Skip to main content

Teori Elit dalam Kebijakan Publik


ELIT DAN KEBIJAKAN :
TINJAUAN TEORITIS TENTANG MODEL ELIT DALAM MEMAHAMI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK
Oleh : Iwan Ismi Febriyanto


Abstract
            In the analysis of public policy, of course, there are some models that can be used to focus on one subject of public policy itself. That is, before we alone make this a great and sturdy construction, of course, we must have a clear model. That is the reason why public policy analysis models are crucial in making or analyzing public policy. There are several models in the classification of policy analysis. However, here the author would like to focus on Elite Model Theory in the analysis of public policy. To find out how political institutions operate, how decisions are made then the informant's most relevant is the political elite. Elite is defined as "those that relate to, or have, an important position." Political elite to do with how power affects the person's public policy making. Here the role of the elite is how to influence the decision-making process so that the policy in favor of the interests of the elite and not the public interest.
Elite theory put forward an argument that is final on this by saying that most people are essentially apathetic and blind party information on public policy, and thus the true elites penguasalah coloring and influencing public opinion regarding policy issues, not the people who influence the opinions of the elite (Wahab: 88). Here the people are not in the position calculated for all forms of policy only to reinforce their elite status as expressed by Wertheim that period was not taken into account or if the image of the time there then they are a group that is highly visible and especially those perceived as a threat ( Wertheim: 4). This elite model look administrator of the State not as a public servant (servant of the people), but rather as small groups that have been established (Islamy: 39). Here the Administrator in making policy always represents the needs of the elite only and not for the benefit of the masses.

Keywords : Policy Analysis, Models of Public Policy Analysis, Elite Model

Abstraksi
Dalam melakukan analisis kebijakan publik, tentunya ada beberapa model yang bisa dipakai untuk memfokuskan diri pada salah satu subjek dari kebijakan publik itu sendiri. Artinya, sebelum kita sendiri membuat suatu bangunan yang besar dan kokoh, tentunya kita harus mempunyai model yang jelas. Itulah alasan dari mengapa model analisis kebijakan publik itu sangat dibutuhkan dalam membuat atau menganalisis kebijakan publik. Ada beberapa model dalam klasifikasi analisis kebijakan. namun, disini penulis ingin memfokuskan diri pada Teori Model Elit dalam melakukan analisis kebijakan publik. Untuk mengetahui bagaimana institusi politik beroperasi, bagaimana keputusan penting dibuat maka informan yang paling relevan adalah para elite politik. Elite didefinisikan sebagai “mereka yang berhubungan dengan, atau memiliki, posisi penting”. Elite politik berkaitan dengan seberapa kekuasaan seseorang berpengaruh pada pembuatan kebijakan pemerintah. Disini peran elit adalah bagaimana mempengaruhi proses pembuatan kebijakan agar kebijakan tersebut berpihak pada kepentingan elit dan bukan kepentingan public. Teori elit menyodorkan sebuah argument yang cukup telak tentang hal ini dengan menyatakan bahwa sebagian besar rakyat pada hakekatnya merupakan pihak yang apatis dan buta informasi mengenai kebijakan public, sehingga dengan demikian para elit penguasalah yang sesungguhnya mewarnai dan mempengaruhi pendapat umum yang menyangkut masalah-masalah kebijakan, bukan rakyat yang mempengaruhi pendapat golongan elit (Wahab:88). Disini posisi rakyat tidak di perhitungkan karena segala bentuk kebijakan hanya untuk mengokohkan status golongan elit sebagaimana yang diungkapkan oleh Wertheim bahwa masa memang tidak diperhitungkan atau jika citra tentang masa itu ada maka mereka itu adalah suatu kelompok yang dibuat sangat terlihat dan terutama mereka dianggap sebagai ancaman (Wertheim:4). Model elit ini memandang administrator Negara bukan sebagai abdi rakyat (servant of the people), tetapi lebih sebagai kelompok-kelompok kecil yang telah mapan (Islamy:39). Disini Administrator dalam membuat kebijakannya selalu merepresentasikan kebutuhan golongan elit semata dan bukan untuk kepentingan massa rakyat.

Kata Kunci : Analisis Kebijakan, Model-model Analisis Kebijakan Publik, Model Elit



