ELIT
DAN KEBIJAKAN :
TINJAUAN
TEORITIS TENTANG MODEL ELIT DALAM MEMAHAMI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK
Oleh : Iwan Ismi Febriyanto
Abstract
In the analysis of public policy, of
course, there are some models that can be used to focus on one subject of
public policy itself. That is, before we alone make this a great and sturdy
construction, of course, we must have a clear model. That is the reason why
public policy analysis models are crucial in making or analyzing public policy.
There are several models in the classification of policy analysis. However,
here the author would like to focus on Elite Model Theory in the analysis of
public policy. To find out how political institutions operate, how decisions
are made then the informant's most relevant is the political elite. Elite is
defined as "those that relate to, or have, an important position."
Political elite to do with how power affects the person's public policy making.
Here the role of the elite is how to influence the decision-making process so that
the policy in favor of the interests of the elite and not the public interest.
Elite theory put forward an argument that is final on this by saying that most
people are essentially apathetic and blind party information on public policy,
and thus the true elites penguasalah coloring and influencing public opinion
regarding policy issues, not the people who influence the opinions of the elite
(Wahab: 88). Here the people are not in the position calculated for all forms
of policy only to reinforce their elite status as expressed by Wertheim that
period was not taken into account or if the image of the time there then they
are a group that is highly visible and especially those perceived as a threat (
Wertheim: 4). This elite model look administrator of the State not as a public
servant (servant of the people), but rather as small groups that have been
established (Islamy: 39). Here the Administrator in making policy always
represents the needs of the elite only and not for the benefit of the masses.
Keywords : Policy Analysis, Models of Public Policy Analysis, Elite Model
Abstraksi
Dalam melakukan analisis
kebijakan publik, tentunya ada beberapa model yang bisa dipakai untuk
memfokuskan diri pada salah satu subjek dari kebijakan publik itu sendiri.
Artinya, sebelum kita sendiri membuat suatu bangunan yang besar dan kokoh,
tentunya kita harus mempunyai model yang jelas. Itulah alasan dari mengapa
model analisis kebijakan publik itu sangat dibutuhkan dalam membuat atau
menganalisis kebijakan publik. Ada beberapa model dalam klasifikasi analisis
kebijakan. namun, disini penulis ingin memfokuskan diri pada Teori Model Elit
dalam melakukan analisis kebijakan publik. Untuk mengetahui bagaimana institusi
politik beroperasi, bagaimana keputusan penting dibuat maka informan yang
paling relevan adalah para elite politik. Elite didefinisikan sebagai “mereka
yang berhubungan dengan, atau memiliki, posisi penting”. Elite politik
berkaitan dengan seberapa kekuasaan seseorang berpengaruh pada pembuatan
kebijakan pemerintah. Disini peran elit adalah bagaimana mempengaruhi proses
pembuatan kebijakan agar kebijakan tersebut berpihak pada kepentingan elit dan
bukan kepentingan public. Teori elit menyodorkan sebuah argument yang cukup
telak tentang hal ini dengan menyatakan bahwa sebagian besar rakyat pada
hakekatnya merupakan pihak yang apatis dan buta informasi mengenai kebijakan
public, sehingga dengan demikian para elit penguasalah yang sesungguhnya
mewarnai dan mempengaruhi pendapat umum yang menyangkut masalah-masalah
kebijakan, bukan rakyat yang mempengaruhi pendapat golongan elit (Wahab:88).
Disini posisi rakyat tidak di perhitungkan karena segala bentuk kebijakan hanya
untuk mengokohkan status golongan elit sebagaimana yang diungkapkan oleh
Wertheim bahwa masa memang tidak diperhitungkan atau jika citra tentang masa
itu ada maka mereka itu adalah suatu kelompok yang dibuat sangat terlihat dan
terutama mereka dianggap sebagai ancaman (Wertheim:4). Model elit ini memandang
administrator Negara bukan sebagai abdi rakyat (servant of the people), tetapi
lebih sebagai kelompok-kelompok kecil yang telah mapan (Islamy:39). Disini
Administrator dalam membuat kebijakannya selalu merepresentasikan kebutuhan
golongan elit semata dan bukan untuk kepentingan massa rakyat.
Kata Kunci :
Analisis Kebijakan, Model-model Analisis Kebijakan Publik, Model Elit
Pendahuluan
Kebijakan
publik merupakan bagian terpenting dalam studi terhadap ilmu pemerintahan
maupun ilmu politik, walaupun dengan usia yang masih terbilang baru, yaitu
dimulai pada pertengahan dasawarsa 1960-an (SAW : 2012). Semakin zaman
menunjukkan perkembangan, maka semakin pula ilmu mengenai kebijakan publik ini
menjelma sebagai ilmu yang memang sangat penting untuk dipelajari. Apalagi
mengingat bahwa kebutuhan akan melakukan reformasi pada tataran birokrasi di
negara kita yang semakin besar.
Meski
begitu, harus diakui bahwa para ilmuwan yang kemudian memiliki fokus pada
kebijakan publik ini sangatlah sedikit dibandingkan kebutuhannya. Pun demikian
dengan buku-buku yang mengulas tentang analisis kebijakan publik. Adapun
demikian, pengertian akan kebijakan publik itu sendiri kemudian pecah menjadi
beberapa sifat, ada yang bersifat demokratis, ada pula yang tidak. Maka dari
itu, disinilah penulis kemudian ingin mencoba untuk menguraikan tentang
beberapa pengertian dari kebijakan publik yang akan dikomparasikan antara satu
dengan lainnya.
Analisis
kebijakan, kata Thomas R. Dye, adalah suatu untuk mengetahui “what governments do, why they do it, and
what difference make” (apa sesungguhnya yang dilakukan oleh
pemerintah-pemerintah, kenapa mereka melakukannya, dan apa yang menyebabkan
capaian hasilnya berbeda-beda” (Thomas R. Dye, 1976 : 1). Jadi, dalam pandangan
Dye, semua definisi tentang analisis kebijakan pada akhirnya akan bermuara pada
hal yang sama, yaitu pendeskripsian dan penjelasan mengenai sebab-sebab dan
akibat-akibat dari tindakan atau perbuatan pemerintah.
Pengertian
kebijakan publik menurut William Dunn (2002) adalah suatu daftar pilihan
tindakan yang saling berhubungan, yang disusun oleh institusi atau pejabat
pemerintah. Artinya, disini pusat dari adanya suatu kebijakan adalah mengenai
dan terpusat pada tataran pemerintah. Dan segala bentuk dari kebijakan
merupakan keputusan kolektif dari pemerintah. Menurut Sugianto (2003) kata
kebijakan yang dirangkum dari berbagai pengertian yang bersumber dari ahli
kebijakan mempunyai pengertian sebagai seperangkat keputusan untuk menghadapi
situasi tertentu, dengan kelengkapan ketentuan tentang tujuan, cara dan sarana
serta kegiatan untuk mencapainya.
Sedangkan
pengertian kebijakan publik pada dasarnya lebih menekankan makna kata publik
yang mempunyai konotasi sebagai pemerintah, masyarakat atau umum, sehingga
implikasi pengertian kebijakan publik adalah :
- bahwa kebijakan tersebut dalah kebijakan negara atau pemerintah, berupa pilihan pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan.
- bahwa kebijakan publik bertujuan mengatasi situasi tertentu,
- kebijakan tersebut memandu tindakan atau pola tindakan pejabat pemerintah,
- kebijakan publik didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan bersifat otoratif.
Dari berbagai definisi kebijakan
publik yang telah penulis sebutkan diatas, bisa disebutkan bahwa inti dari
permasalahan kebijakan publik itu hanya terpusat pada tataran pemerintahan
saja. Artinya, disini yang bisa penulis lihat bahwa kurang adanya tujuan yang
jelas dari setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Seperti yang kita
ketahui, bahwa negara Indonesia adalah negara yang demokratis, yaitu kekuasaan
tertinggi ada sepenuhnya ditangan rakyat, dan dipergunakan seutuhnya untuk
kesejahteraan sosial masyarakat.
