DARI GERINDRA UNTUK INDONESIA : TINJAUAN ANALISIS KEKUATAN POLITIK PARTAI GERINDRA DALAM PERSPEKTIF IDEOLOGIS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Partai Politik merupakan unsur
penting dalam suatu negara, baik itu negara demokratis maupun negara otoriter.
Secara umum dapat dikatakan partai politik adalah suatu kelompok yang
terorganisir dan anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang
sama. Tujuan dari kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik di
negara yang menaunginya. Sigmund Neumann dalam bukunya, Modern Political Parties, mengemukakan definisi sebagai berikut:
Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha
untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui
persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai
pandangan berbeda.[1]
Adapun fungsi dari adanya partai
politik di Negara Demokrasi adalah sebagai sarana komunikasi politik, sebagai
sarana sosialisasi politik, sebagai sarana rekrutmen politik, dan juga sebagai
sarana pengatur konflik (conflict
management).
Dalam suatu negara, tentunya ada banyak sistem yan mengatur
dalam implikasi dari tiap kegiatan yang ada dalam negara tersebut. Tak
terkecuali dengan partai politik. Sistem yang mengatur bagaimana partai politik
itu berjalan sesuai peraturan perundang-undangan adalah sistem kepartaian. Sistem
kepartaian merupakan suatu mekanisme interaksi antar partai dalam sebuah sistem
politik. Karena tujuan utama dari partai politik adalah untuk mencari dan
mempertahankan kekuasaan dalam rangka mewujudkan program yang disusun
berdasarkan ideology tertentu. Maka untuk merealisasikan program tersebut,
partai-partai politik yang ada berinteraksi dalam suatu sistem kepartaian.
Secara klasik, Maurice Duverger
menyebutkan ada tiga sistem partai yang dapat mewujudkan interaksi antar
partai. Ketiga sistem tersebut ialah one
party system (sistem satu partai), two party system (sistem dua partai), dan serta multy party system (sistem banyak
partai). Sistem satu partai maksudnya hanya ada satu partai, seperti Partai
Komunis di China. Sistem dua partai ialah bahwa ada dua partai dalam Pemilu,
seperti Partai Republik dan Demokrat di Amerika Serikat. Sedangkan sistem
banyak partai, Pemilu diikuti oleh lebih dari lima partai seperti di Indonesia.[2]
Dalam suatu negara demokrasi
seperti Indonesia, tentunya banyak sekali sejarah mengenai eksistensi partai
politik yang bergejolak dari satu rezim ke rezim berikutnya. Disini penulis
ingin lebih melakukan tinjauan secara teoritis terhadap perjalanan partai
politk di Indonesia dari rezim ke rezim. Tentunya ada banyak sekali cerita mengenai
eksistensi partai politik di Indonesia, itu dikarenakan rezim yang berkuasa
masing-masing mempunyai sistem yang berbeda dalam penentuan mekanisme
kepartaian, terutama melalui pemilu. Selain dari pada itu, ada beberapa faktor
yang memang memperngaruhi eksistensi partai politik. Yaitu ideologi. Tentunya,
ideologi sangat penting untuk kemudian dimiliki oleh partai sebagai pegangan
dari arah gerakannya nanti. Untuk konteksnya di Indonesia, mungkin kalau
sebutan untuk ideologi nampaknya harus disamakan, namun yang membedakan adalah
platformnya saja. Dan disini, penulis ingin mencoba untuk kemudian menggali
lebih dalam peranan dari ideologi dalam menjaga eksistensi suatu partai
politik.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ideologi
partai politik ?
2. Bagaimana
pengaruh dari ideologi dalam membangun basis kekuatan partai dan eksistensi
partai tersebut ?