Pendahuluan
            Kebijakan publik merupakan bagian terpenting dalam studi terhadap ilmu pemerintahan maupun ilmu politik, walaupun dengan usia yang masih terbilang baru, yaitu dimulai pada pertengahan dasawarsa 1960-an (SAW : 2012). Semakin zaman menunjukkan perkembangan, maka semakin pula ilmu mengenai kebijakan publik ini menjelma sebagai ilmu yang memang sangat penting untuk dipelajari. Apalagi mengingat bahwa kebutuhan akan melakukan reformasi pada tataran birokrasi di negara kita yang semakin besar.
            Meski begitu, harus diakui bahwa para ilmuwan yang kemudian memiliki fokus pada kebijakan publik ini sangatlah sedikit dibandingkan kebutuhannya. Pun demikian dengan buku-buku yang mengulas tentang analisis kebijakan publik. Adapun demikian, pengertian akan kebijakan publik itu sendiri kemudian pecah menjadi beberapa sifat, ada yang bersifat demokratis, ada pula yang tidak. Maka dari itu, disinilah penulis kemudian ingin mencoba untuk menguraikan tentang beberapa pengertian dari kebijakan publik yang akan dikomparasikan antara satu dengan lainnya.
            Analisis kebijakan, kata Thomas R. Dye, adalah suatu untuk mengetahui “what governments do, why they do it, and what difference make” (apa sesungguhnya yang dilakukan oleh pemerintah-pemerintah, kenapa mereka melakukannya, dan apa yang menyebabkan capaian hasilnya berbeda-beda” (Thomas R. Dye, 1976 : 1). Jadi, dalam pandangan Dye, semua definisi tentang analisis kebijakan pada akhirnya akan bermuara pada hal yang sama, yaitu pendeskripsian dan penjelasan mengenai sebab-sebab dan akibat-akibat dari tindakan atau perbuatan pemerintah.
            Pengertian kebijakan publik menurut William Dunn (2002) adalah suatu daftar pilihan tindakan yang saling berhubungan, yang disusun oleh institusi atau pejabat pemerintah. Artinya, disini pusat dari adanya suatu kebijakan adalah mengenai dan terpusat pada tataran pemerintah. Dan segala bentuk dari kebijakan merupakan keputusan kolektif dari pemerintah. Menurut Sugianto (2003) kata kebijakan yang dirangkum dari berbagai pengertian yang bersumber dari ahli kebijakan mempunyai pengertian sebagai seperangkat keputusan untuk menghadapi situasi tertentu, dengan kelengkapan ketentuan tentang tujuan, cara dan sarana serta kegiatan untuk mencapainya.
            Sedangkan pengertian kebijakan publik pada dasarnya lebih menekankan makna kata publik yang mempunyai konotasi sebagai pemerintah, masyarakat atau umum, sehingga implikasi pengertian kebijakan publik adalah :
  • bahwa kebijakan tersebut dalah kebijakan negara atau pemerintah, berupa pilihan pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan.
  • bahwa kebijakan publik bertujuan mengatasi situasi tertentu,
  • kebijakan tersebut memandu tindakan atau pola tindakan  pejabat pemerintah,
  • kebijakan publik didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan bersifat otoratif.
Dari berbagai definisi kebijakan publik yang telah penulis sebutkan diatas, bisa disebutkan bahwa inti dari permasalahan kebijakan publik itu hanya terpusat pada tataran pemerintahan saja. Artinya, disini yang bisa penulis lihat bahwa kurang adanya tujuan yang jelas dari setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Seperti yang kita ketahui, bahwa negara Indonesia adalah negara yang demokratis, yaitu kekuasaan tertinggi ada sepenuhnya ditangan rakyat, dan dipergunakan seutuhnya untuk kesejahteraan sosial masyarakat.
Namun, ada satu definisi yang menurut merupakan pengejewantahan dari sifat kebijakan publik yang demokratis, yaitu menurut Prof. Solichin Abdul Wahab, ”Public policy is a kind of collective political action taken by government in order to attain public interest of the society atau dengan kata lain kebijakan publik adalah bagian dari aktivitas kolektif para aktor politik yang diambil oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan sosial dalam masyarakat ” (SAW, 2012)
Pada level makro, berbagai negara memiliki tatanan konstitusional dan aturan tentang struktur keagenan pemerintah serta aturan perilaku pejabat yang berbeda-beda. Sebagai sistem politik mengkonsentrasikan otoritas pengambilan keputusan pada lembaga eksektuif yang dipilih dan birokrasi, sementara sebagian yang lain memungkinkan lembaga legislatif dan judikatif untuk memainkan peran yang lebih besar. Sistem parlementer cenderung untuk masuk pada kategori yang pertama dan sistem presidensiil pada yang kedua. Dus, di Australia, Inggris, Kanada dan negara-negara demokrasi parlementer lain, tanggungjawab pengambilan keputusan terletak semata-mata di pundak kabinet dan birokrasi. Mungkin ada saatnya ada keputusan yang harus mereka terima, yang berasal dari legislative, terutama pada situasi ketika pemerintah yang berkuasa tidak menikmati sebuah mayoritas di parlemen. Bisa juga aturan itu datang dari cabang yudikatif, ketika lembaga ini menjalankan perannya sebagai penafsir konstitusi, tetapi hal seperti ini tidak rutin terjadi. Di Amerika Serikat, atau di negara-negara lain yang menganut sistem presidensiil, meskipun otoritas untuk untuk mengambil keputusan ada di tangan Presiden (dan kabinet serta birokrasi yang bertindak mewakili presiden), tetapi itu semua mensyaratkan adanya persetujuan dari legislatif. Pada level mikro, para pengambil keputusan itu sendiri juga berasal dari latar belakang, pengetahuan, dan pilihan yang berbeda-beda yang mempengaruhi bagaimana mereka menafsirkan suatu masalah dan solusi yang tepat untuk masalah tersebut. Pengambil keputusan yang berbeda yang beroperasi dalam tatanan institusional yang hampir serupa akan memberikan respon yang berbeda ketika dihadapkan pada situasi atau permasalahan yang sama atau hampir sama.
Beberapa golongan model yang ada dalam pembagian di bidang analisis kebijakan publik, merupakan salah satu cara/upaya para pakar analisis kebijakan publik agar dapat membantu mereka dalam menyederhanakan kenyataan permasalahan politik yang ada didalam permasalahan kebijakan publik. Ini sedikit mengutip pernyataan dari Thomas R.Dye mengatakan bahwa “a model is merely an abstraction or representation of political life”. Artinya apa yang di sebut model itu pada hakikatnya adalah suatu upaya menyederhanakan atau mengejawantahkan kenyataan politik. Selain itu tujuan dibentuk nya model-model kebijakan publik ini juga merupakan salah satu hal yang dibutuhkan para ahli kebijakan publik dalam proses menganalisis kebijakan publik, yang biasa menggunakan alat-alat konseptual (conceptual tools) tertentu yang dimaksudkan untuk membantu pekerjaan mereka dalam memahami dan memvisualisasikan realita kebijakan publik yang kompleks. Diantara sejumlah alat konseptual yang ada inilah , yang sering dipakai dan bermanfaat bagi keperluan analisis ialah yang berupa model-model dan atau tipologi-tipologi tertentu.
Menurut Lester dan Steart (2000:51), pada derajat tertentu akan dapat memainkan peran kunci semacam penyedia hamparan lahan atau pemberi gambaran secara grafikal beberapa aspek penting dari proses kebijakan. Ini merupaka penjelasan tentang sebuah model yang baik. Tetapi walaupun demikian, meskipun kemudahan-kemudahan akan didapatkan dalam memahami permasalaan kebijakan yang sangat kompleks dan dapat memahami keadaan realita yang lebih baik. Secara tidak langsung model-model yang ada juga dapat membuat keterpakuan kita terhadap konsep yang disajikan oleh model yang ada, yang ini akan berdampak kepada penyempitan daya imaji kita dalam melihat sebua realita yang ada. Sehingga pemahaman kita menjadi terdistorsi atau terkurung untuk dapat melihat realitas yang ada di sekeliling kita.Oleh karena itu, dalam memahami model tertentu kita harus mempunyai perbndingan yang cukup untuk dapat mengambangkan pemikiran dan kepekaan terhadap permasalahan kebijakan publik yang sangat kompleks.
Didalam setiap penciptaan model yang ada, tujuan dan motif para pencipta model akan sangat berpengaruh terhadap kesederhanaan dalam model, ataukah kekompleksan yang ada dalam model tersebut. Dalam hal yang sederhana, model ini diciptakan sebagai sebuah dokumentasi terhadap pemikiran yang pernah mereka tuangkan, tapi justru dalam model tipe seperti ini akan sangat membantu para pakar kebijakan publik dalam menyusun sebuah hipotesis dan melakukan percobaan yang sangat andal. Sedangkan dalam ruang lingkup yang kompleks, biasanya model ini akan menjadi suatu pemahaaman yang abstrak dan penuh dengan simbolik,yang biasanya dalam penuangan pemikiran tentang model ini para pakar kebijakan publik menggunakan hal yang matematis dibandingkan hal yang fisik.  Sehingga ini akan berfungsi untuk memberikan sebuah penjelasan, pengejawantahan, peramal, percobaan, dan penguji sebuah hipotesis. Disamping sesuatu hal yang kompleks atau kesederhanaannya sebuah model yang ada, intinya kedua tipe model yang ada ini akan sangat membantu para pakar analisis kebijakan publik untuk dapat memahami bagaimana proses perumusan dan atau proses pengimplementasian kebijakan publik tersebut.
Dalam paper yang di buat ini, akan mencoba menjelaskan pemahaman tentang salah satu model yang ada, yaitu model elit. Model yang di pakai ini merupakan salah satu model dari enam model yang pernah dibuat oleh Thomas R. Dye (1978), yang telah membagi model dalam 6 jenis model, yaitu : Model Kelembagaan, Model Kelompok, Model Elit, Model Rasional, Model Inkremental dan Model Sistem.
Pembahasan
Kebijakan Publik (Inggris:Public Policy) adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebuah kebijakan publik seharusnya merepresentasikan aspirasi masyarakat dan kemudian dijalankan oleh lembaga yang memiliki tugas pokok dan kewenangan kebijakan tersebut.
Dwijowijoto (2003) mengatakan bahwa kebijakan publik adalah jalan mencapai tujuan bersama yang dicita-citakan. Jika  cita-cita bangsa Indonesia adalah mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila (Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi dan Keadilan) dan UUD 1945 (Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan hukum dan tidak semata-mata kekuasaan), maka kebijakan publik adalah  seluruh prasarana dan sarana untuk mencapai “tempat tujuan” tersebut. Dengan kondisi ini maka kebijakan publik dapat dianggap sebagai “manajemen pencapaian tujuan nasional” (Gambar 1).


