BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dalam
rentang peradaban dunia, menguak eksistensi manusia sebagai makhluk yang
memiliki harkat dan martabat selalu menarik untuk diperbincangkan. Hal itu sama
menariknya ketika manusia membicarakan eksistensi negara sebagai suprastruktur
kehidupan sosial demi keberlanjutan eksistensi manusia itu sendiri. Korelasi
ini bisa dipahami, sebab dalam proses interaksi itu, manusia selalu dihadapkan
pada dinamika sosio-politik dan ekonomi yang bertolak tarik dengan
ego-kekuasaan atau naluri kolonialisme yang praksisnya kerap despotis dan
merendahkan. Titik persingungan dan ketegangan itu pula, dalam sejarah,
merupakan pembuka reformasi politik eropa (akhir abad 18) lalu menjadikannya
sebagai momen bersejarah lahirnya Piagam Hak Asasi Manusia.
Kelahiran HAM membuka kembali mata, hati, dan pikiran manusia
(kesadaran) tentang hakekat dan sejatinya ia sebagai manusia, mahkluk Tuhan[1]yang
sempurna, berakal budi dan nurani yang memiliki kemampuan sehingga mampu
membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap
dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Posisi biner manusia menjadikan diri
manusia makhluk multidimensional yang saling bergantung dan terpusat pada Yang
Maha Tidak Bergantung yakni Tuhan. Dalam perspektif Teologis, Tuhan merupakan
preferensi hidup bagi dimensi lahiriah maupun jasmaniah; pribadi maupun sosial,
makrokosmos, metafisis, atau transendental maupun mikrokosmos yang fisis
(keimanan) melalui Kitab dan utusan yang dikehendakinya.
Tuhan yang dalam sistem kepercayaan dikenal dalam institusi
keagamaan sebagai sang Pencipta telah mengkarunia manusia kewajiban dan hak
secara seimbang agar manusia dapat hidup dan mewujudkan kehidupannya dengan
baik, damai dan sejahtera lahir dan bathin. Berkaitan dengan hal itu, sejatinya
agama adalah pencarian spritual manusia tentang hakekat kebenaran dan kedamaian
dirinya dan Tuhan yang terjadi secara evolutif. Dalam proses pencarian dan
kebenaran itu maka agama dipandang sebagai salah satu hak asasi manusia (HAM)
yang harus dihormati oleh institusi apa dan manapun. Karena itu dalam
konfigurasi ketatanegaraan, HAM beragama mempunyai posisi yang sangat penting.
Sebegaimana kita ketahui secara bersama-sama bahwasannya
akhir-akhir ini isu tentang disintegrasi nasional memang kerap muncul dalam
berbagai konteks, dari mulai budaya sampai pada tataran agama. Kasus-kasus
kekerasan yang terjadi mengenai isu agama memang sangat sensitive akhir-akhir
ini. Terorisme yang dilakukan oknum-oknum Islam, penghancuran tempat-tempat
ibadah, dan penyerangan terhadap golongan lain kerap kali menyudutkan kita
sebagai umat Islam. Bagaimanapun juga HAM beragama akan menemukan jantung
“persoalan” yang utama ketika berhadapan dengan entitas negara. Persoalan yang
muncul kemudian bagaimana posisi agama dalam konteks negara? Atau posisi agama
dalam konteks hukum?
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian HAM menurut agama Islam ?
2. Bagaimana pola hubungan antara
Negara, Agama, dan HAM ?
1.3 Tujuan
1.
Mengetahui arti HAM menurut perspektif Islam
2. Mengetahui pola hubungan antara
Negara, Agama, dan HAM dalam kacamata Islam
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Negara, Agama, dan HAM
Dalam wacana sejarah atau filsafat
hukum, relasi negara dan agama sebagai satu entitas politik pernah tumbuh dan
berkembang pada Abad Pertengahan (Abad XV sM). Latar belakang perpecahan
raja-raja yang disulut kemelut politik dan keserakahan duniawi yang
kemudian disatukan oleh kekuasaan imperium Romawi dengan politik unitary
melahirkan pemikiran-pemikiran fundamental spiritual dalam konsep kenegaraan
baik di dunia Timur maupun Barat.
Ajaran
ini mengatakan bahwa kedaulatan negara secara utuh dan mutlak hanya milik
Tuhan. Tuhan adalah hakekat satu-satunya yang paling luhur, pencipta dan
penguasa segala hakekat yang ada dan tak dapat diterangkan dengan kata-kata.
