PERUBAHAN
SOSIAL DALAM PERSPEKTIF TEORI MODERNISASI
Analisis
konsep perubahan sosial dalam perspektif teori modernisasi
Oleh : Iwan Ismi Febriyanto
Secara
epistemologis, teori modernisasi merupakan campuran antara pemikiran
fungsionalisme struktural dengan pemikiran behaviorisme kultural Parsonian.
Para pendukungnya memandang bahwa masyarakat bakal berubah secara linier, yaitu
perubahan yang selaras, serasi dan seimbang dari unsur masyarakat paling kecil
sampai ke perubahan masyarakat keseluruhan; dari tradisisonal menuju modern.
Pandangan teori modernisasi semacam itu diilhami oleh pengalaman sejarah
Revolusi Industri di Inggris yang dianggap sebagai titik awal pertumbuhan
ekonomi kapitalis modern dan Revolusi Perancis sebagai titik awal pertumbuhan sistem
politik modern dan demokratis.
Latar Belakang
Munculnya Teori Modernisasi
Pertama, setelah munculnya Amerika
Serikat sebagai negara adikuasa dunia. Pada tahun 1950-an Amerika Serikat
menjadi pemimpin dunia sejak pelaksanaan Marshall Plan[1]
yang diperlukan membangun kembali Eropa Barat setelah Perang Dunia Kedua.
Kedua, pada saat yang sama terjadi perluasan komunisme di
seantero jagad. Uni Soviet memperluas pengaruh politiknya sampai di Eropa Timur
dan Asia, antara lain di Cina dan Korea. Hal ini mendorong Amerika Serikat
untuk berusaha memperluas pengaruh politiknya selain Eropa Barat, sebagai salah
satu usaha membendung penyuburan ideologi komunisme.
Ketiga, lahirnya negara-negara baru di Asia, Afrika, dan
Amerika Latin, yang sebelumnya merupakan wilayah koloni negara-negara Eropa dan
Amerika. Negara-negara tersebut mencari model-model pembangunan yang bisa
digunakan sebagai contoh untuk membangun ekonominya dan mencapai kemerdekaan
politiknya. Dalam situasi dunia seperti ini bisa dipahami jika elit politik
Amerika Serikat memberikan dorongan dan fasilitas bagi ilmuwan untuk
mempelajari permasalahan Dunia Ketiga. Kebijakan ini diperlukan sebagai langkah
awal untuk membantu membangun ekonomi dan kestabilan politik Dunia Ketiga,
seraya untuk menghindari kemungkinan jatuhnya negara baru tersebut ke pangkuan
Uni Soviet.
Kontribusi Teori Modernisasi terhadap
Perubahan Sosial
Dari latar belakang maupun sedikit
pengertian yang telah penulis jelaskan diatas, bahwa ada beberapa singkronisasi
mengenai fenomena perubahan sosial yang terjadi di masyarakat dengan teori
modernisasi. Setelah pada pertemuan sebelumnya kita membahas tentang teroi
perubahan sosial dengan perspektif dialektika oleh Marx, maka bisa ditemukan
titik temu dari hubungan antara teori modernisasi dengan perubahan sosial yang
ada dimasyarakat.
Teori modernisasi berasal
dari konsep-konsep dan metafora yang diturunkan dari teori evolusi yang arah
geraknya searah, linear, progresif dan perlahan-lahan. Modernisasi juga dapat
dikatakan sebagai proses homogenisasi dan terkadang mewujud dalam bentuk
lahirnya sebagai proses Eropanisasi atau Eropanisasi, yang mengindikasikan
bahwa modernisasi sama dengan Barat. Teori modernisasi juga berasal dari pola
pikir teori fungsionalisme yang menekankan keterkaitan dan ketergantungan
lembaga sosial, pentingnya variable kebakuan dan pengukur dalam sistem budaya,
dan adanya kepastian keseimbangan dinamis stasioner dari perubahan sosial.
Modernisasi dianggap sebagai proses sistematik, transformasi, dan immanent (terus-menerus).
Teori ini menganggap bahwa Negara terbelakang (Underdevelop
countries) akan mengambil langkah yang sama seperti langkah Negara maju
sehingga menjadi Negara berkembang melalui proses modernisasi. Mereka
menganggap negara non Barat adalah negara terbelakang. Teori ini berpandangan
bahwa masyarakat-masyarakat yang belum berkembang perlu megatasi masalah
sehingga dapat mencapai tahap tinggal landas (take off).