Gambar 1 Kebijakan publik sebagai manajemen pencapaian tujuan nasional
Dari beberapa konsepsi tentang kebijakan publik diatas, maka disinilah letak urgensi dari adanya kajian mengenai analisis kebijakan publik. Dibagian latar belakang juga sebelumnya telah dibahas mengenai beberapa pengertian dari teori analisis kebijakan publik. Dan tentunya, dalam setiap teori yang telah dikemukakan oleh para aktor analis kebijakan, ada beberapa teori yang membahas tentang model-model analisis kebijakan publik. Dan model-model dari analisis kebijakan publik menurut Prof. Solichin Abdul Wahab, beliau membaginya dalam enam kategori model. Yaitu, Model Kelembagaan, Model Kelompok, Model Elit, Model Rasional, Model Inkremental, dan Model Sistem.
Model-Model dalam Kebijakan Publik
            Model kebijakan adalah representasi sederhana mengenai aspek-aspek yang dipilih dari suatu kondisi masalah yang disusun untuk tujuan-tujuan tertentu. Model kebijakan merupakan penyederhanaan sistem masalah dengan membantu mengurangi kompleksitas dan menjadikannya dapat dikelola oleh para analis kebijakan. Model adalah isomorfisme antara dua atau lebih teori empiris, sehingga model seringkali sulit diuji kebenarannya di lapangan. Namun model tetap dapat digunakan sebagai pedoman dalam penelitian, terutama penelitian yang bertujuan untuk mengadakan penggalian atau penemuan-penemuan baru. Model menjadi pedoman untuk menemukan (to discover) dan mengusulkan hubungan antara konsep-konsep yang digunakan untuk mengamati gejala sosial. Model merupakan representasi sebuah realitas. Model sangat bermanfaat dalam mengkaji kebijakan publik, karena :
1.      Kebijakan publik merupkan proses yang kompleks, dengan sifat model yang menyederhanakan realitas akan sangat membantu dalam memahami realitas yang kompleks tersebut.
2.      Sifat alamiah manusia yang tidak mampu memahami realitas yang kompleks tanpa menyederhanakannya terlebih dahulu, maka peran model dalam memperjelas kebijakan publik akan semakin berguna.
Menurut Thomas R. Dye menyarankan beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk melihat kegunaan suatu model di dalam mengkaji kebijakan publik, yaitu :
1.      Apakah model menyusun dan menyederhanakan kehidupan politik sehingga dapat memahami hubungan-hubungan tersebut dalam dunia nyata dan memikirkannya dengan lebih jelas.
2.      Apakah model mengidentifikasi aspek-aspek penting dalam kebijakan publik.
3.      Apakah model kongruen (sama dan sebangun) dengan realitas.
4.      Apakah model mengkomunikasikan sesuatu yang bermakna menurut cara yang kita semua dapat mengerti.
5.      Apakah model mengarahkan penyelidikan dan penelitian kebijakan publik.
6.      Apakah model menyarankan penjelasan bagi kebijakan publik.
Ketika kita melakukan penyederhanaan dalam rangka memahami multiplisitas fktor dan kekuatan yang membentuk problem dan proses sosial kita mesti menyusun model, pemetaan atau berpikir dalam term metafora. Hal ini mencakup kerangka tempat kita berpikir dan menjelaskan.
Model Elitis/Policy as Elite Preference
Model ini mempunyai asumsi bahwa kebijakan publik dapat dipandang sebagai nilai-nilai dan pilihan-pilihan elit yang memerintah. Thomas R. Dye dan Harmon memberikan ringkasan pemikiran mengenai model ini, yaitu :
1.      Masyarakat terbagi dalam suatu kelompok kecil yang mempunyai kekuasaan dan massa yang tidak mempunyai kekuasaan. Hanya sekelompok kecil saja orang yang mengalokasikan nilai untuk masyarakat sementara massa tidak memutuskan kebijakan.
2.      Kelompok kecil yang memerintah tersebut bukan tipe massa yang dipengaruhi.  Para elit ini biasanya berasal dari lapisan massyarakat yang ekonominya tinggi.
3.      Perpindahan dari kedudukan non-elit ke elit sangat pelan dan berkesinambungan untuk memelihara stabilitas dan menghindari revolusi. Hanya kalangan non-elit yang telah menerima konsensus elit yang mendasar yang dapat diterima dalam lingkaran kaum elit.
4.      Elit memberikan konsensus pada nilai dasar sistem soaial dan pemeliharaan sistem.
5.      Kebijakan publik tidak merefleksikan tuntutan massa tetapi nilai-nilai elit yang berlaku.
6.      Para elit secara relatif memperoleh pengaruh langsung yang kecil dari massa yang apatis. Sebaliknya elit mempengaruhi massa yang lebih besar.
Model elit lebih memusatkan perhatian pada peranan kepemimpinan dalam pembentukan kebijakan publik. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam suatu sistem politik beberapa orang memerintah orang banyak, para elit politik yang mempengaruhi massa rakyat dan bukan sebaliknya.  Model ini dikembangkan dari teori elit yang menentang keras pandangan bahwa kekuasaan dalam masyarakat itu berdistribusi secara merata. Dengan demikian suatu kebijakan publik selalu mengalir dari atas ke bawah, yaitu dari kaum elit ke massa (rakyat).
Model Pluralis/Policy as Group Equilibrium/Model Kelompok
Model ini berangkat dari suatu anggapan bahwa interaksi antar kelompok dalam masyarakat adalah pusat perhatian dari politik. Individu-individu yang memiliki latar belakang kepentingan yang sama biasanya akan bergabung baik secara formal maupun informal untuk mendesakan kepentingan-kepentingannya pada pemerintah. Dalam model ini, perilaku individu akan mempunyai makna politik kalau mereka bertindak sebagai bagian atas nama kepentingan kelompok. Kelompok dipandang sebagai jembatan yang penting antara individu dan pemerintah, karena politik pada dasarnya adalah perjuangan-perjuangan yang dilakukan kelompok untuk mempengaruhi kebijakan publik. Dari sudut pandang model ini sistem politik mempunyai tugas untuk mengelola konflik yang timbul dalam perjuanagan antar kelompok tersebut, dengan cara :
1.      Menetapkan aturan permainan dalam perjuangan kelompok;
2.      Mengatur kompromi-kompromi dan menyeimbangkan kepentingan;
3.      Memberlakukan kompromi yang telah dicapai dalam bentuk kebijakan publik;
4.      Memaksakan kompromi tersebut.
Model pluralis lebih menitik beratkan bahwa kebijakan publik terbentuk dari pengaruh sub-sistem yang berada dalam sistem demokrasi. Dalam model ini adalah gagasan yang sifatnya lebih parsitipatif dan berbasis komunitas dalam perumusan kebijakan atau pengambilan kebijakan. Padangan Pluralis menurut Robert Dahl dan David Truman, menguraikan sebagai berikut :
1.     Kekuasaan merupakan atribut individu dalam hubungannya dengan individu-individu yang lain dalam proses pembuatan keputusan.
2.     Hubungan –hubungan kekuasaan tidak perlu tetap berlangsung, hubungan-hubungan kekuasaan lebih dibentuk untuk keputusan-keputusan khusus. Setelah keputusan tersebut dibuat maka hubungan-hubungan kekuasaan tersebut tidak akan nampak, hubungan ini akan digantikan oleh seperangkat hubungan kekuasaan yang berbeda ketika keputusan selanjutnya hendak dibuat.
3.      Tidak ada pembedaan yang tetap antara elit dan massa. Individu-individu yang berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dalam suatu wakt tidak dibutuhkan oleh individu yang sama yang berpartisipasi dalam waktu yang lain.
4.      Kepemimpinan bersifat cair dan mempunyai mobilitas yang tinggi.
5.      Terdapat banyak pusat kekuasaan diantara komunitas. Tidak ada kelompok tunggal yang mendominasi pembuatan keputusan untuk semua masalah kebijakan.
6.     Kompetisi dapat dianggap berada diantara pemimpin. Kebijakan publik lebih lanjut dipandang merefleksikan tawar menawar atau kompromi yang dicapai diantara kompetisi pemimpin politik.
Dalam model ini kebijakan publik pada dasarnya mencerminkan keseimbangan yang tercapai dalam perjuangan antar kelompok pada suatu waktu tertentu dan kebijakan publik mencerminkan kesimbangan setelah pihak-pihak atau kelompok-kelompok tertentu berhasil mengarahkan kebijakan publik ke arah yang menguntungkan mereka.Besar kecilnya pengaruh kelompok-kelompok tersebut ditentukan oleh jumlah, kekayaan, kekuatan organisasi, kepemimpinan, akses terhadap pembuat keputusan dan kohesi dalam kelompok.