Pengakuan akan kedaulatan Tuhan dalam kehidupan negara dikenal sebagai ajaran
Teokrasi. Sumber kedaulatan yang berasal dari Kitab Suci memberi otoritas
politik kepada Paus sebagai pemangku agama Katholik sekaligus pemangku negara.
Menurut Augustinus (354-430 sM) praktik kenegaraan Romawi
adalah satu konsep negara buruk yang penuh kegelapan akibat keserakahan
penguasa (Civitas Terrena). Dan, ia akan menjadi baik apabila seluruh sendi
kehidupan negara kembali kepada ajaran Tuhan dan mendapat pengampunan melalui
pemangku otoritas-Nya (Civitas Dei). Karena itu, Augustinus menganjurkan
perlunya pelembagaan agama dalam negara sebagaimana yang pernah dijalankan oleh
Konstantin Theodisius di Konstantinopel.[2]
Disempurnakan oleh Thomas Aquino (1225-1274 M), Ia mencoba
merumuskan ajaran kenegaraan ini sebagai satu tatanan hukum bagi golongan
Katholik. Alam pikirannya yang sangat dipengaruhi oleh alam pikir Yunani
memperlihatkan pertautan Principia Prima dengan hukum Tuhan dan hukum manusia
sebagai hukum kongkret yang positif. Menurutnya, sebuah tatanan hukum yang baik
adalah hukum yang mendasarkan pada hukum yang tertinggi yang disebut Lex
Aeterna atau hukum abadi. Lex Aeterna adalah hukum yang bersumber dari rasio
Tuhan yang Maha Mengatur dari segala yang ada. Di dalamnya terkandung
hukum-hukum universal yang sejalan dengan kausa Alam dan aqal sehingga dinilai
abadi. Kedua, hukum yang diwahyukan kepada manusia yang bersumber dari rasio
Tuhan (Lex Divina). Hukum dalam tingkatan ini adalah hukum yang dirumuskan
dalam bahasa Nabi melalui pewahyuan. Tingkatan ketiga, personifikasi hukum
wahyu ke dalam rasio manusia (Lex Naturalis). Tingkatan keempat yakni hukum
yang paling kongkret (hukum positif) merupakan penjelmaan dari
tingkatan-tingkatan sebelumnya.[3]
Ditambahkannya pula bahwa setiap penciptaan hukum harus mendasarkan pada tujuan
ideal yang ingin dicapai yakni kemuliaan abadi. Manusia sebagai makhluk sosial
selalu berubah dan memiliki tabiat kepada kemuliaan abadi.
Namun
otoritas agama yang penuh pada dimensi kehidupan negara dan masyarakat
mengakibatkan terampasnya kebebasan warga. Pandangan konservatif ini menegaskan
bahwa setiap persoalan baik duniawi maupun ukhrowi telah menjadi satu ketetapan
Tuhan sementara manusia sendiri tidak diberi otoritas untuk merubahnya sehingga
ruang berpikir kritis tidak mendapat tempat sama sekali. Dependensi warga pada
otoritas Paus yang memiliki dualime kekuasaan itu sejatinya telah merendahkan
harkat dan martabat yang hakikinya anugerah Tuhan untuk memuliakan manusia.