Namun, ada satu definisi yang
menurut merupakan pengejewantahan dari sifat kebijakan publik yang demokratis,
yaitu menurut Prof. Solichin Abdul Wahab, ”Public
policy is a kind of collective political action taken by government in order to
attain public interest of the society atau dengan kata lain kebijakan
publik adalah bagian dari aktivitas kolektif para aktor politik yang diambil
oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan sosial dalam
masyarakat ” (SAW, 2012)
Pada level makro, berbagai negara memiliki tatanan konstitusional dan
aturan tentang struktur keagenan pemerintah serta aturan perilaku pejabat yang
berbeda-beda. Sebagai sistem politik mengkonsentrasikan otoritas pengambilan
keputusan pada lembaga eksektuif yang dipilih dan birokrasi, sementara sebagian
yang lain memungkinkan lembaga legislatif dan judikatif untuk memainkan peran
yang lebih besar. Sistem parlementer cenderung untuk masuk pada kategori yang pertama
dan sistem presidensiil pada yang kedua. Dus, di Australia, Inggris, Kanada dan
negara-negara demokrasi parlementer lain, tanggungjawab pengambilan keputusan
terletak semata-mata di pundak kabinet dan birokrasi. Mungkin ada saatnya ada
keputusan yang harus mereka terima, yang berasal dari legislative, terutama
pada situasi ketika pemerintah yang berkuasa tidak menikmati sebuah mayoritas
di parlemen. Bisa juga aturan itu datang dari cabang yudikatif, ketika lembaga
ini menjalankan perannya sebagai penafsir konstitusi, tetapi hal seperti ini
tidak rutin terjadi. Di Amerika Serikat, atau di negara-negara lain yang
menganut sistem presidensiil, meskipun otoritas untuk untuk mengambil keputusan
ada di tangan Presiden (dan kabinet serta birokrasi yang bertindak mewakili
presiden), tetapi itu semua mensyaratkan adanya persetujuan dari legislatif. Pada level
mikro, para pengambil keputusan itu sendiri juga berasal dari latar belakang,
pengetahuan, dan pilihan yang berbeda-beda yang mempengaruhi bagaimana mereka
menafsirkan suatu masalah dan solusi yang tepat untuk masalah tersebut.
Pengambil keputusan yang berbeda yang beroperasi dalam tatanan institusional
yang hampir serupa akan memberikan respon yang berbeda ketika dihadapkan pada
situasi atau permasalahan yang sama atau hampir sama.
Beberapa golongan model yang ada dalam pembagian di bidang
analisis kebijakan publik, merupakan salah satu cara/upaya para pakar analisis
kebijakan publik agar dapat membantu mereka dalam menyederhanakan kenyataan
permasalahan politik yang ada didalam permasalahan kebijakan publik. Ini
sedikit mengutip pernyataan dari Thomas R.Dye mengatakan bahwa “a model is
merely an abstraction or representation of political life”. Artinya apa
yang di sebut model itu pada hakikatnya adalah suatu upaya menyederhanakan atau
mengejawantahkan kenyataan politik. Selain itu tujuan dibentuk nya model-model
kebijakan publik ini juga merupakan salah satu hal yang dibutuhkan para ahli
kebijakan publik dalam proses menganalisis kebijakan publik, yang biasa
menggunakan alat-alat konseptual (conceptual tools) tertentu yang dimaksudkan
untuk membantu pekerjaan mereka dalam memahami dan memvisualisasikan realita
kebijakan publik yang kompleks. Diantara sejumlah alat konseptual yang ada
inilah , yang sering dipakai dan bermanfaat bagi keperluan analisis ialah yang
berupa model-model dan atau tipologi-tipologi tertentu.
Menurut Lester dan Steart (2000:51), pada derajat tertentu
akan dapat memainkan peran kunci semacam penyedia hamparan lahan atau pemberi
gambaran secara grafikal beberapa aspek penting dari proses kebijakan. Ini
merupaka penjelasan tentang sebuah model yang baik. Tetapi walaupun demikian,
meskipun kemudahan-kemudahan akan didapatkan dalam memahami permasalaan
kebijakan yang sangat kompleks dan dapat memahami keadaan realita yang lebih
baik. Secara tidak langsung model-model yang ada juga dapat membuat keterpakuan
kita terhadap konsep yang disajikan oleh model yang ada, yang ini akan
berdampak kepada penyempitan daya imaji kita dalam melihat sebua realita yang
ada. Sehingga pemahaman kita menjadi terdistorsi atau terkurung untuk dapat
melihat realitas yang ada di sekeliling kita.Oleh karena itu, dalam memahami
model tertentu kita harus mempunyai perbndingan yang cukup untuk dapat
mengambangkan pemikiran dan kepekaan terhadap permasalahan kebijakan publik
yang sangat kompleks.
Didalam setiap penciptaan model yang ada, tujuan dan motif
para pencipta model akan sangat berpengaruh terhadap kesederhanaan dalam model,
ataukah kekompleksan yang ada dalam model tersebut. Dalam hal yang sederhana,
model ini diciptakan sebagai sebuah dokumentasi terhadap pemikiran yang pernah
mereka tuangkan, tapi justru dalam model tipe seperti ini akan sangat membantu
para pakar kebijakan publik dalam menyusun sebuah hipotesis dan melakukan
percobaan yang sangat andal. Sedangkan dalam ruang lingkup yang kompleks,
biasanya model ini akan menjadi suatu pemahaaman yang abstrak dan penuh dengan
simbolik,yang biasanya dalam penuangan pemikiran tentang model ini para pakar
kebijakan publik menggunakan hal yang matematis dibandingkan hal yang fisik.
Sehingga ini akan berfungsi untuk memberikan sebuah penjelasan,
pengejawantahan, peramal, percobaan, dan penguji sebuah hipotesis. Disamping
sesuatu hal yang kompleks atau kesederhanaannya sebuah model yang ada, intinya
kedua tipe model yang ada ini akan sangat membantu para pakar analisis
kebijakan publik untuk dapat memahami bagaimana proses perumusan dan atau
proses pengimplementasian kebijakan publik tersebut.
Dalam paper yang di buat ini, akan mencoba menjelaskan
pemahaman tentang salah satu model yang ada, yaitu model elit. Model yang di
pakai ini merupakan salah satu model dari enam model yang pernah dibuat oleh
Thomas R. Dye (1978), yang telah membagi model dalam 6 jenis model, yaitu : Model
Kelembagaan, Model Kelompok, Model Elit, Model Rasional, Model Inkremental dan
Model Sistem.
Pembahasan
Kebijakan Publik (Inggris:Public Policy) adalah
keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau
bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebuah
kebijakan publik seharusnya merepresentasikan aspirasi masyarakat dan kemudian
dijalankan oleh lembaga yang memiliki tugas pokok dan kewenangan kebijakan
tersebut.
Dwijowijoto (2003) mengatakan bahwa kebijakan publik adalah jalan mencapai
tujuan bersama yang dicita-citakan. Jika
cita-cita bangsa Indonesia adalah mencapai
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila (Ketuhanan, Kemanusiaan,
Persatuan, Demokrasi dan Keadilan) dan UUD 1945 (Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan hukum dan tidak semata-mata kekuasaan), maka kebijakan
publik adalah seluruh prasarana dan
sarana untuk mencapai “tempat tujuan” tersebut. Dengan kondisi ini maka
kebijakan publik dapat dianggap sebagai “manajemen pencapaian tujuan nasional”
(Gambar 1).
Gambar 1 Kebijakan publik sebagai manajemen pencapaian tujuan nasional
Dari beberapa konsepsi tentang
kebijakan publik diatas, maka disinilah letak urgensi dari adanya kajian
mengenai analisis kebijakan publik. Dibagian latar belakang juga sebelumnya
telah dibahas mengenai beberapa pengertian dari teori analisis kebijakan
publik. Dan tentunya, dalam setiap teori yang telah dikemukakan oleh para aktor
analis kebijakan, ada beberapa teori yang membahas tentang model-model analisis
kebijakan publik. Dan model-model dari analisis kebijakan publik menurut Prof.
Solichin Abdul Wahab, beliau membaginya dalam enam kategori model. Yaitu, Model
Kelembagaan, Model Kelompok, Model Elit, Model Rasional, Model Inkremental, dan
Model Sistem.