Model Sistem/ Policy as System output
Model sistem menurut Paine dan Naumes menggambarkan model pembuatan kebijakan sebagai interaksi yang terjadi antara lingkungan dengan para pembuat para pembuat kebijakan, dalam suatu proses yang dinamis. Model ini mengasumsikan bahwa dalam pembuatan kebijakan terjadi interaksi yang terbuka dan dinamis antara pembuat kebijakan dengan lingkungannya. Interaksi yang terjadi dalam bentuk keluaran dan masukan (inputs dan outputs).
Menurut model sistem, kebijakan politik dipandang sebagai tanggapan dari suatau sistem politik terhadap tuntutan-tuntutan yang timbul dari lingkungan yang merupakan kondisi atau keadaan yang berada di luar batas-batas politik. Kekuatan yang timbul dari lingkungan dan mempengaruhi sistem politik dipandang sebagai masukan (inputs) bagi sistem politik, sedangkan hasil-hasil yang dikeluarkan oleh sistem politik yang merupakan tanggapan terhadap tuntutan tersebut dipandangkan sebagai keluaran (outputs) dari sistem politik. Sistem politik adalah sekumpulan struktur untuk dan proses yang saling berhubungan yang berfungsi secara otoritatif untuk mengalokasikan nilai-nilai bagi suatu masyarakat. Hasil-hasil (outputs) dari sistem politik merupakan alokasi nilai secara otoritatif dari sistem dan alokasi-alokasi ini merupakan kebijakan publik.
Menurut model sistem, kebijakan publik merupakan hasil dari suatu sistem politik. Konsep “sistem” menunjuk pada seperangkat lembaga dan kegiatan yang dapat diidentifikasikan dalam masyarakat yang berfungsi mengubah tuntutan menjadi keputusan yang otoritatif. Konsep ini juga menunjukan adanya saling hubungan antara elemen yang membangun sistem politik serta mempunyai kemampuan dalam menanggapi kekuatan dalam lingkungannya. Masukan yang diterima oleh sistem politik dapat dalam bentuk tuntutan maupun dukungan.
Untuk mengubah tuntutan menjadi hasil-hasil kebijakan, suatu sistem harus mampu mengatur penyelesaian-penyelesaian pertentangan atau konflik dan memberlakukan penyelesaian pertentangan atau konflik dan memberlakukan penyelesaian ini pada pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu suatu sistem dibangun berdasarkan elemen yang mendukung sistem tersebut dan hal ini bergantung pada interaksi antar berbagai sub sistem, maka suatu sistem akan melindungi dirinya melalui tiga hal, yaitu :
1.  Menghasilkan outputs yang secara layak memuaskan;
2.  Menyandarkan diri pada ikatan-ikatan yang berakar dalam sistem itu sendiri;
3.  Menggunakan atau mengancam untuk menggunakan kekuatan (penggunaan otoritas).
Model Rasional Komprehensif/ Policy as Efficient Goal Achievement.
Model rasional komprehensif ini menekankan pada pembuatan keputusan yang rasional dengan bermodalkan pada komprehensivitas informasi dan keahlian pembuat keputusan.  Dalam model ini suatu kebijakan yang rasional adalah suatu kebijakan yang sangat efisien, dimana rasio antara nilai yang dicapai dengan nilai yang dikorbankan adalah positif dan lebih tinggi dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang lain.

Dalam model ini para pembuat kebijakan untuk membuat kebijakan yang rasional, harus :
1.      Mengetahui semua nilai-nilai utama yang ada dalam masyarakat.
2.      Mengatahui semua alternatif kebijakan yang tersedia.
3.      Mengetahui semua konsekuensi dari setiap alternatif kebijakan.
4.      Memperhitungkan rasio antara tujuan dan nilai sosial yang dikorbankan bagi setiap alternatif kebijakan.
5.      Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien.

Model ini terdiri dari elemen sebagai berikut :
1.      Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu.  Masalah ini dapat dipisahkan dengan masalah yang lain atau paling tidak masalah tersebut dapat dipandang bermakna bila dibandingkan dengan masalah yang lain.
2.      Tujuan, nilai atau sasaran yang mengarahkan pembuat keputusan dijelaskan dan disusun menurut arti pentingnya.
3.      Berbagai alternatif untuk mengatasi masalah perlu diselidiki.
4.      Konsekunsi (biaya dan keuntungan) yang timbul dari setiap pemilihan alternatif diteliti.
5.      Setiap alternatif dan konsekuensi yang menyertainya dapat dibandingkan dengan alternatif lain. Pembuat keputusan memil;iki alternatif beserta konsekuensi yang memaksimalkan pencapaian tujuan, nilai atau sasaran yang hendak dicapai.
Keseluruhan proses tersebut akan menghasilakan suatu keputusan yang rasional, yaitu keputusan yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu.

Namun ada krikit terhadap model rasional komprehensif, yaitu :
1.      Para pembuat keputusan tidak dihadapkan pada masalah-masalah yang konkrit dan jelas.  Sehingga seringkali para pembuat keputusan gagal mendefinisikan masalah dengan jelas, akibatnya keputusan yang dihasilkan untuk menyelesaikan masalah tersebut tidak tepat.
2.      Tidak realitis dalam tuntutan yang dibuat oleh para pembuat keputusan. Menurut model ini pembuat keputusan akan mempunyai cukup informasi mengenai alternatif yang digunakan untuk menanggulangi masalah. Pada kenyataannya para pembuat keputusan seringkali dihadapkan oleh waktu yang tidak memadai karena desakan masalah yang membutuhkan penanganan sesegera mungkin.
3.    Para pembuat keputusan publik biasanya dihadapkan dengan situasi konflik daripada kesepakatan nilai. Sementara nilai-nilai yang bertentangan tersebut tidak mudah diperbandingkan atau diukur bobotnya.
4.    Pada kenyataannya bahwa para pembuat keputusan tidak mempunyai motivasi untuk menetapkan keputusan-keputusan berdasarkan tujuan masyarakat, sebaliknya mereka mencoba memaksimalkan ganjaran-ganjaran mereka sendiri.
5.    Para pembuat keputusan mempunyai kebutuhan, hambatan dan kekurangan sehingga menyebabkan mereka tidak dapat mengambil keputusan atas dasar rasionalitas yang tinggi.
6.    Investasi yang besar dalam program dan kebijakan menyebabkan pembuat keputusan tidak mempertimbangkan lagi alternatif yang telah ditetapkan oleh keputusan sebelumnya.
7.   Terdapat banyak hambatan dalam mengumpulkan semua informasi yang diperlukan untuk mengetahui semua kemungkinan alternatif dan konsekuensi dari masing-masing alternatif.
Model Penambahan ( The Incremental Model)/ Policy as Variation on the Past.
Model inkremental pada dasarnya memandang kebijakan publik sebagai kelanjutan dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan pemerintah pada masa lampau dengan hanya melakukan perubahan-perubahan seperlunya.
Model ini lebih bersifat deskritif dalam pengertian, model ini menggambarkan secara aktual cara-cara yang dipakai para penjabat dalam membuat keputusan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mempelajari model penambahan, yakni :
1.  Pemilihan tujuan atau sasaran dan analisis empirik terhadap tindakan dibutuhkan.
2.  Para pembuat keputusan hanya mempertimbangkan beberapa alternatif untuk menanggulangi masalah yang dihadapi dan alternatif hanya berada secara marginal dengan kebijakan yang sudah ada.
3.  Untuk setiap alternatif, pembuat keputusan hanya mengevaluasi beberapa konsekuensi yang dianggap penting saja.
4.  Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan dibatasi kembali secara berkesinambungan.
5.  Tidak ada keputusan tunggal atau penyelesaian masalah yang dianggap paling “tepat”.
6.  Pembuatan keputusan secara inkremental pada dasarnya merupakan remedial dan diarahkan lebih banyak kepada perbaikan terhadap ketidaksempurnaan sosial yang nyata sekarang ini daripada mempromosikan tujuan sosial di masa depan.
Keputusan yang diambil dari model ini hasil kompromi dan kesepakatan bersama antara banyak partisipan. Dalam kondisi banyaknya partisipan, keputusan akan lebih mudah dicapai bila persoalan yang disengketakan oleh berbagai kelompok hanya merupakan perubahan  terhadap program yang sudah ada, keadaan sebaliknya jika menyangkut perubahan kebijakan besar yang menyangkut keuntungan dan kerugian besar. Pembuatan keputusan secara inkrementalisme adalah penting dalam rangka mengurangi konflik, memelihara stabilitas dan sistem politik itu sendiri.

