Skip to main content

Peran Pabrik Gula dalam Meningkatkan Ekonomi Daerah : “Membangkitkan Semangat Ekonomi Kerakyatan dengan Memanfaatkan Pendirian Pabrik Gula dalam Mendongkrak Pendapatan Ekonomi Masyarakat Daerah”



Peran Pabrik Gula dalam Meningkatkan Ekonomi Daerah :
“Membangkitkan Semangat Ekonomi Kerakyatan dengan Memanfaatkan Pendirian Pabrik Gula dalam Mendongkrak Pendapatan Ekonomi Masyarakat Daerah”
Oleh : Iwan Ismi Febriyanto

            Pabrik Gula adalah salah satu saksi bisu perjalanan bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaannya. Itu disebabkan karena kepemilikannya yang senantiasa berubah-ubah sesuai dengan masanya. Contohnya adalah Pabrik Gula Kebon Agung yang didirikan pada tahun 1905, pabrik gula ini sempat dimiliki oleh penjajah Belanda yang kemudian pada tahun 1932 diambil alih oleh Javasche Bank Malang (yang sekarang berubah menjadi Bank Indonesia) dan saat ini dikelola oleh PT Kebon Agung. Gula, seperti yang kita ketahui adalah salah satu komoditi yang khas dari negara Indonesia dan negara-negara beiklim tropis lainnya. Bagaimana tidak, pada awal tahun 1930-an, Indonesia sempat menjadi negara dengan produksi gula terbesar didunia.