Model-Model
dalam Kebijakan Publik
Model kebijakan adalah representasi sederhana mengenai
aspek-aspek yang dipilih dari suatu kondisi masalah yang disusun untuk
tujuan-tujuan tertentu. Model kebijakan merupakan penyederhanaan sistem masalah
dengan membantu mengurangi kompleksitas dan menjadikannya dapat dikelola oleh
para analis kebijakan. Model adalah isomorfisme antara dua atau lebih teori
empiris, sehingga model seringkali sulit diuji kebenarannya di lapangan. Namun
model tetap dapat digunakan sebagai pedoman dalam penelitian, terutama
penelitian yang bertujuan untuk mengadakan penggalian atau penemuan-penemuan
baru. Model menjadi pedoman untuk menemukan (to discover) dan mengusulkan hubungan antara konsep-konsep yang
digunakan untuk mengamati gejala sosial. Model merupakan representasi sebuah
realitas. Model sangat bermanfaat dalam mengkaji kebijakan publik, karena :
1.
Kebijakan publik merupkan proses yang kompleks, dengan sifat model yang
menyederhanakan realitas akan sangat membantu dalam memahami realitas yang
kompleks tersebut.
2.
Sifat alamiah manusia yang tidak mampu memahami realitas yang kompleks tanpa
menyederhanakannya terlebih dahulu, maka peran model dalam memperjelas
kebijakan publik akan semakin berguna.
Menurut
Thomas R. Dye menyarankan beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk melihat
kegunaan suatu model di dalam mengkaji kebijakan publik, yaitu :
1.
Apakah model menyusun dan menyederhanakan kehidupan politik sehingga dapat
memahami hubungan-hubungan tersebut dalam dunia nyata dan memikirkannya dengan
lebih jelas.
2.
Apakah model mengidentifikasi aspek-aspek penting dalam kebijakan publik.
3.
Apakah model kongruen (sama dan sebangun) dengan realitas.
4.
Apakah model mengkomunikasikan sesuatu yang bermakna menurut cara yang kita
semua dapat mengerti.
5.
Apakah model mengarahkan penyelidikan dan penelitian kebijakan publik.
6.
Apakah model menyarankan penjelasan bagi kebijakan publik.
Ketika
kita melakukan penyederhanaan dalam rangka memahami multiplisitas fktor dan
kekuatan yang membentuk problem dan proses sosial kita mesti menyusun model,
pemetaan atau berpikir dalam term metafora. Hal ini mencakup kerangka tempat
kita berpikir dan menjelaskan.
Model Elitis/Policy as Elite Preference
Model
ini mempunyai asumsi bahwa kebijakan publik dapat dipandang sebagai nilai-nilai
dan pilihan-pilihan elit yang memerintah. Thomas R. Dye dan Harmon memberikan
ringkasan pemikiran mengenai model ini, yaitu :
1.
Masyarakat terbagi dalam suatu kelompok kecil yang mempunyai kekuasaan dan
massa yang tidak mempunyai kekuasaan. Hanya sekelompok kecil saja orang yang
mengalokasikan nilai untuk masyarakat sementara massa tidak memutuskan
kebijakan.
2.
Kelompok kecil yang memerintah tersebut bukan tipe massa yang dipengaruhi. Para elit ini biasanya berasal dari lapisan
massyarakat yang ekonominya tinggi.
3.
Perpindahan dari kedudukan non-elit ke elit sangat pelan dan berkesinambungan
untuk memelihara stabilitas dan menghindari revolusi. Hanya kalangan non-elit
yang telah menerima konsensus elit yang mendasar yang dapat diterima dalam
lingkaran kaum elit.
4.
Elit memberikan konsensus pada nilai dasar sistem soaial dan pemeliharaan
sistem.
5.
Kebijakan publik tidak merefleksikan tuntutan massa tetapi nilai-nilai elit
yang berlaku.
6.
Para elit secara relatif memperoleh pengaruh langsung yang kecil dari massa
yang apatis. Sebaliknya elit mempengaruhi massa yang lebih besar.
Model elit lebih memusatkan perhatian pada peranan
kepemimpinan dalam pembentukan kebijakan publik. Hal ini didasarkan pada kenyataan
bahwa dalam suatu sistem politik beberapa orang memerintah orang banyak, para
elit politik yang mempengaruhi massa rakyat dan bukan sebaliknya. Model ini dikembangkan dari teori elit yang
menentang keras pandangan bahwa kekuasaan dalam masyarakat itu berdistribusi
secara merata. Dengan demikian suatu kebijakan publik selalu mengalir dari atas
ke bawah, yaitu dari kaum elit ke massa (rakyat).
Model Pluralis/Policy as Group Equilibrium/Model
Kelompok
Model ini berangkat dari suatu anggapan bahwa interaksi
antar kelompok dalam masyarakat adalah pusat perhatian dari politik.
Individu-individu yang memiliki latar belakang kepentingan yang sama biasanya
akan bergabung baik secara formal maupun informal untuk mendesakan
kepentingan-kepentingannya pada pemerintah. Dalam model ini, perilaku individu
akan mempunyai makna politik kalau mereka bertindak sebagai bagian atas nama
kepentingan kelompok. Kelompok dipandang sebagai jembatan yang penting antara
individu dan pemerintah, karena politik pada dasarnya adalah
perjuangan-perjuangan yang dilakukan kelompok untuk mempengaruhi kebijakan
publik. Dari sudut pandang model ini sistem politik mempunyai tugas untuk
mengelola konflik yang timbul dalam perjuanagan antar kelompok tersebut, dengan
cara :
1.
Menetapkan aturan permainan dalam perjuangan kelompok;
2.
Mengatur kompromi-kompromi dan menyeimbangkan kepentingan;
3.
Memberlakukan kompromi yang telah dicapai dalam bentuk kebijakan publik;
4.
Memaksakan kompromi tersebut.
Model
pluralis lebih menitik beratkan bahwa kebijakan publik terbentuk dari pengaruh
sub-sistem yang berada dalam sistem demokrasi. Dalam model ini adalah gagasan
yang sifatnya lebih parsitipatif dan berbasis komunitas dalam perumusan
kebijakan atau pengambilan kebijakan. Padangan Pluralis menurut Robert Dahl dan
David Truman, menguraikan sebagai berikut :
1. Kekuasaan
merupakan atribut individu dalam hubungannya dengan individu-individu yang lain
dalam proses pembuatan keputusan.
2. Hubungan
–hubungan kekuasaan tidak perlu tetap berlangsung, hubungan-hubungan kekuasaan
lebih dibentuk untuk keputusan-keputusan khusus. Setelah keputusan tersebut
dibuat maka hubungan-hubungan kekuasaan tersebut tidak akan nampak, hubungan
ini akan digantikan oleh seperangkat hubungan kekuasaan yang berbeda ketika
keputusan selanjutnya hendak dibuat.
3.
Tidak ada pembedaan yang tetap antara elit dan massa. Individu-individu yang
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dalam suatu wakt tidak dibutuhkan oleh
individu yang sama yang berpartisipasi dalam waktu yang lain.
4.
Kepemimpinan bersifat cair dan mempunyai mobilitas yang tinggi.
5.
Terdapat banyak pusat kekuasaan diantara komunitas. Tidak ada kelompok tunggal
yang mendominasi pembuatan keputusan untuk semua masalah kebijakan.
6. Kompetisi
dapat dianggap berada diantara pemimpin. Kebijakan publik lebih lanjut
dipandang merefleksikan tawar menawar atau kompromi yang dicapai diantara
kompetisi pemimpin politik.
Dalam
model ini kebijakan publik pada dasarnya mencerminkan keseimbangan yang
tercapai dalam perjuangan antar kelompok pada suatu waktu tertentu dan
kebijakan publik mencerminkan kesimbangan setelah pihak-pihak atau
kelompok-kelompok tertentu berhasil mengarahkan kebijakan publik ke arah yang
menguntungkan mereka.Besar kecilnya pengaruh kelompok-kelompok tersebut
ditentukan oleh jumlah, kekayaan, kekuatan organisasi, kepemimpinan, akses
terhadap pembuat keputusan dan kohesi dalam kelompok.