Di abad yang sama, peradaban Islam juga menunjukkan satu
kecenderungan yang sama. Hampir semua teologi Islam dan orientalis sepakat
bahwa praktik kehidupan negara yang Islami terhenti setelah berakhirnya
pemerintahan Khilafah Rasyidin Umar bin Khatab. Revolusi sosial yang dilakukan
Rasulullah melawan segala bentuk diskriminasi ras, gender, perbudakan, komoditi
ritual, sistem perdagangan yang kapitalistik dan tidak manusiawi sempat membuat
satu perubahan politik besar dalam tatanan kehidupan bernegara masyarakat Arab
pada saat itu dan menjadi satu bentuk negara agama ideal dalam konstelasi
pertumbuhan ideologi dunia. Di abad klasik (650-1250 M), Islam di masa
Rasulullah memiliki keunikan dalam mengorganisir kehidupan masyarakat Arab yang
plural[4]
di bawah konstitusi Piagam Madinah. Pluralitas keberagamaan, aliran
kepercayaan, etnik, suku, class social, dan stratifikasi ekonomi dan
politik mampu disatukan dalam satu ikatan hidup bersama yang damai, toleran,
saling menghargai dan menghormati, egaliter, dan saling melindungi bahkan
saling mewarisi.[5]
Louis Gardnet sebagaimana dikutip Muhammad Tahir Azhary menyebutkan bahwa ciri
yang paling menonjol adalah spirit egaliter dalam kehidupan negara tanpa
dominasi kependetaan dalam sistem pemerintahan. Menurut Arent Jan Wensinck,
petunjuk penting adanya ciri tersebut diperoleh dari sejumlah hadis Al-Bukhori
dan Muslim, dan mencantumkan ihtisar tentang life of constitution di
dalam Bab Fada’il al-Madinah.[6]
Berbeda dengan negara model kepausan di mana kerajaan Paus
mendominir rakyat jelata, Negara Islam yang didirikan Rasulullah, menurut Taha
Husain, bukanlah negara teokrasi. Islam melarang kependetaan dan stratifikasi
sosial berdasarkan kasta kependetaan. Islam adalah agama yang menekankan
ketauhidan, kerasulan, persamaan dan keadilan. Keadilan yang dualistik (dunia
dan akhirat) tidak akan merampas kebebasan manusia, menguasai dan membelenggu
inisiatif dan kreatifitasnya. Tuhan telah melengkapi manusia dengan akal dan
nurani untuk membingkai kebebasannya secara bertanggung jawab. Abul Ala Maududi[7]
menyimpulkan dari relasi di atas sebagai Teo-demokrasi. Muhammad Tahir Azhary
menyebutnya dengan Nomokrasi Islam.[8]
Al Qur’an sebagai sumber tertinggi hukum negara telah
berbicara banyak tentang HAM. Terdapat sekitar empat puluh ayat yang bicara
mengenai paksaan dan kebencian. Lebih dari sepuluh ayat bicara larangan
memaksa, untuk menjamin kebebasan berfikir, berkeyakinan dan mengutarakan
aspirasi. Misalnya: “Kebenaran itu datangnya dari Rabb-mu, barangsiapa yang
ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir, biarlah
ia kafir.” [9]
Al-Qur’an mengetengahkan sikap menentang kedzaliman dan orang-orang yang
berbuat dzalim dalam sekitar tiga ratus dua puluh ayat, dan memerintahkan
berbuat adil dalam lima puluh empat ayat yang diungkapkan dengan kata-kata: ‘adl,
qisth dan qishas.
Al-Qur’an mengajukan sekitar delapan puluh ayat tentang
hidup, pemeliharaan hidup dan penyediaan sarana hidup. Misalnya: “Barangsiapa
yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau
bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh
manusia seluruhnya.”[10]Al
Qur’an Juga bicara kehormatan dalam sekitar dua puluh ayat. Al-Qur’an
menjelaskan sekitar seratus lima puluh ayat tentang ciptaan dan
makhluk-makhluk, serta tentang persamaan dalam penciptaan. Misalnya: “…
Orang yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertaqwa di antara
kamu.” [11]
Terakhir pada haji wada’, Rasulullah menegaskan secara gamblang
tentang hak-hak asasi manusia, pada lingkup muslim dan non-muslim, pemimpin dan
rakyat, laki-laki dan wanita. Pada khutbah itu Nabi saw juga menolak teori
Yahudi mengenai nilai dasar keturunan.
Sepeninggal Nabi, persoalan penting yang mengemuka adalah
persoalan transisi dan legitimasi politik pemerintah pengganti Nabi. Persoalan
ini menimbulkan perpecahan dan penurunan kualitas pemerintahan yang jauh dari
nilai-nilai Islam sebelumnya. Bahkan konflik perpecahan itu melahirkan
aliran-aliran teologi atau kalam seperti Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah,
Jabbariyah, dan Qodariyyah sebagai ekspresi kekecewaan ataupun dukungan untuk
melegitimasi elit yang berkuasa. Aliran-aliran tersebut kerap menggunakan hadis
atau mengadakan hadis untuk menjustifikasi penguasa yang didukungnya.
