Skip to main content

Model Pengambilan Keputusan dalam Kebijakan


Model Pengambilan Keputusan dalam Kebijakan
Oleh: Iwan Ismi Febriyanto


Pada level makro, berbagai negara memiliki tatanan konstitusional dan aturan tentang struktur keagenan pemerintah serta aturan perilaku pejabat yang berbeda-beda. Sebagai sistem politik mengkonsentrasikan otoritas pengambilan keputusan pada lembaga eksektuif yang dipilih dan birokrasi, sementara sebagian yang lain memungkinkan lembaga legislatif dan judikatif untuk memainkan peran yang lebih besar. Sistem parlementer cenderung untuk masuk pada kategori yang pertama dan sistem presidensiil pada yang kedua. Dus, di Australia, Inggris, Kanada dan negara-negara demokrasi parlementer lain, tanggungjawab pengambilan keputusan terletak semata-mata di pundak kabinet dan birokrasi. Mungkin ada saatnya ada keputusan yang harus mereka terima, yang berasal dari legislative, terutama pada situasi ketika pemerintah yang berkuasa tidak menikmati sebuah mayoritas di parlemen.
Bisa juga aturan itu datang dari cabang yudikatif, ketika lembaga ini menjalankan perannya sebagai penafsir konstitusi, tetapi hal seperti ini tidak rutin terjadi. Di Amerika Serikat, atau di negara-negara lain yang menganut sistem presidensiil, meskipun otoritas untuk untuk mengambil keputusan ada di tangan Presiden (dan kabinet serta birokrasi yang bertindak mewakili presiden), tetapi itu semua mensyaratkan adanya persetujuan dari legislatif. Pada level mikro, para pengambil keputusan itu sendiri juga berasal dari latar belakang, pengetahuan, dan pilihan yang berbeda-beda yang mempengaruhi bagaimana mereka menafsirkan suatu masalah dan solusi yang tepat untuk masalah tersebut. Pengambil keputusan yang berbeda yang beroperasi dalam tatanan institusional yang hampir serupa akan memberikan respon yang berbeda ketika dihadapkan pada situasi atau permasalahan yang sama atau hampir sama.
Di balik area kesamaan dari berbagai model yang dikembangkan untuk menjelaskan proses pengambilan keputusan , model-model itu juga memiliki perbedaan yang signifikan antara satu dengan lainnya. Model yang paling banyak digunakan dalam analisa terhadap tahap ini adalah model Rasional, Inkremental, dan Garbage Con. Kita akan membahasnya satu-persatu.

