Skip to main content

HAM DALAM ISLAM : TINJUAN TEORITIS MENGENAI HAK ASASI MANUSIA DALAM PERSPEKTIF KEISLAMAN


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
            Dalam rentang peradaban dunia, menguak eksistensi manusia sebagai makhluk yang memiliki harkat dan martabat selalu menarik untuk diperbincangkan. Hal itu sama menariknya ketika manusia membicarakan eksistensi negara sebagai suprastruktur kehidupan sosial demi keberlanjutan eksistensi manusia itu sendiri. Korelasi ini bisa dipahami, sebab dalam proses interaksi itu, manusia selalu dihadapkan pada dinamika sosio-politik dan ekonomi yang bertolak tarik dengan ego-kekuasaan atau naluri kolonialisme yang praksisnya kerap despotis dan merendahkan. Titik persingungan dan ketegangan itu pula, dalam sejarah, merupakan pembuka reformasi politik eropa (akhir abad 18) lalu menjadikannya sebagai momen bersejarah lahirnya Piagam Hak Asasi Manusia.

Kelahiran HAM membuka kembali mata, hati, dan pikiran manusia (kesadaran) tentang hakekat dan sejatinya ia sebagai manusia, mahkluk Tuhan[1]yang sempurna, berakal budi dan nurani yang memiliki kemampuan sehingga mampu membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Posisi biner manusia menjadikan diri manusia makhluk multidimensional yang saling bergantung dan terpusat pada Yang Maha Tidak Bergantung yakni Tuhan. Dalam perspektif Teologis, Tuhan merupakan preferensi hidup bagi dimensi lahiriah maupun jasmaniah; pribadi maupun sosial, makrokosmos, metafisis, atau transendental maupun mikrokosmos yang fisis (keimanan) melalui Kitab dan utusan yang dikehendakinya.
Tuhan yang dalam sistem kepercayaan dikenal dalam institusi keagamaan sebagai sang Pencipta telah mengkarunia manusia kewajiban dan hak secara seimbang agar manusia dapat hidup dan mewujudkan kehidupannya dengan baik, damai dan sejahtera lahir dan bathin. Berkaitan dengan hal itu, sejatinya agama adalah pencarian spritual manusia tentang hakekat kebenaran dan kedamaian dirinya dan Tuhan yang terjadi secara evolutif. Dalam proses pencarian dan kebenaran itu maka agama dipandang sebagai salah satu hak asasi manusia (HAM) yang harus dihormati oleh institusi apa dan manapun. Karena itu dalam konfigurasi ketatanegaraan, HAM beragama mempunyai posisi yang sangat penting.
Sebegaimana kita ketahui secara bersama-sama bahwasannya akhir-akhir ini isu tentang disintegrasi nasional memang kerap muncul dalam berbagai konteks, dari mulai budaya sampai pada tataran agama. Kasus-kasus kekerasan yang terjadi mengenai isu agama memang sangat sensitive akhir-akhir ini. Terorisme yang dilakukan oknum-oknum Islam, penghancuran tempat-tempat ibadah, dan penyerangan terhadap golongan lain kerap kali menyudutkan kita sebagai umat Islam. Bagaimanapun juga HAM beragama akan menemukan jantung “persoalan” yang utama ketika berhadapan dengan entitas negara. Persoalan yang muncul kemudian bagaimana posisi agama dalam konteks negara? Atau posisi agama dalam konteks hukum?
1.2 Rumusan Masalah
            1. Apa pengertian HAM menurut agama Islam ?
            2. Bagaimana pola hubungan antara Negara, Agama, dan HAM ?
1.3 Tujuan
            1. Mengetahui arti HAM menurut perspektif Islam
            2. Mengetahui pola hubungan antara Negara, Agama, dan HAM dalam kacamata Islam


































BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Negara, Agama, dan HAM
            Dalam wacana sejarah atau filsafat hukum, relasi negara dan agama sebagai satu entitas politik pernah tumbuh dan berkembang pada Abad Pertengahan (Abad XV sM). Latar belakang perpecahan raja-raja  yang disulut kemelut politik dan keserakahan duniawi yang kemudian disatukan oleh kekuasaan imperium Romawi dengan politik unitary melahirkan pemikiran-pemikiran fundamental spiritual dalam konsep kenegaraan baik di dunia Timur maupun Barat.
Ajaran ini mengatakan bahwa kedaulatan negara secara utuh dan mutlak hanya milik Tuhan. Tuhan adalah hakekat satu-satunya yang paling luhur, pencipta dan penguasa segala hakekat yang ada dan tak dapat diterangkan dengan kata-kata. Pengakuan akan kedaulatan Tuhan dalam kehidupan negara dikenal sebagai ajaran Teokrasi. Sumber kedaulatan yang berasal dari Kitab Suci memberi otoritas politik kepada Paus sebagai pemangku agama Katholik sekaligus pemangku negara.
Menurut Augustinus (354-430 sM) praktik kenegaraan Romawi adalah satu konsep negara buruk  yang penuh kegelapan akibat keserakahan penguasa (Civitas Terrena). Dan, ia akan menjadi baik apabila seluruh sendi kehidupan negara kembali kepada ajaran Tuhan dan mendapat pengampunan melalui pemangku otoritas-Nya (Civitas Dei). Karena itu, Augustinus menganjurkan perlunya pelembagaan agama dalam negara sebagaimana yang pernah dijalankan oleh Konstantin  Theodisius di Konstantinopel.[2]
Disempurnakan oleh Thomas Aquino (1225-1274 M), Ia mencoba merumuskan ajaran kenegaraan ini sebagai satu tatanan hukum bagi golongan Katholik. Alam pikirannya yang sangat dipengaruhi oleh alam pikir Yunani memperlihatkan pertautan Principia Prima dengan hukum Tuhan dan hukum manusia sebagai hukum kongkret yang positif. Menurutnya, sebuah tatanan hukum yang baik adalah hukum yang mendasarkan pada hukum yang tertinggi yang disebut Lex Aeterna atau hukum abadi. Lex Aeterna adalah hukum yang bersumber dari rasio Tuhan yang Maha Mengatur dari segala yang ada. Di dalamnya terkandung hukum-hukum universal yang sejalan dengan kausa Alam dan aqal sehingga dinilai abadi. Kedua, hukum yang diwahyukan kepada manusia yang bersumber dari rasio Tuhan (Lex Divina). Hukum dalam tingkatan ini adalah hukum yang dirumuskan dalam bahasa Nabi melalui pewahyuan. Tingkatan ketiga, personifikasi hukum wahyu ke dalam rasio manusia (Lex Naturalis). Tingkatan keempat yakni hukum yang paling kongkret (hukum positif) merupakan penjelmaan dari tingkatan-tingkatan sebelumnya.[3] Ditambahkannya pula bahwa setiap penciptaan hukum harus mendasarkan pada tujuan ideal yang ingin dicapai yakni kemuliaan abadi. Manusia sebagai makhluk sosial selalu berubah dan memiliki tabiat kepada kemuliaan abadi.
Namun otoritas agama yang penuh pada dimensi kehidupan negara dan masyarakat mengakibatkan terampasnya kebebasan warga. Pandangan konservatif ini menegaskan bahwa setiap persoalan baik duniawi maupun ukhrowi telah menjadi satu ketetapan Tuhan sementara manusia sendiri tidak diberi otoritas untuk merubahnya sehingga ruang berpikir kritis tidak mendapat tempat sama sekali. Dependensi warga pada otoritas Paus yang memiliki dualime kekuasaan itu sejatinya telah merendahkan harkat dan martabat yang hakikinya anugerah Tuhan untuk memuliakan manusia.
Di abad yang sama, peradaban Islam juga menunjukkan satu kecenderungan yang sama. Hampir semua teologi Islam dan orientalis sepakat bahwa praktik kehidupan negara yang Islami terhenti setelah berakhirnya pemerintahan Khilafah Rasyidin Umar bin Khatab. Revolusi sosial yang dilakukan Rasulullah melawan segala bentuk diskriminasi ras, gender, perbudakan, komoditi ritual, sistem perdagangan yang kapitalistik dan tidak manusiawi sempat membuat satu perubahan politik besar dalam tatanan kehidupan bernegara masyarakat Arab pada saat itu dan menjadi satu bentuk negara agama ideal dalam konstelasi pertumbuhan ideologi dunia. Di abad klasik (650-1250 M), Islam di masa Rasulullah memiliki keunikan dalam mengorganisir kehidupan masyarakat Arab yang plural[4] di bawah konstitusi Piagam Madinah. Pluralitas keberagamaan, aliran kepercayaan, etnik, suku, class social, dan stratifikasi ekonomi dan politik mampu disatukan dalam satu ikatan hidup bersama yang damai, toleran, saling menghargai dan menghormati, egaliter, dan saling melindungi bahkan saling mewarisi.[5] Louis Gardnet sebagaimana dikutip Muhammad Tahir Azhary menyebutkan bahwa ciri yang paling menonjol adalah spirit egaliter dalam kehidupan negara tanpa dominasi kependetaan dalam sistem pemerintahan. Menurut Arent Jan Wensinck, petunjuk penting adanya ciri tersebut diperoleh dari sejumlah hadis Al-Bukhori dan Muslim, dan mencantumkan ihtisar tentang life of constitution di dalam Bab Fada’il al-Madinah.[6]