Model Sistem/ Policy as System output
Model
sistem menurut Paine dan Naumes menggambarkan model pembuatan kebijakan sebagai
interaksi yang terjadi antara lingkungan dengan para pembuat para pembuat
kebijakan, dalam suatu proses yang dinamis. Model ini mengasumsikan bahwa dalam
pembuatan kebijakan terjadi interaksi yang terbuka dan dinamis antara pembuat
kebijakan dengan lingkungannya. Interaksi yang terjadi dalam bentuk keluaran
dan masukan (inputs dan outputs).
Menurut model sistem, kebijakan politik dipandang sebagai
tanggapan dari suatau sistem politik terhadap tuntutan-tuntutan yang timbul
dari lingkungan yang merupakan kondisi atau keadaan yang berada di luar
batas-batas politik. Kekuatan yang timbul dari lingkungan dan mempengaruhi
sistem politik dipandang sebagai masukan (inputs)
bagi sistem politik, sedangkan hasil-hasil yang dikeluarkan oleh sistem politik
yang merupakan tanggapan terhadap tuntutan tersebut dipandangkan sebagai
keluaran (outputs) dari sistem
politik. Sistem politik adalah sekumpulan struktur untuk dan proses yang saling
berhubungan yang berfungsi secara otoritatif untuk mengalokasikan nilai-nilai
bagi suatu masyarakat. Hasil-hasil (outputs)
dari sistem politik merupakan alokasi nilai secara otoritatif dari sistem dan
alokasi-alokasi ini merupakan kebijakan publik.
Menurut model sistem, kebijakan publik merupakan hasil dari
suatu sistem politik. Konsep “sistem” menunjuk pada seperangkat lembaga dan
kegiatan yang dapat diidentifikasikan dalam masyarakat yang berfungsi mengubah
tuntutan menjadi keputusan yang otoritatif. Konsep ini juga menunjukan adanya
saling hubungan antara elemen yang membangun sistem politik serta mempunyai
kemampuan dalam menanggapi kekuatan dalam lingkungannya. Masukan yang diterima
oleh sistem politik dapat dalam bentuk tuntutan maupun dukungan.
Untuk mengubah tuntutan menjadi hasil-hasil kebijakan, suatu
sistem harus mampu mengatur penyelesaian-penyelesaian pertentangan atau konflik
dan memberlakukan penyelesaian pertentangan atau konflik dan memberlakukan
penyelesaian ini pada pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu suatu sistem
dibangun berdasarkan elemen yang mendukung sistem tersebut dan hal ini
bergantung pada interaksi antar berbagai sub sistem, maka suatu sistem akan
melindungi dirinya melalui tiga hal, yaitu :
1. Menghasilkan
outputs yang secara layak memuaskan;
2. Menyandarkan
diri pada ikatan-ikatan yang berakar dalam sistem itu sendiri;
3. Menggunakan
atau mengancam untuk menggunakan kekuatan (penggunaan otoritas).
Model Rasional Komprehensif/ Policy as Efficient Goal Achievement.
Model
rasional komprehensif ini menekankan pada pembuatan keputusan yang rasional
dengan bermodalkan pada komprehensivitas informasi dan keahlian pembuat
keputusan. Dalam model ini suatu
kebijakan yang rasional adalah suatu kebijakan yang sangat efisien, dimana rasio
antara nilai yang dicapai dengan nilai yang dikorbankan adalah positif dan
lebih tinggi dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang lain.
Dalam
model ini para pembuat kebijakan untuk membuat kebijakan yang rasional, harus :
1.
Mengetahui semua nilai-nilai utama yang ada dalam masyarakat.
2.
Mengatahui semua alternatif kebijakan yang tersedia.
3.
Mengetahui semua konsekuensi dari setiap alternatif kebijakan.
4.
Memperhitungkan rasio antara tujuan dan nilai sosial yang dikorbankan bagi
setiap alternatif kebijakan.
5.
Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien.
Model
ini terdiri dari elemen sebagai berikut :
1.
Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu. Masalah ini dapat dipisahkan dengan masalah
yang lain atau paling tidak masalah tersebut dapat dipandang bermakna bila
dibandingkan dengan masalah yang lain.
2.
Tujuan, nilai atau sasaran yang mengarahkan pembuat keputusan dijelaskan dan
disusun menurut arti pentingnya.
3.
Berbagai alternatif untuk mengatasi masalah perlu diselidiki.
4.
Konsekunsi (biaya dan keuntungan) yang timbul dari setiap pemilihan alternatif
diteliti.
5.
Setiap alternatif dan konsekuensi yang menyertainya dapat dibandingkan dengan
alternatif lain. Pembuat keputusan memil;iki alternatif beserta konsekuensi
yang memaksimalkan pencapaian tujuan, nilai atau sasaran yang hendak dicapai.
Keseluruhan
proses tersebut akan menghasilakan suatu keputusan yang rasional, yaitu
keputusan yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu.
Namun
ada krikit terhadap model rasional komprehensif, yaitu :
1.
Para pembuat keputusan tidak dihadapkan pada masalah-masalah yang konkrit dan
jelas. Sehingga seringkali para pembuat
keputusan gagal mendefinisikan masalah dengan jelas, akibatnya keputusan yang
dihasilkan untuk menyelesaikan masalah tersebut tidak tepat.
2.
Tidak realitis dalam tuntutan yang dibuat oleh para pembuat keputusan. Menurut
model ini pembuat keputusan akan mempunyai cukup informasi mengenai alternatif
yang digunakan untuk menanggulangi masalah. Pada kenyataannya para pembuat
keputusan seringkali dihadapkan oleh waktu yang tidak memadai karena desakan
masalah yang membutuhkan penanganan sesegera mungkin.
3. Para
pembuat keputusan publik biasanya dihadapkan dengan situasi konflik daripada
kesepakatan nilai. Sementara nilai-nilai yang bertentangan tersebut tidak mudah
diperbandingkan atau diukur bobotnya.
4. Pada
kenyataannya bahwa para pembuat keputusan tidak mempunyai motivasi untuk
menetapkan keputusan-keputusan berdasarkan tujuan masyarakat, sebaliknya mereka
mencoba memaksimalkan ganjaran-ganjaran mereka sendiri.
5. Para
pembuat keputusan mempunyai kebutuhan, hambatan dan kekurangan sehingga
menyebabkan mereka tidak dapat mengambil keputusan atas dasar rasionalitas yang
tinggi.
6. Investasi
yang besar dalam program dan kebijakan menyebabkan pembuat keputusan tidak
mempertimbangkan lagi alternatif yang telah ditetapkan oleh keputusan
sebelumnya.
7. Terdapat
banyak hambatan dalam mengumpulkan semua informasi yang diperlukan untuk
mengetahui semua kemungkinan alternatif dan konsekuensi dari masing-masing
alternatif.
Model
Penambahan ( The Incremental Model)/
Policy as Variation on the Past.
Model
inkremental pada dasarnya memandang kebijakan publik sebagai kelanjutan dari
kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan pemerintah pada masa lampau dengan hanya
melakukan perubahan-perubahan seperlunya.
Model
ini lebih bersifat deskritif dalam pengertian, model ini menggambarkan secara
aktual cara-cara yang dipakai para penjabat dalam membuat keputusan. Ada beberapa
hal yang harus diperhatikan dalam mempelajari model penambahan, yakni :
1. Pemilihan
tujuan atau sasaran dan analisis empirik terhadap tindakan dibutuhkan.
2. Para pembuat
keputusan hanya mempertimbangkan beberapa alternatif untuk menanggulangi
masalah yang dihadapi dan alternatif hanya berada secara marginal dengan
kebijakan yang sudah ada.
3. Untuk setiap
alternatif, pembuat keputusan hanya mengevaluasi beberapa konsekuensi yang
dianggap penting saja.
4. Masalah yang
dihadapi oleh pembuat keputusan dibatasi kembali secara berkesinambungan.
5. Tidak ada
keputusan tunggal atau penyelesaian masalah yang dianggap paling “tepat”.
