Skip to main content

LIBERALISASI SEKTOR MIGAS

LIBERALISASI SEKTOR MIGAS
Setan itu Bernama IMF : Eksploitasi Migas Indonesia dan Imperialisme Gaya Baru Negara Dunia Pertama ”
Oleh : Iwan Ismi Febriyanto


            Pada tahun 1991 sampai pada kisaran tahun 1996, Indonesia memang sempat mencatatkan prestasinya dibidang ekonomi dengan pertumbuhan GDP rata-rata 7,7 persen (1991-1994), 8,2 persen (1995), dan 7,8 persen (1996). Namun, semua itu seketika runtuh ketika Indonesia terkena depresiasi baht Thailand yang menghantam sendi-sendi perekonomian nasional pada waktu itu. Bahkan, nilai tukar mata uang Indonesia atas dollar AS sampai menembus angka Rp 14.800 per dollar AS. Disinilah yang menjadi puncak dari prestasi Indonesia sebelumnya, yaitu krisis ekonomi yang spektakuler dalam beberapa dekade terakhir.
            Krisis ekonomi inilah yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu “pasien” dari lembaga-lembaga kreditor internasional seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan Asian Development Bank (ADB) yang tergabung dalam Consultative Groups on Indonesia (CGI). Disinilah awal dimualainya era eksploitasi besar-besaran para kapitalis dunia pertama terhadap Indonesia.
Dimana pada buku Dibawah Bendera Asing: Liberalisasi Industri Migas di Indonesia karya M. Khalid Syeirazi menyebutkan bahwa setidaknya ada 117 langkah yang disodorkan dalam proposal IMF untuk sebagai prasyarat peminjaman hutang luar negeri untuk Indonesia. Kesepakatan tersebut merupakan prasyarat bagi pencarian dana bantuan sebesar 260 juta USD sebagai bagian dari paket pinjaman sebesar 5 miliar USD.
            Pasca adanya usaha IMF dan kroninya dalam upaya meriberalisasi industri di Indonesia, kemudian telah tercatat beberapa Undang-Undang yang memang merupakan produk dari adanya usaha tersebut. Seperti UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Ketenagalistrikan, UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA), UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu, Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan asta Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang, UU Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, dan terakhir UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang disahkan pada 29 Maret 2007 (Kholid Syeirazi: 200) .
            Dari semua UU yang menghantarkan negara ini kedepan pintu liberalisasi industry dalam negeri nyatanya memang sangat bertentangan dengan UUD pasal 33 1945. Dimana, dari segi penguasaan, pelaksanaan, maupun pengawasan terhadap berputarnya kekayaan alam di Indonesia masih harus tetap bisa dipertanggungjawabkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, pada tulisan ini saya akan lebih memfokuskan diri pada eksploitasi Migas di Indonesia yang memang sangat memprihatinkan dan berdampak sangat negatif bagi keberlangsungan perekonomian Indonesia ke depannya.
Makna pokoknya adalah proses pembuatan UU No 22/2001 tentang Migas lebih merupakan perwadahan kepentingan perusahaan-perusahaan kilang migas milik asing ketimbang bertujuan menjaga kedaulatan energi migas nasional. Oleh karena itu, UU Migas tahun 2001 lebih merupakan ”negosiasi yang berhenti” antara elite-elite politik Indonesia yang proliberalisasi dan kepentingan perusahaan-perusahaan raksasa migas dunia. Di belakang perusahaan-perusahaan migas raksasa itu berdiri beberapa negara industri maju yang rakus migas, khususnya Amerika.
Mengapa Amerika ditengarai begitu getol mengusik kedaulatan migas Indonesia? Dalam buku ini dipaparkan, Amerika adalah negara industri yang sangat bergantung pada migas, yang dalam setahun menguras 24,6 persen dari seluruh konsumsi minyak dunia. Padahal, penduduk Amerika hanya 5 persen dari seluruh populasi dunia. Dengan demikian, menguasai minyak Indonesia menjadi penting sebagai alternatif, terlebih saat wilayah pemasok utama minyak Amerika di kawasan Teluk bergejolak.