1.3 Tujuan
1 Mengetahui tentang pengertian dari ideologi kepartaian
2. Mengetahui
tentang seberapa besar pengaruh ideologi suatu partai dalam membangun basis
kekuatana partai tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ideologi dan Kepartaian
Sebelum kita beranjak pada inti
dari pembahasan pada makalah ini, maka terlebih dahulu penulis ingin mengulas
sedikit tentang ideologi dan kepartaian. Istilah ideologi berasal dari kata “Idea” yang berarti “gagasan,
konsep, pengertian dasar, cita-cita” dan logos yang berarti “ilmu”, kata
“idea” berasal dari kata bashasa Yunani “eidos” yang berarti bentuk,
maka secara harfiah ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang ide-ide atau
ajaran tentang pengertian-pengertian dasar. Dengan demikian ideologi mencakup
pengertian tentang ide-ide, pengertian-pengartian, dasar, gagasan-gagasan dan
cita-cita.[3]
Sebelum kita beranjak pada apa dan bagaimana ideology dari
partai PDI, ada baiknya jika kita menelaah dulu tentang apa itu arti dari
ideologi. Kata ideology adalah kata yang kemudian sering kita pergunakan
sehari-hari, terutama dalam diskusi-diskusi atau perbincangan tentang politik
dan ekonomi. Tentunya memang ada banyak sekali pengertian dari ideology. Namun,
sejauh referensi yang ada, kata ideologi pertama
kali dikembangkan dan diperkenalkan oleh seorang filsuf dari Perancis yang
bernama Antonie Destutt de Tracy di masa Revolusi Perancis. Dalam penjelasannya
Tracy diketahui bahwa ideology mula-mula dipakai untuk menyebut perkembangan
ide-ide manusia (science of ideas).[4]
Akhirnya kita bisa mengartikan bahwa ideologi merupakan sistem pemikiran
secara empiris yang telah dirumuskan dengan tujuan sebagai dasar pijakan dalam
melakukan suatu pergerakan.
Anthony Downs
(1957:97) mengatakan bahwa ideology merupakan seperangkat asumsi dasar baik
secara normatif maupun empiris mengenai sifat dan tujuan manusia atau
masyarakat agar dapat dipakai untuk mendorong serta mengembangkan tertib
politik. [5]
Sementara diatas tadi sudah dijelaskan beberapa penjelasan tentang ideology,
maka selanjutnya penulis akan lebih menjelaskan tentang sistem kepartaian. Sistem
multi partai adalah salah satu varian dari beberapa sistem kepartaian yang
berkembang di dunia modern saat ini. Andrew Heywood (2002) berpendapat bahwa
sistem partai politik adalah sebuah jaringan dari hubungan dan interakasi
antara partai politik di dalam sebuah sistem politik yang berjalan. Untuk
mempermudah memahami sistem partai politik Heywood kemudian memberikan kata
kunci untuk membedakan tipe-tipe sistem kepartaian.
Kata kunci tersebut adalah jumlah partai politik yang tumbuh
atau eksis yang mengikuti kompetisi mendapatkan kekuasaan melalui pemilu.
Parameter “jumlah partai politik” untuk menentukan tipe sisem partai politik
pertama kali dikenalkan dan dipopulerkan oleh Duverger pada tahun 1954 dimana
Duverger membedakan tipe sitem politik menjadi 3 sistem, yaitu sistem partai
tunggal, sistem dua partai, dan sistem multi partai.
Dari definisi yang diperkenalkan oleh Duverger tersebut kita
dengan mudah menentukan sistem partai politik di sebuah negara. Kalau di negara
tersebut hanya terdapat satu partai politik yang tumbuh atau satu partai
politik yang dominan dalam kekuasaan maka dapat dipastikan bahwa sistem
tersebut adalah sistem partai tunggal. Namun jika terdapat dua partai politik
maka sistem partainya adalah sitem dua partai. Sebaliknya, jika di dalam negara
tersebut tumbuh lebih dari dua partai politik maka dikatakan sebagai sistem
multi partai.
Sartori (1976) menyatakan bahwa yang paling terpenting dari
sebuah sistem kepartaian adalah sebuah pengaturan mengenai hubungan partai
politik yang berkaitan dengan pembentukan pemerintahan, dan secara lebih
specifik apakah kekuatan mereka memberikan prospek untuk memenangkan atau
berbagi (sharing) kekuasaan pemerintah.
Meski demikian, pada perkembangan selanjutnya pendekatan
yang hanya berdasarkan jumlah dan interaksi antar partai politik tersebut
mendapat kritikan dan ketidaksetujuan dari beberapa ahli misalnya Bardi and
Mair (2008) dan Blau (2008). Bardi dan Mair berpendapat bahwa sistem kepartaian
tidak bisa ditentukan semata-mata oleh jumlah partai yang ikut dalam pemilu
akan tetapi sebagai fenomena yang multi dimensi. Selanjutnya Bardi dan Mair
menjelaskan bahwa tipe partai politik dipengaruhi oleh 3 (tiga) dimensi, yaitu
vertikal, horisontal dan fungsional.