6. Pembuatan keputusan secara inkremental pada
dasarnya merupakan remedial dan
diarahkan lebih banyak kepada perbaikan terhadap ketidaksempurnaan sosial yang
nyata sekarang ini daripada mempromosikan tujuan sosial di masa depan.
Keputusan
yang diambil dari model ini hasil kompromi dan kesepakatan bersama antara
banyak partisipan. Dalam kondisi banyaknya partisipan, keputusan akan lebih
mudah dicapai bila persoalan yang disengketakan oleh berbagai kelompok hanya
merupakan perubahan terhadap program
yang sudah ada, keadaan sebaliknya jika menyangkut perubahan kebijakan besar
yang menyangkut keuntungan dan kerugian besar. Pembuatan keputusan secara
inkrementalisme adalah penting dalam rangka mengurangi konflik, memelihara
stabilitas dan sistem politik itu sendiri.
Dalam
pandangan inkrementalis, para pembuat keputusan dalam menunaikan tugasnya
berada dibawah keadaan yang tidak pasti yang berhubungan dengan konsekuensi
dari tindakan mereka di masa depan, maka keputusan inkrementalis dapat
mengurangi risiko atau biaya ketidakpastian itu.
Sejarah dan
Asal-usul Model Elit
Model elit
merupakan pengembangan pemikiran yang mengacu dari teori elit. teori elit
adalah teori dari negara yang berusaha untuk menggambarkan dan menjelaskan
hubungan kekuasaan dalam masyarakat kontemporer. Teori ini memposisikan bahwa
minoritas kecil, yang terdiri dari anggota ekonomi elit dan kebijakan perencanaan
jaringan, memegang kekuasaan yang paling kuat dan bahwa kekuatan ini tidak
tergantung pada proses pemilu yang demokratis di suatu negara. Teori elit
berdiri sebagai oposisi terhadap pluralisme dalam mengusulkan bahwa demokrasi
adalah yang ideal utopis. Hal ini juga berdiri bertentangan dengan teori
otonomi negara.
Teori elit
pertama kali muncul dengan adanya pengacuan terhadap teori elit klasik, yang
memunculkan beberapa nama tokoh besar, yaitu Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca,
dan Robert Michels.
“Dan sebelum mereka bertiga mengutarakan pandangan tentang
elit, ada pandangan elit versi aristrokrat dari teori ini adalah Teori
Elite Classic yang didasarkan pada dua ide:
1.
kekuasaan terletak pada posisi otoritas di lembaga-lembaga ekonomi dan politik
penting.
2.
perbedaan psikologis yang menentukan Elit terpisah adalah bahwa mereka memiliki
sumber daya pribadi, misalnya untuk kecerdasan dan keterampilan, dan
kepentingan dalam pemerintah, sedangkan sisanya tidak kompeten dan tidak
memiliki kemampuan mengatur diri mereka sendiri, elit adalah akal dan akan
berusaha untuk membuat pekerjaan pemerintah. Karena dalam kenyataannya, elit
memiliki paling kehilangan dalam pemerintahan gagal.”
Dari pandangan aristrokrat ini, barulah muncul pandangan
ketiga tokoh besar di atas tentang Teori Elite Classic. Yaitu:
Menurut Vilfredo Pareto
Pareto menekankan keunggulan psikologis dan intelektual lah
yang membuat satu kata elit itu dapat diperoleh, namun pada kenyataannya tidak
ada jenis kelompok yang dapat kita sebut elit, karena ketika mereka
datang dengan menekan kelas mayoritas, mereka berpikir bahwa mereka adalah
elit, dan mereka menunjukkan sikap mereka sebagai klas elit, tapi ketika mereka
datang dengan tinggi sebut sebagai dibandingkan dengan mereka hanya terjadi
sebaliknya. Seperti Prarik Mishra dan Shomma Naik keduanya teman tapi satu
adalah elit, dan yang satu lagi tidak, tetapi sebenarnya keduanya tidak elit.
ia percaya bahwa para elit adalah accomplishers tertinggi
dalam bidang apapun dan ia membahas bagaimana ada dua jenis Elit, yaitu :
1.
pemerintahan elit
2.
non-elit yang mengatur
Dia juga memperluas pada gagasan bahwa elit keseluruhan bisa
diganti dengan yang baru dan bagaimana seseorang dapat bersirkulasi dari yang
elit untuk non-elite.
Menurut Gaetano Mosca
Mosca menekankan karakteristik sosiologis dan pribadi elit.
Dia mengatakan elit merupakan minoritas terorganisasi dan bahwa massa merupakan
mayoritas tidak terorganisir. Kelas penguasa ini terdiri dari elit penguasa dan
sub-elit. Dia membagi dunia menjadi dua kelompok:
1.
berkuasa kelas
2.
kelas yang memerintah
Mosca menegaskan bahwa elit memiliki keunggulan intelektual,
moral, dan material yang sangat terhormat dan berpengaruh.
Menurut Robert Michels
Sosiolog Michels mengembangkan Hukum Besi Oligarki di mana,
ia menegaskan, organisasi sosial dan politik yang dijalankan oleh beberapa
individu, dan organisasi sosial dan pembagian kerja adalah kunci. Dia percaya
bahwa semua organisasi yang elitis dan bahwa elit memiliki tiga prinsip dasar
yang membantu dalam struktur birokrasi organisasi politik:
1.
Perlu bagi para pemimpin, staf khusus dan fasilitas
2.
Pemanfaatan fasilitas oleh para pemimpin dalam organisasi mereka
3.
Pentingnya atribut psikologis para pemimpin
Setelah beberapa tokoh yang mengutarakan tentang Teori Elit
Klassik, muncullah beberapa tokoh yang sangat berpengaruh pada perkembangan
teori-teori yang ada pada teori elit, dengan beberapa karya-karya bukunya yang
membuat nama besar para tokoh ini. Yaitu :
Menurut C. Wright Mills
Mills menerbitkan bukunya The Elite Daya pada tahun 1956,
mengklaim perspektif sosiologis baru pada sistem kekuasaan di Amerika Serikat.
Dia mengidentifikasi tiga serangkai kelompok kekuatan - politik, ekonomi dan
militer - yang membentuk dibedakan, meskipun tidak bersatu, kekuasaan-memegang
tubuh di Amerika Serikat.
Mills mengusulkan bahwa kelompok ini telah dihasilkan
melalui proses rasionalisasi di tempat kerja dalam semua masyarakat industri
maju dimana mekanisme kekuasaan menjadi terkonsentrasi, menyalurkan kontrol
secara keseluruhan ke tangan kelompok, terbatas agak korup. Ini mencerminkan
penurunan politik sebagai arena untuk debat dan degradasi ke tingkat formal
hanya wacana. Analisis makro skala berusaha menunjukkan degradasi demokrasi di
"maju" masyarakat dan fakta bahwa daya umumnya terletak di luar
batas-batas terpilih wakil . Pengaruh yang utama untuk penelitian ini adalah
Franz Leopold Neumann 's buku, Behemoth: Struktur dan Praktek Sosialisme
Nasional, 1933-1944 sebuah studi tentang bagaimana Nazisme berkuasa di negara
demokratis Jerman. Ini menyediakan alat untuk menganalisis struktur sistem
politik dan menjabat sebagai peringatan dari apa yang bisa terjadi dalam
demokrasi kapitalistik modern.
Menurut Floyd Hunter
Analisis teori elit kekuasaan juga diterapkan pada skala
mikro dalam studi daya masyarakat seperti yang oleh Floyd Hunter (1953). Hunter
diperiksa secara detail hubungan kekuasaan yang nyata dalam "Kota
Daerah", mencari "sebenarnya" pemegang kekuasaan daripada mereka
yang memegang posisi resmi jelas. Ia mengemukakan sebuah struktural-fungsional
pendekatan yang memetakan hirarki dan jaringan operasi interkoneksi dalam kota
- pemetaan hubungan kekuasaan antara pengusaha, politisi, ulama dll Penelitian
ini dipromosikan untuk menghilangkan prasangka konsep saat ini dari setiap
hadir 'demokrasi' dalam politik perkotaan dan menegaskan kembali argumen untuk
benar demokrasi perwakilan .
