Skip to main content

Dilema Globalisasi


Dilema Globalisasi
Kajian Kritis Mengenai Dampak Globalisasi terhadap Otonomi Daerah
Oleh : Iwan Ismi febriyanto


Sejak diberlakukannya UU Nomor 22/1999 tentang pelaksanaan Otonomi Daerah pada tanggal 1 Januari 2001, kewenangan pengelolaan daerah dititikberatkan ke Kabupaten, sehingga hubungan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten lebih bersifat koordinasi. Hubungan lembaga legislatif, eksekutif, dan legislatif di tingkat daerah sama halnya dengan hubungan antarlembaga di tingkat nasional. Contohnya, tugas DPR Tingkat I adalah mengawasi jalannya pemerintahan di tingkat provinsi dan bersama-sama dengan Gubernur menyusun peraturan daerah. Lembaga yudikatif di tingkat daerah diwakili oleh Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. UU inilah yang kemudian disebut sebagai upaya atau proses dalam penajalan demokratisasi yang terjadi di Indonesia. Dimana tiap-tiap daerah diberikan kewenangan untuk kemudian mengatur sistem pemerintahan daerahnya sendiri.

Seiring dengan adanya sistem otonomi daerah, disini penulis ingin mencoba untuk mensingkronisasikan hubungannya dengan wacana globalisasi. Wacana mengenai globalisasi sebagai salah satu dari agenda besar para penganut sistem ekonomi liberal yang mulai melakukan revisi atas kegagalan sistem ekonomi liberal pada tahun 1976 setelah terjadi krisis besar-besaran pada tahun 1973. Revisi dari ekonomi liberal ini yang kemudian disebut dengan Margareth Thacer and Ronald Reagan Policy. Dari agenda besar inilai yang kemudian memunculkan berbagai ide mengenai globalisasi dengan jalan menerapkan MNC (Multinational Coorporation) ke berbagai negara objek globalisasi.
Di Indonesia sendiri, efek dari globalisasi sebenarnya sudah terasa sejak zaman Orde Baru, dimana kebijakan pemerintahan Soeharto pada saat itu adalah dengan membukanya sistem kerjasama-kerjasama dengan perusahaan luar negeri dengan daih sebagai pengembangan sector ekonomi Indonesia. Apalagi dengan masuknya para mafia Barkeley yang memang menjadi antek-antek dari Noe-Liberalisme asing. Yang kemudian menjadi pertanyaan disini adalah tentang bagaimana pengaruh dari globalisasi ini terhadap proses demokratisasi di Indonesia ? Selain itu juga mengenai bagaimana penanggulangan dari ada atau masuknya globalisasi di daerah-daerah ini dengan jalan Otonomi tersebut ? 
Pada tulisan kali ini, tentunya penulis akan mencba untuk kemudian menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya penulis uraikan pada abstraksi di atas. Yaitu tentang bagaimana pengaruh globalisasi terhadap proses demokratisasi di Indonesia dengan diterapkannya sistem otonomi daerah. Selain itu juga, penulis berusaha untuk kemudian menawarkan solusi dari adanya globalisasi pada tataran daerah-daerah otonom yang memang menjani lokus untuk pengembangan sector ekonimi noe-liberalisme dengan dalih globalisasi.
Globalisasi di Indonesia
            Kusumajati secara sederhana mengatakan bahwa globalisasi dapat diartikan sebagai sebuah proses menduniakan sesuatu, atau dari sisi lain, globalisasi juga dapat dipandang sebagai hapusnya batas-batas maya geografi negara. Globalisasi dengan paradigma kedaulatan pasarnya tersebar melalui berbagai saluran dan cara. Pada tataran politik, bekerjanya pasar kerap dikaitkan dengan demokrasi. Sejatinya, operasi norma-norma pasar (ekonomi) berakar dan dibatasi oleh norma-norma sosial (cultural dan politik). Masyarakatlah yang memegang kata akhir dalam hubungan sosial dan ekonomi. Namun, ketika kapitalisme sudah menjadi dominan terhadap suatu negara, hubungan in menjadi terbalik, bahwa masyarakatlah yang merupakan bagian dari pasar.