Berbeda dengan negara model kepausan di mana kerajaan Paus mendominir rakyat jelata, Negara Islam yang didirikan Rasulullah, menurut Taha Husain, bukanlah negara teokrasi. Islam melarang kependetaan dan stratifikasi sosial berdasarkan kasta kependetaan. Islam adalah agama yang menekankan ketauhidan, kerasulan, persamaan dan keadilan. Keadilan yang dualistik (dunia dan akhirat) tidak akan merampas kebebasan manusia, menguasai dan membelenggu inisiatif dan kreatifitasnya. Tuhan telah melengkapi manusia dengan akal dan nurani untuk membingkai kebebasannya secara bertanggung jawab. Abul Ala Maududi[7] menyimpulkan dari relasi di atas sebagai Teo-demokrasi. Muhammad Tahir Azhary menyebutnya dengan Nomokrasi Islam.[8]
Al Qur’an sebagai sumber tertinggi hukum negara telah berbicara banyak tentang HAM. Terdapat sekitar empat puluh ayat yang bicara mengenai paksaan dan kebencian. Lebih dari sepuluh ayat bicara larangan memaksa, untuk menjamin kebebasan berfikir, berkeyakinan dan mengutarakan aspirasi. Misalnya: “Kebenaran itu datangnya dari Rabb-mu, barangsiapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir.” [9] Al-Qur’an mengetengahkan sikap menentang kedzaliman dan orang-orang yang berbuat dzalim dalam sekitar tiga ratus dua puluh ayat, dan memerintahkan berbuat adil dalam lima puluh empat ayat yang diungkapkan dengan kata-kata: ‘adl, qisth dan qishas.
Al-Qur’an mengajukan sekitar delapan puluh ayat tentang hidup, pemeliharaan hidup dan penyediaan sarana hidup. Misalnya: “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya.”[10]Al Qur’an Juga bicara kehormatan dalam sekitar dua puluh ayat. Al-Qur’an menjelaskan sekitar seratus lima puluh ayat tentang ciptaan dan makhluk-makhluk, serta tentang persamaan dalam penciptaan. Misalnya: “… Orang yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertaqwa di antara kamu.” [11] Terakhir pada haji wada’, Rasulullah menegaskan secara gamblang tentang hak-hak asasi manusia, pada lingkup muslim dan non-muslim, pemimpin dan rakyat, laki-laki dan wanita. Pada khutbah itu Nabi saw juga menolak teori Yahudi mengenai nilai dasar keturunan.
Sepeninggal Nabi, persoalan penting yang mengemuka adalah persoalan transisi dan legitimasi politik pemerintah pengganti Nabi. Persoalan ini menimbulkan perpecahan dan penurunan kualitas pemerintahan yang jauh dari nilai-nilai Islam sebelumnya. Bahkan konflik perpecahan itu melahirkan aliran-aliran teologi atau kalam seperti Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Jabbariyah, dan Qodariyyah sebagai ekspresi kekecewaan ataupun dukungan untuk melegitimasi elit yang berkuasa. Aliran-aliran tersebut kerap menggunakan hadis atau mengadakan hadis untuk menjustifikasi penguasa yang didukungnya. Perpecahan ini mulai marak ketika awal Pemerintahan Usman, Ali, dan Bani Umayyah yang typikal pemerintahannya didominasi oleh golongan baru atas dasar relasi yang paternalistik, nepotis, kolutif, dan elitis. Terbunuhnya Usman menjadi malapetaka besar pemerintahan Islam di masa Ali yang terus dibayangi perpecahan dan pemberontakan. Meski Ali sendiri tidak diragukan kadar keimanan, integritas moral, dan kompetensi politik dan kenegarawanannya akan tetapi konspirasi yang dilakukan golongan elit baru membuat dirinya tak kuasa menentang arus dan mengakhiri masa pemerintahannya sendiri. [12]