Jenis analisis ini juga digunakan di lain waktu, skala yang
lebih besar, studi seperti yang dilakukan oleh M. Schwartz meneliti struktur
kekuasaan dalam ruang lingkup elit perusahaan di Amerika Serikat.
Menurut G. William Domhoff
Dalam karyanya yang kontroversial buku Siapa aturan Amerika?
, G. William Domhoff diteliti keputusan lokal dan nasional membuat jaringan
proses untuk menggambarkan struktur kekuasaan di Amerika Serikat. Dia
menegaskan, seperti Hunter, yang kelas elit yang memiliki dan mengelola
pendapatan besar yang memproduksi properti (seperti bank dan perusahaan)
mendominasi struktur kekuasaan politik dan ekonomi Amerika.
Menurut James Burnham
Burnham karya awal Revolusi Manajerial berusaha untuk
mengekspresikan pergerakan semua kekuatan fungsional ke tangan manajer daripada
politisi atau pengusaha - memisahkan kepemilikan dan kontrol. Banyak dari
ide-ide yang diadaptasi oleh paleoconservatives Samuel T. Francis dan Paulus
Gottfried di mereka teori-teori dari negara manajerial . Pikiran Burnham pada
Teori Elite yang dijelaskan lebih khusus dalam bukunya The Machiavellians yang
membahas pemikiran, antara lain, Pareto, Mosca, dan Michels, melainkan di sini
bahwa Burnham mencoba analisis ilmiah dari kedua elit dan politik secara umum.
Menurut Robert D. Putnam
Putnam melihat perkembangan pengetahuan teknis dan eksklusif
di antara kelompok administrator dan spesialis lain sebagai mekanisme dimana
daya dilucuti dari proses demokrasi dan menyelinap ke samping untuk penasehat
dan spesialis yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan .
"Jika angka-angka dominan dari seratus tahun terakhir
telah menjadi pengusaha, pengusaha, dan eksekutif industri, 'pria baru' adalah
ilmuwan, matematikawan, ekonom, dan para insinyur teknologi intelektual
baru."
Thomas R. Dye
Dye dalam bukunya Atas Bawah pembuatan kebijakan,
berpendapat bahwa AS kebijakan publik tidak menghasilkan dari "tuntutan
rakyat", melainkan lebih dari konsensus Elite ditemukan di Washington, DC
berbasis nirlaba yayasan, think tank, kelompok minat khusus, dan menonjol
pelobi dan firma hukum. Tesis Dye adalah lebih lanjut diperluas dalam
karya-karyanya: Ironi Demokrasi, Politik di Amerika, Memahami Kebijakan Publik,
dan Siapa Menjalankan Amerika?
Dari beberapa nama tokoh diatas, Thomas R.Dye merupakan
tokoh yang membuat perkembangan model-model yang ada dalam sejarah perkembangan
tentang kebijakan publik. Ia sempat menghasilkan beberapa buku yang saat ini
telah menjadi bahan-bahan referensi di kalangan orang-orang yang mempelajari
bahkan menganalisis tentang kebijakan publik.
Dalam pemikiran-pemikirannya tentang kebijakan publik. Ia
bahkan sempat membuat pengelompokkan model-model yang ada dalam analisis
kebijakan publik. Salah satu model yang ia kelompokkan merupakan model elit
yang akan di bahas dalam paper ini. Pembagian model-model yang ia buat ini
dibagi dalam 6 bentuk model yaitu : Model Kelembagaan, Model Kelompok, Model
Elit, Model Rasional, Model Inkremental dan Model Sistem.(Thomas R.Dye
(1978)). Selanjutnya sampai saat ini beberapa teori elit diatas sangat
mempengaruhi beberapa pemikiran setiap kelompok yang mendalami tentang model
elit ini bahkan ahli kebijakan publik yang lain di dalam mengutarakan tentang
suatu model elit.
Model
Elit Dalam Teori Kebijakan
Seperti yang telah diutarakan diatas, model elit (the
rulling elit model) adalah sebuah model analisis yang dikembangkan dengan
mengacu kepada teori elit (elite theory). Teori elit ini pada umumnya
menentang keras terhadap pandangan yang menyatakan bahwa kekuasaan di dalam
masyarakat itu terdistribusi secara merata. Maksud dalam hal ini, kekuasaan
merupakan sesuatu hal yang memang membenarkan adanya sekelompok kecil
masyarakat yang mempunyai kemampuan lebih dalam mengendalikan atau memerintah
kelompok besar di dalam masyarakat.
Kelompok kecil di dalam masyarakat ini bukan maksud
dalam hal kemampuan mereka, tapi ini di maksudkan jumlah yang cenderung sedikit
tetapi mempunyai otoritas yang sangat kuat di dalam masyarakat. Kelompok
kecil ini biasanya mempunyai otoritas untuk menjalankan semua fungsi-fungsi
politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan dari
kekuasaan yang mereka punyai. Ini memberikan pembenaran kepada pengungkapan
yang dituturkan oleh salah satu teoritisi elit klasik yaitu C. Wright Mills
(1956) yang mengungkapkan adanya suatu gejala konsentrasi kekuasaan politik
di tangan sekelompok kecil masyarakat. Pareto dan Mosca juga mempunyai
pandangan tentang hal ini yang ia melihat sekelompok kecil masyarakat yang
mempunyai otoritas lebih di dalam masyarakat mempunyai julukan sebagai elit
politik.
Pareto dan Mosca ini menyatakan bahwa kehadiran elit politik
itu adalah penting dan bahkan merupakan ciri khas semua masyarakat. Ini membuat
penguatan teradap makna yang terkadung di dalam model elit ini, bahwa model
elit mempunyai pembawaan yang penuh dengan permainan politik di dalam
masyarakat. Di mana model elit ini memberikan penyadaran bahwa dalam hal
konteks sebagian masyarakat yang memerintah ini merupakan kelompok masyarakat
yang syarat akan permainan politik, baik dalam proses mendapatkan kekuasaan
maupun dalam mengimplementasikan segala tindakan yang ia dapatkan dari
kekuasaan yang ia miliki.
Kelompok elit di dalam masyarkat ini biasanya di lihat dalam
konteks kenegaraan yaitu orang-orang di dalam lembaga-lembaga yang ada di dalam
pemerintahan, atau bahkan satu sosok kepala negara dan atau kepala pemerintahan
di suatu negara tersebut. Ini membuat keterkaitan pernyataan yang diungkapkan
oleh Mosca (1939:50) yaitu dalam semua masyarakat –dari masyarakat yang
belum begitu berkembang dan hampir-hampir belum tersentuh peradaban, hingga ke
masyarakat –masyarakat yang paling maju dan kuat –terlihat adanya dua klas
masyarakat-klas yang memerintah dan klas yang diperintah.
Di dalam pernyataan mosca ini menguatkan makna yang
terkandung dalam model elit, bahwa di dalam kelompok masyarakat dalam kalangan
yang seperti apapun, pasti mempunyai penggolongan kelompok berdasarkan
kekuasaan, yaitu kelompok yang mempunyai kekuasaan dan kekuatan lebih sebagai
kelompok kecil yang memerintah dan yang diperintah merupakan kelompok dalam
jumlah yang besar, yang tidak memiliki kekuasaan ataupun kekuatan lebih. Klas
masyarakat yang diperintah biasanya memang mempunyai jumlah yang lebih banyak
dari yang memerintah, klas masyarakat yang diperintah ini biasanya dikontrol
oleh pihak yang memerintah supaya mengikuti alur yang diinginkan oleh yang
memerintah, dengan cara-cara yang sekarang sudah bersifat legal, dan bahkan
terkadang tidak sungkan untuk menunjukkan kesewenang-wenangannya.