            Di Indonesia sendiri, saat ini ada lebih dari 70 pabrik gula berdiri ditiap provinsinya, baik swasta maupun milik negara. Ini yang kemudian menyebabkan mengapa produksi gula masih sangat menjanjikan dalam menopang perekonomian negara. Artinya, ketika pemerintah Indonesia memang benar-benar ingin serius untuk kemudian mengembangkan gula sebagai komoditi yang bisa menghasilkan asset yang besar untuk bangsa Indonesia, bisa saja terjadi. Namun yang jadi permasalahan saat ini adalah bagaimana kemudian peran pabrik gula ini meningkatkan perekonomian masyarakat daerahnya di era globalisasi seperti sekarang ini ? Jawaban dari pertanyaan tersebut akan penulis coba jawab pada tulisan ini.
Gula dan tantangan Globalisasi
Sebenarnya, gagasan mengenai globalisasi sudah jauh terbentuk sebelum jatuhnya rezim Orde Baru. Gagasan ini mula-mula ada karena adanya krisis ekonomi yang disebabkan oleh sistem ekonomi liberal klasik pada tahun 1973. Margareth Thatcher dan Ronald Reagan ketika keduanya masih memegang tampuk kekuasaan di Inggris (1979) dan Amerika Serikat (1980) adalah dua tokoh yang mulai menerapkan sistem ekonomi neo-liberal tersebut. Namun, menurut banyak kalangan, bapak dari ekonomi neoliberalisme adalah Hayek dan Milton Friedman.  Yaitu pada tahun 1937 ketika Hayek menerbitkan artikelnya tentang Economics and Knowledge. Dalam artikel itu dia mengatakan bahwa kapitalisme pasar bebas bukan sekedar bentukan sosial, tetapi sebuah mekanisme alami untuk mengelola informasi.[1]
            Di Indonesia sendiri, akar-akar dari adanya globalisasi sebenarnya sudah masuk lama sebelum jatuhnya Soeharto dari kursi kepresidenan. Yaitu pada saat para mafia Barkeley mulai masuk pada sistem-sistem pemerintahan di Indonesia. Mereka mulai meracuni para institusi-institusi yang ada dipemerintahan untuk kemudian menerapkan atau memberlakukan kebijakan utang dengan luar negeri dengan harapan bahwa Indonesia bisa melakukan perubahan pada sektor ekonomi yang memang sangat carut marut pada waktu itu.
            Seperti yang kita ketahui, bahwa globalisasi melahirkan apa yang disebut dengan sistem perdagangan bebas. Imbas yang kemudian bisa dirasakan adalah ketika pajak dari adanya impor gula tersebut dihapuskan atau dikecilkan, dampaknya adalah harga gula impor yang semakin murah sehingga bisa mengancam dari produksi gula lokal. Seperti diketahui, pada 2013 jumlah alokasi impor gula raw sugar mencapai 2,26 juta ton. Jumlah tersebut lebih rendah 3,83% dari alokasi impor 2012 seberat 2,35 juta ton.[2] Dari adanya impor yang besar itulah penyebab dari menurunnya eksistensi gula lokal di Indonesia.
            Dewasa ini, peran pabrik gula lebih mandiri dan terdesentralisasi. Hal ini terjadi seiring dengan dilepaskannya intervensi pemerintah dalam kebijakan harga gula nasional. Semula, produksi gula dari pabrik gula dibeli dan didistribusikan oleh BULOG berdasarkan KEPPRES no. 43 tahun 1971, dan dipertegas lagi oleh SK menteri perdagangan dan koperasi no. 122/KP/III/1981 yang menetapkan BULOG sebagai pembeli tunggal seluruh produksi dalam negeri. Seiring dengan dimulainya era perdagangan bebas, peran BULOG sebagai distributor tunggal komoditas gula dihapuskan, berdasarkan Kepmenperindag no. 25/MPP/Kep/1/1998, sehingga sejak saat itu, harga gula murni tercipta karena penawaran dan permintaan oleh pasar. Tarif impor gula menjadi 0%, yang mengakibatkan banjirnya gula impor ke pasar dalam negeri, sehingga cukup memukul industri gula pada saat itu.
Pada masa – masa seperti itu, manajemen dituntut untuk kreatif dan inovatif dalam menyelamatkan bisnis gula ini. Untuk itu, manajemen mencoba memperkuat struktur dan fondasi bisnis pabrik gula dengan sistem kemitraan antara pabrik gula dengan petani tebu, yang berupa bagi hasil pengolahan gula, penyaluran kredit ketahanan pangan dan kerjasama pemberian dana talangan dengan pihak investor kepada petani tebu. 
Pabrik Gula dan Semangat Eknomi Kerakyatan
            Dari berbagai statemen yang telah diuraikan sebelumnya diatas, bahwa ada agenda besar terhadap jalannya proses demokratisasi di Indonesia sebagai lokus-lokus dari upaya untuk mengembangkan sistem neo-liberalisme dengan dalih globalisasi. Maka sudah menjadi keharusan untuk seluruh elemen yang ada di Indonesia melakukan tindakan tegas demi menghentikan atau minimal untuk menahan laju perkembangan neo-liberalisme tersebut. Adapun dampak dari adanya globalisasi tersebut adalah ketidakseimbangan antara peran masyarakat elit dan masyarakat proletar. Kesenjangan sosial yang terjadi di Indonesia semakin tinggi, penduduk miskin kota semakin menderita akibat dari banyaknya ketidakberkembangan usaha-usaha milik rakyat dalam laju persaingan ekonomi daerah-daerah.
