Skip to main content

Gerakan Feminisme


Segala yang yang terciptakan di dunia ini, tentunya saling berlawanan, ada siang dan malam, ada api dan ada air, ada surgadan ada neraka, pun demikian juga ada laki-laki dan ada perempuan. Berbicara mengenai laki-laki dan perempuan, tampaknya kebanyakan orang sering memandang bahwasanny laki-laki lah yang menjadi hal utama dalam menjalankan hirup pikuk yang terjadi selama hidup didunia ini, seakan-akan perempuan hanya dijadikan bahan pelengkap dalam menjalani roda kehidupan.Contohnya dizaman jahiliyah dulu, betapa mirisnya ketika kita melihat perempuan hanya dipermainkan dan hanya dijadikan sebagai pengaktualilasian bentuk hawa nafsu para kaum lelaki saja.Demikian juga soal pembahasan tentang sejarah, artinya actor-aktor yang kemudian banyak ditonjolkan dalam perspektif ilmu sejarah kebanyakan hanya menonjolkan kaum laki-laki saja, tanpa memperhatikan peran ataupun kontribusi dari para kaum perempuan.Padahal, kita hidup didunia inipun lahir dari rahim seorang perempuan, yaitu ibu kita.Bagaimana dia berjuang untuk kemudian mempertaruhkan nyawanya antara hidup dan mati demi lahirnya seorang anak yang kemudian dibesarkannya dengan penuh kasih dan sayang.
            Nah, berangkat dari latar belakang atau kondisi inilah yang kemudian membuat masyarakat kaum perempuan sadar bahwasannya memang telah terjadi disorientasi peran perempuan dalam berbagai sendi-sendi kehidupan.Hampir sepanjang waktu teori-teori sosial sibuk berebut tentang hakikat masyarakat modern, sedangakan sumber ketidaksetaraan dan ketidakberuntungan yang dialami oleh separuh penduduk dunia lepas dari perhatian. Asumsinya adalah bahwa dunia sebagaimana dialami kaum laki-laki sama dengan yang dialami oleh kaum perempuan. Barulah ketika muncul teori gelombang politik pada tahun 1960-an dan semakin maraknya gerakan perempuan menjelang akhir abad ke20-an yang lalu, perteorian atau ajaran tentang feminis dimantapkan sebagai bagian dari pergulatan kehidupan dunia ini. Feminisme sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet.
Setelah Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya. Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik dan pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama dengan laki-laki di hadapan hukum. Pada 1785 fperkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda.
Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, "Perempuan sebagai Subyek" ( The Subjection of Women) pada tahun (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.
Pada awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan.Secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya - terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Adanya fundamentalisme agama yang melakukan opresi terhadap kaum perempuan memperburuk situasi. Di lingkungan agama Kristen terjadi praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang hal ini ditilik dari banyaknya gereja menolak adanya pendeta perempuan, dan beberapa jabatan "tua" hanya dapat dijabat oleh pria.Pergerakan di Eropa untuk "menaikkan derajat kaum perempuan" disusul oleh Amerika Serikat saat terjadi revolusi sosial dan politik.Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul "Mempertahankan Hak-hak Wanita" (Vindication of the Right of Woman) yang berisi prinsip-prinsip feminisme dasar yang digunakan dikemudian hari.Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan dengan adanya perbaikan dalam jam kerja dan gaji perempuan , diberi kesempatan ikut dalam pendidikan, serta hak pilih.
Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai keterikatan (perempuan) universal (universal sisterhood).
Pada tahun 1960 munculnya negara-negara baru, menjadi awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut ranah politik kenegaraan dengan diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin.
Banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga seperti Afrika, Asia dan Amerika Selatan.
            Dalam masa perkembangnny, gerakan aliran dari kaum feminis ini terbagi-bagi dalam beberapa golongan atau aliran. Yaitu ada Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme Marxis, Feminisme Post-modern, Feminisme Anarkis, Feminisme Sosialis, Feminisme Postkolonial, dan juga Feminisme Nordic. Namun, disini penulis lebih ingin sedikit memaparkan  tentang Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme Marxis, dan Feminisme Sosialis secara garis besar. Yang pertama adalah Feminisme Liberal, yaitu sebuah paham feminis yang melihat bahwasannya perempuan juga memiliki kesetaraan dengan laki-laki dalam hal kebebasan secara penuh dan individual.
Dengan berasumsi bahwasannya semua mansia memiliki kapasitas untuk kemudian berpikir dan bertindak secara rasional dan memiliki hak yang sama dengan laki-laki baik dibidang ekonomi, hukum, politik, maupun kebudayaan. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut.Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan.Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.
Yang kemudian menjadi pusat gagasan dari kaum feminis liberal adalah membuat penyadaran kepada seluruh perempuan dalam melakukan segala bentuk kegiatan. Atau dengan kata lain sebagai suatu upaya penyadaran bahwasannya perempuan dan laki-laki itu tidak ada bedanya. Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.
Aliran yang kedua yang kemudian ingin penulis utarakan adalah aliran Feminis Radikal.Bagi kaum Feminis Radikal, patriarki adalah awal mula atau kunci untuk memahami struktur sosial dan hubungan patriarki adalah universal dan merupakan unsur yang mendasar.Karena memang patriarki berarti kekuasaan laki-laki atas perempuan.Kate Millet (1934-1977) adalah tokoh feminis radikal yang pertama, dia berpendapat bahwasannya patriarki dibawa oleh kontrol gagasan dan kebudayaan oleh laki-laki.Kelompok feminis radikal menilai bahwasannya pengeksploitasian kaum laki-laki terhadap kaum perempuan salah satunya adalah masalah dalam berhubungan seks, dalam hal ini yang dimaksud adalah heteroseksual.Artinya, ketika pasca melakukan hubungan seks antara suami dan istri, maka yang kemudian menanggung bebannya adalah kembali lagi pada perempuan tersebut, seperti hamil dan dalam mengurusi kebutuhan anaknya.Inilah yang menyebabkan disorientasi keberpihakan perempuan dalam kehidupan berpolitik di dunia manapun.
Selanjutnya adalah aliran Feminisme Marxis, aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property).Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property.Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar.Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.
Dan yang akan terakhir dibahas oleh penulis kali adalah Feminisme Sosialis. Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan.Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme".Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan.Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu.Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung.Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin.Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki.Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.