Dimensi veritikal yang mempengaruhi sistem partai politik
dicontohkan dengan adanya polarisasi dan segmentasi di dalam masyarakat pemilih
(bahasa, etinisitas, agama dan lain-lain). Sedangkan dimensi horisontal
ditentukan oleh pembedaan level pemerintahan dan level pemilu. Dimensi
fungsional disebabkan oleh karena pembedaan arena kompetisi (nasional,
regional, dan lokal).
2.2 Eksistensi Partai Politik di
Indonesia
Di Indonesia partai politik telah
merupakan bagian dari kehidupan politik selama kurang lebih seratus tahun. Di
Eropa Barat, terutama Inggris, partai politik telah muncul jauh sebelumnya
sebagai sarana pertisipasi bagi beberapa kelompok masyarakat, yang kemudian
meluas partisipasi seluruh masyarakat dewasa. Saat ini partai politik ditemukan
hampir di semua negara di dunia. Di Indonesia kita terutama mengenal sistem
multi-partai, sekalipun gejala partai dwi-tunggal dan dwi-partai tidak asing
dalam sejarah kita. Sistem yang kemudian berlaku berdasarkan sistem tiga
orsospol dapat dikategorikan sebagai sistem multi-partai dengan dominasi satu
partai. [6]
Demokrasi Liberal Pertama di Indonesia ditandai dengan
keluarnya Maklumat No.X Oktober 1945. Maklumat yang ditandatangani oleh Drs.
Moh. Hatta (wakil presiden RI saat itu) mempersilakan publik Indonesia untuk
mendirikan partai-partai politik. Mulai saat itu, berdirilah beragam partai
politik yang sebagian besar berbasiskan ideologi dan massa pemilih di
Indonesia. Oleh sebab masih banyaknya peperangan (revolusi fisik berupa
pemberontakan dan hendak kembalinya kekuasaan asing), pemilu belum kunjung
dilaksanakan hingga tahun 1955.
Pemilu 1955 menandai “resminya” era sistem politik demokrasi
liberal di Indonesia. Aneka partai politik diberi kebebasan untuk memperkuat
organisasi, meluaskan basis massa, dan sejenisnya. Saat itu, sistem kepartaian
yang berlaku di Indonesia adalah Pluralisme Terpolarisasi. Cukup banyak partai
politik yang ikut serta di dalam pemilu pertama dalam sejarah kemerdekaan
Indonesia ini. Namun, partai-partai yang memperoleh suara besar (4 partai)
memiliki garis ideologi yang cukup berseberangan antara satu sama lain.
Dalam sejarahnya, Indonesia telah
mempraktikkan sistem kepartaian berdasarkan pada sistem multipartai. Meski
dalam derajat dan kualitas yang berbeda. Pada pemilu pertama tahun 1955─sebagai
tonggak kehidupan politik pasca kemerdekaan hingga sekarang―menghasilkan lima
partai besar: PNI, Masyumi, NU, PKI, dan PSI. Jumlah partai yang berlaga dalam
pemilu itu lebih dari 29 partai, ditambah independen. Dengan sistem pemilu
proporsional, menghasilkan anggota legislatif yang imbang antara Jawa dan Luar
Jawa. Pemilu dekade 1950-an 1960-an adalah sistem multipartai tanpa ada
pemenang mayoritas. Namun, di era demokrasi parlementer tersebut telah terjadi
tingkat kompetisi yang tinggi. Memasuki era demokrasi parlementer yang ditandai
dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden yang tujuannya untuk mengakhiri konflik
ideologi antarpatai. Pada masa itu, sistem kepartaian menerapkan sistem
multipartai, namun tidak terjadi kompetisi.
Memasuki dekade 1970-an sampai
Pemiliu 1971, Indonesia masih menganut sistem multipartai sederhana (pluralisme
sederhana). Waktu itu ada sembilan partai politik yang tersisa dari Pemilu
1955. Kesembilan partai ditambah Golkar, ikut berlaga dalam Pemilu 1971.
Fenomena menarik dalam Pemilu 1971 ini adalah faktor kemenangan Golkar yang
sangat spektakuler di luar dugaan banyak orang. Padahal kalangan partai tidak
yakin akan memenangkan pemilu. Hal itu didasari pada dua hal, yaitu ABRI tidak
ikut pemilu dan Golkar belum berpengalaman dalam pemilu. Tetapi, setelah pemilu
digelar, ternyata justru bertolak belakang, Golkar menang mutlak lebih dari
63%. Kemenangan itu menandakan Indonesia memasuki era baru, yaitu Orde Baru.