Di masa Umayyah, praktik pemerintahan semakin jauh dari nalai-nilai Islam. Sistem kekuasaan yang monarkhi dan despotis memanfaatkan cara-cara imperialis dalam hubungan perdagangan (meniru model kekaisaran Bizantium dan Sassanid) dan perluasan kekuasaan. Tradisi egaliter dan humanistik berubah menjadi feodal. Hitti sebagaimana dikutip Asghar, mengatakan, “Seratus tahun setelah meninggalnya Muhammad, pengikutnya menjadi penguasa kekaisaran yang jauh lebih besar dibanding Romawi pada puncak kejayaannya.”[13] Kehidupan yang serba gelamor menjadikan Mekkah dan Madinah yang tadinya tempat suci menjadi pusat hiburan dan perjudian. Upaya mengembalikan kondisi awal dan memperkokoh landasan moral negara telah banyak dilakukan oleh kaum Kharijit dan para ulama puritan, namun usaha itu tidak berhasil. Setelah turunnya Umayyah, Abasiah mengorganisir pemberontakan bersenjata dan berhasil merebut kekuasaan dengan bantuan kalangan Persia, terutama dari propinsi Khorasan. Bani Abasiah tidak lama kemudian mengkonsolidasi posisi mereka dan berupaya melegitimasi kekuasaan mereka dengan dukungan para ulama. Meskipun peralihan kekuasaan tersebut didukung akan tetapi fatwa ulama sendiri tetap tidak mengizinkan praktik pemberontakan.[14] Dari praktik pemerintahan itu semua terlihat bahwa sepeninggal Rasulullah pemerintahan Islam dijalankan dengan penuh panorama yang berujung pada praktik feodalistik menggantikan spirit egaliter selama ini. Agama yang hanya menjadi tameng dan alat legitimasi kekuasaan menimbulkan trauma dalam sehingga melahirkan priksi di kalangan ulama untuk menarik agama keluar dari otoritas negara.
Meski kekecewaan telah melahirkan sekulerisme negara di Abad Modern akan tetapi krisis sosial, politik, dan ekonomi dunia di tengah arus globalisasi membuat perbincangan relasi agama dan negara menjadi menarik kembali. Ulrich Beck[15] sebagaimana dikutip Kaelan, mengungkapkan bahwa globalisasi akan berpengaruh terhadap relasi-relasi antar negara dan bangsa di dunia, yang akan mengalami ‘deteritorialisasi’. Konsekuensinya kejadian-kejadian di berbagai belahan dunia ini akan berpengaruh secara cepat terhadap negara lain. Prinsip kebebasan dalam sistem negara demokrasi sekuler berpengaruh secara cepat terhadap negara lain di dunia, termasuk negara Indonesia yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Kasus Yeland Fosten tentang karikatur Nabi Muhammad menimbulkan suatu benturan peradaban antara sistem kebebasan versi sekuler dan negara Berketuhanan Yang Maha Esa.
Sementara itu Anthony Giddens[16]menamai proses globalisasi sebagai ‘the runaway world’. Menurutnya perubahan-perubahan di berbagai bidang terutama perubahan sosial di suatu negara akan berpengaruh secara cepat terhadap negara lain. Sementara itu Robertson[17]mengingatkan bahwa globalisasi merupakan ‘compression of the world’ yaitu menciutnya dunia dan menurut Harvey sebagai proses menciutnya ruang dan waktu ‘time-space compression’, karena intensivikasi dan mobilitas manusia serta teknologi. Dalam kondisi seperti ini terjadilah pergeseran dalam kehidupan kebangsaan,[18] yaitu pergeseran negara yang berpusat pada negara kebangsaan (state centric world) kepada dunia yang berpusat majemuk (multy centric world). Kiranya sinyalemen yang layak kita perhatikan adalah pandangan Kenichi Ohmae sebagaimana dikutip Kaelan bahwa globalisasi akan membawa kehancuran negara-negara kebangsaan. Pengaruh globalisasi yang sangat cepat ini sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup negara dan bangsa Indonesia.
Bahkan A.M. Hendropriyono dalam karyanya Nation State di Masa Teror, bahwa di era globalisasi ini negara-negara yang sedang mengembangkan proses demokratisasi akan mendapatkan tantangan yang sangat hebat, terutama ancaman terorisme yang menyalahgunakan kesucian agama. Nampaknya sinyalemen A.M. Hendropriyono ini diperkuat oleh pandangan Bahmueller bahwa dalam proses demokratisasi harus diperhatikan (1) the degree of economic development, (2) a sense of national identity, (3) historical experience and (4) element of civic culture. Jadi pengembangan demokrasi harus diperhatikan tentang bagaimana kondisi ekonomi dalam suatu negara, dasar filsafat negara sebagai suatu identitas nasional suatu bangsa, bagaimana proses sejarah terbentuknya bangsa itu beserta unsur-unsurnya.[19]