Paham feminisme di Indonesia
            Tidak hanya pada tataran Eropa maupun Amerika saja paham tentang feminisme berkembang, di Indonesiapun ternyata telah berkembang paham tentang emansipasi wanita yang telah dicetuskan oleh salah satu pahlawan nasional kita, yaitu R.A Kartini pada tahun 1900-an. Pemikiran-pemikiran Kartini salah satunya dipengaruhi oleh faktor kebudayaan Jawa yang memang sangat menganut prinsip patriarki dalam hubungan antara kaum laki-laki dan perempuan. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah bukunya yang berudul Habis Gelap Terbitlah Terang.Di dalam buku itu, memang banyak pemikiran-pemikiran Kartini yang sangat memperjuangkan yang namanya emansipasi wanita dalam kehidupan di Indonesia.Artinya, memang Kartini sangat menginginkan adanya persamaan hak antara kaum perempuan dan kaum laki-laki.
            Tidak hanya Kartini tentunya yang menjadi awal mula penggerak kaum perempuan di Indonesia, masih banyak lagi srikandi-srikandi Indonesia yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu untuk dijadikan contoh atau bahan renungan dalam memperjuangkan hak-hak kewanitaan.Kita masih memiliki beberapa yang memang secara eksplisit tidak pernah menyebutkan bahwasannya mereka memperjuangkan persamaan hak kaum perempuan. Contohnya ada  Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu,Dewi Sartika dan lain sebagainya yang memang dengan mereka berujuang melawan penjajah atau kaum colonial pada waktu itu, merekapun sebenarnya telah menunjukkan bagaimana peran kaum perempuan dalam kehidupan sehari-hari yang bisanya tidak hanya mengurusi segala kebutuhan yang ada dirumah.
            Demikian juga dalam kehidupan berpolitik, peran kaum perempuan sebagai pelaku politik sangatlah minim, artinya memang kaum perempuan banyak terhegemoni oleh kekuasaan kaum laki-laki dalam menjalankan suatu roda pemerintahan dalam suatu negara (khususnya Indonesia).Kaum perempuan harus tahu bahwa dalam Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol), kuota keterlibatan perempuan dalam dunia politik adalah sebesar 30 persen, terutama untuk duduk di dalam parlemen. Bahkan dalam Pasal 8 Butir d UU No. 10 tahun 2008, disebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Dan Pasal 53 UU mengatakan bahwa daftar bakal calon peserta pemilu juga harus memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.
Ada yang pro dan ada yang kontra pastinya. Namun ketetapan itu sudah ada sejak awal tahun 2004 lalu, melalui UU No 12 tahun 2003 tentang Pemilu, yang secara khusus termaktub di pasal 65 ayat 1. Dituliskan :
Tata Cara Pencalonan
Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 65
(1) Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
(2) Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120% (seratus dua puluh persen) jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap Daerah Pemilihan.
(3) Pengajuan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan ketentuan:
calon anggota DPR disampaikan kepada KPU;
calon anggota DPRD Provinsi disampaikan kepada KPU Provinsi yang bersangkutan; dan
calon anggota DPRD Kabupaten/Kota disampaikan kepada KPU Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Sayangnya, hingga sekarang banyak parpol yang masih kesulitan menjaring calon anggota legislatif (caleg) perempuan, terutama yang memiliki kapabilitas yang memadai.Mengapa perempuan mempunyai wakil dalam politik ?Meski jaminan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan khususnya di bidang pemerintahan dan hukum telah ada dalam UUD 1945 pasal 27 ayati 1, namun sejatinya sistem nilai yang masih mengacu pada laki-laki sebagai sentral belum hilang.Kalaupun ada perempuan dalam bidang-bidang yang didominasi laki-laki, belum sampai pada pengambil keputusan tertinggi.Adalah tugas partai politik untuk melakukan rekrutmen para calon legislatif perempuannya untuk memenuhi kuota 30 persen. Bagaimana caranya ? Bisa dilakukan melalui organisasi-organisasi underbow atau ormas-ormas. Bisa juga melalui perwakilan-perwakilan daerah.Dengan adanya perwakilan 30 persen perempuan di parlemen, akan bisa menyuarakan banyak kepentingan perempuan. Jangan sampai hal yang menyangkut keberadaan perempuan, tetapi keputusannya didominasi oleh kaum laki-laki.
Data-data diatas menunjukkan bahwasannya ada langkah-langkah oleh pemerintah untuk kemudian memperjuangkan hak-hak yang dimiliki oleh kaum perempuan di Indonesia.Artinya, pemerintahpun telah melakukan upaya untuk tudak mendiskrediktan peran wanita dalam pembangunan, pengaturan, dan juga penetapan sebauh kebijakan dalam suatu pemerintahan.Dan pada akhirnya akan tiba di suatu masa, dimana adanya kesetaraan peran perempuan dalam dinamika kehidupan sosial maupun politik dalam lingkup suatu negara. Dan kita juga harus tidak boleh melupakan jasa-jasa kaum perempuan yang telah banyak berjuang untuk kemudian membesarkan kita dan juga telah melahirkan kita kedunia, yaitu ibu kita.Oleh karena itu, janganlah sekali-sekali menganggap remeh kaum perempuan, hargailah mereka, sebagaimana kamu menghargai ibumu.




