PAPER
CIVIL SOCIETY DAN PARTAI POLITIK :
Tinjauan
mengenai gerakan civil society dan relasinya terhadap partai politik dalam
porses demokratisasi di Indonesia
Oleh : Iwan Ismi Febriyanto
A. PENDAHULUAN
A.1 Latar Belakang
Selama 14 tahun paska runtuhnya kekuasaan pemerintahan Orde
Baru, politik Indonesia telah mengalami perubahan dan dinamika sosial politik
yang dramatis. Di awal masa Reformasi, euphoria kebebasan politik telah memberi
celah munculnya kekuatan-kekuatan politik baru yang selama masa Orde Baru tidak
dimungkinkan terjadi. Pembatasan jumlah partai politik di era Orde Baru telah
berubah menjadi era mulitpartai pada Pemilu 1999 dan pemilu-pemilu selanjutnya.[1]
Kekuatan organisasi masyarakat lainnya seperti LSM ataupun organisasi yang
sejenis juga meningkat jumlahnya secara drastis bila dibandingkan dengan masa
Orde Baru. Di samping itu, perubahan kelembagaan politik setelah Reformasi juga
mengalami perubahan, seperti adanya penguatan lembaga-lembaga politik
(eksekutif, legislative dan yudikatif) dalam peran-perannya dan juga mekanisme
prosedural seperti pemilihan umum yang lebih transparan dan adil bagi semua
pihak.
Aspek desentralisasi juga menjadi salah satu perubahan
penting dalam tatanan kehidupan sosial politik di Indonesia karena kekuatan dan
pergeseran politik di tingkat lokal pun menjadi lebih dinamis. Perubahan
kelembagaan dan prosedur di dalam tatanan politik telah menjadi salah satu
aspek penting yang terjadi dalam masa demokratisasi di Indonesia. Namun
demikian, dalam beberapa hal perubahan tersebut juga membawa dinamika yang
menarik untuk diperhatikan lebih dalam, semisal yang terjadi di civil society
dan juga partai politik. Kedua elemen ini dianggap oleh kalangan ilmuwan
politik sebagai kekuatan yang mendorong dan mengarahkan jalannya demokratisasi
di sebuah Negara. Tumbuh dan kembangnya civil society setelah Orde Baru runtuh menimbulkan
sebuah harapan baru yakni munculnya sebuah kekuatan yang penting dalam
mendorong gerakan pembaharuan politik di Indonesia.
Pada saat yang bersamaan, struktur politik yang lebih
terbuka dan memberi kesempatan yang lebih luas adalah keuntungan yang
dimanfaatkan oleh kelompok civil society di Indonesia.
Akibatnya
arena politik seperti negosiasi dan lobi dengan penguasa politik yang dulu dianggap
sebagai sesuatu hal yang dihindari oleh para aktornya, menjadi factor penting
yang harus dipertimbangkan kembali. Maka tidaklah heran bila saat ini, beberapa
aktor civil society lebih memilih bergabung dengan partai politik dan bersedia
untuk dicalonkan sebagai anggota legislative dalam pemilu 2009 yang lalu. Sementara
itu, keberadaan partai politik yang ada saat ini juga masih menyisakan banyak
pertanyaan.
Pada satu sisi, kekuatan partai politik adalah sebuah keharusan
sebagai instrumen penting dalam proses-proses politik. Namun di sisi lain, perilaku
para politisi dan pengurus partai yang belum menunjukkan sikap profesionalitasnya
dalam hubungan dengan konstituen ataupun dalam pembuatan kebijakan adalah
persoalan serius yang masih dihadapi. Bahkan citra partai politik secara
keseluruhan di mata masyarakat juga tidaklah baik karena para politisinya telah
menodai dengan perilaku yang buruk. Dalam konteks relasi pembuatan kebijakan
publik, civil society dan partai politik di Indonesia mulai terbangun hubungan
yang saling menghargai, menghormati dan memahami keberadaan akan perannya dalam
kehidupan politik. Meski awalnya kalangan civil society menganggap bahwa para
politisi di lembaga legislatif tidak mampu menghasilkan produk perundangan yang
substansial, namun belakangan kalangan civil society menyadari bahwa
keterbatasan peran dan aktivitasnya dalam mempengaruhi proses pembuatan
kebijakan tidak akan berarti tanpa kehadiran partai politik yang mengisi
lembaga legislatif. Sebaliknya, partai politik juga memahami bahwa salah satu
tugas civil society adalah memberi masukan yang konstruktif dalam proses
tersebut.
