Distribusi Kekuasaan di Indonesia
“Analisis model distribusi
kekuasaan dalam sistem pemerintahan di Indonesia dengan teori struktural
funggsional”
Oleh:
Iwan Ismi Febriyanto
Kekuasaan
dalam masyarakat yang menjadi sentral pembahasan dan kajian sosiologi politik
menuntut pemahaman menyeluruh mengenai struktur Politik dalam sebuah
masyarakat. Asumsi ini kami tarik dari gagasan yang diajukan Maurice Duverger
yang menyatakan bahwa “Pada hakikatnya berkisar pada tema dua wajah kekuasaan,
yaitu baik sebagai penindas maupun sebagai integrator“.(Maurice D,2007:31) Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa
kajian awal adalah bagaiman memetakan kelompok atau kepentingan penindas dan
integrator. Sehingga secara tidak langsung bagian yang harus disentuh pertama
kali adalah struktur-sturktur politik yang ada didalamnya.
Fenomena-fenomena
politik terjadi dan berlangsung dalam berbagai jenis masyarakat manusia. Mulai
dari masyarakat tradisional hingga masyarakat modern, masyarakat yang terbuka
hingga masyarakat yang tertutup, masyarakat desa hingga masyarakat
internasional. Singkatnya semua kelompok masyarakat mengalami sebuah fenomena
yakni fenomena politik (kekuasaan).
Sedangkan untuk memahami struktur politik didalam sebuah masyarakat, sebagaimana yang telah dikutip diatas, ada dua sudut pengelompokan dalam pemetaan komponen-komponen struktur, yakni antagonisme dan Integrasi.
Sedangkan untuk memahami struktur politik didalam sebuah masyarakat, sebagaimana yang telah dikutip diatas, ada dua sudut pengelompokan dalam pemetaan komponen-komponen struktur, yakni antagonisme dan Integrasi.
Gagasan-gagasan
tersebut menegaskan bahwa persoalan struktur politik dalam sebuah masyarakat
adalah persoalan yang komplek dan menuntut pembahasan yang utuh dalam
memahaminya. Inilah yang kemudian menarik hati para penyusun untuk mencoba
mendeskripsikan dan mengeksplanasikan
struktur politik dan fenomena-fenomena yang terjadi didalamnya untuk
kemudian mencoba untuk menawarkan kontruksi bangunan teori dalam memahami
struktur politik sebuah masyarakat. Namun, dalam hal ini, penulis ingin lebih
menekankan pusat perhatiannya kepada fenomena kekuasaan yang terjadi dalam
suatu negara, yang mana seperti ketahui bahwa setiap negara pasti ada hubungannya
dengan kekuasaan. Yang mana kajian kita kali ini akan penulis fokuskan pada
konteks keindonesiaan. Ada beberapa segmentasi menarik yang kita bahas nanti,
yaitu tentang bagimanakah proses produksi, distribusi, dan juga reproduksi
kekuasaan yang terjadi dalam fenomena politik di Indonesia?
Sebagaimana
kita ketahui, bahwasannya Indonesia adalah salah satu negara yang menganut
sistem demokrasi, dimana dalam sistem demokrasi tentunya ada
pembagian-pembagian wilayah kekuasaan yang kemudian dikenal dengan istilah
desentralisasi kekuasaan. Dimana, setelah era reformasi bergulir ada banyak
sekali lembaga-lembaga pembantu yang kemudian dibentuk oleh pemerintah untuk
membangun sebuah sistem ketatanegaraan sebagai bentuk distribusi kekuasaan. Lalu,
dalam sistem demokrasi juga telah dikenal yang namanya PEMILU. PEMILU disini
bagi penulis sendiri lebih diartikan sebagai bentuk produksi kekuasaan, dimana
ini merupakan jalan maupun alat yang digunakan oleh para politisi dalam suatu
partai untuk menduduki posisi-posisi penting dalam lembaga-lembaga yang ada di
pemerintahan. Dan sebagaimana kita ketahui, bahwa Indonesia adalah salah satu
negara demokrasi yang menganut sistem multipartai sebagai bagian dari pilar
demokrasinya. Sejak awal ditetapkannya pemilihan Presiden langsung di tangan
rakyat, beberapa partai kemudian membentuk semamcam koalisi demi melanggengkan
satu calon yang akan digadang untuk kemudian maju sebagai calon presiden.