Dalam pandangan inkrementalis, para pembuat keputusan dalam menunaikan tugasnya berada dibawah keadaan yang tidak pasti yang berhubungan dengan konsekuensi dari tindakan mereka di masa depan, maka keputusan inkrementalis dapat mengurangi risiko atau biaya ketidakpastian itu.

Sejarah dan Asal-usul Model Elit
Model elit merupakan pengembangan pemikiran yang mengacu dari teori elit. teori elit adalah teori dari negara yang berusaha untuk menggambarkan dan menjelaskan hubungan kekuasaan dalam masyarakat kontemporer. Teori ini memposisikan bahwa minoritas kecil, yang terdiri dari anggota ekonomi elit dan kebijakan perencanaan jaringan, memegang kekuasaan yang paling kuat dan bahwa kekuatan ini tidak tergantung pada proses pemilu yang demokratis di suatu negara. Teori elit berdiri sebagai oposisi terhadap pluralisme dalam mengusulkan bahwa demokrasi adalah yang ideal utopis. Hal ini juga berdiri bertentangan dengan teori otonomi negara.
Teori elit pertama kali muncul dengan adanya pengacuan terhadap teori elit klasik, yang memunculkan beberapa nama tokoh besar, yaitu Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, dan Robert Michels.
“Dan sebelum mereka bertiga mengutarakan pandangan tentang elit, ada pandangan elit versi aristrokrat  dari teori ini adalah Teori Elite Classic yang didasarkan pada dua ide:
1.      kekuasaan terletak pada posisi otoritas di lembaga-lembaga ekonomi dan politik penting.
2.      perbedaan psikologis yang menentukan Elit terpisah adalah bahwa mereka memiliki sumber daya pribadi, misalnya untuk kecerdasan dan keterampilan, dan kepentingan dalam pemerintah, sedangkan sisanya tidak kompeten dan tidak memiliki kemampuan mengatur diri mereka sendiri, elit adalah akal dan akan berusaha untuk membuat pekerjaan pemerintah. Karena dalam kenyataannya, elit memiliki paling kehilangan dalam pemerintahan gagal.”
Dari pandangan aristrokrat ini, barulah muncul pandangan ketiga tokoh besar di atas tentang Teori Elite Classic. Yaitu:
Menurut Vilfredo Pareto
Pareto menekankan keunggulan psikologis dan intelektual lah yang membuat satu kata elit itu dapat diperoleh, namun pada kenyataannya tidak ada jenis  kelompok yang dapat kita sebut elit, karena ketika mereka datang dengan menekan kelas mayoritas, mereka berpikir bahwa mereka adalah elit, dan mereka menunjukkan sikap mereka sebagai klas elit, tapi ketika mereka datang dengan tinggi sebut sebagai dibandingkan dengan mereka hanya terjadi sebaliknya. Seperti Prarik Mishra dan Shomma Naik keduanya teman tapi satu adalah elit, dan yang satu lagi tidak, tetapi sebenarnya keduanya tidak elit.