Sebenarnya, gagasan mengenai globalisasi sudah jauh terbentuk sebelum jatuhnya rezim Orde Baru. Gagasan ini mula-mula ada karena adanya krisis ekonomi yang disebabkan oleh sistem ekonomi liberal klasik pada tahun 1973. Margareth Thatcher dan Ronald Reagan ketika keduanya masih memegang tampuk kekuasaan di Inggris (1979) dan Amerika Serikat (1980) adalah dua tokoh yang mulai menerapkan sistem ekonomi neo-liberal tersebut. Namun, menurut banyak kalangan, bapak dari ekonomi neoliberalisme adalah Hayek dan Milton Friedman.  Yaitu pada tahun 1937 ketika Hayek menerbitkan artikelnya tentang Economics and Knowledge. Dalam artikel itu dia mengatakan bahwa kapitalisme pasar bebas bukan sekedar bentukan sosial, tetapi sebuah mekanisme alami untuk mengelola informasi.
            Di Indonesia sendiri, akar-akar dari adanya globalisasi sebenarnya sudah masuk lama sebelum jatuhnya Soeharto dari kursi kepresidenan. Yaitu pada saat para mafia Barkeley mulai masuk pada sistem-sistem pemerintahan di Indonesia. Mereka mulai meracuni para institusi-institusi yang ada dipemerintahan untuk kemudian menerapkan atau memberlakukan kebijakan utang dengan luar negeri dengan harapan bahwa Indonesia bisa melakukan perubahan pada sektor ekonomi yang memang sangat carut marut pada waktu itu.
            Pada tahun 1997, betullah apa yang kemudian diramalkan oleh Mark, yaitu tentang kehancuran sistem kapitalisme di negara berkembang. Dimana ketika itu Indonesia mengalami krisis ekonomi yang sangat memuncak, yang memunculkan gerakan-gerakan penurunan rezim Orde Baru yang memang sudah tidak bisa lagi menangani berbagai macam polemik ekonomi negaranya. Situasi seperti inilah yang sebenarnya sudah diharapkan oleh para antek-antek noe-liberalisme, yaitu dimana mereka bisa dengan leluasa memberikan pinjaman berupa uang dengan bunga-bunga yang telah disepakati sebelumnya dan juga dengan perjanjian-perjanjian yang sifatnya menguntungkan mereka. Contohnya adalah dengan banyak masuknya perusahaan-perusahaan MNC yang mulai menguasai sektor-sektor ekonomi yang ada di Indonesia.
Seperti yang telah diungkapkan di atas sebelumnya bahwa dengan diberlakukannya Undang-Undang tentang Otonomi Daerah, maka setiap daerah yang ada di Indonesia terkena dampak dari adanya globalisasi tersebut. Ini berkaitan langsung dengan keputusan dari adanya Washington Consensus. Berikut adalah isi dari Washington Consensus : 1. Defisit Fiskal; memerangi deficit perdagangan. 2. Public  expediture atau anggaran pengeluaran untuk publik, kebijakan ini berupa memprioritaskan anggaran belanja pemerintah melalui pemotongan segala subsidi. 3. Pembaharuan pajak, seringkali berupa pemberian kelonggaran bagi para pengusaha untuk kemudahan pembayaran pajak. 4. liberalisasi keuangan, berupa kebijakan bunga bank yang ditentukan oleh mekanisme pasar. 5. nilai tukar uang yang kompetitif; berupa kebijakan untuk melepaskan nilai tukar uang tanpa kontrol pemerintah. 6. trade liberalization barrier, yakni kebijakan menyingkirkan segala bentuk yang mengganggu perdagangan bebas, seperti kebijakan untuk mengganti segala bentuk lisensi perdagangan dengan tarif atau pengurangan bea tarif. 7. foreign direct investment, berupa kebijakan untuk menyingkirkan segenap aturan pemerintah yang menghambat pemasukan modal asing. 8. privatization, yakni kebijakan untuk memberikan semua pengelolaan perusahaan negara kepada pihak swasta. 9. Deregulasi kompetisi. 10. intelectual property rights atau paten.