Daftar Rujukan

-          Jones, PIP. Pengantar Teori-Teori Sosial, Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-Modernisme. Jakarta. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2010
-          Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol)

Comments

Popular posts from this blog

Teori Elit dalam Kebijakan Publik

ELIT DAN KEBIJAKAN : TINJAUAN TEORITIS TENTANG MODEL ELIT DALAM MEMAHAMI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK Oleh : Iwan Ismi Febriyanto Abstract             In the analysis of public policy, of course, there are some models that can be used to focus on one subject of public policy itself. That is, before we alone make this a great and sturdy construction, of course, we must have a clear model. That is the reason why public policy analysis models are crucial in making or analyzing public policy. There are several models in the classification of policy analysis. However, here the author would like to focus on Elite Model Theory in the analysis of public policy. To find out how political institutions operate, how decisions are made then the informant's most relevant is the political elite. Elite is defined as "those that relate to, or have, an important position." Political elite to do with how power affects the person's public policy making. Here the role of the

TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT

DIALEKTIKA KEBIJAKAN PUBLIK : “STUDI KOMPARASI TEORI NEW PUBLIC MANAGEMENT DENGAN GOOD GOVERNANCE DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK” Oleh: Iwan Ismi Febriyanto Abstract Public sector organizations are often described unproductive, inefficient, always loss, low quality, poor innovation and creativity, as well as many other critics. The emergence of strong criticism directed at public sector organizations will then cause the movement to reform public sector management. One of the public sector reform movement is the emergence of the concept of New Public Management (NPM). The concept of new public management was initially introduced by Christopher Hood in 1991. When viewed from a historical perspective, modern management approaches in the public sector at first appear in Europe in the 1980s and 1990s as a reaction to the inadequacy of the traditional model of public administration. NPM emphasis at that time was the implementation of decentralization, devolution, and the m

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme

Anarkisme, Liberalisme, dan Komunisme Analisis Mengenai Pengaruh dan Implementasinya dalam Kondisi Politik di Suatu Negara Oleh : Iwan Ismi Febriyanto BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG             Ideologi merupakan hal yang paling krusial dalam sejarah maupun masa depan kehidupan manusia, terutama dalam bidang politik dan ekonomi. Bagaimana ideologi mempunyai peran sebagai dasar maupun pijakan yang digunakan oleh suaru kelompok sebagai panutan dari apa yang akan dilakukannya kedepan. Kata ideologi sendiri pertama kali dikembangkan dan diperkenalkan oleh seorang filsuf dari negara Perancis yang bernama Antonie Destutt de Tracy di masa Revolusi Perancis. Antony Downs (1957:96) mengatakan bahwa ideology merupakan seperangkat asumsi dasar baik normatif maupun empiris mengenai sifat dan tujuan manusia atau masyarakat agar dapat dipakai untuk mendorong serta mengembangkan tertib politik.