NEGARA PANCASILA
“Reinterpretasi Nilai-Nilai Pancasila sebagai Solusi atas Berbagai
Konflik di Tengah Masyarakat Indonesia yang Mengancam Integritas Kebangsaan”
Oleh : Iwan Ismi Febriyanto
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Negara
bisa diartikan sebagai suatu bentuk integrasi dari kekuasaan politik dan juga
sebagai sebuah organisasi yang menaungi berbagai kepentingan tiap-tiap individu
didalamnya. Negara adalah alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk
mengatur hubungan-hubungan manusia dengan masyarakat dan menertibkan
gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat, karena selayaknya manusia sebagai
makhluk sosial tentunya membutuhkan wadah untuk merepresentasikan fungsi
sosialnya tersebut. Menurut Max Weber “negara adalah suatu masyarakat yang
mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu
wilayah”.
Pada umumnya ada beberapa sifat
yang melekat pada negara, yaitu sifat memaksa, sifat monopoli, sifat mencakup
semua. Sifat memaksa bisa diartikan negara mempunyai kuasa untuk memakai
kekerasan fisik secara legal dalam menjaga stabilitas kehidupan masyarakatnya.
Sifat monopoli bisa diartikan bahwa negara mempunyai kuasa penuh untuk mengatur
sendi-sendi kehidupan kemasyarakatannya. Sedangkan sifat mencakup semua artinya
semua orang tanpa terkecuali harus mematuhi peraturan-peraturan yang ada
tersebut.
Untuk konteks Indonesia, tujuan
negara telah tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu “untuk membentuk
suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dengan berdasar
kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia (Pancasila)”.
Dari paragraf diatas, bisa kita
lihat bahwa tujuan dari didirikannya Republik Indonesia adalah untuk sebisa
mungkin mensejahterakan rakyat dibawah naungannya dengan menggunakan dasar
falsafah pancasila. Namun seperti yang kita ketahui, bahwa berbagai konflik
baik itu vertical maupun horizontal sedang mengancam kedaulatan bangsa kita
hari ini. Konflik antar penguasa, konflik yang mengatas namakan agama,
kesejahteraan rakyat yang masih dibawah standar penghidupan, dan lain
sebagainya merupakan contoh dari ketidakbecusan pemerintah sebagai agen dari
tujuan dibentuknya negara Indonesia yang telah tertera dalam UUD 1945.
Adapun salah satu faktor dari
berbagai masalah yang kita hadapi saat ini adalah akibat arus modernisasi yang
merupakan bentuk imperialisme gaya baru bangsa barat yang cenderung membuat
banga kita kehilangan arah dalam menentukan nasibnya. Di satu sisi Indonesia
saat ini sedang dihadapkan pada tantangan imperialisme global, yang disebut
kapitalisme. Dalam konteks ini, Indonesia dituntut untuk bisa menempatkan
identitasnya sebagai bangsa yang mandiri dan berdaulat, dalam segala bidang.
Mulai dari krisis pangan sampai konflik elite dipusat kekuasaan seakan
memamerkan bahwa Indonesia berada pada titik ekstrime menuju kehancuran sebagai
bangsa dan negara !
Dan yang perlu diingat lagi,
bahwasannya Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki banyak sekali
ragam corak budaya yang saling berlainan, mulai dari sabang sampai marauke.
Perbendaan inilah yang terkadang memang menjadi factor dari adanya rasa
primordialisme yang berlebihan sehingga banyak menimbulkan konflik horizontal
antar warganya sendiri. Pancasila, ditasbihkan menjadi dasar falsafah negara
Indonesia tudak lain dan tidak bukan adalah karena keinginan para founding father kita untuk mempersatukan
seluruh keragaman budaya yang kita miliki dengan semangat dasar “gotong
royong”.
