Skip to main content

NEGARA PANCASILA


NEGARA PANCASILA
“Reinterpretasi Nilai-Nilai Pancasila sebagai Solusi atas Berbagai Konflik di Tengah Masyarakat Indonesia yang Mengancam Integritas Kebangsaan”
Oleh : Iwan Ismi Febriyanto
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
            Negara bisa diartikan sebagai suatu bentuk integrasi dari kekuasaan politik dan juga sebagai sebuah organisasi yang menaungi berbagai kepentingan tiap-tiap individu didalamnya. Negara adalah alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dengan masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat, karena selayaknya manusia sebagai makhluk sosial tentunya membutuhkan wadah untuk merepresentasikan fungsi sosialnya tersebut. Menurut Max Weber “negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah”.

Pada umumnya ada beberapa sifat yang melekat pada negara, yaitu sifat memaksa, sifat monopoli, sifat mencakup semua. Sifat memaksa bisa diartikan negara mempunyai kuasa untuk memakai kekerasan fisik secara legal dalam menjaga stabilitas kehidupan masyarakatnya. Sifat monopoli bisa diartikan bahwa negara mempunyai kuasa penuh untuk mengatur sendi-sendi kehidupan kemasyarakatannya. Sedangkan sifat mencakup semua artinya semua orang tanpa terkecuali harus mematuhi peraturan-peraturan yang ada tersebut.
Untuk konteks Indonesia, tujuan negara telah tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu “untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Pancasila)”.
Dari paragraf diatas, bisa kita lihat bahwa tujuan dari didirikannya Republik Indonesia adalah untuk sebisa mungkin mensejahterakan rakyat dibawah naungannya dengan menggunakan dasar falsafah pancasila. Namun seperti yang kita ketahui, bahwa berbagai konflik baik itu vertical maupun horizontal sedang mengancam kedaulatan bangsa kita hari ini. Konflik antar penguasa, konflik yang mengatas namakan agama, kesejahteraan rakyat yang masih dibawah standar penghidupan, dan lain sebagainya merupakan contoh dari ketidakbecusan pemerintah sebagai agen dari tujuan dibentuknya negara Indonesia yang telah tertera dalam UUD 1945.
Adapun salah satu faktor dari berbagai masalah yang kita hadapi saat ini adalah akibat arus modernisasi yang merupakan bentuk imperialisme gaya baru bangsa barat yang cenderung membuat banga kita kehilangan arah dalam menentukan nasibnya. Di satu sisi Indonesia saat ini sedang dihadapkan pada tantangan imperialisme global, yang disebut kapitalisme. Dalam konteks ini, Indonesia dituntut untuk bisa menempatkan identitasnya sebagai bangsa yang mandiri dan berdaulat, dalam segala bidang. Mulai dari krisis pangan sampai konflik elite dipusat kekuasaan seakan memamerkan bahwa Indonesia berada pada titik ekstrime menuju kehancuran sebagai bangsa dan negara !
Dan yang perlu diingat lagi, bahwasannya Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki banyak sekali ragam corak budaya yang saling berlainan, mulai dari sabang sampai marauke. Perbendaan inilah yang terkadang memang menjadi factor dari adanya rasa primordialisme yang berlebihan sehingga banyak menimbulkan konflik horizontal antar warganya sendiri. Pancasila, ditasbihkan menjadi dasar falsafah negara Indonesia tudak lain dan tidak bukan adalah karena keinginan para founding father kita untuk mempersatukan seluruh keragaman budaya yang kita miliki dengan semangat dasar “gotong royong”.
Dan di Era dimana keterpurukan akibat adanya arus globalisasi yang cenderung menimbulkan menimbulkan berbaagai konflik (baik secara vertical maupun horizontal), tentunya banyak wacana yang mengatakan bahwa kita harus melakukan reinternalisasi Pancasila kedalam berbagai segmentasi kehidupan bernegara kita, dari bidang ekonomi, sosial, budaya, maupun politik. Oleh karena itu sudah saatnya untuk kemudian kita bangkit dari keterpurukan akan kemerosotan sebagai bangsa dengan jalan kembali ke nilai-nilai luhur kebangsaan kita, yang disebut dengan pancasila.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kondisi bangsa Indonesia ketika masuk dalam arus globalisasi ?
2.      Bagaimana dampak globalisasi terhadap identitas kebangsaan ?
3.      Bagaimana peran pancasila dalam mengkonstelasi berbagai macam masalah yang diderita bangsa kita saat ini ?