Namun demikian, hubungan ini tidaklah mudah dicapai karena
proses politik yang penuh negosiasi adalah penghalang utama bagi terciptanya
hubungan yang kondusif. Keterbatasan ruang dan peran yang dimiliki oleh aktor
civil society dalam mendesakkan agenda-agenda perubahan yang lebih berorientasi
kepentingan rakyat, telah merubah pola gerakan yang diinginkan oleh para
aktivis gerakan sosial. Awalnya gerakan ekstra parlemen adalah sebuah pilihan
yang dilakukan oleh para aktor civil society. Namun belakangan, para aktor
civil society menyadari bahwa salah satu ketidakefektifan gerakan ini
dikarenakan keterbatasan yang dimiliki oleh civil society yaitu hanya menjadi
kelompok penekan bukan kelompok penentu dalam lembaga legislatif. Oleh
karenanya, beberapa aktor civil society merasa ada kebutuhan yang mendesak
untuk menjadi bagian di dalam lembaga legislatif. Artinya perubahan peran dari
civil society dengan fokus sebagai penekan menjadi peran kelompok yang
menentukan dalam proses kebijakan yaitu partai politik. Maka, dalam dua pemilu
terakhir (2004 dan 2009), terdapat banyak nama aktor civil society yang ikut
bertarung dalam pemilu legislatif nasional (DPR dan DPD) ataupun DPRD.
Dalam konteks itu, para aktor civil society yang ikut
serta dalam pemilu DPR dan DPRD telah berpindah menjadi aktor partai politik.
Salah satu masalah mendasar yang dihadapi dalam pelembagaan politik di
Indonesia adalah penguatan akan lembaga-lembaga itu sendiri, terutama di
kalangan civil society dan partai politik. Partai politik di Indonesia masih
lemah dalam konteks penguatan kelembagaan secara internal dan juga kapasitas
dalam proses pembuatan kebijakan publik. Sementara itu, civil society pun juga
lemah dalam membangun kekuatan politik yang signifikan, baik di tingkat
nasional ataupun di tingkat lokal. Fokus makalah ini adalah mendiskusikan
kondisi civil society dan partai politik dalam era demokratisasi yang tengah
dijalankan di Indonesia.
A.2
Rumusan Masalah
Ada dua pertanyaan yang ingin diarahkan dalam makalah ini:
pertama, dalam masa demokratisasi ini, peran civil society (terutama dari
kalangan Organisasi Non Pemerintah) dan partai politik adalah penting. Namun
demikian, relasi keduanya tidaklah semudah yang dibayangkan. Dilihat dari arena
politik yaitu dalam proses pembuatan kebijakan publik, bagaimana kondisi civil
society dan partai politik? Kedua, bagaimana usaha pengembangan relasi yang
konstruktif antara civil society dan partai politik ke depan? Dua hal inilah
yang akan dibahas dalam paper yang singkat ini.
A.3
Tujuan Penulisan
Dari
rumusan masalah yang telah penulis paparkan diatas, maka tujuan dari penulisan
inilah adalah bagaimana mencoba untuk menguraikan pengaruh dan peran dari
hubungan antara civil society dan partai politik dalam hal kebijakan pubik dan
pada masa demokratisasi di Indonesia. Selain itu juga penulis untuk kemudian
mencoba untuk menganalisa lebih lanjut terhadap relasi konstruktif anatar civil
society dan partai politik pada masa yang akan datang.
B. PEMBAHASAN
Definisi
Civil Society
Dalam masyarakat liberal,
civil society adalah embrio bagi liberalisme. Dalam konsepsi Tocqueville,
dimana masyarakat hidup dalam tatanan komunal, tidak tergantung dari campur
tangan negara. Dapat mengorganisasi kebutuhan sendiri dan hanya terikat dengan
aturan-aturan lokal. Sedangkan negara hanya mampu melakukan intervensi pada
hal-hal tertentu.[2]
Namun negara masih dibutuhkan untuk membuat peraturan legal. Namun kekuasaannya
harus diminimalisir. Kontrol terhadap kekuasaan negara ini dapat dilakukan
dengan distribusi kekuasaan dan dilakukannya pemilihan umum secara teratur,
jadi kekuasaan monopoli dapat dicegah.