Konstatasi yang layak diperhatikan adalah sinyalemen dari Naisbitt sebagaimana dikutip Kaelan, bahwa di era globalisasi tersebut akan muncul suatu kondisi paradoks, di mana kondisi global diwarnai dengan sikap dan cara berpikir primordial, bahkan akan muncul suatu gerakan ‘Tribalisme’ yaitu suatu gerakan di era global yang berpangkal pada pandangan primordial yaitu fanatisme etnis, ras, suku, agama, maupun golongan. Bahkan Hantington dalam The Clash of Civilization menegaskan bahwa tidak menutup kemungkinan akan terjadinjya suatu benturan peradaban, yang tidak menutup kemungikinan juga berakibat pada adanya konflik horizontal. Bahkan ditambahkan oleh A.M. Hendropriyono, bahwa pada panggung politik dunia benturan peradaban itu mencapai klimaksnya antara dua peradaban besar yaitu fundamentalisme politik Islam dengan kekuasaan kapitalisme neoliberal dengan kekuasaan kerasnya (hard power) di bawah komando Amerika serikat. Kita sadari atau tidak bahwa isu global tentang radikalisme agama dalam negara akan berpengaruh terhadap negara Indonesia, terutama dalam hubungan negara dengan agama. Bahkan adakalanya persoalan itu ditarik dengan memutar jarum jam ke belakang, yaitu persoalan muncul kembali pada kemelut tarik-menarik antara Negara agama dan Negara sekuler, sebagaimana dibahas oleh para founding fathers kita dahulu. Pada hal kita lupa bahwa suatu kesepakatan filosofis dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan itu sangat penting bagi bangsa Indonesia.
2.2 HAM dalam Perspektif Hukum Islam
            Pada dasarnya, semua Rasul dan Nabi Allah adalah pejuang-pejuang penegak hak  asasi manusia yang paling gigih. Mereka tidak hanya sekedar membawa serangkaian pernyataan akan hak-hak asasi manusia sebagaimana termuat dalam Kitab-kitab Suci, seperti Zabur, Taurat, Injil, dan al-Qur’an, akan tetapi sekaligus memperjuangkannya dengan penuh kesungguhan dan pengorbanan.
AI-Qur’an menegaskan bahwa Islam adalah agama yang sempurna (QS. 5:3). Di samping mengajarkan hubungannya dengan sang Pencipta ( Hablummin Allah) juga menegaskan tentang pentingnya hubungan antar manusia (hablum min al-nas) (QS. 3:112). Pengakuan ini bukan hanya berdasarkan truth claim umat Islam, tetapi kaum orientalis pun mengakui kesempurnaan yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia itu, sebagaimana V.N. Deanmenyatakan bahwa “Islam adalah perpaduan yang sangat sempu. agama, sistem politik, pandangan hidup, dan penafsiran sejarah.” Demikian pula Gibb menyatakan bahwa, “Sungguh ajaran Islam jauh lebih bany sebuah sistem teologi. Islam adalah peradaban yang sangat sempurna.
Dalam hubungan dengan HAM, dari ajaran pokok tentang  hablum min Alllah dan hablum min al-nas, muncul dua konsep hak, yakni a manusia  (haq a -insan) dan hak Allah. Setiap hak saling melandasi satu sama lain. Hak Allah melandasi hak manusia dan juga sebaliknya. Konsep Islam mengenai kehidupan manusia ini didasarkan pada pendekatan teosentris atau yang menempatkan Allah melalui ketentuan syari at-Nya sebagai tolok ukur tentang baik buruk tatanan kehidupan manusia baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat atau warga negara.
Oleh karena itu, konsep Islam tentang HAM berpijak pada Tauhid, yang pada dasarnya; didilamnya  mengandung ide persamaan dan persaudaraan manusia yang oleh Harun Nasution disebut sebagai ide perkemaklukan. Ide perikemakhlukan memuat nilai-nilai kemanusiaan dalam arti sempit. Ide perikemakhlukan mengandung makna bahwa manusia tidak boleh sewenang­wenang terhadap sesama makhluk termasuk juga pada binatang dan alam sekitar.
Berdasarkan tingkatannya, Islam mengajarkan tiga bentuk hak asasi manusia, yaitu:
Pertama hak darury (hak dasar). Sesuatu dianggap hak dasar apabila hak tersebut dilanggar, bukan hanya mernbuat manusia sengsara, tetapi juga hilang eksistensinya, bahkan hilang harkat kemanusiaannya, misalnya mati.
Kedua_hak hajy (hak sekunder), yakni hak-hak yang bila tidak dipenuhi akan berakibat pada hilangnya hak-hak elementer, misalnya hak seseorang untuk memperoleh sandang pangan yang layak, maka akan rnengakibatkan hilangnya hak hidup.
Ketiga, hak tahsiny, yakni hak yang tingkatannya lebih rendah dari hak primer dan sekunder.
Dengan demikian, HAM dalam Islam lebih dulu muncul. Tepatnya, Ma­gna Charta tercipta 600 tahun setelah kedatangan Islam. Di samping nilai–nilai dasar dan prinsip-prinsip HAM itu ada dalam sumber ajaran Islam, yakni Al-­Qur’an dan Hadis, juga terdapat dalam praktik-praktik kehidupan Islam. Tonggak sejarah keberpihakan Islam terhadap HAM yaitu pendeklarasian Piagam Madinah yang dilanjutkan dengan deklarasi Kairo.