Pada era orde baru, sistem
kepartaian masih disebut sistem multipartai sederhana, namun antarpartai tidak
terjadi persaingan. Karena Golkar menjadi partai hegemoni. Sehingga ada
pendapat bahwa secara riil sistem kepartaian menjurus ke sistem partai tunggal (single
entry). Kenapa? Karena Golkar hanya berjuang demi status quo.
Pada masa reformasi, Indonesia kembali menerapkan sistem multipartai. Hal ini
dapat dipahami karena selama puluhan tahun kebebasan berekspresi dan berserikat
serta berkumpul dikekang. Sehingga ketika reformasi memberikan ruang kebebasan,
hasrat para politisi untuk mendirikan partai politik tersalurkan. Sebagai
sebuah proses pembelajaran, fenomena menjamurnya partai politik mestinya
dilihat sebagai sesuatu yang wajar di tengah masyarakat yang sedang mengalami
euforia politik.
Pada Pemilu 1999, yang menggunakan
sistem proporsional dengan daftar calon tertutup (stelsel daftar) diikuti 48
partai peserta pemilu. Jumlah partai sekitar 140 buah, tetapi lolos verifikasi
hanya 48 partai. Dari jumlah itu, keluar enam partai besar pemenang pemilu,
yakni PDI-P, Golkar, PPP, PKB, PAN, dan PBB. Sistem kepartaiannya multipartai,
dan tidak ada partai pemenang pemilu yang memperoleh suara mayoritas.
Setelah dua kali pemilihan umum
paska reformasi dengan sistem multipartai, Indonesia bisa belajar banyak.
Proses evaluasi diri perlu dilakukan, baik partai-partai politik, maupun sistem
yang diterapkan. Apakah partai-partai paska reformasi telah berperan sebagai
pilar demokrasi yang mendorong demokrasi kita lebih efektif dan pemerintahan
yang stabil, atau sebaliknya. Sistem kepartaian secara ideal harus mendorong
pemerintahan yang stabil dan demokrasi yang semakin efektif. Bila tidak, maka
tentu ada yang salah dengan sistem yang diterapkan. Pemilu 2004 adalah pesta
rakyat yang sangat bersejarah bagi Indonesia. Pasalnya, untuk pertama kalinya
Indonesia menyelenggarakan pemilu secara langsung. Keberhasilan pemilu secara
langsung telah mendaulat Indonesia sebagai negara paling demokrasi ketiga di
dunia setelah Amerika dan India.
Setelah dua kali pemilu paska
reformasi dengan sistem multipartai, Indonesia bisa belajar banyak. Proses
evaluasi diri perlu dilakukan, baik partai-partai politik, maupun sistem yang
diterapkan. Apakah partai-partai paska reformasi telah berperan sebagai pilar
demokrasi yang mendorong demokrasi kita lebih efektif dan pemerintahan yang
stabil, atau sebaliknya. Sistem kepartaian secara ideal harus mendorong
pemerintahan yang stabil dan demokrasi yang semakin efektif. Bila tidak, maka
tentu ada yang salah dengan sistem yang diterapkan.
2.3 Ideologi Partai Gerindra
Partai Gerindra memang tergolong
sebagai partai yang masih muda dalam peta politik di Indonesia. namun sebagai
bukti bahwa mereka mempunyai basis masa yang kuat adalah dengan
ketertemapatannya sekitar 26 persen kader pancasila sebagai penunggu beasisswa
yang diberikan oleh perusahaan. Ini membuktikan bahwa ada faktor lainnya yang
menjadi pendorong bagi ada keberkembangannya sebuah partai politik.
Anthony Downs (1957:97) mengatakan bahwa ideology merupakan
seperangkat asumsi dasar baik secara normatif maupun empiris mengenai sifat dan
tujuan manusia atau masyarakat agar dapat dipakai untuk mendorong serta
mengembangkan tertib politik. [7] Nah, inilah yang kemudian menjadi
penyebab dari diharuskannya suatu partai memiliki ideologi yang jelas dalam
garis perjuangan untuk mewujudkan tujuannya tersebut.