Perpecahan ini mulai marak ketika awal Pemerintahan Usman, Ali, dan Bani
Umayyah yang typikal pemerintahannya didominasi oleh golongan baru atas dasar
relasi yang paternalistik, nepotis, kolutif, dan elitis. Terbunuhnya Usman
menjadi malapetaka besar pemerintahan Islam di masa Ali yang terus dibayangi
perpecahan dan pemberontakan. Meski Ali sendiri tidak diragukan kadar keimanan,
integritas moral, dan kompetensi politik dan kenegarawanannya akan tetapi
konspirasi yang dilakukan golongan elit baru membuat dirinya tak kuasa
menentang arus dan mengakhiri masa pemerintahannya sendiri. [12]
Di masa Umayyah, praktik pemerintahan semakin jauh dari
nalai-nilai Islam. Sistem kekuasaan yang monarkhi dan despotis memanfaatkan
cara-cara imperialis dalam hubungan perdagangan (meniru model kekaisaran
Bizantium dan Sassanid) dan perluasan kekuasaan. Tradisi egaliter dan
humanistik berubah menjadi feodal. Hitti sebagaimana dikutip Asghar,
mengatakan, “Seratus tahun setelah meninggalnya Muhammad, pengikutnya menjadi
penguasa kekaisaran yang jauh lebih besar dibanding Romawi pada puncak
kejayaannya.”[13]
Kehidupan yang serba gelamor menjadikan Mekkah dan Madinah yang tadinya tempat
suci menjadi pusat hiburan dan perjudian. Upaya mengembalikan kondisi awal dan
memperkokoh landasan moral negara telah banyak dilakukan oleh kaum Kharijit dan
para ulama puritan, namun usaha itu tidak berhasil. Setelah turunnya Umayyah,
Abasiah mengorganisir pemberontakan bersenjata dan berhasil merebut kekuasaan
dengan bantuan kalangan Persia, terutama dari propinsi Khorasan. Bani Abasiah
tidak lama kemudian mengkonsolidasi posisi mereka dan berupaya melegitimasi
kekuasaan mereka dengan dukungan para ulama. Meskipun peralihan kekuasaan
tersebut didukung akan tetapi fatwa ulama sendiri tetap tidak mengizinkan
praktik pemberontakan.[14]
Dari praktik pemerintahan itu semua terlihat bahwa sepeninggal Rasulullah
pemerintahan Islam dijalankan dengan penuh panorama yang berujung pada praktik
feodalistik menggantikan spirit egaliter selama ini. Agama yang hanya menjadi
tameng dan alat legitimasi kekuasaan menimbulkan trauma dalam sehingga
melahirkan priksi di kalangan ulama untuk menarik agama keluar dari otoritas
negara.
Meski kekecewaan telah melahirkan sekulerisme negara di Abad
Modern akan tetapi krisis sosial, politik, dan ekonomi dunia di tengah arus
globalisasi membuat perbincangan relasi agama dan negara menjadi menarik
kembali. Ulrich Beck[15]
sebagaimana dikutip Kaelan, mengungkapkan bahwa globalisasi akan berpengaruh
terhadap relasi-relasi antar negara dan bangsa di dunia, yang akan mengalami ‘deteritorialisasi’.
Konsekuensinya kejadian-kejadian di berbagai belahan dunia ini akan berpengaruh
secara cepat terhadap negara lain. Prinsip kebebasan dalam sistem negara
demokrasi sekuler berpengaruh secara cepat terhadap negara lain di dunia,
termasuk negara Indonesia yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Kasus Yeland
Fosten tentang karikatur Nabi Muhammad menimbulkan suatu benturan
peradaban antara sistem kebebasan versi sekuler dan negara Berketuhanan Yang
Maha Esa.
Sementara itu Anthony Giddens[16]menamai
proses globalisasi sebagai ‘the runaway world’. Menurutnya
perubahan-perubahan di berbagai bidang terutama perubahan sosial di suatu
negara akan berpengaruh secara cepat terhadap negara lain. Sementara itu
Robertson[17]mengingatkan
bahwa globalisasi merupakan ‘compression of the world’ yaitu
menciutnya dunia dan menurut Harvey sebagai proses menciutnya ruang dan waktu ‘time-space
compression’, karena intensivikasi dan mobilitas manusia serta teknologi.
Dalam kondisi seperti ini terjadilah pergeseran dalam kehidupan kebangsaan,[18]
yaitu pergeseran negara yang berpusat pada negara kebangsaan (state centric
world) kepada dunia yang berpusat majemuk (multy centric world).
Kiranya sinyalemen yang layak kita perhatikan adalah pandangan Kenichi Ohmae
sebagaimana dikutip Kaelan bahwa globalisasi akan membawa kehancuran negara-negara
kebangsaan. Pengaruh globalisasi yang sangat cepat ini sangat berpengaruh pada
kelangsungan hidup negara dan bangsa Indonesia.
Bahkan A.M. Hendropriyono dalam karyanya Nation State di
Masa Teror, bahwa di era globalisasi ini negara-negara yang sedang
mengembangkan proses demokratisasi akan mendapatkan tantangan yang sangat
hebat, terutama ancaman terorisme yang menyalahgunakan kesucian agama.