ia percaya bahwa para elit adalah accomplishers tertinggi dalam bidang apapun dan ia membahas bagaimana ada dua jenis Elit, yaitu :
1.      pemerintahan elit
2.      non-elit yang mengatur
Dia juga memperluas pada gagasan bahwa elit keseluruhan bisa diganti dengan yang baru dan bagaimana seseorang dapat bersirkulasi dari yang elit untuk non-elite.
Menurut Gaetano Mosca
Mosca menekankan karakteristik sosiologis dan pribadi elit. Dia mengatakan elit merupakan minoritas terorganisasi dan bahwa massa merupakan mayoritas tidak terorganisir. Kelas penguasa ini terdiri dari elit penguasa dan sub-elit. Dia membagi dunia menjadi dua kelompok:
1.      berkuasa kelas
2.      kelas yang memerintah
Mosca menegaskan bahwa elit memiliki keunggulan intelektual, moral, dan material yang sangat terhormat dan berpengaruh.
Menurut Robert Michels
Sosiolog Michels mengembangkan Hukum Besi Oligarki di mana, ia menegaskan, organisasi sosial dan politik yang dijalankan oleh beberapa individu, dan organisasi sosial dan pembagian kerja adalah kunci. Dia percaya bahwa semua organisasi yang elitis dan bahwa elit memiliki tiga prinsip dasar yang membantu dalam struktur birokrasi organisasi politik:
1.      Perlu bagi para pemimpin, staf khusus dan fasilitas
2.      Pemanfaatan fasilitas oleh para pemimpin dalam organisasi mereka
3.      Pentingnya atribut psikologis para pemimpin
Setelah beberapa tokoh yang mengutarakan tentang Teori Elit Klassik, muncullah beberapa tokoh yang sangat berpengaruh pada perkembangan teori-teori yang ada pada teori elit, dengan beberapa karya-karya bukunya yang membuat nama besar para tokoh ini. Yaitu :
 Menurut C. Wright Mills
Mills menerbitkan bukunya The Elite Daya pada tahun 1956, mengklaim perspektif sosiologis baru pada sistem kekuasaan di Amerika Serikat. Dia mengidentifikasi tiga serangkai kelompok kekuatan - politik, ekonomi dan militer - yang membentuk dibedakan, meskipun tidak bersatu, kekuasaan-memegang tubuh di Amerika Serikat.
Mills mengusulkan bahwa kelompok ini telah dihasilkan melalui proses rasionalisasi di tempat kerja dalam semua masyarakat industri maju dimana mekanisme kekuasaan menjadi terkonsentrasi, menyalurkan kontrol secara keseluruhan ke tangan kelompok, terbatas agak korup. Ini mencerminkan penurunan politik sebagai arena untuk debat dan degradasi ke tingkat formal hanya wacana. Analisis makro skala berusaha menunjukkan degradasi demokrasi di "maju" masyarakat dan fakta bahwa daya umumnya terletak di luar batas-batas terpilih wakil . Pengaruh yang utama untuk penelitian ini adalah Franz Leopold Neumann 's buku, Behemoth: Struktur dan Praktek Sosialisme Nasional, 1933-1944 sebuah studi tentang bagaimana Nazisme berkuasa di negara demokratis Jerman. Ini menyediakan alat untuk menganalisis struktur sistem politik dan menjabat sebagai peringatan dari apa yang bisa terjadi dalam demokrasi kapitalistik modern.
Menurut Floyd Hunter
Analisis teori elit kekuasaan juga diterapkan pada skala mikro dalam studi daya masyarakat seperti yang oleh Floyd Hunter (1953). Hunter diperiksa secara detail hubungan kekuasaan yang nyata dalam "Kota Daerah", mencari "sebenarnya" pemegang kekuasaan daripada mereka yang memegang posisi resmi jelas. Ia mengemukakan sebuah struktural-fungsional pendekatan yang memetakan hirarki dan jaringan operasi interkoneksi dalam kota - pemetaan hubungan kekuasaan antara pengusaha, politisi, ulama dll Penelitian ini dipromosikan untuk menghilangkan prasangka konsep saat ini dari setiap hadir 'demokrasi' dalam politik perkotaan dan menegaskan kembali argumen untuk benar demokrasi perwakilan .
Jenis analisis ini juga digunakan di lain waktu, skala yang lebih besar, studi seperti yang dilakukan oleh M. Schwartz meneliti struktur kekuasaan dalam ruang lingkup elit perusahaan di Amerika Serikat.
Menurut G. William Domhoff
Dalam karyanya yang kontroversial buku Siapa aturan Amerika? , G. William Domhoff diteliti keputusan lokal dan nasional membuat jaringan proses untuk menggambarkan struktur kekuasaan di Amerika Serikat. Dia menegaskan, seperti Hunter, yang kelas elit yang memiliki dan mengelola pendapatan besar yang memproduksi properti (seperti bank dan perusahaan) mendominasi struktur kekuasaan politik dan ekonomi Amerika.
Menurut James Burnham
Burnham karya awal Revolusi Manajerial berusaha untuk mengekspresikan pergerakan semua kekuatan fungsional ke tangan manajer daripada politisi atau pengusaha - memisahkan kepemilikan dan kontrol. Banyak dari ide-ide yang diadaptasi oleh paleoconservatives Samuel T. Francis dan Paulus Gottfried di mereka teori-teori dari negara manajerial . Pikiran Burnham pada Teori Elite yang dijelaskan lebih khusus dalam bukunya The Machiavellians yang membahas pemikiran, antara lain, Pareto, Mosca, dan Michels, melainkan di sini bahwa Burnham mencoba analisis ilmiah dari kedua elit dan politik secara umum.
Menurut Robert D. Putnam
Putnam melihat perkembangan pengetahuan teknis dan eksklusif di antara kelompok administrator dan spesialis lain sebagai mekanisme dimana daya dilucuti dari proses demokrasi dan menyelinap ke samping untuk penasehat dan spesialis yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan .
"Jika angka-angka dominan dari seratus tahun terakhir telah menjadi pengusaha, pengusaha, dan eksekutif industri, 'pria baru' adalah ilmuwan, matematikawan, ekonom, dan para insinyur teknologi intelektual baru."
Thomas R. Dye
Dye dalam bukunya Atas Bawah pembuatan kebijakan, berpendapat bahwa AS kebijakan publik tidak menghasilkan dari "tuntutan rakyat", melainkan lebih dari konsensus Elite ditemukan di Washington, DC berbasis nirlaba yayasan, think tank, kelompok minat khusus, dan menonjol pelobi dan firma hukum. Tesis Dye adalah lebih lanjut diperluas dalam karya-karyanya: Ironi Demokrasi, Politik di Amerika, Memahami Kebijakan Publik, dan Siapa Menjalankan Amerika?
Dari beberapa nama tokoh diatas, Thomas R.Dye merupakan tokoh yang membuat perkembangan model-model yang ada dalam sejarah perkembangan tentang kebijakan publik. Ia sempat menghasilkan beberapa buku yang saat ini telah menjadi bahan-bahan referensi di kalangan orang-orang yang mempelajari bahkan menganalisis tentang kebijakan publik.
Dalam pemikiran-pemikirannya tentang kebijakan publik. Ia bahkan sempat membuat pengelompokkan model-model yang ada dalam analisis kebijakan publik. Salah satu model yang ia kelompokkan merupakan model elit yang akan di bahas dalam paper ini. Pembagian model-model yang ia buat ini dibagi dalam 6 bentuk model yaitu : Model Kelembagaan, Model Kelompok, Model Elit, Model Rasional, Model Inkremental dan Model Sistem.(Thomas R.Dye (1978)). Selanjutnya sampai saat ini beberapa teori elit diatas sangat mempengaruhi beberapa pemikiran setiap kelompok yang mendalami tentang model elit ini bahkan ahli kebijakan publik yang lain di dalam mengutarakan tentang suatu model elit.
Model Elit Dalam Teori Kebijakan
Seperti yang telah diutarakan diatas, model elit (the rulling elit model) adalah sebuah model analisis yang dikembangkan dengan mengacu kepada teori elit (elite theory). Teori elit ini pada umumnya menentang keras terhadap pandangan yang menyatakan bahwa kekuasaan di dalam masyarakat itu terdistribusi secara merata. Maksud dalam hal ini, kekuasaan merupakan sesuatu hal yang memang membenarkan adanya sekelompok kecil masyarakat yang mempunyai kemampuan lebih dalam mengendalikan atau memerintah kelompok besar di dalam masyarakat.
 Kelompok kecil di dalam masyarakat ini bukan maksud dalam hal kemampuan mereka, tapi ini di maksudkan jumlah yang cenderung sedikit tetapi mempunyai otoritas yang sangat kuat di dalam masyarakat. Kelompok  kecil ini biasanya mempunyai otoritas untuk menjalankan semua fungsi-fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan dari kekuasaan yang mereka punyai. Ini memberikan pembenaran kepada pengungkapan yang dituturkan oleh salah satu teoritisi elit klasik yaitu C. Wright Mills (1956) yang mengungkapkan adanya suatu gejala konsentrasi kekuasaan politik di tangan sekelompok kecil masyarakat. Pareto dan Mosca juga mempunyai pandangan tentang hal ini yang ia melihat sekelompok kecil masyarakat yang mempunyai otoritas lebih di dalam masyarakat mempunyai julukan sebagai elit politik.
Pareto dan Mosca ini menyatakan bahwa kehadiran elit politik itu adalah penting dan bahkan merupakan ciri khas semua masyarakat. Ini membuat penguatan teradap makna yang terkadung di dalam model elit ini, bahwa model elit mempunyai pembawaan yang penuh dengan permainan politik di dalam masyarakat. Di mana model elit ini memberikan penyadaran bahwa dalam hal konteks sebagian masyarakat yang memerintah ini merupakan kelompok masyarakat yang syarat akan permainan politik, baik dalam proses mendapatkan kekuasaan maupun dalam mengimplementasikan segala tindakan yang ia dapatkan dari kekuasaan yang ia miliki.
Kelompok elit di dalam masyarkat ini biasanya di lihat dalam konteks kenegaraan yaitu orang-orang di dalam lembaga-lembaga yang ada di dalam pemerintahan, atau bahkan satu sosok kepala negara dan atau kepala pemerintahan di suatu negara tersebut. Ini membuat keterkaitan pernyataan yang diungkapkan oleh Mosca (1939:50) yaitu dalam semua masyarakat –dari masyarakat yang belum begitu berkembang dan hampir-hampir belum tersentuh peradaban, hingga ke masyarakat –masyarakat yang paling maju dan kuat –terlihat adanya dua klas masyarakat-klas yang memerintah dan klas yang diperintah.
Di dalam pernyataan mosca ini menguatkan makna yang terkandung dalam model elit, bahwa di dalam kelompok masyarakat dalam kalangan yang seperti apapun, pasti mempunyai penggolongan kelompok berdasarkan kekuasaan, yaitu kelompok yang mempunyai kekuasaan dan kekuatan lebih sebagai kelompok kecil yang memerintah dan yang diperintah merupakan kelompok dalam jumlah yang besar, yang tidak memiliki kekuasaan ataupun kekuatan lebih. Klas masyarakat yang diperintah biasanya memang mempunyai jumlah yang lebih banyak dari yang memerintah, klas masyarakat yang diperintah ini biasanya dikontrol oleh pihak yang memerintah supaya mengikuti alur yang diinginkan oleh yang memerintah, dengan cara-cara yang sekarang sudah bersifat legal, dan bahkan terkadang tidak sungkan untuk menunjukkan kesewenang-wenangannya.
Didalam mengutarakan tipe kelompok masyarakat yang termasuk dalam kelompok masyarakat yang memerintah dan kelompok masyarakat yang diperintah, beberapa ahli atau tokoh mempunyai pemikiran yang berbeda-beda, dan saling membantah satu sama lain, beberapa pandangan tersebut yaitu : Mosca menekankan cara-cara dimana minoritas kecil di luar mengatur dan mengecoh mayoritas besar, menambahkan bahwa "kelas-kelas politik" - istilah Mosca untuk elit politik - biasanya memiliki "bahan tertentu, intelektual, atau bahkan superioritas moral" atas orang-orang yang mereka atur (1923 / 1939: 51). Pareto mendalilkan bahwa di dalam masyarakat dengan mobilitas sosial benar-benar tak terbatas, elit akan terdiri dari individu-individu yang paling berbakat dan layak, tetapi dalam masyarakat yang sebenarnya, para elite adalah mereka yang paling mahir menggunakan dua mode kekuasaan politik, kekuatan dan persuasi, dan yang biasanya menikmati unsur penting keuntungan seperti kekayaan warisan dan hubungan keluarga (1916/1935: 2031 - 2034, 2051).
      Sedangkan Pareto menggunakan sketsa jenis bolak elit yang mengatur, yang disamakan, setelah Machiavelli, untuk rubah dan singa (lihat Marshall 2007). Michels berpendapat bahwa elit ("oligarki") dalam kebutuhan organisasi besar bagi para pemimpin dan ahli, untuk beroperasi secara efisien, seperti orang-orang ini mendapatkan kontrol dana, arus informasi, promosi, dan aspek lain dari fungsi organisasi, kekuasaan menjadi terkonsentrasi di tangan mereka  (1915/1962, lihat Linz 2006).  Dan Weber berpendapat bahwa tindakan politik selalu ditentukan oleh "prinsip kelompok kecil, yang berarti, manuver politik unggul dari kelompok terkemuka kecil. Dalam massa menyatakan, unsur Caesarist adalah tak terhapuskan "(1978: 1414).
Beberapa pendapat ini bila didalami secara seksama, menggambarkan beberapa tipe klas yang memerintah di dalam kehidupan nyata. Tipe-tipe ini bisa dilihat berdasarkan kondisi jaman, sistem-sistem yang terkandug dalam masyarakat atau sistem yang dipakai dalam kehidupan bernegara, bahkan sejarah yang ada dalam kelompok masyarakat tertentu.
Di sini dalam pendapat yang Mosca utarakan bahwa mayoritas kecil yang disini di anggap sebagai klas yang memerintah mempunyai permainan-permainan yang menggiring kelompok besar untuk mengikuti permainan yang di buat oleh mayoritas kecil. Hal ini bisa dilakukan karena klas yang memerintah yaitu klas mayarakat mayoritas kecil, biasanya mempunyai kelebihan-kelebihan yang ditampakkan kepada klas kelompok mayoritas besar. Yang dalam hal ini mempunyai suatu kelebihan yang membuat klas yang di perintah bisa dikuasai oleh klas yang memerintah. Bebberapa contoh kelebihan yang dimiliki klas yang memerintah seperti mempunyai kelebihan dalam hal intelektual, atau bahkan mempuyai superioritas moral dengan kelompok yang diperintah. Maksud dari superioritas disini mungkin diartikan mempunyai suatu legitimasi dan kesamaan tujuan juga semangat yang sama.
Lalu penjelasan yang di berikan oleh Pareto lebih melihat sebuah sisi yag realitas telah ada, dan terjadi. Sehingga ia mengutarakan dalam dua penjelasan kondisi yang berbeda, satu sisi yang dilihat oleh Pareto ini melihat pada sesuatu yang seharusnya memang dilihat dalam menentukan kelompok kecil yang menjadi klas yang memerintah. Satu sisi yang dilihat dalam kondisi masyarakat yang mempunyai mobilitas tinggi atau dalam hal mungkin dimaksudkan bahwa klompok masyarakat dalam situasi ini telah berada pada taraf masyarakat yang modern, yang biasanya mempunyai sebuah pilihan tergantung kepada sesuatu hal yang serba dalam hal intelektual. Yang maksudnya di dalam memilih klas yang memerintah lebih dapat objektif dalam menilai dan menentukan klas yang memerintah memang mempunyai kapabilitas yang menghuni untuk memerintah masyarakat tersebut. Di lain sisi ia menyadari bahwa keadaan yang sebenarnya dalam masyarakat, klas yang dapat menjadi klas yang memerintah itu mempunyai kelebihan dalam berprilaku politik, yang biasanya kaum yang memerintah itu dapat menjalankan dua mode kekuasaan politik yaitu kekuatan dan persuasi. Lalu ada juga yang dapat menjadi klas yang memerintah karena mempunyai harta dalam hal ini kekuatan materil yang lebih dari klas yang lainnya, atau bahkan karena keturunan dalam hal ini biasanya terjadi dalam negara berbentuk kerajaan seperti Inggris.
Lalu Michels, lebih melihat pada sisi proses yang dapat menjadikan klas yang memerintah itu dapat di capai bilamana proses yang dilakukan melalui sebuah organisasi dapat dioptimalkan sebaik mungkin untuk mendorong suatu legitimasi dari klas yang diperintah.
Dan Weber memberikan pembenaran kembali bahwa setiap proses politik yang ada merupakan ketetapan yang lebih menguntungkan kebutuhan dari kelompok kecil di dalam masyarakat (kelas  yang memerintah), yang biasanya ini juga akan memberikan kesenjangan atau ketimpangan antara kelompok masyarakat kecil dengan kelompok masyarakat besar di dalam pemenuhan kebutuhan.
 Dari pendapat para ahli/tokoh teori elit diatas bisa kita lihat bahwa implementasi yang ada dalam penerapan model elit, merupakan sebuah produk yang tercipta dari rumusan dan keputusan para elit politik. Sehingga kekuasaan di dalam masyarakat bila melihat pada model elit akan tercermin suatu distribusi yang tidak merata. Dan wajar pula, bila setiap orang yang melihat kebijakan dari sudut pandang teori elit selalu menganggap bahwa kebijakan publik merupakan produk yang dihasilkan dari kehendak dan nilai-nilai anutan elit yang berkuasa.
Didalam kehidupan bernegara saat ini, seiring dengan perkembangan teknologi, banyak media massa baik berbentuk cetak maupun elektronik, yang memudahkan kita untuk mengetahui proses penyelenggaraan atau penetapan kebijakan di bidang tertentu. Yang selanjutnya, menurut orang-orang yang menganut pandangan teori elit,  ini dijadikan sebuah media kebohongan publik oleh para elit politik. Dimana sering kita temui pernyataan-pernyataan yang dilayangkan oleh para pejabat tinggi pemerintah atau bahkan anggota Dewan yang menyatakan dirinya sebagai perwakilan rakyat, memberikan komentar dalam suatu kebijakan tertentu, bahwa kebijakan yang di jalankan pada saat itu, merupakan sebuah bentuk kebijakan yang mengindahkan atau memperhatikan sepenuhnya tuntutan-tuntutan rakyat/publik. Yang menghasilkan sebuah anggapan yang sangat jauh dari keadaan yang sebenarnya bahwa kebijakan publik tersebut adalah cermin keinginan atau kehendak publik.
Selain itu juga, anggapan ini seolah membenarkan anggapan bahwa “suara rakyat, suara tuhan”. Para penganut teori elit sangat meragukan bahkan menyangkal hal ini dengan menyodorkan sebuah argumen yang sangat telak tentang hal ini dengan menyatakan bahwa selain hal itu hanya sebuah retorika politik, ini juga dianggap sebagai sebuah hal yang tidaak benar terjadi bahkan suatu hal yang berlawanan dengan fakta yang ada. Lalu masih dengan hal ini, para penganut teori elit juga beranggapan bahwa sebagian besar rakyat merupakan kelompok yang apatis (apathetic) dan juga buta informasi (ill informed) mengenai kebijakan publik, sehingga dengan demikian para elit penguasalah yang sebenarnya mempengaruhi semua pendapat umum menyangkut dengan masalah kebijakan, bukannya rakyat yang mempengaruhi pendapat golongan elit tentang masalah kebijakan. Sehingga dengan hal yang demikian bisa dikatakan tidak ada bentuk kebijakan yang sungguh berpihak kepada rakyat.
Dalam logika teori elit, para pejabat pemerintahan dan para administrator , betapapun strategisnya kedudukan mereka, sesungguhnya hanyalah sekadar menjadi alat atau pelaksana dari kebijakan yang substansinya telah dirumuskan dan ditetapkan oleh golongan elit. Dengan demikian pula bisa membuat sebuah argumen yang sangat menyedihkan tentang sebuah negara bahwa negara dimanapun berada bukan merupakan sebuah badan/lembaga yang netral, yang memang dalam setiap penyelenggaraannya merupakan semua kumpulan tindakan-tindakan yang berdasarkan kehendak rakyat, melainkan sebuah badan yang dijadikan tameng untuk menciptakan sebuah dominasi klas.
Didalam model elit ini juga, kita bisa melihat bahwa ada keterkaitan antara model elit dengan penyelenggaraan negara kapitalis, yang mana dalam penyelenggaraan suatu negara, pejabat-pejabat pemerintahan atau bahkan elit penguasa sangat lah bergantung kepada para pemilik modal untuk mempertahankan eksistensi suatu negara lewat kekuatan modal, dan juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan para pejabat amat bergantung kepada keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi (economic development).  Ini menyebabkan terciptanya suatu keadaan yang mendesak para pejabat terbatasi dalam setiap tindakan yang ingin dilakukan, tetapi ini tidak membuat para pejabat tidak berperan sama sekali dalam proses kebijakan, justru melalui perannya untuk secara tidak langsung memfasilitasi segala kebutuhan para pemilik modal untuk mendapatkan tujuannya, dalam hal ini bisa kita lihat salah satu contohnya yaitu dalam proses pembangunan yang dilakukan pemerintah, secara tidak langsung memberikan fasilitas dan kesempatan para pemilik modal untuk menguasai proses pembangunan yang ada untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Melalui usaha para pejabat tersebut lah, justru kedudukan dan legitimasi kekuasaannya dapat lebih kokoh, karena eksistensinya di dalam keberhasilan melakukan pembangunan ekonomi.
Dari semua penjelasan diatas, “maka mudah dimengerti mengapa kebijakan publik, dilihat dari sudut pandang teori elit, dianggap selalu mengalir dari atas ke bawah (top-down), yakni dari elit ke massa/rakyat; kebijakan publik itu dengan demikian tidak akan pernah muncul dari bawah (bottom-up) atau berasal dari tuntutan-tuntutan rakyat. Ditilik dari lensa konseptual model elit ini, maka jelas partisipasi rakyat atau keterlibatan publik (publik involvement) dalam proses perumusan kebijakan dan proses implementasi kebijakan publik di abaikan.” (dikutip dari buku Prof. Solichin Abdul Wahab,2008, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, hal 80)
            Dari penjelasan-penjelaan yang sudah diutarakan tersebut, dengan demikian model elit ini dapat digunakan dalam proses kebijakan publik yang akan diambil untuk menganalisis proses perumusan/pembuatan kebijakan secara khusus,  yaitu untuk menyoroti peran golongan elit dalam proses perumusannya dan juga dalam melihat bagaimana cara-cara dari golongan elit untuk memanipulasi dan mengesampingkan aspirasi masyarakat.
            Selain itu, model elit ini juga bisa digunakan untuk menganalisis implementasi kebijakan publik, dan juga bagaimana dampak yang dihasilkan dari kebijakan tersebut terhadap masyarakat dan juga pembuat kebijakan itu sendiri. Dalam hal ini, bisa kita lihat dalam peran golongan elit selama proses implementasi kebijakan publik itu berlangsung, utamanya terhadap segala upaya yang dilakukan baik secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan untuk mencegah atau menetralisir keadaan dalam setiap upaya pengacauan-pengacauan tertentu saat implementasi kebijakan.