Dan di Era dimana keterpurukan
akibat adanya arus globalisasi yang cenderung menimbulkan menimbulkan berbaagai
konflik (baik secara vertical maupun horizontal), tentunya banyak wacana yang
mengatakan bahwa kita harus melakukan reinternalisasi Pancasila kedalam
berbagai segmentasi kehidupan bernegara kita, dari bidang ekonomi, sosial,
budaya, maupun politik. Oleh karena itu sudah saatnya untuk kemudian kita
bangkit dari keterpurukan akan kemerosotan sebagai bangsa dengan jalan kembali
ke nilai-nilai luhur kebangsaan kita, yang disebut dengan pancasila.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
kondisi bangsa Indonesia ketika masuk dalam arus globalisasi ?
2. Bagaimana
dampak globalisasi terhadap identitas kebangsaan ?
3. Bagaimana
peran pancasila dalam mengkonstelasi berbagai macam masalah yang diderita
bangsa kita saat ini ?
1.3 Tujuan
1.
Dapat mengetahui kondisi bangsa Indonesia ketika
masuk dalam arus globalisasi.
2.
Dapat mengetahui pengaruh globalisasi terhadap
identitas kebangsaan kita.
3.
Dapat mengetahui peran pancasila dalam
mengkonstelasi berbagai macam masalah yang diderita bangsa kita saat ini.
1.4 Manfaat
Penulisan
Melihat dari latar
belakang serta rumusan masalah diatas, hal yang mungkin bisa bermanfaat bagi
penulis sendiri maupun pembaca adalah bagaimana kita melakukan reinternalisasi
nilai-nilai pancasila sebagai identitas kebangsaan kita ditengah berbagai
konflik vertical maupun horizontal yang tentunya sedang menjadi ancaman
kedaulatan bangsa kita. Ini merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap
imperialism gaya baru bangsa Barat dengan wacana globalisasinya yang tentunya
bertujuan untuk melakukan ekspansi besar-besaran terhadap bangsa yang kaya akan
sumber daya alamnya, yaitu Indonesia. Dan juga sebagai wacana pembentuk solusi
di tengah kian meningkatnya rasa primordialisme etnis budaya pada setiap daerah
di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah
Globalisasi di Indonesia
Titus Odong Kusumajati, secara
sederhana mengatakan bahwa globalisasi adalah sebuah proses internasionalisasi,
pross menduniakan sesuatu, atau dari sisi lain, globalisasi juga dapat
dipandang sebagai hapunya batas-batas maya geografis suatu negara.
Nusantara
adalah nama file yang untuk menyimpan
memori tentang kejayaan kita sebagai bangsa bahari di muka bumi. Dengan
letaknya yang strategis, sebagaititik singgung dalam persilangan perdagangan
dan budaya antarbangsa, Nusantara pernah mencapai kemegahannya sebagai kesatuan
maritim, sebagai kekuatan laut yang jaya. Di masa keemasan Nusantara sebagai negeri
bahari, lautan menjadi faktor penghubung yang mempertautkan hubungan komunikasi
sosial antarpulau dan kemudian antarbenua.
Sekurang-kurangnya
sejak awal Masehi, bahkan menurut Oppenheimer (2010) jauh sebelum Masehi, nenek
moyang bangsa Indonesia, dengan teknologi perahu bersistem “cadik”
(penyeimbangan di sisi kiri dan kanan), telah menyeberangi 70 kilometer laut
lepas untuk mencapai Australia, lantas menemukan hampir semua pulau tidak
dikenal di Lautan Pasifik. Dengan teknologi yang sama, mereka juga berlayar kea
rah Barat, mengarungi Samudera Hindia hingga menjangkau Afrika dan Madagskar
sebelum wilayah itu dijelajahi para pelaut Mesir, India, Yunani, dan Romawi,
bahkan sebelum bangsa Dravida menuju India Selatan.
Para
penjelajah Nusantara ini berperan penting sebagai katalis perniagaan antara
Romawi, India, dan Timur Jauh, khususnya dalam perniagaan rempah-rempah, kayu
manis dan cassia yang tampaknya tidak perlu singgah di pasar India dan Sri
Lanka untuk menemukan jalan menuju Roma melalui Horn of Africa. Hingga
millennium pertama masehi, bahkan China lebih mempercayakan pengiriman (barang
niaga) melalui lautnya kepada para pelaut Nusantara.. sebagian teknologi kapal
jung dipelajari bangsa China dari pelaut-pelaut Nusantara, bukan sebaliknya.