Dalam Piagam Madinah, paling tidak ada dua ajaran pokok yang berhu­bungan dengan HAM, yaitu pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku bangsa; dan hubungan antara komunitas muslim dengan nonmuslim didasarkan pada prinsip:
1, berinteraksi secara baik dengan sesama tetangga;
2. saling membantu dalam menghadapi musuh bersama;
3. membela mereka yang teraniaya;
4, saling menasehati;
5, menghormati kebebasan beragama.
Adapun ketentuan HAM yang terdapat dalam Deklarasi Kairo adalah sebagai berikut:
1. Hak persamaan dan kebebasan (QS. al-Isra [17]:70; al-Nisa [4]:58,1i dan 135;
al-Mumtahanah [60]:8);
2. Hak hidup (QS. al-Maidah [5]:45 dan al-Isra [17]:33);
3. Hak perlindungan diri (QS. al-Balad [90]:12-17 clan al-Taubah [9]:6]
4. Hak kehormatan pribadi (QS. al-Taubah [9]:6);
5. Hak berkeluarga (QS. al-Baqarah [2]:221; a]-Rum [30]:21; al-Nisa [4: al-Tahrim [66]:6);
6. Hak kesetaraan wanita dengan pria (QS. al-Baqarah [2]:228 clan al [49]:13);
7. Hak anak dari orang tua (QS. al-Baqarah [2]:233; al-Isra [17]:23-24);
8. Hak mendapatkan pendidikan (QS. al-Taubah [9]:122 clan al-’Alaq 5);
9. Hak kebebasan beragama (QS. al-Kafirun [109]:1-6; al-Baqarah [2]:1 al-Kahfi
[18]:29);
10. Hak kebebasan mencari suaka (QS. al-Nisa [4]:97; al-Mumtahanah
11. Hak memperoleh pekerjaan (QS. al-Taubah [9]:105; al-Baqarah [2]:. al-Mulk
67]:15);
12. Hak memperoleh perlakuan sama (QS. al-Baqarah [2]:275-278; [4]:161, dan Ali
Imran [3]:130);
13. Hak kepemilikan (QS. al-Baqarah [2]:29; al-Nisa [4]:29);
14. Hak tahanan   (QS. al-Mumtahanah [60]:8).
Atas dasar itu, Islam sejak jauh-jauh hari mengajarkan bahwa pandangan Allah semua manusia adalah sama derajat. Yang membedakan manusia adalah tingkat kesadaran moralitasnya, yang dalam perspektif Islam disebut “nilai ketaqwaannya”. Apalagi, manusia diciptakan untuk merepresentasikan dan melaksanakan ajaran Allah di muka bumi, sudah barang tentu akan semakin memperkuat pelaksanaan HAM.
Oleh karena itu, jika harkat dan martabat setiap perorangan atau manusia harus dipandang dan dinilai sebagai cermin, wakil, atau representasi harkat martabat seluruh umat manusia, maka penghargaan dan penghormatan kepada harkat masing-masing manusia secara pribadi adalah suatu amal kebajikan yang memiliki nilai kemanusiaan universal. Demikian pula sebaliknya pelanggaran dan penindasan kepada harkat dan martabat seorang pribadi adalah tindak kejahatan kepada kemanusiaan universal, suatu dosa kosmis (kemanusiaan) yang amat besar
Harkat dan martabat itu merupakan hak dasar manusia, tentu dengan pemenuhan keperluan hidup primerya berupa sandang, pangan, papan. Tetapi, terpenuhinya segi kehidupan lahiri tidaklah akan dengan senrinya berarti menghantar manusia kepada dataran kehidupan yang lebih tinggi. Kehidupan material dan kemakmuran hanyalah salah satu prasarana meskipun amat penting, jika bukannya yang paling penting, bagi pencapaian kehidupan yang lebih tinggi.
Meminjam adagium kaum sufi, Hanya orang  yang mampu  berjalan di tanah datar yang bakal mampu menendaki bukit . Namun Justeru ibarat orang yang mampu berlari di tanah datar tapi belum tentu tertarik untuk mendaki bukit, demikian pula halnya dengan orang yang telah terpenuhi kehidupan lahiriahnya, belum tentu ia tertarik meningkatkan dirinya kedataran kehidupan yang lebih tinggi.Mungkin ia sudah puas hanya berlari-lari dan berputar-putar di tanah datar. Maka , tidak sedikit orang yang memandang pemenuhan kehidupan lahiri sebagai tujuan akhir dan menadi titik ujung cita-cita hidupnya.
Mengenai Hak Asasi manusia yang berkaitan dengan hak-hak warga Negara, al-Maududi menjelaskan bahwa dalam Islam, hak asasi pertama dan utama warga Negara adalah :
1. Melindungi nyawa, harta dan martabat mereka bersama sama dengan jaminan bahwa hak ini tidak akan dicampuri, kecuali dengan alasan-alasan  yang sah dan legal
2. Perlindungan atas kebebasan pribadi. Kebebasan pribadi tidak bias dilanggar , kecuali setelah melalu proses pembuktian yang meyakinkan secara hokum dan memberi kesempatan kepada tertuduh untuk mengajukan pembelaan.
3. Kemerdekaan mengemukakan pendapat serta menganut keyakinan masing-masing.
4. Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi semua warga Negara tanpa membedakan kasta atau keyakinan. Salah satu diwajibkan zakat kepada umat Islam, salah satunya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok warganegara.


BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
            Semua negara Islam menjamin Hak asasi manusia dengan mengamankan kehidupan dan harta semua warganya, Muslim maupun non-Muslim. Hal ini dilakukan untuk menjaga kehormatan mereka, sehingga mereka tidak dihina atau pun diejek oleh siapa pun. Nabi Muhammad Saw secara jelas menyebut dalam sabdanya: “Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatanmu tidak dapat dihancurkan (Sebagaimana tertulis dalam Sahih Bukhari dan Musnad Imam Ahmad)
Islam sangat menentang rasisme, menekankan pentingnya Hak asasi manusia, serta kesetaraan: “Wahai sekalian manusia! Bertakwalah kamu sekalian pada Tuhanmu yang tela menciptakanmu dari diri yang satu dan menciptakan darinya pasangan (hidup)nya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah pada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”  (QS. An-Nisa: 1)
Oleh karena itu, sangat penting untuk memperhatikan Hak asasi manusia sebagaimana hal ini telah disebutkan dalam ajaran agama kita berkali-kali. Tidak seperti agama lain, Islam mendukung hak asasi dengan kuat dan percaya pada kekuatan keadilan dan kesetaraan.
Islam menentang pemberian hak lebih pada mereka yang memiliki kekuasaan lebih tinggi, atau berdasar perbedaan kekayaan dan ras. Tuhan telah menciptakan manusia dalam posisi setara, kelebihan mereka dibanding yang lain hanya dinilai berdasar kesalehan. Nabi Muhammad Saw mengatakan dalam khutbah terakhirnya: “Semua manusia adalah anak Adam dan Hawa, tidak ada kelebihan seorang Arab dibanding non-Arab maupun kelebihan seorang non-Arab dibanding seorang Arab; begitu juga tidak ada superioritas orang Putih di atas orang (berkulit) Hitam, atau Hitam di atas Putih kecuali dengan ketakwaan”
Rasisme adalah satu di antara masalah terbesar yang dihadapi umat manusia sekarang ini. Negara-negara maju sudah cukup mampu untuk mengirim seseorang ke bulan, tapi tak berdaya menghentikan tiff di antara keduanya. Islam telah memberikan banyak contoh yang mengagumkan sejak era Nabi Muhammad mengenai Hak asasi manusia dan menghilangkan rasisme. Haji ke Makkah adalah salah satu contoh terbaik tentang persaudaraan Muslim di mana jutaan Muslim dari seluruh belahan bumi bersama berada di satu tempat, tak peduli lagi tentang kewarganegaraan dan ras.