Model Rasional                                                                    
Sebuah model ideal pengambilan keputusan kebijakan publik secara rasional terdiri dari ‘seorang individu rasional’ yang menempuh aktifitas-aktifitas berikut ini secara berurutan:
1.      Menentukan sebuah tujuan untuk memecahkan sebuah masalah
2.      Seluruh alternatif strategi untuk mencapai tujuan itu dieksplorasi dan didaftar
3.      Segala konsekuensi yang signifikan untuk setiap alternatif diperkirakan dan kemungkinan munculnya setiap konsekuensi diperhitungkan.
4.      Terakhir, strategi yang paling dekat dengan pemecahan masalah atau bisa memecahkan masalah dengan biaya paling rendah dipilih berdasarkan kalkulasi tersebut.
Model rasional adalah ‘rasional’ daam pengertian bahwa model tersebut memberikan preskripsi berbagai prosedur pengambilan keputusan yang akan menghasilkan pilihan cara yang paling efisien untuk mencapai tujuan kebijakan. Teori-teori rasionalis berakar dalam aliran-aliran pemikiran positifisme dan rasionalisme jaman pencerahan  yang berusaha untuk mengembangkan pengetahuan yang ilmiah untuk meningkatkan kondisi hidup manusia. Ide-ide ini didasarkan pada keyakinan bahwa berbagai permasalahan sosial seharusnya diselesaikan melalui cara yang ‘ilmiah’ dan ‘rasional’, melalui pengumpulan segala informasi yang relevan dan berbagai alternatif solusi, dan kemudian memilih alternatif yang dianggap terbaik. Tugas analis kebijakan, di sini, adalah mengembangkan pengetahuan yang relevan dan kemudian menawarkannya pada pemerintah untuk diaplikasikan. Pembuat kebijakan diasumsikan sebagai untuk bekerja sebagai teknisi atau manajer bisnis, yang mengidentifikasi suatu masalah dan kemudian mengadopsi cara yang paling efektif dan efisien untuk mengatasi masalah tersebut. Karena berorientasi pada ‘pemecahan masalah’ maka pendekatan ini sering juga disebut sebagai pendekatan ‘ilmiah’, ‘rekayasa’ atau ‘manajerialis’.
Dalam studi tentang pengambilan keputusan, model rasional berakar pada usaha awal untuk membangun sebuah disiplin ilmu tentang perilaku organisasi dan administrasi publik. Berbagai elemen dari model ini bisa ditemukan pada karya-karya para ahli administrasi publik awal seperti Henry Fayol di Perancis dan Luther Gulick serta Lyndal Urwick di Inggris dan Amerika Serikat. Dengan menjadikan ide yang dikemukakan oleh Fayol dalam dalam studinya tentang industri batu bara di Prancis menjelang abad XX, Gulick and Urwick mengkodifikasikan sebuah model yang mereka daku sebagai keputusan-keputusan terbaik yang bisa diambil. Model PODSCORB yang mereka kembangkan menyiratkan bahwa organisasi bisa memaksimalkan kinerja mereka melalui Perencanaan, Pengorganisasian, Pengambilan Keputusan, Penentuan Pilihan, Pengkoordinasian, Perekrutan dan Penganggaran yang terencana. “Pengambilan keputusan’ atas suatu tindakan tertentu, bagi Gulick dan Urwick, berarti menimbang antara keuntungan dengan biaya yang diperkirakan harus dikeluarkan.
Kemudian, para analist yang mengusung perspektif ini mulai beargumen bahwa bentuk pengambilan keputusan seperti ini hanya akan memberikan hasil maksimal jika seluruh alternatif yang mungkin dan biaya dari setiap alternatif dipertimbangkan sebelum sebuah keputusan diambil – ini disebut model pengambilan keputusan ‘rational comprehensive’. Penekanan baru terhadap aspek komprehensif terbukti problematic, dan kritik segera bermunculan. Ada batasan-batasan manusiawi yang dimiliki oleh para pengambil keputusan untuk bisa komprehensif dalam membangun berbagai alternatif dan mengkalkulasikan keuntungan dan beban yang ditimbulkan tiap alternatif. Selain itu ada pula batasan politik dan institusional yang membatasi penseleksian opsi dan pilihan-pilihan keputusan. Model rasional-komprehensif dikritik sebagai menyesatkan, bahkan ada yang menganggapnya mendekati ‘sesat’.
Mungkin salah satu kritik paling keras yang diarahkan pada model rasional adalah kritik yang dilontarkan oleh ilmuwan behavioral Amerika, Herbert Simon, satu-satunya ahli administrasi publik yang pernah mendapatkan hadiah Nobel. Bermula di awal dekade 1950-an, ia berpendapat dalam serangkaian buku dan artikel bahwa ada beberapa hambatan yang tidak memungkinkan para pengambil keputusan untuk mencapai rasionalitas yang murni dan komprehensif dalam keputusan-keputusan mereka. Pertama, ada batasan-batasan kognitif pada kemampuan pengambil keputusan untuk mempertimbangkan seluruh opsi yang ada, sehingga mereka terpaksa bertindak selektif dalam mempertimbangkan alternatif-alternatif tersebut. Jika demikian, maka nampaknya mereka memilih di antara opsi yang ada berdasarkan landasan ideologi atau politik, atau malah secara acak, tanpa merujuk dampak dari pilihan mereka terhadap efisiensi. Kedua, model ini mengasumsikan bahwa adalah mungkin bagi para pengambil keputusan untuk mengetahui konsekuensi dari setiap keputusan yang mereka ambil, yang dalam kenyataannya kasus seperti ini sangat jarang terjadi. Ketiga, setiap opsi kebijakan diikuti oleh berbagai konsekuensi, baik yang bersifat positif maupun negative, yang menjadikan upaya komparasi berbagai konsekuensi tersebut menjadi sulit untuk dilakukan.  