Skip to main content

KONSTITUSI DAN KEDAULATAN RAKYAT


KONSTITUSI DAN KEDAULATAN RAKYAT
Memahami Dasar Hukum Bangsa Kita yang Berdiri diatas Kedaulatan Rakyat
Oleh: Iwan Ismi Febriyanto


            Berbicara tentang hakikat hidup berbangsa dan bernegara, ada beberapa isu mendasar yang perlu diperhatikan, yaitu faham kebangsaan, kemanusiaan, negara hukum atau negara kekuasaan, keadilan sosial, dan kedaulatan rakyat. Untuk memahami persoalan mendasar tersebut, kita acap membutuhkan tuntunan pemikiran dari para filosof. Kita kenal Plato dengan faham negara yang harus dipimpin oleh filosof, Thomas Aquinas yang menyatakan bahwa wewenang negara hilang apabila bertindak menyalahi hukum kodrat. Selain itu, ada Hobbes yang mengharapkan keselamatan manusia dari negara dengan kekuasaan mutlak, Locke yang mengajarkan faham negara konstitusional, Hegel yang mendewakan negara, Marx yang mengkritik negara kelas, sampai pada Stuart Mill yang sadar akan bahaya diktatur massa dalam demokrasi modern.
Kedaulatan Rakyat
            Kedaulatan rakyat berarti bahwa yang berdaulat terhadap rakyat hanyalah rakyat sendiri. Tak ada orang atau kelompok yang berhak untuk meletakan hukumnya pada rakyat. Hukum hanya sah bila ditetapkan oleh kehendak rakyat. Faham kedaulatan rakyat adalah penolakan terhadap faham
hak raja atau golongan atas untuk memerintah rakyat. Juga, penolakan terhadap anggapan bahwa ada golongan-golongan sosial yang secara khusus berwenang untuk mengatur rakyat. Rakyat adalah satu dan memimpin dirinya sendiri. Akan tetapi pertanyaan berikutnya adalah: yang manakah kehendak rakyat itu? Bukankah rakyat adalah ratusan juta individu (di Indonesia) yang masing-masing punya kemauan dan jarang sekali atau tak pernah mau bersatu?       Rousseau menjawab pertanyaan ini dengan teori Kehendak Umum. Menurut teori ini: sejauh kehendak manusia diarahkan pada kepentingan sendiri atau kelompoknya maka kehendak mereka tidak bersatu atau bahkan berlawanan. Tetapi sejauh diarahkan pada kepentingan umum, bersama sebagai satu bangsa, semua kehendak itu bersatu menjadi satu kehendak, yaitu kehendak umum. Kepercayaan kepada kehendak umum dari rakyat itu lah yang menjadi dasar konstruksi negara dari Rousseau. Undang-undang harus merupakan ungkapan kehendak umum itu.
Konstitusi dan Kedaulatan Rakyat
            Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, rakyat Indonesia telah memiliki UUD'45 yang ditetapkan sebagai konstitusi negara Indonesia. Suasana yang tidak kondusif dalam pembuatan konstitusi tersebut, akibat banyaknya kompromi yang harus dilakukan dengan penguasa militer Jepang serta keterbatasan waktu, menyebabkan konstitusi yang dihasilkan banyak mengandung kelemahan. Kelemahan tersebut bukannya tidak disadari oleh para pemimpin bangsa. Bung Karno yang turut serta dalam penyusunan UUD'45 dengan jelas mengatakan bahwa UUD'45 adalah UUD kilat yang harus disempurnakan nantinya. Namun adanya keinginan kuat dari para pemimpin bangsa dan rakyat untuk mendirikan sebuah negara Indonesia berdaulat, mensyaratkan sebuah konstitusi dari negara Indonesia. Untuk itulah, UUD'45 dengan segala ketidaksempurnaannya diterima dengan gembira oleh para pemimpin bangsa dan seluruh rakyat Indonesia.
Adalah suatu hal yang lazim dipahami bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau selanjutnya disebut UUD 1945 saja menganut ajaran kedaulatan rakyat meskipun lazim pula para ahli hukum Tata Negara yang menyatakan bahwa selain ajaran kedaulatan rakyat juga terdapat ajaran kedaulatan lain dalam UUD 1945, misalnya Ismail Sunny yang menyatakan bahwa UUD 1945 menganut tiga ajaran kedaulatan sekaligus yaitu ajaran kedaulatan tuhan, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan hukum.[1] Hal ini secara tegas dirumuskan dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dalam proses perubahan UUD 1945 terjadi pergulatan pemikiran tentang gagasan kedaulatan rakyat.
Pergulatan pemikiran tersebut berujung dengan diubahnya ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Awalnya, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Kemudian diubah pada saat perubahan ketiga UUD 1945 sehingga rumusannya menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
MPR yang pada mulanya dipahami sebagai pemegang mandat sepenuhnya dari rakyat atau pemegang kedaulatan rakyat yang tertinggi,55 bergeser ke arah pemahaman bahwa MPR tidak lagi sebagai pemegang mandat tunggal yang tertinggi, melainkan mandat itu dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar.
Dengan demikian, mandat rakyat dijalankan oleh cabang-cabang kekuasaan negara berdasarkan UUD, termasuk oleh MPR sebagai salah satu lembaga penyelenggara kekuasaan negara. Alasan perubahan ini menurut Jimly Asshiddiqie dikarenakan rumusan Pasal 1 Ayat (2) sebelum perubahan memuat ketentuan yang tidak jelas, dengan adanya ungkapan “…dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” maka ada yang menafsirkan bahwa hanya MPR sajalah yang melakukan kedaulatan rakyat sehingga DPR yang merupakan wakil rakyat dipandang tidak melaksanakan kedaulatan rakyat. Perubahan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 ini menunjukan terjadinya perubahan gagasan yang begitu mendasar tentang kedaulatan rakyat dalam UUD 1945. Terjadi pergeseran yang sangat fundamental tentang siapa sebenarnya yang bertindak sebagai pemegang supremasi atau kekuasaan tertinggi. Sebagaimana dikemukakan Soewoto Mulyosudarmo, perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 merupakan perubahan menuju sebuah kondisi yang mencerminkan keadaan yang sebenarnya tentang pengaturan kekuasaan tertinggi. Di mana pemilik kekuasaan tertinggi dalam negara adalah rakyat yang pelaksanaannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar.
Dari beberapa penjelasan yang telah penulis sampaikan diatas, maka bisa kita tarik bahwa ini dari permasalahan kedaulatan rakyat dalam konstitusi kita masih nol besar. Secara konsepsi demokrasi, memang segala bentuk jenis pengambilan keputusan berada di tangan rakyat. Namun terjadi masalah ditataran implementasi. Banyak dari wakil-wakil rakyat dipemerintahan yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagai instrument dari mekanisme kedaulatan rakyat tersebut. Demokrasi kita hari ini hanya diartikan sebagai demokrasi prosedural, dan tidak memerhatikan segi substansial dari konsepsi demokrasi. Kita terlalu disibukkan dengan kalimat “asal sesuai prosedur”. Mainstream seperti inilah yang nyatanya harus dirubah dari pola pikir masyarakat kita hari ini. Bahwa demokrasi bukan hanya dijadikan ajang mencari keuntungan, tapi lebih dari itu, demokrasi seharusnya merupakan serangkaian konsep tentang tata pemerintahan yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat didalamnya.