Pada tahun 2007 cadangan minyak Indonesia diperkirakan sekitar 3.988.74 ribu barrel dengan cadangan potensial 4.414.57 ribu barrel. Total mencapai 8,4 miliar barrel. Sementara cadangan gas alam diperkirakan 106.01 triliun kaki kubik dengan cadangan potensial 58,98 triliun kaki kubik. Dengan persediaan migas sebesar itu, Indonesia bisa menjadi pemasok 0,4 persen minyak dunia dan 1,7 persen kebutuhan gas dunia.
Potensi migas Indonesia yang cukup signifikan itulah yang menjadi incaran Amerika dan negara lainnya ketika pasaran migas dunia melonjak dan kawasan penghasil migas utama dunia bergejolak secara politik. Dalam situasi seperti itu, cadangan migas Indonesia dilihat sebagai sabuk pengaman dari kebutuhan minyak dunia, khususnya Amerika. Dalam konteks ini, migas bukan lagi semata-mata barang ekonomi, melainkan juga jantung politik dunia.
Di kala migas menjadi jantung politik dunia seperti itu, Indonesia bergerak ke arah yang berlawanan dan membiarkan migasnya menjadi barang yang mudah diambil orang. Kehadiran UU migas ini menyingkirkan kontrol negara terhadap migas dan sekaligus meruntuhkan Pertamina sebagai perusahaan negara, dengan menjadikannya sebuah perusahaan yang sama kelasnya dengan perusahaan migas milik swasta dan asing mana pun. Kasarnya, UU Migas tahun 2001 memusuhi keberadaan Pertamina yang selama ini menjadi tangan negara dalam mengontrol migas. Alasan Pertamina tidak efisien dan korup dijadikan pembenarannya.
UU No 22/2001 merombak posisi, status, peran, dan tugas Pertamina. Hal ini dengan sendirinya merombak peran, posisi, dan tugas negara dalam melindungi kedaulatan energi di sektor migas. Sejak tangan negara dienyahkan dari sektor migas ini, kita langsung berhadapan dengan harga migas yang melambung-lambung. Subsidi migas lenyap. Kemudian kesalahan ini ditebus dengan menggelontorkan BLT sebagai bentuk tangan negara budiman kepada khalayak umum.
Sebenarnya untuk masalah migas itu sendiri barangkat dari UU No 22 Tahun 2001, jelas-jelas di dalamnya mengandung prinsip liberal yakni meniadakan peran negara dalam mengelola sumber daya alam. UU Migas tersebut menggariskan penggantian peran negara oleh swasta. Ini dikarenakan lebih banyak karena UU itu disusun oleh asing melalui tangan-tangan anggota DPR. 
Jika pasal dalam undang-undang tersebut dianalisis maka negara hanya semata perancang regulasi. Pun, hukum yang dibuat tak lepas dari intervensi asing. Sebagai bukti, pembuatan undang-undang tersebut pun telah dibiayai USAID dan World Bank senilai US$ 40 juta atau senilai 360 milyar (1 kurs dollar = Rp 9.000). Berdasarkan data ada 60 kontraktor dalam kategori : Super Major yang menguasai cadangan minyak 70 persen dan 80 persen. Major yang menguasai cadangan minyak 18 persen dan gas 15 persen. Perusahaan independen menguasai cadangan minyak 12 persen dan gas 5 persen. Kontraktor major disini adalah Exxon Mobile, Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan texaco. Sedangkan yang major adalah Conoco, Repsol, Unocol, Santa Fe, Gulf, Primier, Inpex, Japex.
Sejak adanya Undang-undang ini seluruh kegiatan  usaha migas baik hulu maupun hilir semata berdasarkan pada mekanisme pasar, karena Pertamina tidak lagi diberi monopoli sebagai pengelola minyak negara seperti halnya Petronas di Malasyia yang notabenenya dahulu belajar dari Pertamina, kemudian PDVSA di Venezuela, atau PEMEX di Mexico. Sehingga pasar BBMpun dibuka untuk asing. Kemudian, akan menjadikan harga BBM sama dengan harga pasar dan sangat menguntungkan asing. Inilah bukti diadopsinya demokrasi liberal dan ekonomi kapitalisme.
Kesimpulan

