Indonesia Dalam Bayang-Bayang Fasisme :
“Keacuhan
Pemerintah Terhadap Kemiskinan, Merupakan Bentuk Fasisme Gaya Baru di Indonesia”
Oleh:
Iwan Ismi Febriyanto
Fasisme
adalah sebuah paham atau ajaran tentang pengaturan suatu sistem pemerintahan
dan masyarakat secara totaliter oleh suatu kediktatoran partai-tunggal yang
sangat nasionalis, rasialis, militeris, dan imperialis. Kalau komunisme adalah
suatu bentuk pemberontakan besar totaliter yang pertama pada abad ke-20,
fasisme sendiri adalah pemberontakan kedua. Didaratan Eropa, pada tahun 1922
Italia menjadi negara pertama yang menganut paham fasisme dengan Benito Mussolini
sebaagai pemimpin gerakannya. Setelah itu disusul oleh Jerman pada tahun 1933
yang sangat terkenal dengan kelompok NAZInya yang dipimpin oleh Adolf Hitler
dengan sangat luar biasa dan Spanyol pada tahun 1939. Jika kita lihat dari
sejarahnya, paham fasisme lebih berkembang di negara-negara yang memiliki
teknologi yang cukup bagus dan mengalami industrialisasi yang cukup berkembang.
Apabila komunisme untuk sebagian besar adalah hasil dari masyarakat-masyarakat
pra-demokrasi dan pra-industri, maka fasisme adalah sebuah paham yang lahir
setelah ada demokrasi dan industrialisasi.
Adapun
unsur-unsur utama dari fasisme itu sendiri yang pertama adalah ketidakpercayaan
akan pertimbangan akal, artinya paham fasisme adalah paham yang memiliki nilai
dogmatis yang sangat kuat dari pemimpinnya. Kemudian yang kedua adalah
penyangkalan terhadap persamaan manusia pada dasarnya, yaitu sikap yang
sama-sama dipunyai oleh gerakan-gerakan dan negara-negara fasis. Artinya mereka
beranggapan bahwa antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya itu
berbeda, dan menengaskan bahwa ketidaksamaan adalah suatu bentuk cita-cita.
Contohnya adalah derajat antara laki-laki dan perempuan, demikian juga
serdadu-serdadu lebih tinggi derajatnya ketimbang masyarakat sipil atau orang
biasa, dan lain sebagainya. Yang ketiga adalah kode tingkah lakunya berdasarkan
dusta dan kekerasan, artinya dalam upaya mencapai kekuasaan dan kemenangan, sah
hukumnya untuk kemudian menerapkan dusta dan juga kekerasan. Selanjutnya adalah
pemerintahan oleh golongan terpilih, ini didasarkan pada falsafah Plato yang
menyatakan bahwa raja-raja atau pujangga (philosopher-king)lah
yang cocok untuk memerintah suatu masayarakat. Kemudian sistemnya yang
totaliter dalam mengolah suatu pemerintahan. Yang keenam adalah rasialisme dan
imperialism, dan yang terakhir yang menjadi cirri utama dari paham fasisme ini
adalah oposisi terhadap undang-undang dan aturan-aturan internasional.
Di
Indonesia sendiri, paham atau ajaran akan fasisme tidak begitu setenar yang ada
di kawasan Eropa. Artinya penerapan dari ajaran fasis itu sendiri hanya
diimplementasikan disektor-sektor tertentu saja. Contoh penerapan fasisme yang
nyata di Indonesia adalah ketika rezim Orde Baru yang sangat totaliter memimpin
negeri ini dengan Jendral Soeharto sebagai ujung tombaknya. Masa dimana ketika
industrialisasi sedang gencar-gencarnya dilakukan ditiap-tiap daerah dan
kekuasaan yang sifatnya sentralistis. Namun, yang kemudian menjadi pertanyaan
adalah apakah paham atau ajaran fasisme ini telah mati setelah Era Reformasi
mulai bergulir di Indonesia ?
Seperti
kita ketahui bersama, bahwa semenjak jatuhnya rezim yang sangat totaliter
dibawah pimpinan Presiden Soeharto, seakan-akan demokrasi di Indonesia telah
membuka pintu gerbangnya kearah demokrasi yang lebih terbuka dan adil yang
mampu untuk mensejahterakan rakyatnya untuk kehidupan yang lebih lagi. Namun,
pada kenyataannya adalah tidak sama sekali!. Artinya, karena kebebasan yang
mungkin terlalu bebas semakin membuat demokrasi kita menjadi demokrasi yang
cacat dan berujung pada pragmatisme dalam melakukan perjuangan. Politik
sektarianisme sangatlah kental diterapkan dinegara kita saat ini, bagaimana
distribusi kekuasaan yang harusnya memang mengalir dan dinamis dalam tubuh
masyarakat, sekarang hanya menjadi distribusi yang berporos pada kerabat, teman
dekat, atau bahkan keluarga. Disinilah yang kemudian memunculkan paradigma
kepentingan rakyat yang bergeser pada kepentingan golongan atau pribadi yang
tentunya berimbas pada kesejahteraan rakyat yang kurang merata.