DAFTAR PUSTAKA
-          Asshidiqie, Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, 2009
-          Noer, Deliar (1997). Pemikiran Politik di Negeri Barat. Mizan Media Utama. Bandung, Indonesia.



[1] Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya Di
Indonesia:Pergeseran Keseimbangan Antara Individualisme Dan Kolektivisme Dalam Kebijakan Demokrasi Politik Dan Demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi,1945-1980-an, Disertasi Pada Fakultas Pasca
Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 61.


Comments

Popular posts from this blog

Teori Elit dalam Kebijakan Publik

ELIT DAN KEBIJAKAN : TINJAUAN TEORITIS TENTANG MODEL ELIT DALAM MEMAHAMI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK Oleh : Iwan Ismi Febriyanto Abstract             In the analysis of public policy, of course, there are some models that can be used to focus on one subject of public policy itself. That is, before we alone make this a great and sturdy construction, of course, we must have a clear model. That is the reason why public policy analysis models are crucial in making or analyzing public policy. There are several models in the classification of policy analysis. However, here the author would like to focus on Elite Model Theory in the analysis of public policy. To find out how political institutions operate, how decisions are made then the informant's most relevant is the political elite. Elite is defined as "those that relate to, or have, an important position." Political elite to do with how power affects the person's public policy making. Here the role of the

TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT

DIALEKTIKA KEBIJAKAN PUBLIK : “STUDI KOMPARASI TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT DENGAN GOOD GOVERNANCE DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK” Oleh: Iwan Ismi Febriyanto Abstract Public sector organizations are often described unproductive, inefficient, always loss, low quality, poor innovation and creativity, as well as many other critics. The emergence of strong criticism directed at public sector organizations will then cause the movement to reform public sector management. One of the public sector reform movement is the emergence of the concept of New Public Management (NPM). The concept of new public management was initially introduced by Christopher Hood in 1991. When viewed from a historical perspective, modern management approaches in the public sector at first appear in Europe in the 1980s and 1990s as a reaction to the inadequacy of the traditional model of public administration. NPM emphasis at that time was the implementation of decentralization, devolution, and the m

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme Analisis Mengenai Pengaruh dan Implementasinya dalam Kondisi Politik di Suatu Negara Oleh : Iwan Ismi Febriyanto BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG             Ideologi merupakan hal yang paling krusial dalam sejarah maupun masa depan kehidupan manusia, terutama dalam bidang politik dan ekonomi. Bagaimana ideologi mempunyai peran sebagai dasar maupun pijakan yang digunakan oleh suaru kelompok sebagai panutan dari apa yang akan dilakukannya kedepan. Kata ideologi sendiri pertama kali dikembangkan dan diperkenalkan oleh seorang filsuf dari negara Perancis yang bernama Antonie Destutt de Tracy di masa Revolusi Perancis. Antony Downs (1957:96) mengatakan bahwa ideology merupakan seperangkat asumsi dasar baik normatif maupun empiris mengenai sifat dan tujuan manusia atau masyarakat agar dapat dipakai untuk mendorong serta mengembangkan tertib politik.