Visi Partai Gerindra adalah
menjadi Partai politik yang mampu menciptakan kesejahteraan rakyat, keadilan
sosial, dan tatanan politik negara yang melandaskan diri pada nilai-nilai
nasionalisme dan religiusitas dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Partai GERINDRA memiliki 5
(lima) misi, yaitu :
- Mempertahankan kedaulatan dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
- Mendorong pembangunan nasional yang menitik beratkan pada pembangunan ekonomi kerakyatan, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dan pemerataan hasil-hasil pembangunan bagi seluruh warga bangsa dengan mengurangi ketergantungan kepada pihak asing;
- Membentuk tatanan sosial dan politik masyarakat yang kondusif untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dan kesejahteraan rakyat;
- Menegakkan supremasi hukum dengan mengedepankan praduga tak bersalah dan persamaan hak di depan hukum;
- Merebut kekuasaan pemerintahan secara konstitusi melalui Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden untuk menciptakan lapisan Kepemimpinan nasional yang kuat.
Dari beberapa penjelasan mengenai visi misi
diatas, kita bisa tarik benang merah bahwasannya garis perjuangan partai
Gerindra adalah partai yang berideologikan Pancasila dengan nafas sosialisme
kebangsaan atau marhaenisme (hampir sama dengan partai PDI). Adapun kalau kita
tarik pada terminologi politik, partai ini juga termasuk partai kiri atau
sosialis. Secara eksplisit, Gerindra memang tak pernah menyebutkan bahwasannya
partainya ini berideologikan marhaenisme. Namun, ini semua bisa klaim atau
tinjau dari beberapa pemaran visi misi yang penulis sebutkan diatas.
Marhaenisme. Paham ini mula-mula diambil dari
nama seorang petani miskin di Desa Tjigelereng Bandung Selatan yang bernama
Marhaen (ada yang menyebutnya Umar-Khaen). Marhaenisme adalah
sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang kemudian menjadi dasar dari
pembuatan Pancasila yang dikonsepsikan sebelumnya oleh Bung Karno.[8] Marhaenisme adalah asas
yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang didalam segala
halnya menyelamatkan Marhaen (si petani itu). Marhaenisme adalah cara
perjuangan untuk mencapai hal diatas dengan semangat revolusioner yang
menghendaki hilangnya kapitalisme dan imperialism. Marhaenisme yang
nasionalisme adalah nasionalisme yang sosialis. Artinya tidak angkuh dan tidak
chauvanis, tetapi luwes dan mengandung nilai kemanusiaan.[9] Marhaenisme memang menjadi
pilihan dari garis perjuangan Gerindra dalam menjalankan amanatnya sebagai
partai. Maka tidak salah ketika Gerindra memang lebih banyak turun kebawah
dalam pembangunan basis masanya.
2.4 Pengaruh Ideologi dalam pembangunan basis
kekuatan politik
Ideologi ibaratnya adalah darah
dan jiwa dari sebuah partai politik (parpol). Sejarah terbentuknya partai politik
itu sendiri merupakan cerminan dari pengelompokkan orang yang diikat oleh
kesamaan idedan bagaimana ide digunakan untuk memberi warna dalam setiap
kebijakan politik. Ideologi merupakan paradigm dan cara berpikir yang
memberikan karakter pada sebuah partai. Ideologi memberikan makna penting,
karena akan menjadi basis peta konseptual yang dibutuhkan baik oleh pemimpin,
aktifis, maupun pemilih untuk mengintepretasikan kampanye dan isu-isu politik
(Budge, 1994). Dengan ideologi juga, setiap parpol bisa menarik dukungan
politik dan meyakinkan pemilih akan kapasitas politiknya (Budge, 2003 dalam
Vasallo dan Wilcox, 2006), serta sekaligus untuk menjaga basis dukungannya.
Sebuah parpol akan sanat rawan kehilangan pendukung intinya tatkala melakukan
perubahan atas dasar ataupun manifestonya (Volklens dan Klingemann, 2002).