Kesimpulan
            Model elit lebih memusatkan perhatian pada peranan kepemimpinan dalam pembentukan kebijakan-kebijakan publik. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam suatu sistem politik beberapa orang memerintah orang banyak, para elit po­litik yang mempengaruhi massa rakyat dan bukan sebaliknya. Namun demikian, apakah para elit memerintah dan menentukan kebijakan dengan pengaruh yang kecil dari massa merupakan proposisi yang sulit dibuktikan. Untuk mempertahankan pro­posisi ini secara berhasil seorang ilmuwan politik Robert Dahl mengatakan bahwa orang harus mengidentifikasi “kelompok yang mengendalikan dibandingkan dengan ukuran mayoritas, yang bukan merupakan artefak dari peraturan-peraturan demokra­tik, suatu minoritas individu-individu yang mempunyai pilihan-pilihan yang secara teratur berlaku dalam kasus-kasus perbedaan pilihan-pilihan tentang masalah-masa­lah politik pokok.
            Ada beberapa asumsi dasar yang bisa tarik adanya penerapan teori model elit dalam analisis kebijakan. yaitu :
1.      Masyarakat terbagi dalam suatu kelompok kecil yang mempunyai kekuasaan (power) dan massa yang tidak mempunyai kekuasaan. Hanya seke­lompok kecil saja orang yang mengalokasikan nilai-nilai untuk masyarakat sementara massa tidak memutuskan kebijakan.
2.      Kelompok kecil yang memerintah itu bukan tipe massa yang dipengaruhi. Para elit ini (the rulling class) biasanya berasal dari lapisan masyarakat yang ekonominya tinggi.
3.      Perpindahan dari kedudukan non-elit ke elitis sangat pelan dan berkesinam­bungan untuk memelihara stabilitas dan menghindari revolusi. Hanya ka­langan non-elit yang telah menerima konsensus elit yang mendasar yang dapat diterima ke dalam lingkaran yang memerintah.
4.      Elit memberikan konsensus pada nilai-nilai dasar sistem sosial dan pemeliharaan sistem. Misalnya, di Amerika Serikat konsensus elit mencakup perusahaan swasta, hak milik pribadi, pemerintahan terbatas dan kebebasan individu.
5.      Kebijakan publik tidak merefleksikan tuntutan-tuntutan massa, tetapi nilai-nilai elit yang berlaku. Perubahan-perubahan dalam kebijakan publik ada­lah secara inkremental daripada secara revolusioner. Perubahan-perubahan secara inkremental memungkinkan tanggapan-tanggapan yang timbul hanya mengancam sistem sosial dengan perubahan sistem yang relatif kecil dibandingkan bila perubahan tersebut didasarkan teori rasional komprehen­sif.
6.      Para elit secara relatif memperoleh pengaruh langsung yang kecil dari massa yang apatis. Sebaliknya, para elit mempengaruhi massa yang lebih besar.