Artinya, teori modernisasi ini juga bisa disebut sebagai
salah satu indikator yang termasuk kedalam fenomena perubahan sosial yang
terjadi dimasyarakat. Bagaimana teori ini mengajarkan masyarakat untuk
berkembang dari bidang sosial, ekonomi, maupun politik yang telah ada
sebelumnya. Adapaun proses dari implikasi teori modernisasi ini juga bisa lewat
kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah. Misalnya dalam bidang
ekonomi dan pembangunan.
Kritik Terhadap Teori
Modernisasi
Model
pembangunan tersebut percaya melalui efek tetesan ke bawah (trickle down
effect), yakni bila terjadi akumulasi kapital di kalangan kelas atas atau
pusat, maka kapital itu akan menetes ke bawah. Orang-orang di bawah akan
“kecipratan” kekayaan ini, misalnya dalam bentuk lapangan kerja yang
diciptakan. Macam-macam konsumsi orang kaya juga akan memberikan penghasilan
bagi orang-orang di lapisan bawah. Karena itu lewat mekanisme semacam itu pula
perbaikan hidup rakyat pedesaan, yang mayoritas miskin, diharapkan dapat
terwujud. Peter Hagul misalnya mencatat: “Perbaikan taraf hidup rakyat di
pedesaan, seperti halnya perbaikan hidup rakyat pada umumnya mula-mula
diharapkan dari pembangunan ekonomi negara secara keseluruhan.
Namun sejarah menunjukkan bahwa “trickle down effect” tidak
mampu mengangkat kesejahteraan penduduk miskin. Suatu studi komprehensif antar
bangsa yang meliputi 74 negara yang dilakukan oleh Adelman dan Morris (1978),
menunjukkan bahwa kenaikan GNP cenderung diikuti oleh suatu penurunan dalam
proporsi relatif pendapatan nasional yang diterima penduduk termiskin. Dengan
demikian efek tetesan ke bawah tidak terjadi. Sebaliknya, yang terjadi justru
penyedotan ke atas (trickle-up ef-fect) atau malahan akan terjadi penyedotan
produksi (production squeeze). Hal ini terjadi karena program-program
pembangunan direncanakan secara terpusat (top down), yang seringkali tidak
sesuai dengan masalah-masalah yang dihadapi dan kebutuhan-kebutuhan yang
dirasakan oleh masyarakat bawah yang menjadi tujuan pembangunan. Selain itu
para perencana dan penentu kebijakan yang menggariskan sasaran pembangunan dan
mengalokasikan sumber dana sering berada di bawah tekanan situasi untuk
memprodusir hasil kuantitatif dalam waktu yang singkat, sehingga mereka condong
menekankan sasaran-sasaran dari atas.
David Korten memberikan analisis pendekatan pembangunan yang
berpusat pada pertumbuhan sebagai berikut:
- Pertama, industri dan bukan pertanian, padahal mayoritas penduduk dunia memperoleh mata pencaharian mereka dari pertanian;
- Kedua, daerah perkotaan dan bukan daerah pedesaan, padahal mayoritas penduduk tinggal di daerah pedesaan;
- Ketiga, pemilikan aset produktif yang terpusat, dan bukan aset produktif yang luas, dengan akibat investasi-investasi pembangunan lebih menguntungkan kelompok yang sedikit dan bukannya yang banyak;
- Keempat, penggunaan modal yang optimal dan bukan penggunaan sumberdaya modal yang optimal, dengan akibat sumberdaya modal dimanfaatkan sedangkan sumberdaya manusia tidak dimanfaatkan secara optimal;
- Kelima, pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan untuk mencapai peningkatan kekayaan fisik jangka pendek tanpa pengelolaan untuk menopang dan memperbesar hasil-hasil sumberdaya ini, dengan menimbulkan kehancuran lingkungan dan pengurasan basis sumberdaya alami secara cepat;
- Keenam, efisiensi satuan-satuan produksi skala besar yang saling tergantung dan didasarkan pada perbedaan keuntungan internasional, dengan meninggalkan keanekaragaman dan daya adaptasi dari satuan-satuan skala kecil yang diorganisasi guna mencapai swadaya lokal, sehingga menghasilkan perekonomian yang tidak efisien dalam hal energi, kurang daya adaptasi dan mudah mengalami gangguan yang serius karena kerusakan atau manipulasi politik dalam bagian sistem itu.
[1] Marshall
Plan adalah suatu program unilateral
berencanayang dilakukan untuk membantu dan membangun kembali
ekonomi Negara lain, khususnya Eropa pada saat itu.
Comments