Salah
satu bukti kegagalan demokrasi masa reformasi ini adalah masih banyaknya
masyarakat kita yang miskin dan tidak perpendidikan. Ini bisa dibuktikan dengan
Indeks Pertumbuhan Manusia (IPM) kita yang masih berada dibawah 100 negara
lainnya, bahkan Singapura maupun Malaysia. Dan iitu juga dibuktikan dengan
pendapatan perkapita kita yang hanya 4.200 (dollar AS) dari 245,6 juta jiwa
penduduk yang ada (Kompas:16 November 2011). Ini telah membuktikan bahwa negara
kita adalah termasuk negara yang miskin didunia. Meskipun tingkat PDB kita
mengalami peningkatan menjadi 6,1 persen, namun itu hanyalah berdasarkan
akumulasi data dari hasil inflasi yang notabennya adalah hasil dari investasi
asing yang masuk ke negara kita.
Ini
tidak lain adalah akibat dari adanya sistem ekonomi kita yang cenderung
bergerak kearah neoliberalisme. Sehingga itu yang kemudian membuat rakyat atau
masyarakat kita semakin sengsara akibat banyaknya perusahan MNC yang masuk dan
mulai menguasai pasar yang ada di Indonesia. Dan imbasnya adalah kemiskinan
yang semakin merajalela dan kesejahteraan hidup masyarakat yang terbelakang
menjadi sangat jauh dari apa yang dicita-citakan dalam butir pancasila. Inilah
yang memunculkan stigma bahwa pemerintahpun seolah sudah tidak peduli terhadap
permasalahan kemiskinan yang ada di Indonesia. Begitu kuatnya intervensi dari
pihak asing yang membuat pemerintah sendiri dalam menetapkan segala bentuk
kebijakannya cenderung merugikan rakyat kecil. Pembangunan sejumlah mall di
daerah-daerah subur, beras yang banyak mengimpor dari negara lain, ladang-ladang
persawahan yang mulai disulap menjadi villa ataupun perumahan, dan masih banyak
lagi contoh kebijakan atau penataan sejumlah daerah yang terkesan sangat tidak
memperhatikan kelanjutan dari masa depan Indonesia.
Memang,
klaim dari pemerintahan mengenai berkurangnya penduduk yang hidupnya dibawah
garis kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi yang meningkat sangatlah santer
diberitakan. Namun pada kenyataannya, kesenjangan sosial antara kaum pemilik
modal dengan para pekerja atau buruh sangatlah signifikan. Sekali lagi, inilah
bukti dari kegagalan pemerintah terhadap masalah belenggu kemiskinan yang
melanda Indonesia sejak dulu. Dan disinilah letak justifikasi terhadap
bagaimana demokrasi yang berjalan di Indonesia cenderung berbau nilai-nilai
fasisme. Tidak ada kebijakan yang mengarah pada rasio keadilan, kesenjangan
sosial antara kaum kaya dan miskin yang semakin melebar, dan politik yang
cenderung mengarah pada demokrasi sektarianis inilah yang menunjukkan adanya
fasisme gaya baru yang mulai merongrong dan memasuki sistem ataupun dinamika
sosial di negara kita.
Maka dari itu,
pembenahan-pembenahan harus segera dilakukan, baik itu dari pemerintah, maupun
masyarakatnya sendiri. Dari pemerintah misalnya, bagaimana pemerintah harus
selalu mengutamakan kepentingan rakyat ketimbang mengadakan perjanjian dengan
pihak-pihak asing yang notabennya itu adalah suatu bentuk imperialisme gaya
baru didunia saat ini. Pun juga dengan masalah politis dalam dinamika
demokrasi, artinya pragmatisme dalam mencari kekuasaan harus segera
ditinggalkan dan mulailah kembali kearah perjuangan nilai-nilai yang mungkin
selama ini mulai tergerus oleh rakusnya sifat yang cenderung hanya untuk
berkuasa dan menghasilkan prestise sesaat. Dan untuk masyarakatnya sendiri,
yaitu harus ada yang namanya perubahan paradigma berpikir dalam diri
masyarakat. Artinya deliberasi publik sangatlah dibutuhkan untuk kemudian ikut
melakukan kontrol terhadap kebijakan yang akan maupun telah dikeluarkan oleh
pemerintah. Dengan begitu, demokrasi yang memang benar-benar matang dan sesuai
dengan asas demokratisnya akan datang sendiri pada kita, yang berujung pada
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Daftar Bacaan
-
Ebenstein, William. 1990. Isme-isme dewasa ini. Jakarta: Penerbit Swada.
-
Hidajat, Imam. 2009. Teori – Teori Politik. Malang: Setara Press.
-
Adian, Donny Gahral. 2006. Demokrasi Kami. Jakarta: Koekoesan
-
Kompas, 16 November 2011
Comments