Nampaknya sinyalemen A.M. Hendropriyono ini diperkuat oleh pandangan Bahmueller
bahwa dalam proses demokratisasi harus diperhatikan (1) the degree of
economic development, (2) a sense of national identity, (3) historical
experience and (4) element of civic culture. Jadi pengembangan
demokrasi harus diperhatikan tentang bagaimana kondisi ekonomi dalam suatu negara,
dasar filsafat negara sebagai suatu identitas nasional suatu bangsa, bagaimana
proses sejarah terbentuknya bangsa itu beserta unsur-unsurnya.[19]
Konstatasi yang layak diperhatikan adalah sinyalemen dari
Naisbitt sebagaimana dikutip Kaelan, bahwa di era globalisasi tersebut akan
muncul suatu kondisi paradoks, di mana kondisi global diwarnai dengan sikap dan
cara berpikir primordial, bahkan akan muncul suatu gerakan ‘Tribalisme’
yaitu suatu gerakan di era global yang berpangkal pada pandangan primordial yaitu
fanatisme etnis, ras, suku, agama, maupun golongan. Bahkan Hantington dalam The
Clash of Civilization menegaskan bahwa tidak menutup kemungkinan akan
terjadinjya suatu benturan peradaban, yang tidak menutup kemungikinan juga
berakibat pada adanya konflik horizontal. Bahkan ditambahkan oleh A.M.
Hendropriyono, bahwa pada panggung politik dunia benturan peradaban itu
mencapai klimaksnya antara dua peradaban besar yaitu fundamentalisme politik
Islam dengan kekuasaan kapitalisme neoliberal dengan kekuasaan kerasnya (hard
power) di bawah komando Amerika serikat. Kita sadari atau tidak bahwa isu
global tentang radikalisme agama dalam negara akan berpengaruh terhadap negara
Indonesia, terutama dalam hubungan negara dengan agama. Bahkan adakalanya
persoalan itu ditarik dengan memutar jarum jam ke belakang, yaitu persoalan
muncul kembali pada kemelut tarik-menarik antara Negara agama dan Negara
sekuler, sebagaimana dibahas oleh para founding fathers kita dahulu.
Pada hal kita lupa bahwa suatu kesepakatan filosofis dalam kehidupan kenegaraan
dan kebangsaan itu sangat penting bagi bangsa Indonesia.
2.2 HAM dalam Perspektif Hukum Islam
Pada dasarnya, semua Rasul
dan Nabi Allah adalah pejuang-pejuang penegak hak asasi manusia yang
paling gigih. Mereka tidak hanya sekedar membawa serangkaian pernyataan akan
hak-hak asasi manusia sebagaimana termuat dalam Kitab-kitab Suci, seperti
Zabur, Taurat, Injil, dan al-Qur’an, akan tetapi sekaligus memperjuangkannya
dengan penuh kesungguhan dan pengorbanan.
AI-Qur’an
menegaskan bahwa Islam adalah agama yang sempurna (QS. 5:3). Di samping mengajarkan
hubungannya dengan sang Pencipta ( Hablummin Allah) juga menegaskan
tentang pentingnya hubungan antar manusia (hablum min al-nas) (QS. 3:112).
Pengakuan ini bukan hanya berdasarkan truth claim umat Islam, tetapi
kaum orientalis pun mengakui kesempurnaan yang mencakup seluruh aspek kehidupan
manusia itu, sebagaimana V.N. Deanmenyatakan bahwa “Islam adalah perpaduan yang
sangat sempu. agama, sistem politik, pandangan hidup, dan penafsiran sejarah.”
Demikian pula Gibb menyatakan bahwa, “Sungguh ajaran Islam jauh lebih bany
sebuah sistem teologi. Islam adalah peradaban yang sangat sempurna.
Dalam hubungan dengan HAM, dari ajaran pokok tentang hablum
min Alllah dan hablum min al-nas, muncul dua
konsep hak, yakni a manusia (haq a -insan) dan hak
Allah. Setiap hak saling melandasi satu sama lain. Hak Allah melandasi
hak manusia dan juga sebaliknya. Konsep Islam mengenai kehidupan manusia ini didasarkan
pada pendekatan teosentris atau yang menempatkan Allah melalui ketentuan syari
at-Nya sebagai tolok ukur tentang baik buruk tatanan kehidupan manusia baik
sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat atau warga negara.