Dan
disinilah salah satu awal mula munculnya proses reproduksi kekuasaan, dimana nantinya
akan ada pembagian jatah untuk masing-masing wakil dari partai yang berkoalisi
untuk menduduki posisi-posisi penting dalam struktur kepemerintahan. Inilah
yang kemudian menarik penulis untuk lebih mengkaji lagi tentang bagaimana
fenomena politik yang terjadi di Indonesia yang nantinya akan dibahas dan
dikomparasikan dengan teori structural fungsional yang telah dicetuskan oleh
Talcott Parsons. Dengan ini, diharapkan kita akan lebih bisa mendalami teori
struktrural fungsional dalam memahami dan juga mengkomparasikan dengan realitas
dari fenomena politik yang ada di Indonesia.
Fenomena
distribusi kekuasaan dalam sistem pemerintahan di Indonesia
Di
Indonesia, seperti kita pahami pada umumnya dalam model pemerintahan yang
merujuk pada sistem yang demokratis terdapat beberapa jenis pembagian
kekuasaan, yaitu; (a) keksuasaaan untuk eksekutif, yaitu dikenal dengan
kekuasaan pemerintahan dimana mereka secara teknis menjalankan roda
pemerintahan; (b) kekuasaan legislatif, yaitu suatu kekuasaan yang berwenang membuat,
dan mengesahkan perundang-undangan sekaligus mengawasi roda pemerintahan; (c)
kekuasaan yudikatif, kekuasaan untuk menyelesaikan suatu perkara yang memang
menyimpang dari perundang-undangan yang telah ditetapkan sebelumnya. Tiga jenis
kekuasaan ini dikenal dengan istilah kekuasaan trias politika, yang
dikonseptualisasi oleh Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des Lois (jiwa hukum) yang ditulis pada tahun 1746. Tapi
perlu diketahui bahwa konsep dasar awal trias politika ini sebenarnya sudah
ditulis oleh Aristoteles dalam bukunya Politics
and the Athenian Constitution.
Dan
Indonesia sendiri teori mengenai Trias Politika ini kemudian diaktualisasikan
dalam dalam pembagian lembaga-lembaga dengan nama Presiden, DPR, dan MK. Namun,
bidang kajian kita kali ini adalah proses tentang pembagian jatah para Menteri
yang baru-baru ini dilakukan reshuffle oleh bapak Presiden kita. Nah, seperti
yang kita ketahui bahwasannya pembagian jatah menteri dalam struktur Kabinet
Indonesia Bersatu jilid II kali sarat akan kepentingan-kepentingan. Dimana
memang kepentingan tersebut tidak lepas dengan adanya proses koalisi yang telah
kita bahas sebelumnya. Bagaiamana sistem penunjukkan para menteri yang
dilakukan oleh Presiden hanya sebatas proses bagi-bagi kue saja. Namun, ini
bisa kita artikan sebagai proses distribusi kekuasaan yang dilakukan oleh
presiden sebagai bentuk penghormatan terhadap kontrak politik yang telah
disepakati sebelumnya.
Mengenal Teori
Struktural Fungsional
Nenurut Robert Nisbet, ‘bahwa teori fungsional struktural
adalah satu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di
abad 20’. Meski hegeomoni
teori fungsional struktural mendominasi dua dekade sesudah Perang Dunia II,
pada era akhir abad 20 teori ini teori fungsional struktural mulai dikritik
para ilmuwan sosial. Menurut Demerath
dan Peterson, ‘bahwa teori fungsional
struktural masih perlu dikembangkan, karena masih ada sisi kelemahannya’. Dari pandangan ini akhirnya muncul ‘teori neofungsionalisme’ (Ritzer dan
Goodman, 2004).
Ada beberapa hal yang perlu
dipahami dalam mengkaji teori fungsional struktural untuk digunakan sebagai
pisau analisis fenomena sosial-politik, yaitu: (1) Bagaimana pandangan teori
fungsional struktural Talcott Parsons dalam memahami fenomena sosial-politik?
1.