Didalam mengutarakan tipe kelompok masyarakat yang termasuk
dalam kelompok masyarakat yang memerintah dan kelompok masyarakat yang
diperintah, beberapa ahli atau tokoh mempunyai pemikiran yang berbeda-beda, dan
saling membantah satu sama lain, beberapa pandangan tersebut yaitu : Mosca
menekankan cara-cara dimana minoritas kecil di luar mengatur dan mengecoh
mayoritas besar, menambahkan bahwa "kelas-kelas politik" - istilah
Mosca untuk elit politik - biasanya memiliki "bahan tertentu, intelektual,
atau bahkan superioritas moral" atas orang-orang yang mereka atur (1923
/ 1939: 51). Pareto mendalilkan bahwa di dalam masyarakat dengan mobilitas
sosial benar-benar tak terbatas, elit akan terdiri dari individu-individu yang
paling berbakat dan layak, tetapi dalam masyarakat yang sebenarnya, para elite
adalah mereka yang paling mahir menggunakan dua mode kekuasaan politik,
kekuatan dan persuasi, dan yang biasanya menikmati unsur penting keuntungan
seperti kekayaan warisan dan hubungan keluarga (1916/1935: 2031 - 2034,
2051).
Sedangkan
Pareto menggunakan sketsa jenis bolak elit yang mengatur, yang disamakan,
setelah Machiavelli, untuk rubah dan singa (lihat Marshall 2007). Michels
berpendapat bahwa elit ("oligarki") dalam kebutuhan organisasi
besar bagi para pemimpin dan ahli, untuk beroperasi secara efisien, seperti
orang-orang ini mendapatkan kontrol dana, arus informasi, promosi, dan aspek
lain dari fungsi organisasi, kekuasaan menjadi terkonsentrasi di tangan mereka
(1915/1962, lihat Linz 2006). Dan Weber berpendapat bahwa tindakan
politik selalu ditentukan oleh "prinsip kelompok kecil, yang berarti, manuver
politik unggul dari kelompok terkemuka kecil. Dalam massa menyatakan, unsur
Caesarist adalah tak terhapuskan "(1978: 1414).
Beberapa pendapat ini bila didalami secara seksama,
menggambarkan beberapa tipe klas yang memerintah di dalam kehidupan nyata.
Tipe-tipe ini bisa dilihat berdasarkan kondisi jaman, sistem-sistem yang
terkandug dalam masyarakat atau sistem yang dipakai dalam kehidupan bernegara,
bahkan sejarah yang ada dalam kelompok masyarakat tertentu.
Di sini dalam pendapat yang Mosca utarakan bahwa mayoritas
kecil yang disini di anggap sebagai klas yang memerintah mempunyai
permainan-permainan yang menggiring kelompok besar untuk mengikuti permainan
yang di buat oleh mayoritas kecil. Hal ini bisa dilakukan karena klas yang
memerintah yaitu klas mayarakat mayoritas kecil, biasanya mempunyai
kelebihan-kelebihan yang ditampakkan kepada klas kelompok mayoritas besar. Yang
dalam hal ini mempunyai suatu kelebihan yang membuat klas yang di perintah bisa
dikuasai oleh klas yang memerintah. Bebberapa contoh kelebihan yang dimiliki
klas yang memerintah seperti mempunyai kelebihan dalam hal intelektual, atau
bahkan mempuyai superioritas moral dengan kelompok yang diperintah. Maksud dari
superioritas disini mungkin diartikan mempunyai suatu legitimasi dan kesamaan
tujuan juga semangat yang sama.
Lalu penjelasan yang di berikan oleh Pareto lebih melihat
sebuah sisi yag realitas telah ada, dan terjadi. Sehingga ia mengutarakan dalam
dua penjelasan kondisi yang berbeda, satu sisi yang dilihat oleh Pareto ini melihat
pada sesuatu yang seharusnya memang dilihat dalam menentukan kelompok kecil
yang menjadi klas yang memerintah. Satu sisi yang dilihat dalam kondisi
masyarakat yang mempunyai mobilitas tinggi atau dalam hal mungkin dimaksudkan
bahwa klompok masyarakat dalam situasi ini telah berada pada taraf masyarakat
yang modern, yang biasanya mempunyai sebuah pilihan tergantung kepada sesuatu
hal yang serba dalam hal intelektual. Yang maksudnya di dalam memilih klas yang
memerintah lebih dapat objektif dalam menilai dan menentukan klas yang
memerintah memang mempunyai kapabilitas yang menghuni untuk memerintah
masyarakat tersebut. Di lain sisi ia menyadari bahwa keadaan yang sebenarnya
dalam masyarakat, klas yang dapat menjadi klas yang memerintah itu mempunyai kelebihan
dalam berprilaku politik, yang biasanya kaum yang memerintah itu dapat
menjalankan dua mode kekuasaan politik yaitu kekuatan dan persuasi. Lalu ada
juga yang dapat menjadi klas yang memerintah karena mempunyai harta dalam hal
ini kekuatan materil yang lebih dari klas yang lainnya, atau bahkan karena
keturunan dalam hal ini biasanya terjadi dalam negara berbentuk kerajaan
seperti Inggris.
Lalu Michels, lebih melihat pada sisi proses yang dapat
menjadikan klas yang memerintah itu dapat di capai bilamana proses yang
dilakukan melalui sebuah organisasi dapat dioptimalkan sebaik mungkin untuk
mendorong suatu legitimasi dari klas yang diperintah.
Dan Weber memberikan pembenaran kembali bahwa setiap proses
politik yang ada merupakan ketetapan yang lebih menguntungkan kebutuhan dari
kelompok kecil di dalam masyarakat (kelas yang memerintah), yang biasanya
ini juga akan memberikan kesenjangan atau ketimpangan antara kelompok
masyarakat kecil dengan kelompok masyarakat besar di dalam pemenuhan kebutuhan.
Dari pendapat para
ahli/tokoh teori elit diatas bisa kita lihat bahwa implementasi yang ada dalam
penerapan model elit, merupakan sebuah produk yang tercipta dari rumusan dan
keputusan para elit politik. Sehingga kekuasaan di dalam masyarakat bila
melihat pada model elit akan tercermin suatu distribusi yang tidak merata. Dan
wajar pula, bila setiap orang yang melihat kebijakan dari sudut pandang teori
elit selalu menganggap bahwa kebijakan publik merupakan produk yang dihasilkan
dari kehendak dan nilai-nilai anutan elit yang berkuasa.
Didalam kehidupan bernegara saat ini, seiring dengan
perkembangan teknologi, banyak media massa baik berbentuk cetak maupun
elektronik, yang memudahkan kita untuk mengetahui proses penyelenggaraan atau
penetapan kebijakan di bidang tertentu. Yang selanjutnya, menurut orang-orang
yang menganut pandangan teori elit, ini dijadikan sebuah media kebohongan
publik oleh para elit politik. Dimana sering kita temui pernyataan-pernyataan
yang dilayangkan oleh para pejabat tinggi pemerintah atau bahkan anggota Dewan
yang menyatakan dirinya sebagai perwakilan rakyat, memberikan komentar dalam
suatu kebijakan tertentu, bahwa kebijakan yang di jalankan pada saat itu,
merupakan sebuah bentuk kebijakan yang mengindahkan atau memperhatikan
sepenuhnya tuntutan-tuntutan rakyat/publik. Yang menghasilkan sebuah anggapan
yang sangat jauh dari keadaan yang sebenarnya bahwa kebijakan publik tersebut
adalah cermin keinginan atau kehendak publik.
Selain itu juga, anggapan ini seolah membenarkan anggapan
bahwa “suara rakyat, suara tuhan”. Para penganut teori elit sangat meragukan
bahkan menyangkal hal ini dengan menyodorkan sebuah argumen yang sangat telak
tentang hal ini dengan menyatakan bahwa selain hal itu hanya sebuah retorika
politik, ini juga dianggap sebagai sebuah hal yang tidaak benar terjadi bahkan
suatu hal yang berlawanan dengan fakta yang ada. Lalu masih dengan hal ini,
para penganut teori elit juga beranggapan bahwa sebagian besar rakyat merupakan
kelompok yang apatis (apathetic) dan juga buta informasi (ill
informed) mengenai kebijakan publik, sehingga dengan demikian para elit
penguasalah yang sebenarnya mempengaruhi semua pendapat umum menyangkut dengan
masalah kebijakan, bukannya rakyat yang mempengaruhi pendapat golongan elit
tentang masalah kebijakan. Sehingga dengan hal yang demikian bisa dikatakan
tidak ada bentuk kebijakan yang sungguh berpihak kepada rakyat.