Oleh karena itu, konsep Islam
tentang HAM berpijak pada Tauhid, yang pada dasarnya; didilamnya mengandung ide
persamaan dan persaudaraan manusia yang oleh Harun Nasution disebut sebagai ide
perkemaklukan. Ide perikemakhlukan memuat nilai-nilai kemanusiaan
dalam arti sempit. Ide perikemakhlukan mengandung makna bahwa manusia tidak
boleh sewenangwenang terhadap sesama makhluk termasuk juga pada binatang dan
alam sekitar.
Berdasarkan tingkatannya, Islam mengajarkan tiga bentuk hak
asasi manusia, yaitu:
Pertama
hak darury (hak dasar).
Sesuatu dianggap hak dasar apabila hak tersebut dilanggar, bukan hanya mernbuat
manusia sengsara, tetapi juga hilang eksistensinya, bahkan hilang harkat
kemanusiaannya, misalnya mati.
Kedua_hak hajy (hak sekunder), yakni hak-hak yang
bila tidak dipenuhi akan berakibat pada hilangnya hak-hak elementer, misalnya hak
seseorang untuk memperoleh sandang pangan yang layak, maka akan
rnengakibatkan hilangnya hak hidup.
Ketiga, hak tahsiny, yakni
hak yang tingkatannya lebih rendah dari hak primer dan sekunder.
Dengan demikian, HAM dalam Islam lebih dulu muncul.
Tepatnya, Magna Charta tercipta 600 tahun setelah kedatangan Islam. Di
samping nilai–nilai dasar dan prinsip-prinsip HAM itu ada dalam sumber ajaran
Islam, yakni Al-Qur’an dan Hadis, juga terdapat dalam praktik-praktik
kehidupan Islam. Tonggak sejarah keberpihakan Islam terhadap HAM yaitu
pendeklarasian Piagam Madinah yang dilanjutkan dengan deklarasi Kairo.
Dalam Piagam Madinah, paling tidak ada dua ajaran pokok yang
berhubungan dengan HAM, yaitu pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka
berbeda suku bangsa; dan hubungan antara komunitas muslim dengan nonmuslim
didasarkan pada prinsip:
1,
berinteraksi secara baik dengan sesama tetangga;
2.
saling membantu dalam menghadapi musuh bersama;
3.
membela mereka yang teraniaya;
4,
saling menasehati;
5,
menghormati kebebasan beragama.
Adapun
ketentuan HAM yang terdapat dalam Deklarasi Kairo adalah sebagai berikut:
1.
Hak persamaan dan kebebasan (QS. al-Isra [17]:70; al-Nisa [4]:58,1i dan 135;
al-Mumtahanah
[60]:8);
2.
Hak hidup (QS. al-Maidah [5]:45 dan al-Isra [17]:33);
3.
Hak perlindungan diri (QS. al-Balad [90]:12-17 clan al-Taubah [9]:6]
4.
Hak kehormatan pribadi (QS. al-Taubah [9]:6);
5.
Hak berkeluarga (QS. al-Baqarah [2]:221; a]-Rum [30]:21; al-Nisa [4: al-Tahrim
[66]:6);
6.
Hak kesetaraan wanita dengan pria (QS. al-Baqarah [2]:228 clan al [49]:13);
7.
Hak anak dari orang tua (QS. al-Baqarah [2]:233; al-Isra [17]:23-24);
8.
Hak mendapatkan pendidikan (QS. al-Taubah [9]:122 clan al-’Alaq 5);
9.
Hak kebebasan beragama (QS. al-Kafirun [109]:1-6; al-Baqarah [2]:1 al-Kahfi
[18]:29);
10.
Hak kebebasan mencari suaka (QS. al-Nisa [4]:97; al-Mumtahanah
11.
Hak memperoleh pekerjaan (QS. al-Taubah [9]:105; al-Baqarah [2]:. al-Mulk
67]:15);
12.
Hak memperoleh perlakuan sama (QS. al-Baqarah [2]:275-278; [4]:161, dan Ali
Imran
[3]:130);
13.
Hak kepemilikan (QS. al-Baqarah [2]:29; al-Nisa [4]:29);
14.
Hak tahanan (QS. al-Mumtahanah [60]:8).
Atas dasar itu, Islam sejak jauh-jauh hari mengajarkan bahwa
pandangan Allah semua manusia adalah sama derajat. Yang membedakan manusia
adalah tingkat kesadaran moralitasnya, yang dalam perspektif Islam disebut
“nilai ketaqwaannya”. Apalagi, manusia diciptakan untuk merepresentasikan dan
melaksanakan ajaran Allah di muka bumi, sudah barang tentu akan semakin
memperkuat pelaksanaan HAM.