Dari Wahsington Consensus inilah yang kemudian memunculkan beberapa poin tentang agenda besar dalam ideologisasi nilai-nilai noe-liberalisme dalam sistem-sistem di pemerintahan. Dan salah satu cara dari pada itu semua adalah dengan sistem demokratisasi yang dilakukan Indonesia pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Dari banyaknya daerah-daerah di Indonesia, telah banyak ditemukan adanya perusahaan-perusahaan asing yang kemudian masuk dan menjelma menjadi raja ekonomi. Tidak lupa juga, bahwa mereka pun tidak segan-segan untuk melakukan konsolidasi dengan para legislative dan eksekutif di setiap daerah untuk menggolkan misi mereka dalam mendirikan usaha-usaha yang tentunya banyak menguntungkan mereka.
Membangkitkan kemandirian ekonomi daerah
            Dari berbagai statemen yang telah diuraikan sebelumnya diatas, bahwa ada agenda besar terhadap jalannya proses demokratisasi di Indonesia sebagai lokus-lokus dari upaya untuk mengembangkan sistem neo-liberalisme dengan dalih globalisasi. Maka sudah menjadi keharusan untuk seluruh elemen yang ada di Indonesia melakukan tindakan tegas demi menghentikan atau minimal untuk menahan laju perkembangan neo-liberalisme tersebut. Adapun dampak dari adanya globalisasi tersebut adalah ketidakseimbangan antara peran masyarakat elit dan masyarakat proletar. Kesenjangan sosial yang terjadi di Indonesia semakin tinggi, penduduk miskin kota semakin menderita akibat dari banyaknya ketidakberkembangan usaha-usaha milik rakyat dalam laju persaingan ekonomi daerah-daerah.
            Dampak lain yang bisa dirasakan saat ini adalah banyaknya kerusakan lingkungan akibat dari eksploitasi secara berlebihan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing. Ini jelas sangat bertentangan pada Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah jelas-jelas sangat berpihak kepada rakyat dan kemaslahatan masyarakat Indonesia. Demoksari Ekonomi makna dan dimensinya dapat diketahui dan dapat dijadikan acuan, terutama bahi Pemda-Pemda sebagai pelaku penggusuran rakyat demi kepentingan Ekonomi Liberal-Kapitalis. Dalam pembangunan nasional, rakyatlah yang dibangun, rakyat adalah subjek pembangunan, dan pembangunan adalah untuk rakyat. Bukan sebaliknya rakyat untuk pembangunan. Seperti yang telah dijelaskan pada penggalan UUD pasal 27 (ayat 2) bahwa “Tiap-tiap warganegara berhak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
            Selaras dengan doktrin kerakyatan dan posisi rakyat yang sentral-subtansial perlu kita kemukakan peran strategis dari ekonomi kerakyatan. Makna ekonomi rakyat sebagai strategi pembangunan itu, antara lain: (1) Dengan rakyat yang secara pertisipatori-emansipatori berkesempatan aktif dalam kegiatan ekonomi. (2) Memberdayakan rakyat merupakan tugas nasional untuk meningkatkan produktivitas rakyat sebagai subjek dari perekonomian nasional. (3) Pembangunan ekonomi rakyat dengan meningkatkan daya beli masyarakat untuk membeli produk local (self-empowering). (4) Pencegahan eksploitasi dan subordinasi ekonomi terhadap rakyat di tiap-tiap daerah. (5) Melakukan nasionalisasi asset-aset BUMN atau BUMD yang ada di Indonesia. (6) Membangun karakter mandiri dalam ranah ekonomi kerakyatan.
            Hernando de Soto, dalam buku Misteri Of Capital menyatakan bahwa sejatinya negara berkembang tidak perlu untuk kemudian menggantungkan ekonominya pada perusahaan-perusahaan asing atau MNC untuk menunjang pertumbuhan perekonomiannya, mereka bisa saja untuk kemudian berdiri sendiri dalam pengolahan sumber-sumber daya kekayaan alam yang mereka miliki asalkan mereka berani untuk mengambil sikap. Inilah yang kemudian menjadi bahan refleksi kita semua untuk bersama-sama melakukan perubahan demi terciptanya kesejahteraan sosial yang menjadi cita-cita luhur bangsa Indonesia. Dimulai pada tataran pembangunan desa-desa di tiap daerah untuk kemudian berani mengolah dan mendirikan koperasi-koperasi yang bisa menjamin dari keberlangsungan ekonomi di daerahnya tersebut.