1.3 Tujuan
1.      Dapat mengetahui kondisi bangsa Indonesia ketika masuk dalam arus globalisasi.
2.      Dapat mengetahui pengaruh globalisasi terhadap identitas kebangsaan kita.
3.      Dapat mengetahui peran pancasila dalam mengkonstelasi berbagai macam masalah yang diderita bangsa kita saat ini.

1.4 Manfaat Penulisan
Melihat dari latar belakang serta rumusan masalah diatas, hal yang mungkin bisa bermanfaat bagi penulis sendiri maupun pembaca adalah bagaimana kita melakukan reinternalisasi nilai-nilai pancasila sebagai identitas kebangsaan kita ditengah berbagai konflik vertical maupun horizontal yang tentunya sedang menjadi ancaman kedaulatan bangsa kita. Ini merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap imperialism gaya baru bangsa Barat dengan wacana globalisasinya yang tentunya bertujuan untuk melakukan ekspansi besar-besaran terhadap bangsa yang kaya akan sumber daya alamnya, yaitu Indonesia. Dan juga sebagai wacana pembentuk solusi di tengah kian meningkatnya rasa primordialisme etnis budaya pada setiap daerah di Indonesia.














BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Globalisasi di Indonesia
            Titus Odong Kusumajati, secara sederhana mengatakan bahwa globalisasi adalah sebuah proses internasionalisasi, pross menduniakan sesuatu, atau dari sisi lain, globalisasi juga dapat dipandang sebagai hapunya batas-batas maya geografis suatu negara.
            Nusantara adalah nama file yang untuk menyimpan memori tentang kejayaan kita sebagai bangsa bahari di muka bumi. Dengan letaknya yang strategis, sebagaititik singgung dalam persilangan perdagangan dan budaya antarbangsa, Nusantara pernah mencapai kemegahannya sebagai kesatuan maritim, sebagai kekuatan laut yang jaya. Di masa keemasan Nusantara sebagai negeri bahari, lautan menjadi faktor penghubung yang mempertautkan hubungan komunikasi sosial antarpulau dan kemudian antarbenua.
            Sekurang-kurangnya sejak awal Masehi, bahkan menurut Oppenheimer (2010) jauh sebelum Masehi, nenek moyang bangsa Indonesia, dengan teknologi perahu bersistem “cadik” (penyeimbangan di sisi kiri dan kanan), telah menyeberangi 70 kilometer laut lepas untuk mencapai Australia, lantas menemukan hampir semua pulau tidak dikenal di Lautan Pasifik. Dengan teknologi yang sama, mereka juga berlayar kea rah Barat, mengarungi Samudera Hindia hingga menjangkau Afrika dan Madagskar sebelum wilayah itu dijelajahi para pelaut Mesir, India, Yunani, dan Romawi, bahkan sebelum bangsa Dravida menuju India Selatan.
            Para penjelajah Nusantara ini berperan penting sebagai katalis perniagaan antara Romawi, India, dan Timur Jauh, khususnya dalam perniagaan rempah-rempah, kayu manis dan cassia yang tampaknya tidak perlu singgah di pasar India dan Sri Lanka untuk menemukan jalan menuju Roma melalui Horn of Africa. Hingga millennium pertama masehi, bahkan China lebih mempercayakan pengiriman (barang niaga) melalui lautnya kepada para pelaut Nusantara.. sebagian teknologi kapal jung dipelajari bangsa China dari pelaut-pelaut Nusantara, bukan sebaliknya. Dalam perkembangan kemudian, pelaut Persia dan Arab berpartisipasi dalam bazaar Samudera Hindia, sebagai pendatang kesiangan dalam percaturan pelayaran jarak jauh disbanding pelaut Nusantara (Dick-Read, 2008: 9-14).
            Dari beberapa kajian yang telah dipaparkan diatas, bisa kita tarik titik temu bahwa memang arus globalisasi telah begitu rekatnya dalam masyarakat Indonesia. Bangsa kita memang bangsa amat sangat kaya perihal alam dan sumber dayanya. Namun, inilah yang justru menjadi titik balik dimana bangsa kita menjadi sasaran ekspansi besar-besaran yang dilakukan oleh bangsa Barat. Disadari atau tidak, bahwa interfensi yang dilakukan oleh pihak asing lambat laun mulai merasuki sendi-sendi kehidupan bernegara kita sejak Era digulingkannya Sukarno dari jabatan kursi Presiden Indonesia atau Era Orde Baru. Dampak dari adanya globalisasi mulai tampak jelas sekali bagi Indonesia, terutama di bidang ekonomi. Banyaknya perusahaan multinasionl yang mulai masuk dan menguasai pasar di Indonesia merupakan satu contoh kecil dari adanya dampak globalisasi yang merugikan negara.
2.2 Pengaruh Globalisasi terhadap identitas Kebangsaan
            Seperti yang telah diungkapkan diatas, bahwa memang banyak sekali dampak negatif yang dibawa oleh arus globalisasi, mulai dari menurunnya semangat nasionalisme kebangsaan sampai persaingan ekonomi individual yang semakin tinggi dan agresif yang cenderung merusak pasar dan berdampak pada konflik horizontal di tengah-tengah masyarakat. Globalisasi yang datang berbarengan dengan sistem ekonomi pasar bebasnya, telah membawa doktrin semangat individualism yang kuat bagi bangsa kita. Ini tentunya sangat kontradiktif sekali dengan nilai-nilai yang kemudian menjadi prinsip bersama negara Indonesia, yaitu prinsip kekeluargaan atau gotong royong.
            Dari segi ekonomi, pengaruh globalisasi sangatlah nyata, artinya semangat keindividualan seseorang mulai ditumbuhkan dengan prinsip ekonomi kapitalisnya. Padahal, seperti yang kita ketahui bahwa prinsip ekonomi yang dianut oleh bangsa Indonesia adalah prinsip ekonomi kekeluargaan. Dengan menggunakan prinsip kolektiv kolegial, bangsa Indonesia menata secara madani berbagai sumber daya yang dimilikinya. Dari segi budaya, globalisasi memang bisa untuk membantu mempromosikan kebudayaan yang kita miliki ke berbagai negara yang ada didunia. Namun, banyak sekali dampak negatif yang ditimbulkan langsung oleh arus globalisasi tersebut. Bisa kita lihat dari kaum muda saat ini, kebanyakan dari kaum bangsa Indonesia cenderung melupakan nilai-nilai kearifan local bangsanya sendiri akibat arus globali ini. Contohnya dari segi pakaian, banyak kaum muda kita yang enggan atau malu untuk sekedar memakai pakaian adat dari bangsanya sendiri. Dan juga banyak sekali kaum muda kita yang lebih senang memakai pakaian buatan luar (impor) dalam memenuhi kebutuhan pakaiannya sehari-hari tanpa menghargai jerih payah saudara sebangsanya.