Oleh karena itu, jika harkat dan martabat setiap perorangan
atau manusia harus dipandang dan dinilai sebagai cermin, wakil, atau
representasi harkat martabat seluruh umat manusia, maka penghargaan dan
penghormatan kepada harkat masing-masing manusia secara pribadi adalah suatu
amal kebajikan yang memiliki nilai kemanusiaan universal. Demikian pula
sebaliknya pelanggaran dan penindasan kepada harkat dan martabat seorang
pribadi adalah tindak kejahatan kepada kemanusiaan universal, suatu dosa kosmis
(kemanusiaan) yang amat besar
Harkat dan martabat itu merupakan hak dasar manusia, tentu
dengan pemenuhan keperluan hidup primerya berupa sandang, pangan, papan.
Tetapi, terpenuhinya segi kehidupan lahiri tidaklah akan dengan senrinya
berarti menghantar manusia kepada dataran kehidupan yang lebih tinggi.
Kehidupan material dan kemakmuran hanyalah salah satu prasarana meskipun amat
penting, jika bukannya yang paling penting, bagi pencapaian kehidupan yang
lebih tinggi.
Meminjam adagium kaum sufi, Hanya orang yang mampu
berjalan di tanah datar yang bakal mampu menendaki bukit . Namun
Justeru ibarat orang yang mampu berlari di tanah datar tapi belum tentu
tertarik untuk mendaki bukit, demikian pula halnya dengan orang yang telah
terpenuhi kehidupan lahiriahnya, belum tentu ia tertarik meningkatkan dirinya
kedataran kehidupan yang lebih tinggi.Mungkin ia sudah puas hanya berlari-lari
dan berputar-putar di tanah datar. Maka , tidak sedikit orang yang memandang
pemenuhan kehidupan lahiri sebagai tujuan akhir dan menadi titik ujung
cita-cita hidupnya.
Mengenai Hak Asasi manusia yang berkaitan dengan hak-hak
warga Negara, al-Maududi menjelaskan bahwa dalam Islam, hak asasi pertama dan
utama warga Negara adalah :
1.
Melindungi nyawa, harta dan martabat mereka bersama sama dengan jaminan bahwa
hak ini tidak akan dicampuri, kecuali dengan alasan-alasan yang sah dan
legal
2.
Perlindungan atas kebebasan pribadi. Kebebasan pribadi tidak bias dilanggar ,
kecuali setelah melalu proses pembuktian yang meyakinkan secara hokum dan
memberi kesempatan kepada tertuduh untuk mengajukan pembelaan.
3.
Kemerdekaan mengemukakan pendapat serta menganut keyakinan masing-masing.
4.
Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi semua warga Negara tanpa membedakan
kasta atau keyakinan. Salah satu diwajibkan zakat kepada umat Islam, salah
satunya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok warganegara.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Semua
negara Islam menjamin Hak asasi manusia
dengan mengamankan kehidupan dan harta semua warganya, Muslim maupun
non-Muslim. Hal ini dilakukan untuk menjaga kehormatan mereka, sehingga mereka
tidak dihina atau pun diejek oleh siapa pun. Nabi Muhammad Saw secara jelas
menyebut dalam sabdanya: “Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatanmu tidak
dapat dihancurkan (Sebagaimana tertulis dalam Sahih Bukhari dan Musnad Imam
Ahmad)
Islam sangat menentang rasisme, menekankan
pentingnya Hak asasi manusia, serta kesetaraan: “Wahai
sekalian manusia! Bertakwalah kamu sekalian pada Tuhanmu yang tela
menciptakanmu dari diri yang satu dan menciptakan darinya pasangan (hidup)nya,
dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. Dan bertakwalah pada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu
saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa: 1)
Oleh karena itu, sangat penting untuk memperhatikan Hak
asasi manusia sebagaimana hal ini telah disebutkan dalam ajaran agama
kita berkali-kali. Tidak seperti agama lain, Islam mendukung
hak asasi dengan kuat dan percaya pada kekuatan keadilan dan kesetaraan.