Karena opsi yang sama bisa jadi efisien atau tidak-efisien tergantung dari situasinya, maka tidaklah mungkin bagi pengambil keputusan untuk sampai pada kesimpulan mutlak tentang alternatif mana yang lebih baik daripada alternatif lain. Penilaian Simon terhadap model rasional menyimpulkan bahwa berbagai keputusan publik pada prakteknya tidak memaksimalkan manfaat di atas beban, tetapi hanya cenderung untuk memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh para pengambil keputusan untuk diri mereka sendiri dalam masalah yang sedang menjadi perhatian. ‘Satisfying criterion’ ini adalah sesuatu yang nyata, sebagai sesuatu muncul dari hakekat rasionalitas manusia yang terbatas.
 Model Inkremental
Berbagai keraguan tentang praktikalitas bahkan kegunaan model rasional membawa pada usaha untuk mengembangkan sebuah teori pengambilan keputusan yang lebih dekat dalam memperkirakan perilaku aktual dari para pengambil keputusan. Situasi ini mendorong munculnya model inkremental yang memotret pengambilan keputusan kebijakan publik sebagai sebuah proses yang dikarakterisasikan oleh tawar menawar dan kompromi antara berbagai pengambil keputusan yang memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. Keputusan-keputusan yang dihasilkan tentu saja lebih merepresentasikan apa yang secara politik fisibel daripada diinginkan.
Jasa dalam mengembangkan model inkremental dalam analisa pengambilan keputusan kebijakan publik paling layak diatributkan pada ilmuwan politik Yale University, Charles Lindblom. Ia merangkum model ini sebagai sebuah model yang terdiri dari strategi-strategi yang saling mendukung dalam melakukan penyederhanaan dan pemusatan fokus. Strategi-strategi itu adalah:
·         Pembatasan analisis hanya pada beberapa alternatif kebijakan yang familiar…hanya sedikit berbeda dari status quo;
·         Sebuah analisis tujuan kebijakan yang berjalinkelindan dan nilai-nilai dengan berbagai aspek empiris dari masalah yang dihadapi
·         Sebuah strategi yang mengedapankan analisis untuk mencari masalah yang ingin diselesaikan daripada tujuan-tujuan positif yang ingin dikejar;
·         Serangkaian percobaan, kegagalan, dan percobaan ulang;
·         Analisis yang mengeksplorasi hanya sebagian, bukan keseluruhan, konsekuensi-konsekuensi yang penting dari suatu alternatif yang dipertimbangkan;
·         Fragmentasi kerja analitis untuk berbagai partisipan dalam pembuatan kebijakan (setiap partisipan mengerjakan bagian mereka dari keseluruhan domain).
Dalam pandangan Lindbolm, para pengambil keputusan mengembangkan berbagai kebijakan melalui sebuah proses membuat ‘perbandingan terbatas yang berurutan dengan kebijakan sebelumnya’, yaitu keputusan-keputusan yang sudah familiar bagi mereka. Seperti dikemukakan dalam artikelnya yang telah banyak dikutip, ‘The Science of “Muddling Through”’, para pengambil keputusan bekerja dalam sebuah proses yang secara terus menerus ‘terbangun dari situasi yang ada pada saat itu, setapak-demi-setapak dan dalam derajad yang kecil’. Keputusan yang diambil biasanya hanya sedikit berbeda dari keputusan-keputusan yang sudah ada; dengan kata lain, perubahan dari status-quo bersifat inkremental.  
Ada dua sebab mengapa berbagai keputusan cenderung tidak terlalu jauh berbeda dengan status quo. Pertama, karena proses tawar menawar mensyaratkan distribusi sumber daya yang terbatas di antara berbagai partisipan, maka akan lebih mudah untuk melanjutkan pola distribusi yang sudah ada daripada membuat sebuah pola baru yang berbeda secara radikal. Keuntungan dan kelemahan dari tatanan ada sudah diketahui dan dikenal oleh para aktor kebijakan, berbeda dengan ketidakpastian yang melingkupi tatanan yang masih baru, yang membuat kesepakatan untuk melakukan perubahan menjadi sulit dicapai. Hasil yang memiliki kemungkinan lebih besar untuk muncul adalah kelanjutan dari status quo atau hanya perubahan kecil dari status quo. Kedua, standard operating procedure yang menjadi batu penjuru seluruh sistem birokrasi cenderung untuk lebih mengedepankan keberlanjutan atau kontinyuitas praktek-praktek yang sudah ada. Cara para birokrat mengidentifikasi berbagai opsi, metode dan kriteria untuk dipilih seringkali telah ditetapkan lebih dahulu, menghambat inovasi dan hanya mengulang tatanan yang sudah ada.  