Pandangan
teori fungsional struktural Talcott Parsons dalam memahami fenomena sosial-politik
Selama hidupnya Parsons membuat
sejumlah besar karya teoritis. Ada perbedaan penting antara karya awal dan
karya yang terakhirnya. Ada tiga tahap refleksi teoritik Parsons, yaitu: (1)
Tahap pertama ketika dia menyusun teori Tindakan
Voluntaristik (1949); (2) Tahap kedua ketika dia meninggalkan teori
tindakan voluntaristik ke Teori Sistem (1951); dan Tahap ketiga,
tahap terakhir ketika dia menerangkan Teori
Fungsional Struktural pada evolusi masyarakat (1966) (Herry Priyono, 2002:
78).
Berikut ini dibahas teori Parsons,
tentang konsep ‘Sistem Sosial’ dan
‘Fungsionalisme Struktural’. Ada tiga hal penting dalam memahami fungsionalisme
struktural Parsons, yaitu (1) Skema AGIL; (2) Konsep Sistem; dan (3) Konsep
Struktur.
Konsep, Skema AGIL. Menurut Parsons ada empat fungsi penting yang
diperlukan dalam menganalisis semua
sistem “tindakan” manusia untuk pemeliharaan pola di masyarakat, yaitu
Adaptation (A), goal attainment (G), integration (I), dan latensi (L). Setiap kehidupan kelompok agar
tetap bertahan (survive), maka sistem dalam kelompok itu harus memiliki empat
fungsi yang saling berhubungan timbal balik, yaitu:
- Adaptation (adaptasi). Sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan dengan lingkungan itu dengan kebutuhannya. Kemudian ‘Organisme Perilaku’ adalah merupakan sistem tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi (menyesuaikan dan mengubah lingkungan eksternal). Sedangkan bidang atau ‘Sistem Ekonomi’, adalah merupakan subsistem yang melaksanakan fungsi masyarakat dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan melalui: tenaga kerja, produksi, dan alokasi.
- Goal attainment (Pencapaian tujuan). Sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. Kemudian ‘Sistem Kepribadian’, adalah melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan sistem dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapainya. Sedangkan ‘Sistem Pemerintahan’ (sistem politik), adalah melaksanakan fungsi pencapain tujuan dengan mengejar tujuan kemasyarakatan dan memobilisasi aktor (sumber daya manusia) untuk mencapai tujuan.
- Integration (Integrasi). Sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian dalam sistem, sistem juga harus mengelola hubungan ketiga fungsi lainnya (A,G,L). Kemudian ‘Sistem Sosial’, adalah menanggulangi fungsi integrasi dengan mengendalikan bagian-bagian dalam sistem. Sedangkan ‘Komunitas Kemasyarakatan’ (contoh, hukum, atau seperangkat aturan), adalah akan menjalankan fungsi integrasi, mengkoordinasi beragam komponen masyarakat.
D. Latency (pemeliharaan
pola). Sebuah sistem harus memperlengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik
motivasi individu atau pola kultural untuk bertindak. Kemudian ‘Sistem Kultural’,
adalah melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan
aktor seperangkat norma dan nilai yang mendorong individu bertindak. Sedangkan
‘sistem fiduciari’
(contoh lembaga keluarga, sekolah, agama), adalah menangani fungsi pemeliharaan
pola dengan menyebarkan nilai, norma pada aktor (individu) untuk
diinternalisasikan pada dirinya.
Kesimpulan
Dengan melihat teori struktural
fungsional yang dikenal dengan memakai skema AGIL diatas, dapat disimpulkan
bahwa Presiden berupaya untuk kemudian menyesuaikan dengan kontrak politik yang
telah disepakati sebelumnya dengan beberapa partai koalisi. Itu dibuktikan
bahwa penempatan posisi untuk mengisi kementrian telah diatur sedemikian rupa
agar terjadinya proses integrasi antara partai Demokrat dengan partai-partai
lainnya. Ini dimaksudkan agar tujuan atau goal yang diinginkan oleh Presiden
terlaksana dengan baik untuk menjaga stabilitas politik dalam pengambilan suatu
kebijakan nantinya.
Daftar Bacaan
-
Hidayat, Imam. 2009. Teori-Teori Politik. Malang : SETARA
Press
-
Jones, PIP. Pengantar Teori-Teori Sosial, Dari Teori Fungsionalisme hingga
Post-Modernisme. Jakarta. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2010
-
Budiardjo, Miriam Prof. 2008. Dasar-Dasar ilmu Politik.Jakarta,
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Comments