Islam
menentang pemberian hak lebih pada mereka yang memiliki kekuasaan lebih tinggi,
atau berdasar perbedaan kekayaan dan ras. Tuhan telah menciptakan manusia dalam
posisi setara, kelebihan mereka dibanding yang lain hanya dinilai berdasar
kesalehan. Nabi Muhammad Saw mengatakan dalam khutbah terakhirnya: “Semua
manusia adalah anak Adam dan Hawa, tidak ada kelebihan seorang Arab dibanding
non-Arab maupun kelebihan seorang non-Arab dibanding seorang Arab; begitu juga
tidak ada superioritas orang Putih di atas orang (berkulit) Hitam, atau Hitam
di atas Putih kecuali dengan ketakwaan”
Rasisme adalah satu di antara masalah terbesar yang dihadapi
umat manusia sekarang ini. Negara-negara maju sudah cukup mampu untuk mengirim
seseorang ke bulan, tapi tak berdaya menghentikan tiff di antara keduanya.
Islam telah memberikan banyak contoh yang mengagumkan sejak era Nabi Muhammad
mengenai Hak asasi manusia dan menghilangkan rasisme. Haji ke Makkah adalah
salah satu contoh terbaik tentang persaudaraan Muslim di mana jutaan Muslim
dari seluruh belahan bumi bersama berada di satu tempat, tak peduli lagi
tentang kewarganegaraan dan ras.
Daftar Pustaka
-
Mufti, Muhammad Ahmad Dr. dan al-Wakili, Sami Salih Dr.
HAM Menurut Barat, HAM Menurut Islam.
Al-Azhar Press. Jakarta. 2009
-
Basah, Sjachran, Ilmu Negara (Pengantar, Metode,
dan Sejarah Perkembangan), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997).
-
Behn, Wolfgang, “Muhammad and The Jewes of Madina,”
terjemahan dari Mohammed en de Joden te Medina, oleh Arent Jan
Mensinck (Berlin: Klaus Schwarz Verlag- Freiburg im Breisgou, 1975).
-
Davidson, Scott, Hak Asasi Manusia: Sejarah, Teori,
dan Praktek dalam Pergaulan Internasional (terjemahan oleh A. Hadyana
Pudjaatmaka) (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2008).
-
Engineer, Asghar Ali, “Devolusi Negara Islam,”
terjemahan dari Islamic State, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000).
[1]
Secara etimologis HAM terdiri dari tiga suku kata: Hak, Asasi, Manusia. Hak:
haqqa, yahiqqu, haqqan artinya benar, nyata, pasti, tetap, dan wajib. “yahiqqu
‘alaika an taf’ala kadza (kamu wajib melakukan seperti ini).” Asasi: assa,
yaussu, asasaan artinya membangun, mendirikan, meletakkan/ asal, asas, pangkal,
dasar dari segala sesuatu. Segala sesuatu yang bersifat mendasar yang selalu
melekat pada objeknya. HAM (Kamus Bahasa Indonesia): Hak-hak mendasar pada diri
manusia.
[2]
Sjachran Basah, Ilmu Negara (Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembangan),
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 145.
[3] Ibid
[4]
Lihat Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan UUD 1945: Kajian Perbandingan
tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk (Jakarta:UI
Press, 1995), hlm. 29-32
[5] Ibid
[6]
Wolfgang Behn, “Muhammad and The Jewes of Madina,” terjemahan dari Mohammed
en de Joden te Medina, oleh Arent Jan Mensinck (Berlin: Klaus Schwarz
Verlag- Freiburg im Breisgou, 1975), hlm. 66-67
[7]
Abul Ala Maududi, Islami Risayat, dinukilkan oleh Khurshid Ahmad,
Islamic Publication, Lahore, 1974, hlm. 130
[8]
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya
Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan
Masa Kini, Edisi kedua (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), hlm. 87
[9]
QS. 18: 29
[10]
QS. 5: 32.
[11]
QS. 49: 13.
[12]
Asghar Ali Engineer, “Devolusi Negara Islam,” terjemahan dari Islamic State,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 101
[13] Ibid,
hlm. 104
[14] Ibid,
hlm. 108-109
[15]
Ulrich Beck, “Kapitalismus Ohne Arbeit” dalam Kaelan, Relasi
Negara dan Agama dalam Perspektif Filsafat Pancasila (Yogyakarta, 1 Juni
2009), hlm. 2
[16]
A. Giddens, The Consequences of Modernity, (Cambridge:
Polity Press, 1995), hlm. 48
[17]
Robertson, “Mapping the Global Condition: Globalization as the Central
Concept”, dalam Global Culture, Nationalism, Globalisation and
Modernity, Mike Feterstone (ed.), (London: Sage Publications, 1990).
[18]
Rosenau, dalam Hall, Stuart, David Held and Tony Mc. Grew, (ed.), Modernity
and Its Future, (Cambridge: Polity Press, 1990).
[19]
Kaelan, Ibid.
Comments