Tocqueville mendefinisikan civil society sebagai
wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisir dan bercirikan antara lain
kesukarelaan, keswasembadaan dan keswadayaan, kemandirian tinggi berhadapan
dengan negara dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang
diikuti oleh warganya. Tatanan civil society dapat ditemukan pada asosiasi,
yaitu sekelompok individu dalam masyarakat yang meyakini satu doktrin atau
kepentingan tertentu dan memutuskan untuk merealisasikan doktrin atau
kepentingan bersama tersebut. Asosiasi civil society juga melakukan kontrol
terhadap negara agar kekuasaannya tidak melampaui ketentuan dalam masyarakat
liberal. Asosiasi-asosiasi sosial ini disebutnya sebagai “independent eye” dari
masyarakat.
Keberadaan asosiasi masyarakat adalah wilayah milik
masyarakat yang steril dari campur tangan negara. Misalnya NGO adalah tipe
asosiasi yang memiliki kebebasan. Institusi tersebut membawa individu-individu
keluar dari batas-batas kehidupan peribadi menuju proyek sosial yang korelatif
dengan ide partisipasi dalam sistem demokrasi. Ide utama Tocqueville adalah bahwa
etika liberal yang berhimpitan dengan semangat revolusioner harus segera
diakhiri dengan memantapkan dan mengkonstitusionalisasikan kebebasan lewat
pembentukan lembaga-lembaga politik. Ia menyebut asosiasi ini sebagai lembaga
perantara. Baginya lembaga-lembaga ini yang akan memainkan peran-peran sebagai
sebuah jawaban hancurnya rezim-rezim komunis dan otoritarinisme kapitalisme
yang keduanya dianggap tidak mampu memberikan tatanan yang membebaskan dan
mengalami krisis. Asosiasi ini akan melebur kepentingan-kepentingan subjektif
dalam kepentingan bersama, dan melindungi individu dari negara dan pasar.
Maka kemudian civil society dikembangkan agar menjadi
kekuatan penyeimbang setelah negara dan pasar. Tatanan civil society adalah
bagian dari demokrasi yang ingin melahirkan kembali hak-hak warga negara
sebagai pemilik awal kekuasan dan kedaulatan, mejamin terbukanya partisipasi
secara terbuka. Ia juga secara tegas menolak model anarkisme, yaitu tatanan
masyarakat tanpa adanya institusi negara. Tocqueiville hanya menjelaskan
bagaimana civil society dapat memenuhi kebutuhannya tanpa intervensi negara.
Maka satu-satunya yang membedakan political society dan civil society hanyalah
pada pratek mencari, mempertahankan dan merebut kekuasaan. Civil society
hanyalah menjadi entitas pressure group.
Syarat
terbentuknya Masyarakat Sipil
Masyarakat
sipil melingkupi kehidupan sosial terorganisasi yang terbuka, sukarela, lahir
secara mandiri, setidaknya berswadaya secara parsial, otonom dari negara, dan
terikat pada tatanan legal atau seperangkat nilai-nilai bersama. Masyarakat
sipil adalah fenomena penengah antara ruang privat dan negara. Dalam prinsip good governance, ada tiga unsur dalam
kehidupan bermasyarakat, yaitu Negara, Masyarakat Sipil (Civil Society), dan
Market. Nah, ketiga inilah yang
menjadi motor penggerak dalam mengatur mekanisme kebijakan yang akan diambil
oleh negara. Dimana keseimbangan diantara ketiganya dibutuhkan untuk kemudian
menselaraskan fungsi kenegaraan dengan sebaik-baiknya.