Dalam perkembangan kemudian, pelaut Persia dan Arab berpartisipasi dalam bazaar
Samudera Hindia, sebagai pendatang kesiangan dalam percaturan pelayaran jarak
jauh disbanding pelaut Nusantara (Dick-Read, 2008: 9-14).
Dari
beberapa kajian yang telah dipaparkan diatas, bisa kita tarik titik temu bahwa
memang arus globalisasi telah begitu rekatnya dalam masyarakat Indonesia. Bangsa
kita memang bangsa amat sangat kaya perihal alam dan sumber dayanya. Namun,
inilah yang justru menjadi titik balik dimana bangsa kita menjadi sasaran
ekspansi besar-besaran yang dilakukan oleh bangsa Barat. Disadari atau tidak,
bahwa interfensi yang dilakukan oleh pihak asing lambat laun mulai merasuki
sendi-sendi kehidupan bernegara kita sejak Era digulingkannya Sukarno dari jabatan
kursi Presiden Indonesia atau Era Orde Baru. Dampak dari adanya globalisasi
mulai tampak jelas sekali bagi Indonesia, terutama di bidang ekonomi. Banyaknya
perusahaan multinasionl yang mulai masuk dan menguasai pasar di Indonesia
merupakan satu contoh kecil dari adanya dampak globalisasi yang merugikan
negara.
2.2 Pengaruh
Globalisasi terhadap identitas Kebangsaan
Seperti yang telah diungkapkan
diatas, bahwa memang banyak sekali dampak negatif yang dibawa oleh arus
globalisasi, mulai dari menurunnya semangat nasionalisme kebangsaan sampai
persaingan ekonomi individual yang semakin tinggi dan agresif yang cenderung
merusak pasar dan berdampak pada konflik horizontal di tengah-tengah
masyarakat. Globalisasi yang datang berbarengan dengan sistem ekonomi pasar
bebasnya, telah membawa doktrin semangat individualism yang kuat bagi bangsa
kita. Ini tentunya sangat kontradiktif sekali dengan nilai-nilai yang kemudian
menjadi prinsip bersama negara Indonesia, yaitu prinsip kekeluargaan atau
gotong royong.
Dari
segi ekonomi, pengaruh globalisasi sangatlah nyata, artinya semangat
keindividualan seseorang mulai ditumbuhkan dengan prinsip ekonomi kapitalisnya.
Padahal, seperti yang kita ketahui bahwa prinsip ekonomi yang dianut oleh
bangsa Indonesia adalah prinsip ekonomi kekeluargaan. Dengan menggunakan
prinsip kolektiv kolegial, bangsa Indonesia menata secara madani berbagai
sumber daya yang dimilikinya. Dari segi budaya, globalisasi memang bisa untuk
membantu mempromosikan kebudayaan yang kita miliki ke berbagai negara yang ada
didunia. Namun, banyak sekali dampak negatif yang ditimbulkan langsung oleh
arus globalisasi tersebut. Bisa kita lihat dari kaum muda saat ini, kebanyakan
dari kaum bangsa Indonesia cenderung melupakan nilai-nilai kearifan local
bangsanya sendiri akibat arus globali ini. Contohnya dari segi pakaian, banyak
kaum muda kita yang enggan atau malu untuk sekedar memakai pakaian adat dari
bangsanya sendiri. Dan juga banyak sekali kaum muda kita yang lebih senang
memakai pakaian buatan luar (impor) dalam memenuhi kebutuhan pakaiannya
sehari-hari tanpa menghargai jerih payah saudara sebangsanya.