            Dari segi sosial, masalah yang ditimbulkan oleh arus globalisasi sangatlah nyata terasa bagi keberlangsungan dari semangat kebersamaan yang ada di Indonesia. Seperti yang kita ketahui bahwa semangat awal didirikannya Indonesia adalah semngat kebersamaan. Namun apa yang terjadi ketika setelah arus globalisasi mulai merasuk kedalam sendi-sendi kehidupan di Indonesia menjadikan kita terpecah belah karena semangat individualismenya. Dampak ekonomi, memang sangatlah berpengaruh terhadap segi-segi lainnya, seperti politik dan sosial. Ketika ekonomi suatu negara itu baik, maka sosial dan politik suatu negara itu menjadi stabil, namun jika ekonomi seuatu negara itu buruk, maka kondisi sosial dan politik suatu negara akan menjadi buruk juga. Artinya, ketika semangat awal yang dibangun oleh sistem ekonomi kapitalis yang merupakan dampak dari globalisasi ini individualis, maka sistem sosial yang kemudian terbangun adalah kesejahteraan individu. Ketika kesejahteraan individu ini dinomersatukan, maka rusaklah hubungan sosial yang ada di masyarakat.
            Setelah mengurai dari segi ekonomi mapupun sosial, sekarang berlanjut ke segi politik. Kita tentunya masih ingat bunyi sila keempat Pancasila kita, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” . ini menandakan bahwa semangat musyawarah adalah semangat yang harusnya menjadi budaya saat pemerintah akan menetapkan suatu kebijakan. Namun apa yang telah terjadi sekarang ini, demokrasi negara kita telah banyak dinodai dengan semangat kemenangan suatu golongan atau partai yang membawa dampak pragmatisme nilai-nilai yang terkandung dalam tubuh partai tersebut. Politik telah dipandang sebagai panggung sandiwara bagi para calon untuk berbondong-bondong berebut kuasa. Ini disebabkan dari adanya semangat keindividualan tadi.
            Dari berbagai argument yang telah penulis paparkan diatas, maka yang bisa kita tarik sebagai tolok ukur dari adanya globalisasi dinegara kita dalah bagaimana arus globalisasi ini cenderung untuk mematikan atau bahkan menghilangkan identitas kita sebagai negara yang berdasarkan pada pancasila. Bagaimana tidak, ditinjau dari segi manapun, globalisasi membawa dampak yang buruk atas keberlangsungan dari semangat kebersamaan yang telah dibangun para pendiri bangsa kita. Dengan berbagai kemewahan dan kenyamanan yang mereka tawarkan, mereka dengan mudahnya untuk kemudian masuk dan merasuki paradigma masyrakat kita.
2.3 Konflik sosial di Indonesia
      Seperti yang kita ketahui, bahwasannya Indonesia memiliki banyak sekaliperbedaan corak kebudayaan pada setiap masing-masing daerahnya. Tenutnya ini yang menjadikan negara kita sarat akan konflik horizontal yang memungkinkan adanya disintegrasi sosial kemsyarakatan. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
      Mantan Wakil Presiden RI Yusuf Kalla mengatakan, selama 66 tahun kemerdekaan RI telah terjadi kurang lebih 14 kali baik konflik horizontal dan vertical yang memakan korban diatas seribu orang. "10 dari 14 konflik memang disebabkan oleh ketidakadilan. coba kita Ambil umum. peristiwa DI/TII termasuk persoalan ketidakadilan. Sama juga seperti kartosuwiryo, maupun konflik aceh. Permesta juga menganggap daerahnya tidak maju. Jadi memang tidak adanya keseimbangan ekonomi,"paparnya Saat memberikan masukan dalam RDPU RUU PKS yang dipimpin oleh Ketua Pansus RUU PKS Adang Darajatun, di Gedung DPR beberapa waktu lalu.
      Apa yang kemudian muncul atau mencuat akhir_akhir ini adalah dampak dari tidak adanya peran pemerintah yang signifikan terhadap penanggulangan konflik yang terjadi diberbagai wilayah di Indonesia. Fundamentalisme agama mulai mencuat kepermukaan sepeninggal Gus Dur, remaja yang sering tawuran, berbgai macam bentrokan yang didsari rasa primordialisme budaya daerah, dan lain sebagainya adalah sedikit gambaran dari ketidakbecusan pemerintah dalam menanggulangi berbagai konflik di masyarakat. Ini seakan membuat kita sendiri lupa bahwa sebenarnya kita memiliki dasar falsafah yang sangat ideal jika diterapkan di Indonesia, yaitu Pancasila. Pancasila mengajarkan kita untuk saling bertoleransi terhadap berbagai bentuk ketidaksamaan yang ada di tengah-tengah masyarakat kita. Tiap-tiap sila mengandung arti bahwa Indonesia adalah bangsa dengan religiusitas yang tinggi, kehidupan sosial yang arif dan dinamis, dan memiliki sikap gotong-royong dalam usaha pembangunan negaranya. 
2.4 Pendidikan Multikultural sebagai usaha Penanaman kembali nilai-nilai Pancasila dalam upaya membangun integritas kebangsaan
            Pendidikan Multibudaya dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Kuper, 2000) dimulai sebagai gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-sekolah negeri dan peningkatan populasi imigran telah memberikan dampak yang besar atas lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat para pendidik berjuang untuk menjelaskan tingkat kegagalan dan putus sekolah murid-murid dari etnis marginal, beberapa orang berpendapat bahwa murid-murid tersebut tidak memiliki pengetahuan budaya yang memadai untuk mencapai keberhasilan akademik.
            Wacana multikulturalisme untuk konteks di Indonesia menemukan momentumnya ketika sistem nasional yang otoriter-militeristik tumbang seiring dengan jatuhnya rezim Soeharto. Saat itu, keadaan negara menjadi kacau balau dengan berbagai konflik antarsuku bangsa dan antar golongan, yang menimbulkan keterkejutan dan kengerian para anggota masyarakat. Kondisi yang demikian membuat berbagai pihak semakin mempertanyakan kembali sistem nasional seperti apa yang cocok bagi Indonesia yang sedang berubah, serta sistem apa yang bisa membuat masyarakat Indonesia bisa hidup damai dengan meminimalisir potensi konflik.
            Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:
  • Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
  • Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
  • Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
  • Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.
Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.





















BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Dari berbagai wacana yang telah dibahas diatas, maka bisa ditarik kesimpulan bahwasannya integritas suatu bangsa itu benar-benar dipertaruhkan ketika bangsa tersebut memiliki banyak sekali keanekaragaman budaya di tiap-tiap daerahnya. Oleh karena itu, dibutuhkan sinergitas dari berbagai golongan maupun budaya untuk membangun lagi persatuan yang ada dalam tujuan kita bersama sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Yaitu dengan cara kembali lagi kedalam nilai-nilai kebersamaan yang ada dalam tiap sila dari Pancasila beserta butir-butirnya. Apalagi setelah masuknya arus globalisasi, dimana persaingan individual menjadi nomor satu. Identitas kebangsaan yang memang sekiranya mampu untuk menjawab tantangan dari arus globalisasi tersebut. Adapun cara yang kemudian bisa ditempuh dari penanaman nilai-nilai Pancasila adalah dengan memasukkan pendidikan multikultural dalam sistem pendidikan di Indonesia.
3.2 Saran
            Ada beberapa rekomendasi yang kemudian ingin penulis ajukan kepada pemerintah dalam menanggulangi berbagai konflik yang terjadi akibat masuknya arus globalisasi di Indonesia, yaitu:
1.      Pengambilan sikap-sikap yang tegas terhadap kelompok-kelompok ekstrim yang dapat mengganggu stabilitas integrasi nasional
2.      Memasukan pola pendidikan multikultural dalam upaya reinternalisasi nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari
           