Masyarakat sipil berbeda dengan
masyarakat parokial, ekonomi, mauapun politik. Masyarakat sipil secara esensial
berorientasi pasar, sehingga para aktor di dalamnya mengakui prinsip-prinsip
otoritas negara dan rule of law. Agar
bisa tumbuh-berkembang dan mendapat jaminan rasa aman, ia membutuhkan
perlindungan dari tatanan hukum yang terlembagakan. Sehingga, masyarakat sipil
bukan hanya membatasi kekuasaan negara tapi juga melegitimasi otoritas negara
bila otoritas itu didasarkan pada rule of
law. Akan tetapi, bila negara itu sendiri ingkar pada hukum dan memandang
rendah otonomi individu dan kelompok, masyarakat sipil masih bisa berdiri
(walaupun sementara atau dalam bentuk semrawut) jika elemen-elemen
konstituennya beroperasi dengna seperangkat aturan-aturan bersama (yang
misalnya, menjauhkan kekerasan dan menghormati pluralitas). Hal ini merupakan
syarat masyarakat sipil.
Tipologi Masyarakat Sipil
Masyarakat sipil mencakup beragam
organisasi, formal dan informal, meliputi[3]
:
-
Ekonomi: Asosiasi-asosiasi
(perkumpulan) dan jaringan komersial yang produktif.
-
Kultural: Lembaga dan
perkumpulan-perkumpulan yang bersifat religious, etnis, komunal, dan lain-lain
yang membela hak-hak kolektif, nilai-nilai, kepercayaan, keyakinan, dan
symbol-simbol.
-
Informasi dan pendidikan: Organisasi-organisasi yang
mencurahkan dirinya pada sisi produksi dan penyebaran (apakah untuk profit atau
tidak) pengetahuan umum, ide-ide, berita, dan informasi publik.
-
Kepentingan: Kelompok-kelompok yang
berusaha memajukan atau mempertahankan kepentingan material maupun fungsional
dari para anggotanya (misalnya; serikat buruh, asosiasi veteran dan pensiunan,
dan kelompok-kelompok profesi).
-
Pembangunan: Organisasi-organisasi yang
menghimpun sumber daya dan bakat individu untuk memperbaiki infrastruktur,
lembaga, dan kualitas hidup komunitasnya.
-
Berosrientasi isu: Gerakan-gerakan untuk
perlindungan lingkungan, reformasi lahan, perlindungan konsumen, dan hak-hak
perempuan, minoritas etnis, penduduk pribumi, kaum cacat, dan korban-korban
diskriminasi dan penganiayaan lain.
-
Kewarganegaraan: Kelompok-kelompok yang
berusaha (secara non partisan) memperbaiki sistem politik dan menjadikannya
lebih demokratis (misalnya, bekerja untuk hak asasi manusia, pendidikan dan
mobilisasi pemilih, monitoring pemilu, dan pengungkapan praktek-praktek korupsi
dan penyalahgunaan lainnya.
Model Relasi Partai Politik
dan Civil Society
Untuk memahami relasi yang terjadi antara partai politik
dan civil society, Beavis melihat ada tiga hal mendasar yaitu (1) tipe dari
aktivitas yang menghubungkan partai politik dan civil society; (2) kekuatan
dari hubungan tersebut, terlebih dalam konteks seberapa dekat dan eksklusif
hubungan tersebut dibangun; dan (3) arah dari pengaruh dalam relasi tersebut.12
Dalam model-model ini yang nantinya akan menarik akan didiskusikan secara lebih
mendalam. Ada beberapa aktivitas yang dilakukan oleh civil society dan partai
politik secara bersama-sama, dimana lebih banyak fokus dalam konteks pembuatan kebijakan
publik seperti advokasi atau lobi terhadap suatu isu yang sedang dibahas dalam
proses pembuatan undang-undang. Dalam konteks ini, civil society sebagai kelompok
kepentingan yang akan me-lobi partai politik di DPR untuk mendorong dan
mendiskusikan kepentingan yang mereka ajukan. Sebagai organisasi yang independen
dari kepentingan politik, civil society juga memiliki peran untuk memonitor
janji-janji kampanye para kandidat dan partai dalam masa kampanye serta juga
perilaku para politisi di DPR.