Daftar Pustaka

-          Abdul Wahab, Solikhin. Prof, 2008. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Malang : UMM Press.
-          Wayne Parsons, Public Policy, Pengantar Teori dan Praktik Analisa Kebijakan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008.
-          William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gadjah Mada University Press, Jogjakarta, 2003.
-          Morcol, G. (2001), 'Positivist Beliefs Among Policy Professionals: an empirical investigation', Policy Sciences, Vol 35, Nos 3-4, pp.381-401.
-          Parsons, W. (2001), 'Modernising policy-making for the Twenty First Century:The Professional Model', Public Policy and Administration, Vol 16, No 3, pp.93-1 10.
-          Torgerson, D. (1986), 'Between Knowledge and Politics: Three Faces of Policy Analysis', Policy Sciences Vol 19, No 1, pp.33-59.
-          Torgerson, D. (1985), 'Contextual orientation in policy analysis: The contribution of Harold D. Lasswell', Policy Sciences, Vol 18, No 3, pp.241-261.
-          Nugroho, Riant. Dr. Publis Policy. Jakarta : PT Elex Media Komputindo, 2009.
-          Edi Suharto, Ph.d, Analisis Kebijakan Publik. CV Alfabeta. Bandung, 2008






Comments

Popular posts from this blog

TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT

DIALEKTIKA KEBIJAKAN PUBLIK : “STUDI KOMPARASI TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT DENGAN GOOD GOVERNANCE DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK” Oleh: Iwan Ismi Febriyanto Abstract Public sector organizations are often described unproductive, inefficient, always loss, low quality, poor innovation and creativity, as well as many other critics. The emergence of strong criticism directed at public sector organizations will then cause the movement to reform public sector management. One of the public sector reform movement is the emergence of the concept of New Public Management (NPM). The concept of new public management was initially introduced by Christopher Hood in 1991. When viewed from a historical perspective, modern management approaches in the public sector at first appear in Europe in the 1980s and 1990s as a reaction to the inadequacy of the traditional model of public administration. NPM emphasis at that time was the implementation of decentralization, devolution, and the m

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme Analisis Mengenai Pengaruh dan Implementasinya dalam Kondisi Politik di Suatu Negara Oleh : Iwan Ismi Febriyanto BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG             Ideologi merupakan hal yang paling krusial dalam sejarah maupun masa depan kehidupan manusia, terutama dalam bidang politik dan ekonomi. Bagaimana ideologi mempunyai peran sebagai dasar maupun pijakan yang digunakan oleh suaru kelompok sebagai panutan dari apa yang akan dilakukannya kedepan. Kata ideologi sendiri pertama kali dikembangkan dan diperkenalkan oleh seorang filsuf dari negara Perancis yang bernama Antonie Destutt de Tracy di masa Revolusi Perancis. Antony Downs (1957:96) mengatakan bahwa ideology merupakan seperangkat asumsi dasar baik normatif maupun empiris mengenai sifat dan tujuan manusia atau masyarakat agar dapat dipakai untuk mendorong serta mengembangkan tertib politik.