            Dari beberapa argument yang telah saya ulas diats, maka jelas kita bisa melihat bagaimana dampak dari adanya globalisasi yang masih banyak merugikan negara-negara berkembang dalam upaya pembangunan ekonomi yang berkeadilan. Campur tangan negara kuat dalam pengendalian sektor-sektor ekonomi strategis menjadikan kita sebagai budak dinegeri sendiri. Ini artinya, IMF dan kroninya memang telah menjadi semacam setan berdasi dengan dalih kesemakmuran dan keseimbangan dunia. Padahal, nyatanya memang bisa dibilang sebagai imperialisme gaya baru. Lalu, apa yang menyebabkan kita masih percaya pada lembaga-lembaga pinjaman hutang luar negeri semacam ini ? 

Comments

Popular posts from this blog

Teori Elit dalam Kebijakan Publik

ELIT DAN KEBIJAKAN : TINJAUAN TEORITIS TENTANG MODEL ELIT DALAM MEMAHAMI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK Oleh : Iwan Ismi Febriyanto Abstract             In the analysis of public policy, of course, there are some models that can be used to focus on one subject of public policy itself. That is, before we alone make this a great and sturdy construction, of course, we must have a clear model. That is the reason why public policy analysis models are crucial in making or analyzing public policy. There are several models in the classification of policy analysis. However, here the author would like to focus on Elite Model Theory in the analysis of public policy. To find out how political institutions operate, how decisions are made then the informant's most relevant is the political elite. Elite is defined as "those that relate to, or have, an important position." Political elite to do with how power affects the person's public policy making. Here the role of the

TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT

DIALEKTIKA KEBIJAKAN PUBLIK : “STUDI KOMPARASI TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT DENGAN GOOD GOVERNANCE DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK” Oleh: Iwan Ismi Febriyanto Abstract Public sector organizations are often described unproductive, inefficient, always loss, low quality, poor innovation and creativity, as well as many other critics. The emergence of strong criticism directed at public sector organizations will then cause the movement to reform public sector management. One of the public sector reform movement is the emergence of the concept of New Public Management (NPM). The concept of new public management was initially introduced by Christopher Hood in 1991. When viewed from a historical perspective, modern management approaches in the public sector at first appear in Europe in the 1980s and 1990s as a reaction to the inadequacy of the traditional model of public administration. NPM emphasis at that time was the implementation of decentralization, devolution, and the m

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme Analisis Mengenai Pengaruh dan Implementasinya dalam Kondisi Politik di Suatu Negara Oleh : Iwan Ismi Febriyanto BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG             Ideologi merupakan hal yang paling krusial dalam sejarah maupun masa depan kehidupan manusia, terutama dalam bidang politik dan ekonomi. Bagaimana ideologi mempunyai peran sebagai dasar maupun pijakan yang digunakan oleh suaru kelompok sebagai panutan dari apa yang akan dilakukannya kedepan. Kata ideologi sendiri pertama kali dikembangkan dan diperkenalkan oleh seorang filsuf dari negara Perancis yang bernama Antonie Destutt de Tracy di masa Revolusi Perancis. Antony Downs (1957:96) mengatakan bahwa ideology merupakan seperangkat asumsi dasar baik normatif maupun empiris mengenai sifat dan tujuan manusia atau masyarakat agar dapat dipakai untuk mendorong serta mengembangkan tertib politik.