Model Tong Sampah
Limitasi model rasional dan incremental membawa para ahli pembuat kebijakan publik mencari alternatif-alternatif baru. Amitai Etzioni memngembangkan pemindaian gabungan – model mixed scanning untuk menjembatani berbagai kekurangan, baik model rasional maupun incremental, dengan mengkombinasikan elemen-elemen keunggulan keduanya. Model gabungan seperti ini memberikan ruang yang lebih luas untuk inovasi daripada model incremental, tanpa terlalu dibebani dengan tuntutan-tuntutan yang tidak realistis dari model rasional. Etzioni mengatakan lebih lanjut bahwa pengambilan keputusan seperti inilah yang lebih sering terjadi dalam realitas pengambilan keputusan kebijakan publik. Adalah lazim ketika seringkaian keputusan-keputusan incremental diikuti oleh sebuah sebuah keputusan yang secara substansial berbeda, karena adanya sebuah permasalahan yang sama sekali bereda dari masalah yang dihadapi sebelumna. Karena itu, pemindaian gabungan dipandang sebuah sebuah model yang bersifat preskriptif dan juga desktriptif.
Tetapi, pendekatan ini dan berbagai pendekatan lainnya sebagian besar tetap berada dalam kerangka yang dibangun oleh model rasional dan incremental. Pada dekade 1970-an, sebuah model yang sama sekali berbeda menyuarakan bahwa minimnya penggunaan rasionalitas adalah sesuatu yang inheren dalam prose pengambilan keputusan. March dan Olsen menawarkan model tong-sampah/garbage can yang menyangkal adanya penggunaan rasionalitas dalam pengambilan keputusan, bahkan dalam derajad kecil sebagaimana dipaparkan dalam model inkremental.  Mereka memulai dengan asumsi bahwa model-model yang lain mempertahankan asumsi adanya intensionalitas, pemahaman masalah, dan prediktibilitas relasi-relasi antar berbagai aktor yang pada kenyataannya sama sekali tidak diemui. Dalam pandangan March dan Olsen, pengambilan keputusan adalah sebuah proses yang sangat ambigu dan tak-terprediksi, dan kecil sekali kaitannya dengan upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. March dan Olsen, sembari menolak instrumentalisme yang menjadi karakter sebagian besar model-model lain, berpendapat bahwa pengambilan keputusan adalah:
Sebuah tong sampah kemana berbagai masalah dan solusi dilemparkan oleh para partisipan proses pengambilan keputusan. Campuran sampah dalam sebuah tong sebagian ditentukan oleh berbagai label yang ditempelkan pada tong-tong yang lain; tetapi sebagian lagi ditentukan oleh sampah seperti apa yang dihasilkan pada saat itu, pada campuran tong-tong yang tersedia, dan seberapa cepat sampah bisa dikumpulkan dan dibuang.
            March dan Olsen sengaja menggunakan metafora tong sampah untuk menghilangkan aura ilmiah dan rasional yang diatributkan pada proses pengambilan keputusan oleh para teoritisi sebelumnya. Mereka berusaha untuk memunculkan pemahaman bahwa seringkali para pembuat kebijakan itu sendiri tidak tahu tujuan mereka, begitu juga hubungan kausal antara problem dan tujuan kebijakan yang dihadapi. Dalam pandangan March dan Olsen, para aktor hanya mendefinisikan tujuan dan memilih cara secara serta merta, seiring dengan berjalannya proses kebijakan, yang mana hasilnya juga sangat tidak pasti dan tidak bisa diprediksi.
Beberapa studi kasustelah membuktikan proposisi bahwa keputusan publik seringkali dibuat dengan cara yang sangat ad-hoc dan acak. Andersson, misalnya, pernah berpendapat bahwa bahkan keputusan-keputusan yang terkait dengan krisi Rudal Kuba sekalipun, diakui sebagai sebuah isu paling kritis selama perang dingin, dibuat dalam pilihan-pilihan simplistik pertanyaan dengan jawaban ya/tidak dalam berbagai proposal yang muncul selama pembahasan kebijakan terkait krisis tersebut.
Katakanlah demikian, model tong sampah mungkin dianggap sebagai upaya yang terlalu membesar-besarkan fakta yang terjadi. Sementara tujuan utamanya mungkin bisa dikatakan cukup memberikan deskripsi yang akurat tentang bagaimana seringkali organisasi membuat kebijakan-kebijakannya, dalam contoh-contoh yang lain mungkin akan lebih masuk akal jika kita mengharapkan sesuatu yang lebih masuk akal. Terlepas dari itu semua, kekuatan utama dari model ini adalah kemampuannya untuk melepaskan diri dari perdebatan lama antara rasional vs. incremental, dan memberikan kesempatan untuk melakukan studi-studi pengambilan keputusan dalam konteks institusional yang lebih bernuansa.