Dalam kesempatan
yang berbeda, civil society juga dianggap sebagai wadah untuk berdiskusi
tentang berbagai hal-hal penting terkait dengan isu-isu yang mereka (anggota
DPR) butuhkan saat itu. Dalam konteks kebutuhan partai politik, civil society
juga berperan dalam meningkatkan kapasitas organisasi partai dalam menjalankan
fungsinya, melalui berbagai bentuk pelatihan pengembangan kapasitas. Sebagai
lembaga yang memiliki sumber daya manusia yang diakui eksistensi dalam
pembangunan, civil society juga menyediakan para aktor dan pimpinannya sebagai
kandidat yang mumpuni dalam ajang pemilihan umum, baik untuk legislatif ataupun
eksekutif. Pada saat yang bersamaan, civil society juga dapat berperan dalam
mobilisasi para pemilih untuk dapat memilih pemimpin partai politik yang sesuai
dengan arah dan kepentingan mereka sebagai pemilih. Sementara itu, bila kita
memperhatikan hubungan kedua institusi ini dalam aspek kedekatannya, maka,
Beavis menyebutkan terdapat empat arah relasi yang terkait satu sama lain.
Dari perspektif civil society, paling tidak di kalangan
civil society terhadap tiga pandangan relasi tersebut dilihat: (1) menghindari
kontak dengan partai politik; dimana civil society berusaha untuk tidak
terlibat dalam kegiatan politik sehingga mereka tidak diklaim memiliki
aktivitas yang partisan. (2) mendukung partai politik secara menyeluruh, tanpa
ada keberpihakan; hal ini dilihat dari komitmen civil society untuk mendukung
partai politik berdasarkan agenda serta isu yang sama dengan kepentingan
kelompok civil society tersebut. (3) beraliansi dengan satu partai politik;
dalam konteks ini sebuah kelompok civil society atau lebih menyediakan bergagai
informasi dan bentuk pelatihan hanya kepada satu partai politik, dan biasanya
mereka memiliki ikatan yang kuat seperti kelompok buruh.
Dari perspektif partai politik, terdapat empat pandangan
yang dapat dilakukan oleh partai politik: (1) memiliki jarak jauh dengan civil
society; situasi ini mengindikasikan bahwa partai tidak memiliki hubungan
dengan civil society atau adanya kompetisi yang keras satu sama lain sehingga
tidak memiliki relasi yang dekat. (2) mendapat dukungan dari banyak kelompok masyarakat
dalam jangka waktu yang singkat; hal ini disebabkan tergantung dari kepentingan
seperti apa yang menjadi titik temu dari relasi tersebut. (3) memiliki hubungan
jangka panjang dengan satu atau beberapa kelompok civil society; hal ini
diindikasi dari adanya dukungan serius dan permanen dari satu kelompok civil
society kepada satu partai politik, seperti kelompok think thank, kelompok
serikat pekerja dan lain-lainnya. Dan (4) relasi yang terputus dengan kelompok
civil society; hal ini dimungkinkan manakala salah satu organ partai memutuskan
keluar dari partai dan bertransformasi menjadi kelompok civil society dengan
pertimbangan efektivitas kerja dibandingkan berada di dalam partai politik.
Sementara itu dari arah pengaruhnya, relasi partai politik
dan civil society tergantung dari konteks bagaimana kepentingan tersebut
berhasil diolah dan dikelola. Ada yang berpandangan bahwa partai politik
sebenarnya juga memiliki kelompokkelompok civil society yang punya pengaruh di
dalam konstituen sehingga partai memiliki kekuasaan yang besar. Sebaliknya,
kelompok civil society juga tingkat independensi yang tinggi
ketimbang partai politik karena dipengaruhi situasi dan lingkungan sosial politik di negara yang
bersangkutan. Secara
keseluruhan model yang diungkapkan oleh Beavis ini merupakan bentuk relasi yang
diasumsikan berada dalam konteks negara yang tengah mengalami transisi demokrasi. Artinya,
konteks relasi ini tidaklah tunggal dan satu arah melainkan kondisi yang memiliki ketergantungan dengan
apa yang terjadi dalam negara
yang bersangkutan.
Dinamika Relasi dalam
Pembuatan Kebijakan
Paska Orde Baru, relasi antara partai politik dan civil
society di Indonesia mulai terlihat dalam bentuk yang lebih konstruktif
dikarenakan adanya keterbukaan politik serta ruang kebebasan untuk berekspresi.
