIK : “STUDI KOMPARASI TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT DENGAN GOOD GOVERNANCE DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK” Oleh: Iwan Ismi Febriyanto Abstract Public sector organizations are often described unproductive, inefficient, always loss, low quality, poor innovation and creativity, as well as many other critics. The emergence of strong criticism directed at public sector organizations will then cause the movement to reform public sector management. One of the public sector reform movement is the emergence of the concept of New Public Management (NPM). The concept of new public management was initially introduced by Christopher Hood in 1991. When viewed from a historical perspective, modern management approaches in the public sector at first appear in Europe in the 1980s and 1990s as a reaction to the inadequacy of the traditional model of public administration. NPM emphasis at that time was the implementation of decentralization, devolution, and the m

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme Analisis Mengenai Pengaruh dan Implementasinya dalam Kondisi Politik di Suatu Negara Oleh : Iwan Ismi Febriyanto BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG             Ideologi merupakan hal yang paling krusial dalam sejarah maupun masa depan kehidupan manusia, terutama dalam bidang politik dan ekonomi. Bagaimana ideologi mempunyai peran sebagai dasar maupun pijakan yang digunakan oleh suaru kelompok sebagai panutan dari apa yang akan dilakukannya kedepan. Kata ideologi sendiri pertama kali dikembangkan dan diperkenalkan oleh seorang filsuf dari negara Perancis yang bernama Antonie Destutt de Tracy di masa Revolusi Perancis. Antony Downs (1957:96) mengatakan bahwa ideology merupakan seperangkat asumsi dasar baik normatif maupun empiris mengenai sifat dan tujuan manusia atau masyarakat agar dapat dipakai untuk mendorong serta mengembangkan tertib politik.