Daftar Pustaka

-          Mufti, Muhammad Ahmad Dr. dan al-Wakili, Sami Salih Dr. HAM Menurut Barat, HAM Menurut Islam. Al-Azhar Press. Jakarta. 2009
-          Basah,  Sjachran, Ilmu Negara (Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembangan), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997).
-          Behn, Wolfgang, “Muhammad and The Jewes of Madina,” terjemahan  dari Mohammed en de Joden te Medina, oleh Arent Jan Mensinck (Berlin: Klaus Schwarz Verlag- Freiburg im Breisgou, 1975).
-          Davidson, Scott, Hak Asasi Manusia: Sejarah, Teori, dan Praktek dalam Pergaulan Internasional (terjemahan oleh A. Hadyana Pudjaatmaka) (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2008).
-          Engineer, Asghar Ali, “Devolusi Negara Islam,” terjemahan dari Islamic State, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000).





[1] Secara etimologis HAM terdiri dari tiga suku kata: Hak, Asasi, Manusia. Hak: haqqa, yahiqqu, haqqan artinya benar, nyata, pasti, tetap, dan wajib. “yahiqqu ‘alaika an taf’ala kadza (kamu wajib melakukan seperti ini).” Asasi: assa, yaussu, asasaan artinya membangun, mendirikan, meletakkan/ asal, asas, pangkal, dasar dari segala sesuatu. Segala sesuatu yang bersifat mendasar yang selalu melekat pada objeknya. HAM (Kamus Bahasa Indonesia): Hak-hak mendasar pada diri manusia.
[2] Sjachran Basah, Ilmu Negara (Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembangan), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 145.
[3] Ibid
[4] Lihat Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan UUD 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk (Jakarta:UI Press, 1995), hlm. 29-32
[5] Ibid
[6] Wolfgang Behn, “Muhammad and The Jewes of Madina,” terjemahan  dari Mohammed en de Joden te Medina, oleh Arent Jan Mensinck (Berlin: Klaus Schwarz Verlag- Freiburg im Breisgou, 1975), hlm. 66-67
[7] Abul Ala Maududi, Islami Risayat, dinukilkan oleh Khurshid Ahmad, Islamic Publication, Lahore, 1974, hlm. 130
[8] Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini,  Edisi kedua (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), hlm. 87
[9] QS. 18: 29
[10] QS. 5: 32.
[11] QS. 49: 13.
[12] Asghar Ali Engineer, “Devolusi Negara Islam,” terjemahan dari Islamic State, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 101
[13] Ibid, hlm. 104
[14] Ibid, hlm. 108-109
[15] Ulrich Beck, “Kapitalismus Ohne Arbeit dalam Kaelan, Relasi Negara dan Agama dalam Perspektif Filsafat Pancasila (Yogyakarta, 1 Juni 2009), hlm. 2
[16] A. Giddens,  The Consequences of Modernity, (Cambridge:  Polity Press, 1995), hlm. 48
[17] Robertson, “Mapping the Global Condition: Globalization as the Central Concept”, dalam Global Culture, Nationalism, Globalisation and Modernity, Mike Feterstone (ed.), (London: Sage Publications, 1990).
[18] Rosenau, dalam Hall, Stuart, David Held and Tony Mc. Grew, (ed.), Modernity and Its Future, (Cambridge: Polity Press, 1990).
[19] Kaelan, Ibid.

Comments

Popular posts from this blog

Teori Elit dalam Kebijakan Publik

ELIT DAN KEBIJAKAN : TINJAUAN TEORITIS TENTANG MODEL ELIT DALAM MEMAHAMI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK Oleh : Iwan Ismi Febriyanto Abstract             In the analysis of public policy, of course, there are some models that can be used to focus on one subject of public policy itself. That is, before we alone make this a great and sturdy construction, of course, we must have a clear model. That is the reason why public policy analysis models are crucial in making or analyzing public policy. There are several models in the classification of policy analysis. However, here the author would like to focus on Elite Model Theory in the analysis of public policy. To find out how political institutions operate, how decisions are made then the informant's most relevant is the political elite. Elite is defined as "those that relate to, or have, an important position." Political elite to do with how power affects the person's public policy making. Here the role of the

TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT

DIALEKTIKA KEBIJAKAN PUBLIK : “STUDI KOMPARASI TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT DENGAN GOOD GOVERNANCE DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK” Oleh: Iwan Ismi Febriyanto Abstract Public sector organizations are often described unproductive, inefficient, always loss, low quality, poor innovation and creativity, as well as many other critics. The emergence of strong criticism directed at public sector organizations will then cause the movement to reform public sector management. One of the public sector reform movement is the emergence of the concept of New Public Management (NPM). The concept of new public management was initially introduced by Christopher Hood in 1991. When viewed from a historical perspective, modern management approaches in the public sector at first appear in Europe in the 1980s and 1990s as a reaction to the inadequacy of the traditional model of public administration. NPM emphasis at that time was the implementation of decentralization, devolution, and the m

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme Analisis Mengenai Pengaruh dan Implementasinya dalam Kondisi Politik di Suatu Negara Oleh : Iwan Ismi Febriyanto BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG             Ideologi merupakan hal yang paling krusial dalam sejarah maupun masa depan kehidupan manusia, terutama dalam bidang politik dan ekonomi. Bagaimana ideologi mempunyai peran sebagai dasar maupun pijakan yang digunakan oleh suaru kelompok sebagai panutan dari apa yang akan dilakukannya kedepan. Kata ideologi sendiri pertama kali dikembangkan dan diperkenalkan oleh seorang filsuf dari negara Perancis yang bernama Antonie Destutt de Tracy di masa Revolusi Perancis. Antony Downs (1957:96) mengatakan bahwa ideology merupakan seperangkat asumsi dasar baik normatif maupun empiris mengenai sifat dan tujuan manusia atau masyarakat agar dapat dipakai untuk mendorong serta mengembangkan tertib politik.