            Dampak lain yang bisa dirasakan saat ini adalah banyaknya kerusakan lingkungan akibat dari eksploitasi secara berlebihan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing. Ini jelas sangat bertentangan pada Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah jelas-jelas sangat berpihak kepada rakyat dan kemaslahatan masyarakat Indonesia. Demokrasi Ekonomi makna dan dimensinya dapat diketahui dan dapat dijadikan acuan, terutama bahi Pemda-Pemda sebagai pelaku penggusuran rakyat demi kepentingan Ekonomi Liberal-Kapitalis. Dalam pembangunan nasional, rakyatlah yang dibangun, rakyat adalah subjek pembangunan, dan pembangunan adalah untuk rakyat. Bukan sebaliknya rakyat untuk pembangunan. Seperti yang telah dijelaskan pada penggalan UUD pasal 27 (ayat 2) bahwa “Tiap-tiap warganegara berhak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
            Selaras dengan doktrin kerakyatan dan posisi rakyat yang sentral-subtansial perlu kita kemukakan peran strategis dari ekonomi kerakyatan. Makna ekonomi rakyat sebagai strategi pembangunan itu, antara lain: (1) Dengan rakyat yang secara pertisipatori-emansipatori berkesempatan aktif dalam kegiatan ekonomi. (2) Memberdayakan rakyat merupakan tugas nasional untuk meningkatkan produktivitas rakyat sebagai subjek dari perekonomian nasional. (3) Pembangunan ekonomi rakyat dengan meningkatkan daya beli masyarakat untuk membeli produk local (self-empowering). (4) Pencegahan eksploitasi dan subordinasi ekonomi terhadap rakyat di tiap-tiap daerah. (5) Melakukan nasionalisasi asset-aset BUMN atau BUMD yang ada di Indonesia. (6) Membangun karakter mandiri dalam ranah ekonomi kerakyatan.[3]
            Adapun singkronisasi dari adanya gagasan ekonomi kerakyatan ini dengan pabrik gula adalah bahwa pemerintah seharusnya melakukan pengembangan terhadap pembangunan-pembangunan pabrik gula ditiap-tiap daerah di Indonesia. Dengan adanya pengembangan dan pembangunan pabrik-pabrik gula di tiap-tiap daerah, maka dampak yang bisa dirasakan oleh masyarakat sekitar adalah sebagai berikut ;
-          Penciptaan Lapangan Pekerjaan
Pendirian sebuah pabrik tentunya sangat membutuhkan tenaga kerja professional, pabrik gula tersebut bisa mengambil tenaga kerja atau keryawan disekitar pabrik tersebut. Dengan begitu, ini akan mengurangi pengangguran didaerah sekitar pabrik tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa ketika pada masa giling, pabrik gula tentunya membutuhkan banyak sekali tenaga kerja untuk membantu proses penggilingan tersebut, baik sebagai tenaga angkut maupun sebagai tenaga tebang tebu yang itu bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar pabrik gula. Selain itu, ketika musim giling, tentunya tenaga banyak tereksploitasi dan banyak membutuhkan makanan atau minuman. Ini bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk membuka kedai atau kantin penyedia makanan atau minuman bagi para karyawan atau tenaga tembahan di pabrik gula tersebut.
-          Penyewaan Lahan Perkebunan Tebu
Untuk skala produksi gula yang melimpah, tentunya dibutuhkan lahan yang luas dalam menyokongnya. Disinilah kemudian peluang yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar pabrik, dimana kebutuhan akan lahan yang terbatas oleh pabrik sehingga memungkinkan pabrik untuk menyewa lahan-lahan sekitar pabrik untuk ditanami tebu. Ini bisa meningkatkan pendapatan para warga sekitar pabrik yang mempunya lahan kosong atau lahan yang tidak dipakai.
-          Peningkatan Sarana dan Prasarana Lokasi sekitar Pabrik
            Peningkatan sarana dan prasarana di sekitar pabrik itu sendiri dilakukan melalui program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL). PKBL pada dasarnya adalah wujud kepedulian perusahaan terhadap kondisi masyarakat sekitar, khususnya untuk pengembangan usaha mikro, kecil, dan koperasi dari laba disisihkan, program ini terdiri dari dua yaitu program kemitraan dan program bina lingkungan. Pada program kemitraan perusahaan memberikan pinjaman lunak untuk keperluan pengembangan usaha sekaligus bimbingan manajemen dan perluasan akses pasar kepada masyarakat sekitar, sehingga dapat membantu pengembangan usaha masyarakat dan akhirnya akan meningkatkan kemandrian masyarakat serta menguatkan ekonomi masyarakat sekitar. Sedangkan program yang kedua adalah program bina lingkungan, salah satu bentuk realisasi program ini adalah alokasi dana untuk pembangunan sarana dan prasaran warga, misalnya perbaikan masjid, jalan, jembatan atau fasilitas umum lain melalui program PKBL juga secara langsung bisa menyerap tenaga kerja dari masyarakat disekitar pabrik gula, hal ini juga merupakan pendorong perekonomian daerah sekitar.
            Dengan adanya pendirian pabrik gula, tentunya banyak melahirkan banyak keuntungan untuk masyarakat didaerah sekitar pabrik tersebut. Ini memungkin bahwasannya semangat membangun ekonomi kerakyatan bisa dimulai dari sini. Cita-cita kemerdekaan yang didalamnya tersirat tentang bagaimana mensejahterakan kehidupan masyarakat Indonesia dan pemanfaatan sumber daya alam yang dipergunakan untuk kepentingan bersama bisa terealisasi dengan pembangunan pabrik gula di daerah-daerah di Indonesia dengan prinsip ekonomi kerakyatan.