Seperti
yang kita ketahui, bahwasannya Gerindra merupakan partai yang masih bisa
dibilang baru yang menghiasi dunia perpolitikan di Indonesia. Namun, prestasi
mereka masih bisa dibilang gemilang, karena mereka berhasil mendapatkan 26
kursi dari 550 kursi yang diperebutkan di DPR. Ini tidak lain adalah karena
selain pendanaan yang kuat ditubuh partai, juga memang karena faktor doktrinasi
dari ideology yang dianut oleh partai Gerindra. Hari ini ditengah-tengah carut
marutnya persoalan yang ada dinegara kita, Gerindra menawarkan solusi dari
permasalahan tersebut dengan basis mereka yang mencoba mengambil hati rakyat
pinggiran. Ini hampir persis sama dengan apa yang dilakukan oleh PDI. Mereka
mencoba untuk kemudian menguasai sektor-sektor pinggiran dari masyarakat
Indonesia.
Dari data di atas kita dapat melihat bagaimana kekuatan
politik Gerindra yang mengakar dan meningkat seiring perkembangan kondisi politik
di Indonesia. Akar basis mereka berada di kalangan masyarakat bawah yang
terorganisir dan terstruktur dengan nafas ideologi Partai Gerindra. Ini yang
kemudian menjadi ujung tombak suara Gerindra di kancah kehidupan politik
Indonesia. Seperti kita ketahui bersama bahwa jumlah masyarakat kecil di
Indonesia masih sangat banyak. Hal ini menjadi program serius bagi Gerindra
untuk tetap konsisten berjuang dengan menarik masyarakat bawah ikut bergabung
dalam perjuangan Gerindra.
Program turun langsung menuju masyarakat bawah menunjukkan
keseriusan Gerindra memperhatikan nasib kalangan masyarakat tersebut. Inilah
bukti bahwa Gerindra mengemban amanah besar untuk memperjuangkan nasib
masyarakat kecil. Adanya pengurus ranting di desa-desa yang tersebar di seluruh
Indonesia menunjukkan kekuatan Gerindra di masyarakat sangatlah kuat. Bagaimana
tidak, jika kita analogikan sebagai pohon, Gerindra sangat komplit dari akar
hingga daunnya. Selain dari pada itu juga, akhir-akhir ini Gerindra sangatlah
aktif dalam menghidupkan organisasi sayap yang mereka miliki. Seperti Tidar
atau Tunas Indonesia Raya. Inilah yang kemudian sangat baik untuk diterapkan,
karena memang doktrinasi efektif untuk masalah pengkaderan harusnya dari yang
muda.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam
perkembangannya Gerindra ini sangat idealis terhadap ideologi yang telah
dianutnya, bahasa sehari-hari yang sering kita dengar yaitu partai pembawa
perubahan yang berlatar belakangkan petani-petani di Indonesia, karena ini terlihat
pendampingan-pendampingan yang dilakukannya baik dalam hal sosial maupun
politik. Lebih jauh lagi, kekuatan yang dihimpun oleh Gerindra sangat besar
sekali disamping menarik masyarakat bawah menengah, Gerindra ini mempunyai
massa solid yang selalu membela partai baik dalam keadaan genting maupun
bahagia. Seperti yang kita ketahui Gerindra memiliki banyak organisasi sayap
yang siap menjadi motor penggerak dari perjuangan partai tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
-
Hidayat,
Imam. 2009. Teori-Teori Politik. Malang
: SETARA PRESS.
-
Budiardjo, Miriam Prof.
2008. Dasar-Dasar ilmu Politik. Jakarta : Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama.
-
Ali Safa’at, Muhammad
Dr. 2011. Pembubaran Partai Politik. Jakarta : Penerbit PT Raja
Grafindo Persada.
-
Tambunan, R.O. 2007.
Membela Demokrasi. Jakarta : Penerbit
Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI)
-
www.partaigerindra.co.id
[1]
Friedrich, Constitutional Government and
Democracy, hlm. 419
[2]
Miriam budiardjo, Dasar-dasar ilmu
politik, hal 415
[3] Kaelan, Filsafat
Pancasila, Disusun Berdasarkan GBPD dan SAP (Yogyakarta: Paradigma,
1996), hlm. 35.
[4]
Hidajat, Imam. “Teori-Teori Politik”. (Malang : SETARA Press. 2009). Hlm 61
[5] Ibid
[6] Miriam
Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, ibid.
[7]
Hidajat, Imam. “Teori-Teori Politik”. (Malang : SETARA Press. 2009). Hlm 61
[8]
Latif, Yudi. “Negara Paripurna”. 2011
[9]
Hidajat, Imam. “Teori-Teori Politik”. (Malang : SETARA Press. 2009). Hlm 66
Comments