Daftar Bacaan
-          Saksono Gatut, Ign. 2009. Neoliberalisme vs Sosialisme ; Membangkitkan Ekonomi Kerakyatan. Yogyakarta : FORKOMA PMKRI.
-          Budiardjo, Miriam Prof. 2008. Dasar-Dasar ilmu Politik.Jakarta, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Comments

Popular posts from this blog

Teori Elit dalam Kebijakan Publik

ELIT DAN KEBIJAKAN : TINJAUAN TEORITIS TENTANG MODEL ELIT DALAM MEMAHAMI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK Oleh : Iwan Ismi Febriyanto Abstract             In the analysis of public policy, of course, there are some models that can be used to focus on one subject of public policy itself. That is, before we alone make this a great and sturdy construction, of course, we must have a clear model. That is the reason why public policy analysis models are crucial in making or analyzing public policy. There are several models in the classification of policy analysis. However, here the author would like to focus on Elite Model Theory in the analysis of public policy. To find out how political institutions operate, how decisions are made then the informant's most relevant is the political elite. Elite is defined as "those that relate to, or have, an important position." Political elite to do with how power affects the person's public policy making. Here the role of the

TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT

DIALEKTIKA KEBIJAKAN PUBLIK : “STUDI KOMPARASI TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT DENGAN GOOD GOVERNANCE DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK” Oleh: Iwan Ismi Febriyanto Abstract Public sector organizations are often described unproductive, inefficient, always loss, low quality, poor innovation and creativity, as well as many other critics. The emergence of strong criticism directed at public sector organizations will then cause the movement to reform public sector management. One of the public sector reform movement is the emergence of the concept of New Public Management (NPM). The concept of new public management was initially introduced by Christopher Hood in 1991. When viewed from a historical perspective, modern management approaches in the public sector at first appear in Europe in the 1980s and 1990s as a reaction to the inadequacy of the traditional model of public administration. NPM emphasis at that time was the implementation of decentralization, devolution, and the m

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme Analisis Mengenai Pengaruh dan Implementasinya dalam Kondisi Politik di Suatu Negara Oleh : Iwan Ismi Febriyanto BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG             Ideologi merupakan hal yang paling krusial dalam sejarah maupun masa depan kehidupan manusia, terutama dalam bidang politik dan ekonomi. Bagaimana ideologi mempunyai peran sebagai dasar maupun pijakan yang digunakan oleh suaru kelompok sebagai panutan dari apa yang akan dilakukannya kedepan. Kata ideologi sendiri pertama kali dikembangkan dan diperkenalkan oleh seorang filsuf dari negara Perancis yang bernama Antonie Destutt de Tracy di masa Revolusi Perancis. Antony Downs (1957:96) mengatakan bahwa ideology merupakan seperangkat asumsi dasar baik normatif maupun empiris mengenai sifat dan tujuan manusia atau masyarakat agar dapat dipakai untuk mendorong serta mengembangkan tertib politik.