Dari
segi sosial, masalah yang ditimbulkan oleh arus globalisasi sangatlah nyata
terasa bagi keberlangsungan dari semangat kebersamaan yang ada di Indonesia. Seperti yang kita ketahui
bahwa semangat awal didirikannya Indonesia adalah semngat kebersamaan. Namun
apa yang terjadi ketika setelah arus globalisasi mulai merasuk kedalam
sendi-sendi kehidupan di Indonesia menjadikan kita terpecah belah karena
semangat individualismenya. Dampak ekonomi, memang sangatlah berpengaruh
terhadap segi-segi lainnya, seperti politik dan sosial. Ketika ekonomi suatu
negara itu baik, maka sosial dan politik suatu negara itu menjadi stabil, namun
jika ekonomi seuatu negara itu buruk, maka kondisi sosial dan politik suatu
negara akan menjadi buruk juga. Artinya, ketika semangat awal yang dibangun
oleh sistem ekonomi kapitalis yang merupakan dampak dari globalisasi ini
individualis, maka sistem sosial yang kemudian terbangun adalah kesejahteraan
individu. Ketika kesejahteraan individu ini dinomersatukan, maka rusaklah
hubungan sosial yang ada di masyarakat.
Setelah mengurai dari segi ekonomi
mapupun sosial, sekarang berlanjut ke segi politik. Kita tentunya masih ingat
bunyi sila keempat Pancasila kita, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” . ini menandakan bahwa semangat
musyawarah adalah semangat yang harusnya menjadi budaya saat pemerintah akan
menetapkan suatu kebijakan. Namun apa yang telah terjadi sekarang ini,
demokrasi negara kita telah banyak dinodai dengan semangat kemenangan suatu
golongan atau partai yang membawa dampak pragmatisme nilai-nilai yang
terkandung dalam tubuh partai tersebut. Politik telah dipandang sebagai
panggung sandiwara bagi para calon untuk berbondong-bondong berebut kuasa. Ini
disebabkan dari adanya semangat keindividualan tadi.
Dari berbagai argument yang telah
penulis paparkan diatas, maka yang bisa kita tarik sebagai tolok ukur dari
adanya globalisasi dinegara kita dalah bagaimana arus globalisasi ini cenderung
untuk mematikan atau bahkan menghilangkan identitas kita sebagai negara yang
berdasarkan pada pancasila. Bagaimana tidak, ditinjau dari segi manapun,
globalisasi membawa dampak yang buruk atas keberlangsungan dari semangat
kebersamaan yang telah dibangun para pendiri bangsa kita. Dengan berbagai
kemewahan dan kenyamanan yang mereka tawarkan, mereka dengan mudahnya untuk
kemudian masuk dan merasuki paradigma masyrakat kita.
2.3 Konflik sosial di
Indonesia
Seperti yang kita ketahui, bahwasannya Indonesia memiliki
banyak sekaliperbedaan corak kebudayaan pada setiap masing-masing daerahnya.
Tenutnya ini yang menjadikan negara kita sarat akan konflik horizontal yang
memungkinkan adanya disintegrasi sosial kemsyarakatan. Konflik
dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan
tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan,
adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri
individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam
setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami
konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya
akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Mantan Wakil Presiden RI
Yusuf Kalla mengatakan, selama 66 tahun kemerdekaan RI telah terjadi kurang
lebih 14 kali baik konflik horizontal dan vertical yang memakan korban diatas
seribu orang. "10 dari 14 konflik memang disebabkan oleh ketidakadilan.
coba kita Ambil umum. peristiwa DI/TII termasuk persoalan ketidakadilan. Sama
juga seperti kartosuwiryo, maupun konflik aceh. Permesta juga menganggap
daerahnya tidak maju. Jadi memang tidak adanya keseimbangan ekonomi,"paparnya
Saat memberikan masukan dalam RDPU RUU PKS yang dipimpin oleh Ketua Pansus RUU
PKS Adang Darajatun, di Gedung DPR beberapa waktu lalu.