Partai politik tumbuh bak jamur di musim hujan dan civil society pun mengalami
hal yang sama. Meski tumbuh dalam ruang politik yang terbuka, namun keduanya
tidak serta merta dapat dengan mudah menjalin komunikasi yang harmonis di arena
pembuatan kebijakan. Di lembaga legislatif seperti DPR, diskusi yang panas
antara para pembuat undang-undang dengan kelompok masyarakat seperti LSM
ataupun universitas kerap terjadi. Dinamika inilah yang menjadi menarik untuk
dilihat dalam konteks relasi yang nyata antara kelompok civil society dengan
partai politik yang berada di DPR. Terdapat dua kasus nasional yang akan
didiskusikan dalam bagian selanjutnya yaitu mengenai keberhasilan Undang-undang
Pembentukan Peraturan perundang-undangan No.10/2004 yang didorong oleh berbagai
kelompok civil society[4]
dan dinamika dari pembahasan paket UU politik tahun 2009 yang dikawal oleh
Koalisi NGO untuk Penyempurnaan Paket UU Politik.
Sementara ada satu
kasus di tingkat lokal yakni keberhasilan mendorong Peraturan Daerah terkait
dengan peran dan partisipasi kelompok perempuan dalam Badan Perwakilan Desa di
Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah.20 Undang-undang Pembentukan Peraturan
perundang-undangan (P3) No.10/2004 lahir atas dorongan dan inisiatif dari anggota
DPR dan juga dukungan dari kelmpok civil society. Salah satu pertimbangan yang
penting adalah ketiadaan ruang partisipasi publik dalam proses pembuatan
kebijakan yang tidak terdapat dalam aturan di atasnya. Artinya, selain ada
kebutuhan partisipasi warga namun yang juga penting adalah proses pembentukan
peraturan perundang-undangan yang member ruang adanya hal tersebut. Dari
kalangan civil society terdapat satu koalisi yang berperan sebagai pengawal dan
juga pemberi informasi serta masukan yang konstruktif kepada para anggota DPR
yaitu Koalisi Kebijakan partisipatif yang didirikan tahun 2002.
Meski dalam proses pembentukan UU P3 terbilang alot karena
beberapa partai politik menganggap adanya kekhawatiran akan bentuk partisipasi publik
dalam pembuatan undang-undang, namun atas desakan dan pengawalan yang konsisten,
undang-undang tersebut berhasil disahkan pada tahun 2004. Sementara itu, dalam
pembahasan paket revisi UU Politik tahun 2009 (UU Partai Politik, UU Pemilu, UU
Pilpres dan UU Susduk MPR/DPR/DPRD), ada benturan kepentingan-kepentingan dalam
diskusi pembahasan di antara anggota DPR yang notabene adalah partai politik
dengan kalangan civil society yang tidak memiliki kepentingan politik apapun.
Dalam pembahasan sistem pemilu saja ada dua pandangan serius di kalangan DPR
yaitu sistem proporsional dengan daftar terbuka terbatas atau sistem
proporsional dengan daftar terbuka murni.
Dalam pandangan Koalisi Penyempurnaan Paket UU Politik
sebaiknya adalah sistem proporsional dengan daftar terbuka murni karena pemilih
tidak akan dirugikan untuk memilih yang terbaik. Sebaliknya pandangan yang
memilih sistem terbuka terbatas beranggapan bahwa partai tetap memerlukan
mekanisme internal untuk memberi kesempatan bagi kader-kadernya untuk dapat
terpilih dengan mudah. Namun pembahasan sistem pemilu yang penting ini
dimenangkan oleh pilihan sistem proporsional daftar terbuka terbatas, meski
akhirnya keputusan Mahkamah Konstitusi membatalkan tentang pasal ini yang
mengakibatkan sistem pemilu adalah proporsional terbuka murni.[5] Dalam
kasus lokal seperti di Donggala, lahirnya Peraturan Daerah yang memberi
kesempatan istimewa kepada perempuan untuk berpartisipasi di dalam forum Badan
Perwakilan Desa merupakan perjuangan dari kelompok civil society yang bergerak
di isu pemberdayaan perempuan. Salah satu pertimbangan adanya perda ini adalah
mendesaknya kebutuhan keterwakilan perempuan yang nyata dalam tingkat desa,
terutama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Meski terdapat
hambatan kultural dan sosial yaitu masih kuatnya hukum adat yang patrilineal,
namun dukungan nyata dari para anggota DPRD, termasuk yang laki-laki, terhadap
perda ini terlihat dalam pengesahannya. Salah satu poin yang menjadi sukses
dalam mendorong perda ini adalah kemampuan mobilisasi sumber daya serta
lobi-lobi untuk meyakinkan bahwa perda ini penting untuk segera dilahirkan di
Donggala. Apa yang bisa dipelajari dalam kasus-kasus tersebut?