Daftar Bacaan :
-          Saksono Gatut, Ign. 2009. Neoliberalisme vs Sosialisme ; Membangkitkan Ekonomi Kerakyatan. Yogyakarta : FORKOMA PMKRI.
-          Detik.com


[1] Ign. Gatut Saksono, 2009. Neoliberalisme vs Sosialisme (Membangkitkan Ekonomi Kerakyatan). Yogyakarta : FORKOMA PMKRI. Hlm 140
[2] Detik.com, Kamis 3 Januari 2013
[3] Ign. Gatut Saksono, 2009. Neoliberalisme vs Sosialisme (Membangkitkan Ekonomi Kerakyatan). Yogyakarta : FORKOMA PMKRI. Hlm 173

Comments

Popular posts from this blog

Teori Elit dalam Kebijakan Publik

ELIT DAN KEBIJAKAN : TINJAUAN TEORITIS TENTANG MODEL ELIT DALAM MEMAHAMI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK Oleh : Iwan Ismi Febriyanto Abstract             In the analysis of public policy, of course, there are some models that can be used to focus on one subject of public policy itself. That is, before we alone make this a great and sturdy construction, of course, we must have a clear model. That is the reason why public policy analysis models are crucial in making or analyzing public policy. There are several models in the classification of policy analysis. However, here the author would like to focus on Elite Model Theory in the analysis of public policy. To find out how political institutions operate, how decisions are made then the informant's most relevant is the political elite. Elite is defined as "those that relate to, or have, an important position." Political elite to do with how power affects the person's public policy making. Here the role of the

TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT

DIALEKTIKA KEBIJAKAN PUBLIK : “STUDI KOMPARASI TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT DENGAN GOOD GOVERNANCE DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK” Oleh: Iwan Ismi Febriyanto Abstract Public sector organizations are often described unproductive, inefficient, always loss, low quality, poor innovation and creativity, as well as many other critics. The emergence of strong criticism directed at public sector organizations will then cause the movement to reform public sector management. One of the public sector reform movement is the emergence of the concept of New Public Management (NPM). The concept of new public management was initially introduced by Christopher Hood in 1991. When viewed from a historical perspective, modern management approaches in the public sector at first appear in Europe in the 1980s and 1990s as a reaction to the inadequacy of the traditional model of public administration. NPM emphasis at that time was the implementation of decentralization, devolution, and the m

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme Analisis Mengenai Pengaruh dan Implementasinya dalam Kondisi Politik di Suatu Negara Oleh : Iwan Ismi Febriyanto BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG             Ideologi merupakan hal yang paling krusial dalam sejarah maupun masa depan kehidupan manusia, terutama dalam bidang politik dan ekonomi. Bagaimana ideologi mempunyai peran sebagai dasar maupun pijakan yang digunakan oleh suaru kelompok sebagai panutan dari apa yang akan dilakukannya kedepan. Kata ideologi sendiri pertama kali dikembangkan dan diperkenalkan oleh seorang filsuf dari negara Perancis yang bernama Antonie Destutt de Tracy di masa Revolusi Perancis. Antony Downs (1957:96) mengatakan bahwa ideology merupakan seperangkat asumsi dasar baik normatif maupun empiris mengenai sifat dan tujuan manusia atau masyarakat agar dapat dipakai untuk mendorong serta mengembangkan tertib politik.