Apa
yang kemudian muncul atau mencuat akhir_akhir ini adalah dampak dari tidak
adanya peran pemerintah yang signifikan terhadap penanggulangan konflik yang
terjadi diberbagai wilayah di Indonesia. Fundamentalisme agama mulai mencuat
kepermukaan sepeninggal Gus Dur, remaja yang sering tawuran, berbgai macam
bentrokan yang didsari rasa primordialisme budaya daerah, dan lain sebagainya
adalah sedikit gambaran dari ketidakbecusan pemerintah dalam menanggulangi
berbagai konflik di masyarakat. Ini seakan membuat kita sendiri lupa bahwa
sebenarnya kita memiliki dasar falsafah yang sangat ideal jika diterapkan di
Indonesia, yaitu Pancasila. Pancasila mengajarkan kita untuk saling
bertoleransi terhadap berbagai bentuk ketidaksamaan yang ada di tengah-tengah
masyarakat kita. Tiap-tiap sila mengandung arti bahwa Indonesia adalah bangsa
dengan religiusitas yang tinggi, kehidupan sosial yang arif dan dinamis, dan
memiliki sikap gotong-royong dalam usaha pembangunan negaranya.
2.4
Pendidikan Multikultural sebagai usaha Penanaman kembali nilai-nilai Pancasila
dalam upaya membangun integritas kebangsaan
Pendidikan
Multibudaya dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Kuper, 2000) dimulai sebagai
gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum sipil Amerika
keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan kemasyarakatan yang
mendasar seperti integrasi sekolah-sekolah negeri dan peningkatan populasi
imigran telah memberikan dampak yang besar atas lembaga-lembaga pendidikan.
Pada saat para pendidik berjuang untuk menjelaskan tingkat kegagalan dan putus
sekolah murid-murid dari etnis marginal, beberapa orang berpendapat bahwa
murid-murid tersebut tidak memiliki pengetahuan budaya yang memadai untuk
mencapai keberhasilan akademik.
Wacana
multikulturalisme untuk konteks di Indonesia menemukan momentumnya ketika
sistem nasional yang otoriter-militeristik tumbang seiring dengan jatuhnya
rezim Soeharto. Saat itu, keadaan negara menjadi kacau balau dengan berbagai
konflik antarsuku bangsa dan antar golongan, yang menimbulkan keterkejutan dan
kengerian para anggota masyarakat. Kondisi yang demikian membuat berbagai pihak
semakin mempertanyakan kembali sistem nasional seperti apa yang cocok bagi
Indonesia yang sedang berubah, serta sistem apa yang bisa membuat masyarakat
Indonesia bisa hidup damai dengan meminimalisir potensi konflik.
Dalam implementasinya,
paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada
prinsip-prinsip berikut ini:
- Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
- Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
- Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
- Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.
Beberapa aspek yang menjadi kunci
dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak
adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan
terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan
terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan
kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan
hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh
terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
Agar proses ini berjalan sesuai
harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan multikultural
disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika
mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai
jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma
multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal
4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan,
bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
berbagai wacana yang telah dibahas diatas, maka bisa ditarik kesimpulan
bahwasannya integritas suatu bangsa itu benar-benar dipertaruhkan ketika bangsa
tersebut memiliki banyak sekali keanekaragaman budaya di tiap-tiap daerahnya.
Oleh karena itu, dibutuhkan sinergitas dari berbagai golongan maupun budaya
untuk membangun lagi persatuan yang ada dalam tujuan kita bersama sebagaimana
diatur dalam UUD 1945. Yaitu dengan cara kembali lagi kedalam nilai-nilai kebersamaan
yang ada dalam tiap sila dari Pancasila beserta butir-butirnya. Apalagi setelah
masuknya arus globalisasi, dimana persaingan individual menjadi nomor satu.
Identitas kebangsaan yang memang sekiranya mampu untuk menjawab tantangan dari
arus globalisasi tersebut. Adapun cara yang kemudian bisa ditempuh dari
penanaman nilai-nilai Pancasila adalah dengan memasukkan pendidikan
multikultural dalam sistem pendidikan di Indonesia.
3.2 Saran
Ada
beberapa rekomendasi yang kemudian ingin penulis ajukan kepada pemerintah dalam
menanggulangi berbagai konflik yang terjadi akibat masuknya arus globalisasi di
Indonesia, yaitu:
1.
Pengambilan
sikap-sikap yang tegas terhadap kelompok-kelompok ekstrim yang dapat mengganggu
stabilitas integrasi nasional
2.
Memasukan
pola pendidikan multikultural dalam upaya reinternalisasi nilai-nilai pancasila
dalam kehidupan sehari-hari
Comments