Pertama, aktivitas
yang terbangun antara civil society dan partai politik masih dalam kerangka
membangun kebijakan publik yang berpihak kepada rakyat. Maka tidaklah heran
bila kelompok civil society masih kerap melakukan lobi dan advokasi kepada para
pembuat kebijakan untuk mendorong serta mengawal isu-isu yang ingin mereka
tekankan. Kedua, pada saat yang bersamaan, para politisi di DPR merasa bahwa
mereka memiliki asupan informasi serta bahan yang memadai mengenai isu-isu yang
sedang mereka bahas sehingga kebutuhan merespon tuntutan serta dukungan dari
kelompok civil society adalah penting. Dalam konteks ini bisa dikatakan bahwa
civil society dan partai politik sama-sama menyebarkan dukungan secara
keseluruhan, tidak hanya satu atau dua partai atau kelompok civil society.
Sebaran dukungan ataupun tuntutan tergantung dari isu dan kepentingan apa yang
ingin mereka raih nantinya sehingga ikatan dalam relasi tersebut tidaklah
permanen dan bersifat sementara.
C. PENUTUP
C.1
Kesimpulan
Dari
beberapa argumen dan tulisan yang telah disampaikan dalam paper diatas, maka
penulis bisa menyimpulkan bahwa setelah digulirkannya era reformasi, peran dari
masyarakat sipil atau civil society di
Indonesia sangatlah besar dan kuat pengaruhnya. Dimana terdapat relasi yang
jelas antara masyarakat sipil dan partai politik dalam usaha untuk membuat
suatu kebijakan yang nantinya dibawa pada tataran legislative sebagai perumus
Undang-Undang yang akan diimplementasikan pada masyarakat luas.
C.2
Saran
Ditinjau
dari segi atau aspek gerakan, masyarakat sipil atau civil society di Indonesia sangatlah kuat pada masa pasca orde
baru. Dimana memang banyak sekali pengaruhnya terhadap Undang-Undang atau
kebijakan yang kemudian akan diimplementasikan di masyarakat. Adapun yang harus
diperbaiki dan dikembangkan oleh gerakan masyarakat sipil atau civil society ini adalah bagaimana
memberikan gambaran atau pendidikan mengenai politik kepada masyarakat luas
dalam upaya meningkatkan daya kritis masyarakat Indonesia.
Daftar Pustaka
-
Kompilasi
Bahan Kuliah Pengantar Ilmu Politik Semester
1 tahun 2010/2011 oleh: Muhtar Haboddin, S. IP, MA dan Bandiyah, S.Fil, MA.
-
Budiardjo, Miriam Prof. 2008. Dasar-Dasar ilmu Politik.Jakarta,
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
-
Kamus Sosiologi
-
http/www.KPU.co.id
-
http/www.hukumonline.com
[1] Peserta pemilu 1999 sebanyak 48 partai politik.
Sedangkan pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai politik
dan pemilu 2009 diikuti oleh 38 partai politik dan 6 partai local di
Aceh. Untuk lebih jelasnya dapat
mengakses www.kpu.go.id
[2]
Kompilasi
Bahan Kuliah Pengantar Ilmu Politik Semester
1 tahun 2010/2011 oleh: Muhtar Haboddin, S. IP, MA dan Bandiyah, S.Fil, MA.,
hal 265
[3]
Kompilasi
Bahan Kuliah Pengantar Ilmu Politik Semester
1 tahun 2010/2011 oleh: Muhtar Haboddin, S. IP, MA dan Bandiyah, S.Fil, MA., ibid.
[4] Wawan Ichwanuddin, Aditya Perdana dan Fransisca Fitri,
Masyarakat Sipil dan Kebijakan Publik:
Studi Kasus Aktivitas Masyarakat Sipil dalam
Mempengaruhi Kebijakan Publik,
Jakarta, YAPPIKA,
2006.
[5] MK Putuskan Pemilu Gunakan Suara Terbanyak,
hukumonline, 24 Desember 2008. dapat diakses di
Comments