Daftar Bacaan
-           www.wikipedia.com
-          Jurnal : Joash Tapiheru “pengambilan keputusan kebijakan publik”.

Comments

Popular posts from this blog

Teori Elit dalam Kebijakan Publik

ELIT DAN KEBIJAKAN : TINJAUAN TEORITIS TENTANG MODEL ELIT DALAM MEMAHAMI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK Oleh : Iwan Ismi Febriyanto Abstract             In the analysis of public policy, of course, there are some models that can be used to focus on one subject of public policy itself. That is, before we alone make this a great and sturdy construction, of course, we must have a clear model. That is the reason why public policy analysis models are crucial in making or analyzing public policy. There are several models in the classification of policy analysis. However, here the author would like to focus on Elite Model Theory in the analysis of public policy. To find out how political institutions operate, how decisions are made then the informant's most relevant is the political elite. Elite is defined as "those that relate to, or have, an important position." Political elite to do with how power affects the person's public policy making. Here the role of the

TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT

DIALEKTIKA KEBIJAKAN PUBLIK : “STUDI KOMPARASI TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT DENGAN GOOD GOVERNANCE DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK” Oleh: Iwan Ismi Febriyanto Abstract Public sector organizations are often described unproductive, inefficient, always loss, low quality, poor innovation and creativity, as well as many other critics. The emergence of strong criticism directed at public sector organizations will then cause the movement to reform public sector management. One of the public sector reform movement is the emergence of the concept of New Public Management (NPM). The concept of new public management was initially introduced by Christopher Hood in 1991. When viewed from a historical perspective, modern management approaches in the public sector at first appear in Europe in the 1980s and 1990s as a reaction to the inadequacy of the traditional model of public administration. NPM emphasis at that time was the implementation of decentralization, devolution, and the m

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme Analisis Mengenai Pengaruh dan Implementasinya dalam Kondisi Politik di Suatu Negara Oleh : Iwan Ismi Febriyanto BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG             Ideologi merupakan hal yang paling krusial dalam sejarah maupun masa depan kehidupan manusia, terutama dalam bidang politik dan ekonomi. Bagaimana ideologi mempunyai peran sebagai dasar maupun pijakan yang digunakan oleh suaru kelompok sebagai panutan dari apa yang akan dilakukannya kedepan. Kata ideologi sendiri pertama kali dikembangkan dan diperkenalkan oleh seorang filsuf dari negara Perancis yang bernama Antonie Destutt de Tracy di masa Revolusi Perancis. Antony Downs (1957:96) mengatakan bahwa ideology merupakan seperangkat asumsi dasar baik normatif maupun empiris mengenai sifat dan tujuan manusia atau masyarakat agar dapat dipakai untuk mendorong serta mengembangkan tertib politik.