Dalam logika teori elit, para pejabat pemerintahan dan para
administrator , betapapun strategisnya kedudukan mereka, sesungguhnya hanyalah
sekadar menjadi alat atau pelaksana dari kebijakan yang substansinya telah
dirumuskan dan ditetapkan oleh golongan elit. Dengan demikian pula bisa membuat
sebuah argumen yang sangat menyedihkan tentang sebuah negara bahwa negara
dimanapun berada bukan merupakan sebuah badan/lembaga yang netral, yang memang
dalam setiap penyelenggaraannya merupakan semua kumpulan tindakan-tindakan yang
berdasarkan kehendak rakyat, melainkan sebuah badan yang dijadikan tameng untuk
menciptakan sebuah dominasi klas.
Didalam model elit ini juga, kita bisa melihat bahwa ada
keterkaitan antara model elit dengan penyelenggaraan negara kapitalis, yang
mana dalam penyelenggaraan suatu negara, pejabat-pejabat pemerintahan atau
bahkan elit penguasa sangat lah bergantung kepada para pemilik modal untuk
mempertahankan eksistensi suatu negara lewat kekuatan modal, dan juga menjadi
salah satu faktor yang menyebabkan para pejabat amat bergantung kepada
keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi (economic development).
Ini menyebabkan terciptanya suatu keadaan yang mendesak para pejabat
terbatasi dalam setiap tindakan yang ingin dilakukan, tetapi ini tidak membuat
para pejabat tidak berperan sama sekali dalam proses kebijakan, justru melalui
perannya untuk secara tidak langsung memfasilitasi segala kebutuhan para
pemilik modal untuk mendapatkan tujuannya, dalam hal ini bisa kita lihat salah
satu contohnya yaitu dalam proses pembangunan yang dilakukan pemerintah, secara
tidak langsung memberikan fasilitas dan kesempatan para pemilik modal untuk
menguasai proses pembangunan yang ada untuk mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya. Melalui usaha para pejabat tersebut lah, justru kedudukan dan
legitimasi kekuasaannya dapat lebih kokoh, karena eksistensinya di dalam
keberhasilan melakukan pembangunan ekonomi.
Dari semua penjelasan diatas, “maka mudah dimengerti mengapa
kebijakan publik, dilihat dari sudut pandang teori elit, dianggap selalu
mengalir dari atas ke bawah (top-down), yakni dari elit ke massa/rakyat;
kebijakan publik itu dengan demikian tidak akan pernah muncul dari bawah (bottom-up)
atau berasal dari tuntutan-tuntutan rakyat. Ditilik dari lensa konseptual model
elit ini, maka jelas partisipasi rakyat atau keterlibatan publik (publik
involvement) dalam proses perumusan kebijakan dan proses implementasi
kebijakan publik di abaikan.” (dikutip dari buku Prof. Solichin Abdul
Wahab,2008, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, hal 80)
Dari penjelasan-penjelaan yang sudah diutarakan tersebut, dengan demikian model
elit ini dapat digunakan dalam proses kebijakan publik yang akan diambil untuk
menganalisis proses perumusan/pembuatan kebijakan secara khusus, yaitu
untuk menyoroti peran golongan elit dalam proses perumusannya dan juga dalam
melihat bagaimana cara-cara dari golongan elit untuk memanipulasi dan
mengesampingkan aspirasi masyarakat.
Selain itu, model elit ini juga bisa digunakan untuk menganalisis implementasi
kebijakan publik, dan juga bagaimana dampak yang dihasilkan dari kebijakan
tersebut terhadap masyarakat dan juga pembuat kebijakan itu sendiri. Dalam hal
ini, bisa kita lihat dalam peran golongan elit selama proses implementasi
kebijakan publik itu berlangsung, utamanya terhadap segala upaya yang dilakukan
baik secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan untuk mencegah atau
menetralisir keadaan dalam setiap upaya pengacauan-pengacauan tertentu saat
implementasi kebijakan.
Kesimpulan
Model elit lebih memusatkan
perhatian pada peranan kepemimpinan dalam pembentukan kebijakan-kebijakan
publik. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam suatu sistem politik
beberapa orang memerintah orang banyak, para elit politik yang mempengaruhi
massa rakyat dan bukan sebaliknya. Namun demikian, apakah para elit memerintah
dan menentukan kebijakan dengan pengaruh yang kecil dari massa merupakan
proposisi yang sulit dibuktikan. Untuk mempertahankan proposisi ini secara
berhasil seorang ilmuwan politik Robert Dahl mengatakan bahwa orang harus
mengidentifikasi “kelompok yang mengendalikan dibandingkan dengan ukuran
mayoritas, yang bukan merupakan artefak dari peraturan-peraturan demokratik,
suatu minoritas individu-individu yang mempunyai pilihan-pilihan yang secara
teratur berlaku dalam kasus-kasus perbedaan pilihan-pilihan tentang
masalah-masalah politik pokok.
Ada
beberapa asumsi dasar yang bisa tarik adanya penerapan teori model elit dalam
analisis kebijakan. yaitu :
1.
Masyarakat terbagi dalam suatu kelompok kecil yang
mempunyai kekuasaan (power) dan
massa yang tidak mempunyai kekuasaan. Hanya sekelompok kecil saja orang yang
mengalokasikan nilai-nilai untuk masyarakat sementara massa tidak memutuskan
kebijakan.
2.
Kelompok kecil yang memerintah itu bukan tipe massa
yang dipengaruhi. Para elit ini
(the rulling class) biasanya berasal dari lapisan masyarakat yang
ekonominya tinggi.
3.
Perpindahan dari kedudukan non-elit ke elitis sangat
pelan dan berkesinambungan untuk memelihara stabilitas dan menghindari
revolusi. Hanya kalangan non-elit yang telah menerima konsensus elit yang
mendasar yang dapat diterima ke dalam lingkaran yang memerintah.
4.
Elit memberikan konsensus pada nilai-nilai dasar sistem
sosial dan pemeliharaan sistem. Misalnya, di Amerika Serikat konsensus elit
mencakup perusahaan swasta, hak milik pribadi, pemerintahan terbatas dan
kebebasan individu.
5.
Kebijakan publik tidak merefleksikan tuntutan-tuntutan
massa, tetapi nilai-nilai elit yang berlaku. Perubahan-perubahan dalam
kebijakan publik adalah secara inkremental
daripada secara revolusioner.
Perubahan-perubahan secara inkremental
memungkinkan tanggapan-tanggapan yang timbul hanya mengancam sistem sosial
dengan perubahan sistem yang relatif kecil dibandingkan bila perubahan tersebut
didasarkan teori rasional
komprehensif.
6.
Para elit secara relatif memperoleh pengaruh langsung
yang kecil dari massa yang apatis. Sebaliknya, para elit mempengaruhi massa
yang lebih besar.
Daftar
Pustaka
-
Abdul
Wahab, Solikhin. Prof, 2008. Pengantar
Analisis Kebijakan Publik. Malang : UMM Press.
-
Wayne
Parsons, Public Policy, Pengantar Teori
dan Praktik Analisa Kebijakan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008.
-
William
N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan
Publik, Gadjah Mada University Press, Jogjakarta, 2003.
-
Morcol, G. (2001), 'Positivist Beliefs Among Policy Professionals: an empirical
investigation', Policy Sciences, Vol 35, Nos 3-4, pp.381-401.
-
Parsons, W. (2001), 'Modernising policy-making for the Twenty First Century:The
Professional Model', Public Policy and Administration, Vol 16, No 3,
pp.93-1 10.
-
Torgerson, D. (1986), 'Between Knowledge and Politics: Three Faces of Policy Analysis',
Policy Sciences Vol 19, No 1, pp.33-59.
-
Torgerson, D. (1985), 'Contextual orientation in policy analysis: The contribution of Harold
D. Lasswell', Policy Sciences, Vol 18, No 3, pp.241-261.
-
Nugroho, Riant. Dr. Publis Policy. Jakarta : PT Elex Media Komputindo, 2009.
-
Edi Suharto, Ph.d, Analisis Kebijakan Publik. CV
Alfabeta. Bandung, 2008
Comments