Comments

Popular posts from this blog

Teori Elit dalam Kebijakan Publik

ELIT DAN KEBIJAKAN : TINJAUAN TEORITIS TENTANG MODEL ELIT DALAM MEMAHAMI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK Oleh : Iwan Ismi Febriyanto Abstract             In the analysis of public policy, of course, there are some models that can be used to focus on one subject of public policy itself. That is, before we alone make this a great and sturdy construction, of course, we must have a clear model. That is the reason why public policy analysis models are crucial in making or analyzing public policy. There are several models in the classification of policy analysis. However, here the author would like to focus on Elite Model Theory in the analysis of public policy. To find out how political institutions operate, how decisions are made then the informant's most relevant is the political elite. Elite is defined as "those that relate to, or have, an important position." Political elite to do with how power affects the person's public policy making. Here the role of the

TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT

DIALEKTIKA KEBIJAKAN PUBLIK : “STUDI KOMPARASI TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT DENGAN GOOD GOVERNANCE DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK” Oleh: Iwan Ismi Febriyanto Abstract Public sector organizations are often described unproductive, inefficient, always loss, low quality, poor innovation and creativity, as well as many other critics. The emergence of strong criticism directed at public sector organizations will then cause the movement to reform public sector management. One of the public sector reform movement is the emergence of the concept of New Public Management (NPM). The concept of new public management was initially introduced by Christopher Hood in 1991. When viewed from a historical perspective, modern management approaches in the public sector at first appear in Europe in the 1980s and 1990s as a reaction to the inadequacy of the traditional model of public administration. NPM emphasis at that time was the implementation of decentralization, devolution, and the m

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme Analisis Mengenai Pengaruh dan Implementasinya dalam Kondisi Politik di Suatu Negara Oleh : Iwan Ismi Febriyanto BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG             Ideologi merupakan hal yang paling krusial dalam sejarah maupun masa depan kehidupan manusia, terutama dalam bidang politik dan ekonomi. Bagaimana ideologi mempunyai peran sebagai dasar maupun pijakan yang digunakan oleh suaru kelompok sebagai panutan dari apa yang akan dilakukannya kedepan. Kata ideologi sendiri pertama kali dikembangkan dan diperkenalkan oleh seorang filsuf dari negara Perancis yang bernama Antonie Destutt de Tracy di masa Revolusi Perancis. Antony Downs (1957:96) mengatakan bahwa ideology merupakan seperangkat asumsi dasar baik normatif maupun empiris mengenai sifat dan tujuan manusia atau masyarakat agar dapat dipakai untuk mendorong serta mengembangkan tertib politik.